Share

CHAPTER 3 – Khandra yang Menakutkan

Evanna menguap pagi itu. Ia menjangkau ponselnya yang terletak di atas meja. Sudah hampir pukul tujuh. Evanna menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Ia melirik ke samping tempat tidurnya yang kosong. Suaminya itu semalaman tak kembali ke kamar, entah ke mana dia.

Sekarang sudah hari ketiga setelah ia menyandang gelar istri. Dan selama itu pula, suaminya tidak pernah menjenguknya di kamar.

Evanna seperti orang bodoh. Ia hanya berdiam di kamarnya. Evanna tak tahu harus berbuat apa atau menghubungi siapa. Menghubungi keluarganya jelas tak mungkin. Diva dan Reni pasti akan tertawa mengejeknya. Mana ada istri yang ditinggalkan suaminya setelah pesta pernikahan.

Menghubungi Khandra lebih mustahil lagi. Evanna tak tahu nomor telepon suaminya itu. Apa ia benar-benar dibuang setelah pernikahan? Apakah Khandra langsung akan menceraikannya setelah menikah. Kalau seperti itu, lalu untuk apa menggelar pesta pernikahan di hotel mewah? Sungguh tak masuk akal.

Evanna tersadar dari lamunannya saat mendengar ketukan di pintu kamar hotelnya. Ia cepat-cepat bangun dan menguncir rambutnya. Evanna mengintip dari door viewer dan melihat seorang perempuan tengah berdiri di depan pintu.

“Ya?” tanya Evanna setelah membuka pintu.

Perempuan dengan rambut sebatas bahu itu tersenyum ramah kepada Evanna.

“Evanna Laura? Perkenalkan, aku Angela. Boleh masuk?” tanya perempuan ramah itu.

Perempuan itu melangkah mendekati Evanna, memeluknya, dan mencium pipinya. Evanna mengerutkan keningnya dan berusaha melepaskan pelukannya. Ia tak mengenal wanita itu. Dan terhadap orang yang tidak dikenalnya, Evanna selalu waspada.

“Ah, aku Tante Khandra. Ia memintaku untuk menjemputmu,” jelas Angela saat sadar Evanna mencoba menjaga jarak dengannya.

Tanpa sadar Evanna mengembuskan napas lega. Ternyata Khandra masih ingat kalau ia sudah memiliki istri. Meski tak menjemput langsung, paling tidak ada keluarganya yang menjemputnya.

“Oh, maaf, Tante, saya tidak tahu,” jawab Evanna yang merasa tak enak hati karena tidak menyambut Angela dengan ramah.

“Tak apa. Aku maklum. Oh, ya, Kau sudah siap untuk check out?” terang Angela saat melihat wajah Evanna yang tampak kusut masai.

“Sebentar, saya mandi dulu,” jawab Evanna malu.

Angela tertawa kecil mendengarnya. Melihat Evanna yang masih mengenakan piyama dan rambut yang dikuncir asal-asalan, ia sudah bisa menerka kalau gadis itu baru saja bangun tidur.

“Tak apa, aku bisa menunggu. Boleh aku masuk? Kau bisa mandi dan bersiap-siap dulu. Tak perlu buru-buru. Aku punya banyak waktu seharian ini,” ujar Angela yang masih dengan senyum yang menghiasi wajah ramahnya.

Evanna menggeser tubuhnya supaya Angela bisa masuk ke dalam kamarnya. Ia cepat-cepat melesat ke kamar mandi supaya Angela tidak menunggunya terlalu lama.

Angela duduk di atas sofa dan sibuk dengan ponselnya. Sepuluh menit kemudian, Evanna sudah keluar dari dalam kamar mandi dengan memakai pakaian kasual favoritnya.

“Oh, ya, Evanna, apa kau akan mampir ke rumahmu dulu sebelum pulang ke apartemen Khandra?”

“Kenapa saya harus pulang ke rumah dulu?” tanya Evanna linglung.

“Kau tidak mengambil barang-barangmu dulu di rumah?” tanya Angela yang sama tidak mengertinya dengan istri keponakannya itu.

“Oh, tidak, saya tidak perlu kembali ke rumah itu. Barang-barang saya sudah ada di sini,” jawab Evanna yang membuat Angela memicingkan matanya.

