Evanna sudah bangun tidur beberap menit yang lalu, tapi ia masih tetap bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia segan bangun dan keluar kamar. Kalau hanya untuk bertatap muka dengan monster menyeramkan seperti semalam, ia lebih memilih sembunyi di bawah selimutnya.
Tanpa sadar Evanna bergidik kalau mengingat kejadian semalam. Khandra jelas tidak menyukainya. Atau lebih tepatnya Khandra membencinya. Evanna tak tahu apa sebabnya. Ia merasa tak pernah menyinggungnya dalam hal apa pun. Apa karena Khandra sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, lalu ia melampiaskan kemarahannya pada Evanna.
Evanna menguap lebar dan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Setelah ini apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus angkat kaki dari sini dan pergi menjauh? Kalau harus pergi di mana ia akan tinggal?
Evanna tak pernah mempunyai banyak uang. Kalau ia harus mencari tempat tinggal sendiri, tentu akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Kembali ke rumah orang tuanya? Hell, mending ia tinggal di kolong jembatan daripada kembali ke rumah itu.
Pintu kamarnya terbuka dan Evanna melihat Khandra memasuki kamar dengan membawa tumpukan kertas-kertas di tangan kanannya. Evanna cepat-cepat bangun dan duduk dengan mencengkeram kuat-kuat selimutnya.
Melihat Evanna yang duduk tegak dengan segera membuat Khandra tersenyum miring, lalu melemparkan kertas-kertas yang dipegangnya ke arah Evanna. Kertas-kertas itu berhamburan di atas ranjang. Evanna melirik isinya, dan bola matanya membulat saat ia melihat isi kertas-kertas itu.
“Kau memata-mataiku?” tanya Evanna sambil memungut satu demi satu kertas yang terserak dan melihat isinya.
Lembaran itu berisi banyak hal tentang diri-dirinya. Foto-foto sejak masa kecilnya, fotonya saat ada di kafe dan supermarket, feed meedia sosialnya, hingga screenshhot chat pribadinya melalui w******p.
Evanna menatap tak percaya pada Khandra yang tengah berdiri menatapnya. Laki-laki itu tampak seperti tanpa rasa bersalah membobol hal pribadi Evanna dan bahkan masih tersenyum miring menatapnya.
“Aku tak mau membeli kucing dalam karung. Aku tidak bodoh untuk diam saja dan tidak mencari tahu dengan siapa aku akan tinggal,” jawabnya enteng.
Evanna merasa tersinggung. Mengobrak-abrik media sosialnya tanpa izin sudah merupakan hal ilegal yang bukan hanya tidak sopan, tapi juga kurang ajar.
“Kau bisa bertanya langsung padaku. Buat apa kau membobol media sosialku, bahkan juga chat w******p milikku?” seru Evanna marah.
“Hah, kau kira aku bisa mempercayaimu. Apa yang tidak terlihat justru lebih jujur daripada yang seringkali ditunjukkan manusia,” balas Khandra tak mau kalah.
Khandra duduk di tepi ranjang. Evanna beringsut menjauh saat Khandra mencondongkan tubuhnya mendekat padanya.
Khandra menatapnya dingin, "Aku tidak peduli dengan ucapanmu. Aku hanya ingin tahu kebenaran, bukan sekadar omong kosong yang bisa kau atau keluargamu tunjukkan ."
Evanna menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba menata hatinya supaya mulutnya tidak mengatakan hal yang tidak perlu. Meskipun tindakan Khandra merupakan pelanggaran privasi yang serius, tapi Evanna mencoba menenangkan hatinya.
"Baiklah, kita bicara. Tapi tolong, jangan bersikap seolah kau paling benar tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan!" ujar Evanna dan menatap suaminya.
"Kau tahu betapa sulitnya untuk mempercayaimu ketika segala sesuatunya terasa begitu janggal. Kita tidak pernah saling mengenal, tapi kau dan keluargamu langsung setuju saat kita harus menikah tanpa pernah mengenal satu sama lain. Well, bukan tanpa alasan kan kau mau begitu saja menikah dengan orang yang sama sekali tak kau kenal? Apa aku harus percaya begitu saja padamu dan menerimamu apa adanya? Jangan menghalu begitu tinggi. Sudah saatnya kau bangun dari mimpi indahmu!" tukas Khandra, tanpa sedikit pun mengurangi nada curigannya.
