Evanna terperangah mendengarnya. Tunggu dulu, apa ia tidak salah dengar? Benarkah laki-laki yang berdiri angkuh di sampingnya ini yang akan menjadi suaminya? Kalau begitu calon suami Evanna bukan laki-laki tua itu?
“Tu..tunggu dulu! Jadi, bukan Fandy yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni terbata-bata.
Diva yang berdiri di belakang ibunya, malah tampak lebih syok lagi.
Bagaimana tidak, sudah sejak bulan lalu ia mengejek Evanna tentang calon suaminya yang tua bangka. Ia kerap kali menghina Evanna dan paling suka melihat adik tirinya itu terpuruk.
Namun, sekarang yang berdiri di samping Evanna bukan laki-laki setengah baya dengan rambut beruban dan kaca mata tebal. Yang berdiri di samping Evanna adalah laki-laki tampan dengan badan tegap dan tinggi menjulang. Matanya yang tajam dibingkai alis lebat. Wajahnya seperti pahatan patung dewa Yunani dengan dagu terbelah.
“Mama,” bisik Diva pelan di telinga ibunya,”ini benar calon suami Evanna. Apa enggak salah?” lanjutnya.
Mata Diva menatap iri pada keberuntungan Evanna. Kalau tahu begini jadinya tentu ia akan menerima lamaran laki-laki tua itu.
“Mana Mama tahu? Pasti ada yang tidak beres ini,” jawab Reni pada Diva.
“Ini benar calon suami Evanna?” tanya Reni yang tampaknya tidak percaya dengan omongan Elfandy.
“Memang benar. Ini Khandra, putra tertua Tuan Alcantara, pemilik Imperium Holding Company. Dan ini Rakha, adiknya,” sahut Elfandy mengenalkan kedua pemuda itu kepada keluarga Evanna.
Evanna juga tak bisa berpikir jernih sekarang. Otaknya tak bisa dipakainya untuk bepikir. Begitu banyak hal yang menggelayuti benaknya membuat Evanna tak bisa memakai logikanya. Satu hal yang pasti, suaminya bukanlah seorang lelaki tua.
“Ah, ya, saya tentu mengenal Tuan Alcantara,” ujar Rasena sambil menyalami Khandra dan Rakha.
“Jadi, ini calon kakak iparku. Halo, Kakak Ipar, senang akhirnya aku bisa berjumpa denganmu!” ujar Rakha yang meraih tangan kanan Evanna dan mencium jemarinya sambil tersenyum kocak, ”semoga kau betah menjadi istri kakakku ini.”
Evanna mengerutkan keningnya mendengar ucapan Rakha padanya. Elfandy yang tahu gelagat yang kurang baik segera menarik tangan Rakha untuk berdiri dekat dengannya.
“Semua sudah siap?” tanya Khandra sambil menatap Elfandy.
“Para tamu sudah menunggu di dalam ballroom dari tadi. Pernikahan sudah bisa dimulai,” ujar Elfandy.
Khandra berjalan mendekati Evanna dengan tatapan mata yang membuat Evanna merinding menatapnya. Tak ada kesan lembut dari manik matanya. Hanya ada aura dingin dan angkuh dalam sorot mata itu.
Khandra menyorongkan lengannya dan Evanna dengan ragu menyambutnya. Evanna melingkarkan tangan kanannya di lengan Khandra dan mereka pun berjalan pelan memasuki ballroom.
Hadirin berdiri menyambut kedua mempelai yang memasuki ballroom dengan iringan Wedding March. Evanna takjub melihat venue pernikahannya yang dipenuhi bunga putih dan lampu menyerupai lilin yang tinggi menjulang.
“Aku baru tahu kalau akan menikahi anak bungsu keluarga Rasena. Aku kira dengan yang sulung,” ucap Khandra pelan, namun masih bisa didengar Evanna.
