Share

CHAPTER 4 – Everything About You

Evanna sudah bangun tidur beberap menit yang lalu, tapi ia masih tetap bergelung di bawah selimut tebalnya. Ia segan bangun dan keluar kamar. Kalau hanya untuk bertatap muka dengan monster menyeramkan seperti semalam, ia lebih memilih sembunyi di bawah selimutnya.

Tanpa sadar Evanna bergidik kalau mengingat kejadian semalam. Khandra jelas tidak menyukainya. Atau lebih tepatnya Khandra membencinya. Evanna tak tahu apa sebabnya. Ia merasa tak pernah menyinggungnya dalam hal apa pun. Apa karena Khandra sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini, lalu ia melampiaskan kemarahannya pada Evanna.

Evanna menguap lebar dan membalikkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Setelah ini apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus angkat kaki dari sini dan pergi menjauh? Kalau harus pergi di mana ia akan tinggal?

Evanna tak pernah mempunyai banyak uang. Kalau ia harus mencari tempat tinggal sendiri, tentu akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Kembali ke rumah orang tuanya? Hell, mending ia tinggal di kolong jembatan daripada kembali ke rumah itu.

Pintu kamarnya terbuka dan Evanna melihat Khandra memasuki kamar dengan membawa tumpukan kertas-kertas di tangan kanannya. Evanna cepat-cepat bangun dan duduk dengan mencengkeram kuat-kuat selimutnya.

Melihat Evanna yang duduk tegak dengan segera membuat Khandra tersenyum miring, lalu melemparkan kertas-kertas yang dipegangnya ke arah Evanna. Kertas-kertas itu berhamburan di atas ranjang. Evanna melirik isinya, dan bola matanya membulat saat ia melihat isi kertas-kertas itu.

“Kau memata-mataiku?” tanya Evanna sambil memungut satu demi satu kertas yang terserak dan melihat isinya.

Lembaran itu berisi banyak hal tentang diri-dirinya. Foto-foto sejak masa kecilnya, fotonya saat ada di kafe dan supermarket, feed meedia sosialnya, hingga screenshhot chat pribadinya melalui w******p.

Evanna menatap tak percaya pada Khandra yang tengah berdiri menatapnya. Laki-laki itu tampak seperti tanpa rasa bersalah membobol hal pribadi Evanna dan bahkan masih tersenyum miring menatapnya.

“Aku tak mau membeli kucing dalam karung. Aku tidak bodoh untuk diam saja dan tidak mencari tahu dengan siapa aku akan tinggal,” jawabnya enteng.

Evanna merasa tersinggung. Mengobrak-abrik media sosialnya tanpa izin sudah merupakan hal ilegal yang bukan hanya tidak sopan, tapi juga kurang ajar.

“Kau bisa bertanya langsung padaku. Buat apa kau membobol media sosialku, bahkan juga chat w******p milikku?” seru Evanna marah.

“Hah, kau kira aku bisa mempercayaimu. Apa yang tidak terlihat justru lebih jujur daripada yang seringkali ditunjukkan manusia,” balas Khandra tak mau kalah.

Khandra duduk di tepi ranjang. Evanna beringsut menjauh saat Khandra mencondongkan tubuhnya mendekat padanya.

Khandra menatapnya dingin, "Aku tidak peduli dengan ucapanmu. Aku hanya ingin tahu kebenaran, bukan sekadar omong kosong yang bisa kau atau keluargamu tunjukkan ."

Evanna menghela nafas dalam-dalam. Ia mencoba menata hatinya supaya mulutnya tidak mengatakan hal yang tidak perlu. Meskipun tindakan Khandra merupakan pelanggaran privasi yang serius, tapi Evanna mencoba menenangkan hatinya.

"Baiklah, kita bicara. Tapi tolong, jangan bersikap seolah kau paling benar tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan!" ujar Evanna dan menatap suaminya.

"Kau tahu betapa sulitnya untuk mempercayaimu ketika segala sesuatunya terasa begitu janggal. Kita tidak pernah saling mengenal, tapi kau dan keluargamu langsung setuju saat kita harus menikah tanpa pernah mengenal satu sama lain. Well, bukan tanpa alasan kan kau mau begitu saja menikah dengan orang yang sama sekali tak kau kenal? Apa aku harus percaya begitu saja padamu dan menerimamu apa adanya? Jangan menghalu begitu tinggi. Sudah saatnya kau bangun dari mimpi indahmu!" tukas Khandra, tanpa sedikit pun mengurangi nada curigannya.