“Aku juga terpaksa menikah denganmu. Apa kaupikir aku secara sukarela menikahi orang yang tidak aku cintai? Kalau bukan untuk keluargaku, aku tak akan mau melakukannya. Kau sendiri kenapa mau menikahiku kalau kau juga terpaksa?” serang balik Evanna yang mulai tersulut emosi.
Peduli setan Khandra akan menggerung marah seperti semalam. Laki-laki itu sudah sangat kurang ajar padanya.
Khandra terdiam mendengar ucapan Evanna. Mereka sama-sama terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan. Meski terdengar konyol, tapi ia juga mulai bertanya pada dirinya sendiri mengapa seorang Khandra Anantara harus rela menerima pernikahan itu.
“Apa pun alasanmu bukan berarti kau bebas untuk mencuri informasi pribadiku. Kau tidak bisa melanggar privasi orang lain hanya karena merasa tidak percaya,” ujar Evanna dengan suara bergetar namun penuh penegasan.
Khandra mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Privasi? Kau merasa masih punya privasi? Setiap orang pasti memiliki rahasia yang mereka sembunyikan. Aku pastikan kau tidak menyembunyikan apa pun dariku hanya karena merasa punya privasi. Aku akan mengorek setiap detail tentangmu. Aku bisa dengan mudah mengorek isi kepalamu itu. Jadi, jangan merasa masih punya privasi kalau kau tak ingin kulempar keluar!” seru Khandra kembali mengancam.
Khandra bangkit dari ranjang dan meninggalkan Evanna yang masih duduk mematung. Sepeninggal suaminya Evanna meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Evanna kembali tertampar kenyataan harus menghadapi suaminya yang tak bisa menerima kehadirannya sebagai istri.
٭٭٭
Evanna turun ke lantai bawah gedung apartemen yang ditinggalinya. Ia harus menyegarkan otaknya. Terlalu lama berdiam diri di dalam apartemen membuatnya suntuk. Terlebih lagi dengan perilaku Khandra yang di luar nalar.
Gedung apartemen mewah ini memiliki fasilitas yang lengkap. Lantai bawah digunakan sebagai pusat perbelanjaan, kuliner, dan hiburan. Mungkin jalan-jalan dan bersantai akan membuat pikiran kusutnya menjadi sedikit tenang.
Kalau sedang banyak pikiran, Evanna suka melampiaskannya dengan makanan manis atau iced cappuccino favoritnya. Evanna tak pernah kelaparan saat di apartemen. Kulkas besar Khandra selalu penuh makanan, segar maupun frozen. Tapi Evanna malas menghabiskan makanan yang ada di dalam kulkas yang isinya sebagian besar penuh dengan taburan keju.
Evanna duduk di salah satu sudut kafe yang tidak terlalu ramai. Sepiring swiss roll coklat dan lava cake juga iced cappuccino sudah membuat perasaan Evanna jauh lebih baik. Ia menikmati semuanya sambil melihat orang yang berlalu lalang dari balik kaca kafe.
“Hai, Kakak Ipar, sendirian saja? Khandra ke mana?”
Suara keras seorang laki-laki yang langsung duduk di depannya mengejutkan Evanna. Ia memicingkan matanya. Sesaat kemudian Evanna tersenyum cerah saat mengetahui siapa yang menyapanya. Itu Rakha, adik Khandra.
“Dia sedang kerja. Kau sendiri?” tanya Evanna.
Adik laki-laki Khandra yang ramah dan murah senyum itu mengangguk.
“Ini mau ke kantor. Aku biasa sarapan di sini. Kalau Khandra jangan ditanya. Dia memang biasa ke kantor pagi-pagi buta,” selorohnya yang membuat Evanna ikut tersenyum mendengarnya.
“Kau tinggal di gedung ini juga?” tanya Evanna ingin tahu.
“Tidak, aku tinggal di rumah orang tuaku. Bagaimana, kau baik-baik saja dengan Khandra? Kau betah tinggal dengannya?” tanyanya masih dengan senyum lebarnya.
Evanna tersenyum samar. Rakha pasti tahu bagaimana Khandra kalau ia sampai bertanya seperti itu pada Evanna.
“Kami baik-baik saja,” sahut Evanna singkat, lalu menunduk dan menyesap minumannya.