Siapa pun yang tahu anak gadis keluarga Rasena pasti akan menyebut nama Diva. Evanna maklum karena memang ia bukan siapa-siapa. Tapi dibandingkan-bandingkan dengan Diva di saat seperti ini membuat hatinya kecewa.
“Tentu saja anak kesayangan tak akan diizinkan menikahi bajingan sepertiku. You’re just the blacksheep of the family, eh?” ujar Khandra kembali.
Evanna mengerutkan dahinya. Ia tak paham apa yang diucapkan Khandra barusan. Ia terang-terangan menyebut dirinya bajingan. Membuat Evanna berpikir keras seperti apa sosok Khandra sebenarnya.
“Apa maksudmu?” tanya Evanna. Tapi Khandra tak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya berjalan dan menatap ke depan.
Mereka tiba di bagian depan ballroom tempat di mana mereka akan mengucapkan janji pernikahan sehidup semati hingga maut memisahkan. Pemuka agama yang mengesahkan pernikahan mereka memberikan sepasang cincing untuk dipakaikan pada kedua mempelai.
Khandra mengambil cincin pengantin bermata safir dan menyematkannya di jari manis Evanna. Evanna pun melakukan hal yang sama.
Setelah kedua mempelai dikenalkan sebagai Tuan dan Nyonya Anantara, hadirin yang menjadi saksi pun bertepuk tangan. Dan di antara riuhnya tepuk tangan itu, Khandra meraih pinggang Evanna, lalu menariknya mendekat padanya. Ia menatap wajah Evanna beberapa saat dan mulai mendekatkan wajahnya. Dan tanpa ragu Khandra pun mencium bibir Evanna.
٭٭٭
Acara pernikahan yang melelahkan. Berdiri di pelaminan selama lebih dari tiga jam dan menyalami tamu-tamu yang hanya sebagian kecil Evanna kenal sangat melelahkan. Belum lagi harus memasang senyum palsu sepanjang resepsi.
Evanna kembali ke kamar hotelnya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Ranjang besar di tengah ruangan telah ditutup dengan bed cover putih dan merah maroon. Bunga-bunga segar ditata di atas bedside tables. Ornamen sapasang angsa diletakkan di tengah ranjang.
Evanna meletakkan buketnya di atas meja rias. Ia melepas veilnya dan menggantungnya. Ia duduk di sofa dan memandang keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota dengan lampu warna-warni.
Beberapa jam yang lalu ia resmi menjadi nyonya Khandra Anantara. Seorang istri dari laki-laki yang tidak ia kenal. Laki-laki yang menyebut dirinya sendiri sebagai bajingan. Entah apa sebabnya.
Evanna mengembuskan napasnya kasar. Ia beranjak dari atas sofa dan melangkah menuju kamar mandi. Ia harus terlihat layak di depan suaminya. Bagaimana pun juga ini adalah malam pengantinnya.
Mau tidak mau ia harus melayani suaminya. Ia berniat membersihkan tubuhnya sebelum suaminya kembali ke kamar.
Satu jam, dua jam, Evanna duduk terpekur di atas sofa. Rambut basahnya sudah mulai kering, tetapi suaminya tak juga kembali ke kamar.
Evanna melirik ponselnya. Sudah hampir tengah malam. Evanna menguap. Ia mengantuk sekali. Evanna menyerah. Matanya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Tak lama setelah ia merebahkan tubuh penatnya ke atas ranjang, Evanna sudah terbang ke alam mimpi.
٭٭٭
”Kenapa kau tak pernah bilang kalau bukan Fandi yang akan menikah dengan Evanna?” tanya Reni geram saat ia dan suaminya ada di dalam kamar hotel tempat mereka menginap.
Sejak resepsi pernikahan Khandra dan Evanna yang tak ubahnya bencana baginya tadi hati Reni sudah dibakar api. Tapi suaminya ini malah berakrab-akrab dengan menantu dan adiknya itu. Tatapan matanya juga memancarkan rasa bangga karena bisa menjadi bagian dari keluarga Alcantara.