Angela menolah ke sudut ruangan. Hanya ada satu koper besar dan beberapa kardus. Cukup aneh baginya kalau barang Evanna hanya sebanyak itu.

“Kau yakin sudah membawa semua barang-barangmu? Kau akan tinggal dengan Khandra setelah menikah. Apa kau berpikir akan tinggal bersama orang tuamu setelah menikah?” tanya Angela menegaskan.

Khandra sudah berpesan pada Angela kalau Evanna akan tinggal di apartemen Khandra. Ia tak menerima pesan yang lain. Keponakannya sudah terbang ke Singapura setelah menikah. Membuat Angela harus mengomelinya panjang lebar karena meninggalkan istrinya begitu saja.

“Saya tidak kembali ke rumah orang tua saya. Dan, yah, memang hanya itu barang-barang saya. Saya tak punya banyak barang. Paling hanya sedikit pakaian dan buku-buku kuliah,” jelas Evanna.

“Oh, ya,? Kalau memang begitu tak jadi soal. Aku akan panggil bellboy sekarang untuk membawa barang-barangmu ke mobil,” ujar Angela.

Tiga puluh menit kemudian Evanna sudah duduk di dalam mobil yang dibawa Angela. Barang-barangnya sudah tertata rapi di dalam bagasi.

“Khandra tinggal dimana?” tanya Evanna saat mobil sudah melaju membelah lalu lintas yang mulai padat.

“Imperium Royal Apartement. Keterlaluan anak itu. Kemarin lusa setelah menikah, ia langsung terbang ke Singapura. Katanya urusan bisnis. Heran, bisnis macam apa yang membuatnya harus segera ke sana dan meninggalkanmu sendirian di hotel,” gerutu Angela.

Evanna hanya tersenyum miris. Khandra tak bicara apa-apa padanya selama resepsi. Bahkan menatapnya pun tampaknya Khandra juga segan. Evanna heran apa yang membuat laki-laki itu mau menikah dengannya. Apa juga ia sama terpaksanya seperti Evanna?

“Tante Angela, apa yang sebenarnya terjadi dalam pernikahan kami?” tanya Evanna, mencoba memecah keheningan dalam mobil.

Angela menggumam pelan, “Mungkin lebih baik kalau Khandra sendiri yang memberitahumu. Ia memang laki-laki yang sulit, tapi sebenarnya ia anak yang baik.”

Mereka akhirnya sampai di depan Imperium Royal Apartment. Gedung tinggi dengan arsitektur modern yang megah menjulang di hadapan mereka. Angela memarkir mobil dengan hati-hati, lalu membuka pintu untuk Evanna.

Evanna melangkah keluar dan mengamati gedung tersebut. Khandra, suaminya, tinggal di tempat semegah ini. Suasana hatinya tengah berkecamuk, tetapi dia memilih untuk menyimpannya sendiri.

Di dalam lift menuju apartemen Khandra, Angela memberi semangat pada Evanna, “Siap-siap, Sayang. Kau harus siap menghadapi apa pun yang terjadi. Kau bisa bilang padaku kalau Khandra menyulitkanmu. Kau tenang saja, aku ada di pihakmu.”

Evanna mengangguk, mencoba menyiapkan diri untuk pertemuan yang mungkin akan mengubah segalanya. Tante Khandra ini tampaknya sangat ramah dan baik hati. Membuat Evanna merasa nyaman di dekatnya.

Pintu lift terbuka, Evanna melangkah pelan mengikuti Angela. Tante suaminya itu tampaknya sangat mengenal Khandra. Bahkan, ia bisa membuka password pintu apartemen Khandra dengan mudah.

“Nah, Evanna, selamat datang di apartemen Khandra. Kau akan tinggal bersamanya sebagai suami istri sejak saat ini,” ucap Angela pada Evanna yang melangkah ragu memasuki tempat tinggal Khandra, suaminya.

٭٭٭

Braaakkk!

Suara benda yang dibanting dengan keras membuat Evanna terjaga dari tidurnya malam itu. Dari arah balkon kamar tidurnya, Evanna mendengar suara laki-laki yang tampaknya sedang bicara entah denngan siapa.