“Oh, ya? Wah, padahal aku mengira akan ada badai besar. Kau tahu, dia mengamuk di rumah saat Papi menyuruhnya menikah. Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Skandal besarnya harus segera dikubur kan?” ujar Rakha enteng.
Evanna mengangkat kepalanya cepat dan menatap Rakha penuh ingin tahu.
“Skandal? Skandal apa?” tanya Evanna.
Bersambung
“Oh, kau belum tahu? Padahal skandalnya menjadi berita besar tiga bulan lalu. Skandal itu bahkan menjadi topik utama berita nasional, bahkan akun-akun gosip pun juga membuat beritanya semakin heboh,” jelas Rakha penuh semangat.Evanna berpikir keras sampai dahinya berkerut. Tapi, tak sekilas pun ia bisa mengingat tentang skandal yang melibatkan Khandra Anantara. Atau jangan-jangan memang dia yang kurang update tentang berita mengenai skandal dan selebritis.“Skandal apa? Nampaknya ada berita besar yang terlewat olehku,” ucap Evanna akhirnya setelah menyerah mengorek memori otaknya.“Ke mana saja kau ini, Kakak Ipar? Pantas saja, Khandra nggak pernah protes lagi setelah menikah denganmu. Ternyata kau memang tinggal di dalam gua sebelum ini sampai-sampai tak tahu berita heboh seperti itu,” seloroh Rakha sambil tertawa keras sampai-sampai pengunjung di sekelilingnya menatap ke arah meja mereka.“Tiga bulan yang lalu aku masih sibuk dengan ujian skripsiku, mana sempat memperhatikan berita
Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya
”Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kauucapkan,” tanya Angela sambil menggelengkan kepalanya.”Evanna itu sama seperti perempuan lain yang mendekatiku. Ia hanya menginginkan uangku. Tante tahu, dia anak di luar nikah. Anak haram hasil selingkuhan bapaknya. Dia sengaja mau menaikkan derajatnya, makanya dia setuju untuk menikah denganku,” jelas Khandra berapi-api.”Oh, ya, betulkah itu?” tanya Angela lagi.”Tante nggak percaya padaku? Aku sudah mengecek latar belakangnya dan menurutku nggak ada bagus-bagusnya. Kelakuan orang tuanya yang tukang selingkuh seperti itu, pasti akan menurun ke anaknya. Kita sudah lihat salah satu contoh nyatanya,” terang Khandra meyakinkan Angela.Angela tertawa sumbang mendengar argumentasi Khandra. Ia paham hidup keponakannya itu tidak mudah. Khandra ditinggal ibunya pergi untuk selamanya sejak usia dua belas tahun. Ia terpaksa menerima kehadiran ibu dan adik tirinya dua tahun kemudian. Satu hal lagi yang membuatnya sulit mempercayai orang lain adal
Evanna beringsut ketakutan sambil memegangi selimutnya erat-erat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tatapan mata Khandra yang tajam tanpa kedip seperti mendominasinya.Evanna masih teringat peristiwa menyakitkan tadi dan ia tak mau lagi merasakan sakit yang sama.Evanna membeliak saat suaminya itu melangkah mendekatinya. Satu lututnya sudah ia tumpu di tepi ranjang. Sudah cukup, tubuh dan hatinya tak bisa lagi menerima perlakuan Khandra yang di luar batas perikemanusiaan seperti tadi.Perlahan Evanna menggeser tubuhnya hingga punggungnya membentur headbed yang dingin. Tangannya dikatupkan di depan dada dan memegang erat selimutnya. Bibirnya bergetar saat air mata kembali menitik melalui matanya yang sembab.Evanna kembali tersentak saat Khandra menarik selimutnya keras. Ia berusaha menariknya kembali untuk menutupi tubuhnya, tapi sia-sia. Tubuh polosnya sekali lagi terekspos di depan laki-laki yang tak ubahnya monster di mata Evanna."Kau mau apa lagi?" cicit Evanna, lemah dan ketakuta