Reni yang semula ingin menjerumuskan Evanna malah balik dipermalukan. Ia tak habis pikir, bagaimana gadis kampungan seperti Evanna bisa mendapatkan rembulan jatuh hanya dalam sekejap.
”Aku juga baru tahu kalau ternyata Khandra yang akan menikah dengan Anna,” jawab Rasena membela diri.
Meskipun tak berani menunjukkan di depan istrinya secara langsung, Rasena merasa lega. Ia sudah menilai teman lamanya itu yang tidak-tidak. Ia bahkan sudah menyebut sahabat baiknya sendiri sebagai penyuka daun muda.
Kalau dipikir-pikir lagi Fandi tidak pernah mengucapkan kalau ia akan menikahi salah satu anaknya. Ia hanya bilang Rasena harus memberikan salah satu anaknya padanya. Pernikahan antara Fandi dengan salah satu putrinya hanya asumsinya belaka yang ternyata keliru.
Siapa yang tak mengenal Khandra Anantara, pewaris tahta Imperium Holding Company, yang salah satu anak perusahaannya menjadi penyokong dana utama bagi proyek-proyek yang dikerjakan Rasena. Meskipun tidak pernah berhadapan secara langsung, tapi Rasena sering mendengar namanya.
”Kau pasti sudah tahu rencana sebenarnya. Tapi, kau menutupinya dariku. Pasti kau dan anak harammu itu sudah bersekongkol di belakangku. Aku tahu kalau kau masih mengingat perempuan laknat yang sudah mati itu. Makanya kau mati-matian membuat anaknya menikah dengan konglomerat. Supaya apa? Supaya bisa naik derajatnya?” seru Reni dalam kemarahannya yang makin tak terkendali.
Kalau ia tahu Khandra yang akan menjadi menantu mereka, sudah pasti ia akan menyetujui Diva yang menikah dengannya. Saat suaminya mengatakan padanya, Reni langsung mengajukan Evanna sebagai syarat pelunasan utang. Ia tidak berpikir dua kali saat itu. Sekarang dia menyesal karena telah menolak permata yang tak ternilai harganya.
”Aku tidak bohong, Ma. Aku juga benar-benar baru tahu malam ini,” ucap Rasena meyakinkan istrinya.
”Tidak mungkin kalau kau atau anakmu itu tidak tahu. Kau dan Fandy juga sudah kenal sejak lama, apa masuk akal kalau peristiwa besar seperti penikahan ini ada yang disembunyikan? Aku yakin ada yang tidak beres dan aku tidak tahu,” kejar Reni yang masih tidak bisa menerima kenyataan.
”Jangan berburuk sangka begitu! Tak ada yang kusembunyikan darimu. Kau juga lihat sendiri kalau Evanna pun terkejut saat tahu ia menikah dengan Khandra,” ingat Rasena pada istrinya itu.
”Kalian berdua memang pandai bersandiwara. Kau dan anakmu itu sama saja. Aku yang terlalu bodoh karena mempercayai semua kata-katamu. Kalau kau dulu bisa menipuku, tentu anakmu itu juga bisa mengikuti jejakmu. Sekali penipu, tetap penipu,” sentak Reni.
”Aku tidak menipumu. Aku tahu kesalahanku dahulu dan aku juga menyesalinya. Aku selalu berusaha jujur padamu meskipun, yah, kau selalu menganggapku sebagai penipu. Tapi kali ini percayalah, aku tidak membohongimu!” ujar Rasena meyakinkan istrinya.
Reni terdiam namun dadanya masih turun naik menandakan emosinya yang tak jua mereda. Hatinya masih terbakar amarah karena keberuntungan Evanna. Ia tidak rela kalau anak haram seperti Evanna bisa merasa bahagia, apalagi kalau kebahagiannya melebihi Diva.