Evanna beringsut mendekati pintu balkon dan menyibak korden penutupnya. Evanna melihat punggung Khandra yang berbicara melalui telepon memunggunginya.

Suara kerasnya membahana. Tampaknya suaminya itu tengah bertengkar dengan lawan bicaranya. Akhirnya Khandra pulang juga. Entah jam berapa ia pulang. Seingat Evanna, saat ia masuk kedalam kamar jam sepuluh tadi Khandra belum pulang.

“Yang penting aku kawin, kan? Apa ada yang lain lagi?”

Suara Khandra yang masih berteriak terdengar oleh Evanna. Ia tersenyum kecut saat mendengar bahwa bagi Khandra yang penting ia sudah menikah.

“Apa pentingnya aku menikah sebulan, dua bulan atau setahun dua tahun? Bagi Papa aku menikah dan kelihatan baik sudah cukup kan? Tak usah sibuk mengurusi bagaimana aku dan istriku. Toh, kami sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini.”

Evanna tertunduk lesu. Tampaknya Khandra sangat tidak menginginkannya sebagai istrinya. Evanna merasa dadanya sesak. Ternyata di mana pun ia berada, ia tidak diinginkan. Tidak di rumah ayahnya, tidak pula di rumah suaminya.

Evanna berjengit terkejut saat didengarnya gerungan penuh amarah kembali terucap dari bibir Khandra. Tanpa sadar ia melangkah mundur, namun punggungnya menabrak meja rias yang ada di dekatnya.

Botol parfumnya terjatuh dari atas meja. Botol kaca itu pecah berkeping-keping saat menghantam lantai marmer di bawahnya. Evanna cepat-cepat mengambil tissue untuk membersihkan pecahan botol itu.

Belum juga Evanna membersihkan pecahan kaca yang terserak, pintu kaca yang mengarah ke balkon menjeblak terbuka. Evanna mendongak dan melihat wajah Khandra yang memerah seperti ingin menerkamnya. Evanna merasa napasnya tersangkut di tenggorokan saat Khandra menatapnya dengan mata nyalang.

"Kau mengupingku?" bentak Khandra pada Evanna yang tengah berjongkok di dekat meja rias.

Evanna menggeleng dengan cepat, mencoba menyingkirkan rasa takutnya.

“Aku tidak menguping,” jawab Evanna dengan suara bergetar.

Melihat suaminya dengan wajah menyeramkan seperti itu membuat nyali Evanna hilang seketika. Evanna seperti melihat monster bertanduk dengan mata merah menyala menyeramkan.

Khandra berjongkok di dekat Evanna. Ia meraih dagu Evanna dan menariknya mendekat.

“Kau mengupingku?" Khandra mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan suara seraknya yang intonasinya lebih tajam.

Evanna menggeleng dengan cepat. Evanna hanya bisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat tanpa bisa bicara sepatah kata pun. Ia mencoba menyingkirkan ketakutannya yang semakin memuncak.

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak sengaja mendengarmu berteriak tadi. Dan aku… Aku hanya... hanya khawatir," kata Evanna terbata-bata dengan suara lirih. Ia mencoba meyakinkan suaminya yang masih menetapnya marah.

Khandra melepaskan genggamannya pada dagu Evanna kasar, tetapi tatapannya tetap tajam mengarah pada wajah Evanna yang pucat pasi.

"Khawatir? Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Jadi, buat apa kau khawatir. Jangan suka mencampuri urusanku!" hardik Khandra yang membuat hati Evanna mencelos.

Evanna merasa tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus berucap apalagi. Evanna takut setiap kata yang terucap dari bibirnya bukannya meredakan amarah Khandra, tapi justru semakin membuat suaminya itu murka.

"Satu hal yang harus kauingat, Evanna. Jangan suka mencampuri urusanku. Kalau masih ingin hidup dengan damai, jangan melanggar batas yang aku buat untukmu," tegas Khandra sambil berdiri, meninggalkan Evanna yang masih terdiam di tempat.

Evanna mendengar pintu kamar yang dibanting saat Khandra melangkah meninggalkannya. Evana terduduk lemas di lantai. Ia biarkan air mata luruh di sepanjang pipi tirusnya. Ia meratapi nasibnya yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Membayangkan betapa mengerikannya hari-harinya setelah ini.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status