“Aku juga terpaksa menikah denganmu. Apa kaupikir aku secara sukarela menikahi orang yang tidak aku cintai? Kalau bukan untuk keluargaku, aku tak akan mau melakukannya. Kau sendiri kenapa mau menikahiku kalau kau juga terpaksa?” serang balik Evanna yang mulai tersulut emosi.

Peduli setan Khandra akan menggerung marah seperti semalam. Laki-laki itu sudah sangat kurang ajar padanya.

Khandra terdiam mendengar ucapan Evanna. Mereka sama-sama terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan. Meski terdengar konyol, tapi ia juga mulai bertanya pada dirinya sendiri mengapa seorang Khandra Anantara harus rela menerima pernikahan itu.

“Apa pun alasanmu bukan berarti kau bebas untuk mencuri informasi pribadiku. Kau tidak bisa melanggar privasi orang lain hanya karena merasa tidak percaya,” ujar Evanna dengan suara bergetar namun penuh penegasan.

Khandra mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Privasi? Kau merasa masih punya privasi? Setiap orang pasti memiliki rahasia yang mereka sembunyikan. Aku pastikan kau tidak menyembunyikan apa pun dariku hanya karena merasa punya privasi. Aku akan mengorek setiap detail tentangmu. Aku bisa dengan mudah mengorek isi kepalamu itu. Jadi, jangan merasa masih punya privasi kalau kau tak ingin kulempar keluar!” seru Khandra kembali mengancam.

Khandra bangkit dari ranjang dan meninggalkan Evanna yang masih duduk mematung. Sepeninggal suaminya Evanna meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Evanna kembali tertampar kenyataan harus menghadapi suaminya yang tak bisa menerima kehadirannya sebagai istri.

٭٭٭

Evanna turun ke lantai bawah gedung apartemen yang ditinggalinya. Ia harus menyegarkan otaknya. Terlalu lama berdiam diri di dalam apartemen membuatnya suntuk. Terlebih lagi dengan perilaku Khandra yang di luar nalar.

Gedung apartemen mewah ini memiliki fasilitas yang lengkap. Lantai bawah digunakan sebagai pusat perbelanjaan, kuliner, dan hiburan. Mungkin jalan-jalan dan bersantai akan membuat pikiran kusutnya menjadi sedikit tenang.

Kalau sedang banyak pikiran, Evanna suka melampiaskannya dengan makanan manis atau iced cappuccino favoritnya. Evanna tak pernah kelaparan saat di apartemen. Kulkas besar Khandra selalu penuh makanan, segar maupun frozen. Tapi Evanna malas menghabiskan makanan yang ada di dalam kulkas yang isinya sebagian besar penuh dengan taburan keju.

Evanna duduk di salah satu sudut kafe yang tidak terlalu ramai. Sepiring swiss roll coklat dan lava cake juga iced cappuccino sudah membuat perasaan Evanna jauh lebih baik. Ia menikmati semuanya sambil melihat orang yang berlalu lalang dari balik kaca kafe.

“Hai, Kakak Ipar, sendirian saja? Khandra ke mana?”

Suara keras seorang laki-laki yang langsung duduk di depannya mengejutkan Evanna. Ia memicingkan matanya. Sesaat kemudian Evanna tersenyum cerah saat mengetahui siapa yang menyapanya. Itu Rakha, adik Khandra.

“Dia sedang kerja. Kau sendiri?” tanya Evanna.

Adik laki-laki Khandra yang ramah dan murah senyum itu mengangguk.

“Ini mau ke kantor. Aku biasa sarapan di sini. Kalau Khandra jangan ditanya. Dia memang biasa ke kantor pagi-pagi buta,” selorohnya yang membuat Evanna ikut tersenyum mendengarnya.

“Kau tinggal di gedung ini juga?” tanya Evanna ingin tahu.

“Tidak, aku tinggal di rumah orang tuaku. Bagaimana, kau baik-baik saja dengan Khandra? Kau betah tinggal dengannya?” tanyanya masih dengan senyum lebarnya.

Evanna tersenyum samar. Rakha pasti tahu bagaimana Khandra kalau ia sampai bertanya seperti itu pada Evanna.

“Kami baik-baik saja,” sahut Evanna singkat, lalu menunduk dan menyesap minumannya.

“Oh, ya? Wah, padahal aku mengira akan ada badai besar. Kau tahu, dia mengamuk di rumah saat Papi menyuruhnya menikah. Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Skandal besarnya harus segera dikubur kan?” ujar Rakha enteng.

Evanna mengangkat kepalanya cepat dan menatap Rakha penuh ingin tahu.

“Skandal? Skandal apa?” tanya Evanna.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status