Tahu begitu, Diva yang akan disuruhnya menerima syarat pelunasan utang Rasena. Diva tentunya lebih pantas bersanding dengan Khandra. Anaknya cantik dan wanita berkelas. Diva juga lebih sering bergaul dengan kalangan kelas atas. Jauh berbeda dengan Evanna yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Diva.
”Aku mau tidur. Besok pagi aku mau ke Imperium, sekalian bertemu dengan Fandi. Aku harus minta maaf padanya karena sudah menganggapnya yang bukan-bukan selama ini,” ucap Rasena sambil beranjak ke tempat tidur.
Reni menatap suaminya sengit. Selalu saja begitu. Suaminya itu lebih memilih tidur atau berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya daripada meladeni keluh kesahnya.
‘Dasar, ayah dan anak sama saja,’ rutuk Reni dalam hati, “tunggu saja aku tak akan tinggal diam. Aku pasti akan membalas kalian.’
Bersambung
Suara sirine ambulans meraung-raung memecah keheningan pagi itu. Langit kelabu seolah ikut berkabung. Mobil sport mewah berwarna merah itu kini tak lebih dari rangkaian besi yang remuk, terpelanting beberapa meter dari tepi jurang. Asap masih mengepul dari mesinnya yang hancur, sementara beberapa petugas kepolisian sibuk mengamankan TKP."Bagaimana hasilnya?" tanya Inspektur Made kepada seorang petugas forensik yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan awal."Korban tewas seketika, Pak. Benturan sangat keras, kemungkinan besar mobil melaju dengan kecepatan di atas 120 kilometer per jam. Korban atas nama Rakha Jumantara, buronan yang kita cari."Inspektur Made menghela napas panjang. Ironis memang. Rakha Jumantara, pria yang menjadi buronan utama kepolisian dalam kasus pembunuhan Diva, kini tewas dalam kecelakaan tunggal. Lolos dari hukuman manusia, tetapi tidak dari hukuman Ilahi."Beritahu tim, kita perlu pengamanan ekstra. Media pasti akan membuat ini jadi berita besar," perintah
Matahari terbenam di ufuk barat Pulau Bali, memoles langit dengan warna jingga yang memesona. Namun bagi Rakha Jumantara, keindahan senja itu tak lagi berarti apa-apa. Pikiran dan jiwanya kini dipenuhi oleh ketakutan dan kecemasan yang mendalam.Dua hari yang lalu, ia tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai tanpa menyadari bahwa setiap langkahnya telah diawasi ketat oleh pihak kepolisian. Nama Rakha Jumantara kini menjadi buronan utama, tersangka dalam kasus pembunuhan.Ia berbaring di tempat tidur kamar hotelnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Bayangan masa lalu berputar-putar di benaknya. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa kesalahannya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar tanpa jawaban.Rakha Jumantara menatap layar televisi di kamar hotelnya. Berita tentang dirinya sudah menyebar ke seluruh negeri. Wajahnya terpampang jelas di layar, dengan tulisan besar: "PUTRA KONGLOMERAT, OTAKI KASUS PEMBUNUHAN."Ia mengacak rambutnya kasar, lalu menyesap kopi hitamnya yan
Polisi bergerak cepat. Laporan dari Diva dan bukti yang dibawa Maira menjadi landasan kuat untuk segera bertindak. Mereka tahu waktu adalah hal yang paling krusial dalam kasus ini.Deki bukanlah sosok yang asing dalam catatan kepolisian. Seorang residivis dengan berbagai kasus kejahatan yang belum pernah terungkap sepenuhnya. Ia ibarat bayangan yang selalu lolos dari jerat hukum, dengan kemampuan menyembunyikan bukti yang luar biasa.Kurang dari dua kali 24 jam, tim khusus berhasil melacak pergerakan Deki. Polisi mendapatkan informasi bahwa Deki terlihat di sekitar Pelabuhan Bakauheni. Rencananya untuk melarikan diri melalui Bakauheni harus segera digagalkan.Tim penyelidik khusus sudah mempersiapkan sejak malam. Koordinasi antara unit mobil dan tim di lapangan berjalan ketat. Setiap pergerakan Deki sudah dipetakan, setiap rute pelarian sudah diblokir.Deki bergerak gesit, memanfaatkan setiap celah dan koneksi yang ia miliki. Ia menggunakan jaringan bawah tanah yang selama ini membuat