”Ini apa?” tanya Evanna. Khandra tidak menjawab. Ia membuka map itu, lalu meletakkan selembar kertas di atasnya. ”Surat perjanjian kita,” ujarnya singkat. Evanna membaca kalimat demi kalimat yang tertera dalam kertas itu. Ada beberapa klausul yang dituliskan Khandra sehubungan dengan pernikahan mereka. ”Kenapa harus pakai perjanjian?” tanya Evanna lagi. ”Kita harus mengatur segala hal, baik tentang peran, kewajiban, serta hak masing-masing dari kita selama pernikahan ini. Pernikahan ini mungkin hanya sementara. Paling cepat awal tahun depan kita bercerai. Kalau sial, mungkin dua atau tiga tahun lagi baru kita bisa bercerai,” terang Khandra yang terlihat sangat enteng menyebut kata cerai dan pernikahan sementara di depan Evanna. Evanna tersenyum miris. Ia semakin tidak mengenal suaminya itu. Perlakuan Khandra padanya sebelumnya sudah membuat Evanna kehilangan harga diri. Setelah itu, Khandra menunjukkan sikapnya yang lembut meski tak mengurangi perannya yang dominan dan suka meme
Evanna menikmati makan singnya di kafe yang pernah ia kunjungi sebelumnya. Iced cappuccino, chocolate mousse, dan muffin sudah terhidang manis di atas mejanya. Cokelat memang hal yang sempurna untuk mengembalikan mood dan suasana hati yang rusak.Di kursi sampingnya terdapat beberapa kantong belanjaan. Evanna menghabiskan hampir setengah hari untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan kamar barunya.Toko tempatnya berbelanja pernak-pernik kamar yang ditunjukkan Khandra padanya bersedia mengantarkan barang pesanannya sampai ke apartemen. Lumayanlah, Evanna tak harus kerepotan membawa barang-barang yang tak sedikit itu.Sebelum belanja, Evanna mampir ke mesin ATM utuk mengecek saldonya. Ia melotot tak percaya melihat nominal yang tertera yang jumlahnya hampir mencapai dua kali lipat uang kuliahnya selama satu semester.Tapi Evanna harus hati-hati menggunakan uang Khandra. Siapa tahu Khandra memberinya uang itu bukan untuk satu bulan, tapi sampai bercerai hanya itu uang yang
Evanna memasuki aparteman Rakha yang ukurannya jauh lebih kecil daripada penthouse yang ditinggalinya bersama Khandra. Interior apartemen ini juga lebih minimalis. Meskipun begitu, Rakha cukup pandai memilih warna, sehingga isi apartemennya tidak terkesan suram seperti milik Khandra.”Apartemenku lebih kecil kan dibandingkan dengan punya Khandra?” tanya Rakha saat Evanna memperhatikan seluruh isi ruangan apartemen miliknya.”Kau punya apartemen bagus begini, tapi tidak kautinggali. Lalu buat apa apartemen ini?” tanya Evanna sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa coklat susu.”Dari sini ke kantor lebih dekat. Kalau aku banyak kerjaan, aku lebih memilih tinggal di apartemen ini daripada pulang ke rumah,” jelas Rakha.Rakha berjalan ke arah jendela. Dibukanya tirai lebar-lebar juga pintu kaca yang mengarah ke balkon.”Kau mau minum apa? Kelihatannya masih ada beberapa softdrink di kulkas,” tawar Rakha lagi.Evanna menggelengkan kepalanya. Ia sudah minum cukup banyak waktu di kafe tad
”Tante Angela,” sapanya pada wanita ramah itu.Angela tersenyum lebar dan memeluk istri keponakannya itu. Ia melangkah memasuki aparteman yang biasanya seminggu sekali ia sambangi.Angela tampaknya sudah sangat hapal apartemen Khandra. Ia langsung menuju ruang santai dan meletakkan paper bag yang dibawanya ke atas meja yang ada di ujung sofa.”Mumpung aku tidak terlalu sibuk, aku sempatkan mampir ke sini. Minggu kemarin aku luar biasa sibuk, bahkan satu jam sebelum pernikahan kalian ada pasien gawat yang membutuhkan pertolonganku segera. Makanya aku tidak bisa datang waktu kalian menikah,” ucap Angela sambil mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa panjang yang didominasi warna dark grey itu.”Tampaknya tak ada perubahan sama sekali dengan apartemen ini. Kau dan Khandra apa tidak berniat mengganti furniture? Sejak lima tahun lalu Khandra menepati apartemen ini, isinya masih sama. warnanya pun terlalu monoton,” lanjut Angela.Evanna hanya tersenyum tipis mendengarnya. Mana berani ia mengubah