Malam semakin larut. Hampir jam satu dini hari, tetapi Nisya tak mampu memejamkan mata. Teleponnya yang kesepuluh kali ke nomor Rakha masih belum mendapat jawaban. Layar ponselnya menampilkan foto Rakha, pemuda berusia dua puluh lima tahun itu tersenyum lebar dengan mata berbinar. Foto setahun lalu, sebelum semua kekacauan ini dimulai."Ayo, angkat teleponnya, Nak," bisik Nisya, berjalan mondar-mandir di kamarnya.Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya ditemani detak jam dan deru pendingin udara. Beni, suaminya, tak ada di rumah. Begitu pula dengan Khandra dan Evanna.Mereka memilih pergi ke kantor polisi untuk membuat laporan. Bukan hanya meninggalkan rumah malam ini, tapi juga meninggalkan Rakha dalam masalahnya. Nisya masih tak percaya suaminya tega melakukan itu pada anak kandungnya sendiri." Rakha harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Beni sebelum pergi, wajahnya mengeras oleh amarah. "Rakha mencoba membunuh seseorang. Diva hilang, dan semua bukti mengarah padanya!"N
Nisya menggertakkan gigi saat mendengar gedoran pintu kamarnya yang berulang kali. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima belas menit. Dia baru saja bersiap tidur, dan Beni, suaminya, sedang membaca buku di sampingnya. Gedoran itu kembali terdengar, lebih keras dan mendesak."Siapa sih?" desis Nisya sambil menyibakkan selimut. Beni mengangkat wajahnya dari buku, alisnya terangkat."Biar aku saja," tawar Beni, tapi Nisya sudah terlanjur bangkit dengan wajah masam."Tidak perlu. Pasti Khandra lagi," ucapnya dingin.Khandra, anak tiri Nisya, memang selalu menjadi duri dalam dagingnya. Setidaknya, begitulah yang selalu dirasakan Nisya.Pintu terbuka dengan sentakan kasar. Di hadapannya berdiri Khandra dengan wajah tegang dan di belakangnya, Evanna, menantunya tampak berdiri dengan wajah tegang."Apa-apaan ini? Jam segini menggedor pintu kamar orang seperti orang kesetanan!" Nisya memandang tajam kedua orang di di depannya itu.Khandra menarik napas dalam. Matanya yang bias
Sudah beberapa hari Diva menghilang dan tidak dapat dihubungi. Orang tuanya, terutama Reni, ibunya sudah mulai khawatir. Tidak biasanya ia seperti itu. Reni sudah bertanya pada kenalan, saudara, dan teman-teman Diva, tapi tak ada seorang pun yang tahu ke mana Diva.Begitu juga dengan Rasena, ayah Diva. Selama beberapa hari ia kalang kabut mencari putri sulungnya itu. Setelah tak membuahkan hasil, Rasena pun mencoba peruntungannya dengan menghubungi Evana meski tak yakin kalau Evanna tahu keberadaan Diva.Malam itu Rasena menelepon putri bungsunya itu. Nada bicara Rasena terdengar sangat khawatir. Rasena bertanya pada Evanna apakah tahu ke mana Diva berada meskipun ia tak yakin mengingat hubungan Diva dan Evanna tak pernah baik.Seperti dugaan Rasena, Evanna tak tahu ke mana Diva. Terakhir kali Evanna bertemu dengannya saat di apartemen Evanna."Kamu yakin tidak tahu apa-apa ke mana Diva, Evanna?" tanya Rasena dengan nada mendesak.Evanna sebenarnya tahu masalah yang dihadapi Diva tapi