Share

CHAPTER 6 – Pelampiasan

Khandra menyusuri wajah Evanna yang terlihat ketakutan. Air mata sudah membasahi pipinya yang pucat. Khandra tertawa sinis saat melihat keadaan Evanna yang terlihat menyedihkan.

Perempuan ini beberapa menit yang lalu bisa dengan angkuh mengejeknya dan sekarang, ia tak berdaya di bawah kungkungannya. Sekarang wajah berang perempuan itu berubah menjadi tikus yang terpojok dan menggigil ketakutan.

Namun, bukannya merasa kasihan Khandra justru menikmatinya. Perempuan ini harus diberi pelajaran supaya ingat posisinya. Kalau tidak, ia bisa menginjak-injak harga dirinya kapan saja.

“Kau bilang aku menjijikkan bukan? Aku akan tunjukkan padamu seperti apa wujud menjijikkan seperti yang kaubilang padaku tadi.”

Khandra melepas dasi yang dipakainya dengan satu tangan. Satu tangannya yang lain masih mencekal erat kedua tangan Evanna. Gadis itu memberontak, tapi tangan besar Khandra semakin erat mencengkeran kedua pergelangan tangannya.

Khandra mengikat kedua tangan Evanna dengan dasinya. Diikatnya kuat-kuat supaya Evanna tak bisa membebaskan diri dari jeratnya.

Evanna menjerit saat pakaiannya dikoyak Khandra secara paksa. Ia ingin siapa pun yang ada di luar bisa mendengar teriakannya. Namun, sayang suaranya tak akan didengar oleh siapa pun.

Penthouse apartemen Khandra ada di lantai paling atas. Seluruh unit di lantai ini hanya dihuni oleh Khandra seorang. Sekencang apa pun Evanna berteriak tak akan ada yang bisa mendegarnya.

Evanna hanya bisa menangis tergugu dan mencoba melepaskan ikatan tangannya. Semakin keras Evanna menarik tangannya, semakin menyakitkan. Kedua pergelangan tangan Evanna seperti teriris.

Khandra tak memedulikan apa-apa lagi. Ia menggeram dan menundukkan kepalanya. Bibirnya menelusuri wajah, leher, hingga dada Evanna yang terbuka menantang kelelakiannya.

“Aku mohon, hentikan,” ratap Evanna di antara isak tangisnya.

Seumur hidup belum pernah ia diperlakukan seperti ini. Ia memang kerap dihina dan dicaci. Namun, tak pernah sekalipun ia dipermalukan seperti ini. Apalagi oleh seorang yang disebut sebagai suaminya.

Khandra tak mau mendengar apalagi peduli dengan tangis Evanna. Ia muak mendengar mulut manis perempuan. Sekali ia lengah, maka mereka akan semakin jumawa menginjak-injak harga dirinya, termasuk Evanna.

“Kenapa kau takut?” ejek Khandra terkekeh.

Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Evanna. Wajah galak yang tadi diperlihatkan Evanna pada Khandra sekarang sudah berubah 1800. Evanna seperti terpidana mati di depan algojonya, meratap supaya dibebaskan.

“Hentikan, jangan seperti ini!” ratap Evanna sekali lagi.

Evanna berharap suaminya itu masih memiliki nurani. Paling tidak laki-laki itu tahu bagaimana memperlakukan istrinya sendiri.

Evanna kembali memberontak saat tangan besar dan kekar Khandra menekan dadanya kasar. Evanna melolong kesakitan sambil menjerit.

Namun, apa yang dilakukan Evanna semakin membuat Khandra kesal. Evanna benar-benar perlu diberi pelajaran. Perempuan itu sudah tak punya kekuatan melawan, tapi masih saja berteriak keras yang membuat telinga Khandra berdengung menyakitkan.

Evanna semakin berteriak keras saat Khandra juga melepas rok yang dipakainya. Dengan sekali sentak rok satin abu-abu itu sudah teronggok di sudut kamar.

Khandra menjauhkan tubuhnya dan menjulang berlutut di atas tubuh Evanna. Dengan senyum miringnya ia tertawa mengejek Evanna yang penampilannya sudah tak keruan lagi.

“Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?” tanya Evanna lemah di antara isak tangisnya.

Khandra seharusnya tahu Evanna adalah istrinya dan memperlakukannya seperti ini membuat Evanna merasa ia sebagai budak Khandra, yang bisa diperlakukan semau tuannya.

“Karena kau harus diberi pelajaran supaya kau tahu posisimu. Aku tak akan pernah membiarkan perempuan sepertimu menghinaku seenak perutmu.”

“Aku istrimu,” teriak Evanna.

“Benar. Dan karena kau adalah istriku, aku bisa memperlakukanmu semauku. Kenapa kau menyesal sudah menjadi istriku? Hah, sudah terlambat! Aku bisa menikmatimu dengan cara apa pun dan kapan pun aku mau,” ucap Khandra dengan senyum licik di bibirnya.

Setelah berkata seperti itu, seperti kesetanan Khandra mengoyak pakaian terakhir Evanna yang tersisa. Di tengah jerit tangisnya, Evanna hanya bisa pasrah saat rasa sakit mengunjam tubuhnya.

٭٭٭

Angela tengah menata berkas-berkasnya di atas meja. Malam sudah semakin larut. Ia melirik jam tangan yang melingkari tangan kirinya. Sudah jam 10 malam.

Tubuhnya penat, terutama pikirannya. Melayani pasien gangguan jiwa dengan beragam masalah dan fase sangat menguras tenaganya.

Angela seorang psikiater. Ia memiliki klinik yang dikelolanya bersama beberapa rekannya sesama dokter. Kliniknya sudah sangat terkenal di seantero ibu kota, bahkan ada pasien dari luar kota yang rela mengantre untuk dapat berkonsultasi dengannya.

Angela mengambil tas hitamnya yang ada di atas meja. Ia hendak melangkah menuju pintu ruangan praktiknya saat pintu itu menjeblak terbuka.

“Berikan aku bupropion, Tante!”

Khandra masuk tanpa permisi dan langsung duduk di sofa panjang yang ada di dekat pintu masuk. Angela mengangkat alisnya heran saat melihat keponakannya itu yang datang dengan terengah-engah.

“Kenapa?” tanya Angela. Ia meletakkan kembali tasnya ke atas meja dan duduk di samping Khandra.

“Aku membutuhkannya. Sekarang!” ucap Khandra setengah berteriak.

Khandra merasa emosinya sudah naik ke ubun-ubun, napasnya cepat, dan ia merasa kepalanya sudah mau meledak.

“Aku tak bisa memberimu obat tanpa tahu apa yang terjadi. Nah, sekarang bilang padaku, ada apa?” tanya Angela lagi.

Khandra tidak menjawab. Ia malah menyandarkan kepalanya di sofa dan memejamkan matanya.

Terbayang lagi apa yang ia lakukan sebelum meninggalkan apartemen menuju klinik tantenya itu. Kelebat Evanna yang menangis dan berteriak kesakitan kembali terekam dalam memorinya.

Khandra tak pernah sebejat itu sebelumnya dan entah kenapa malam ini ia seperti kerasukan setan. Ia tak tahu iblis dari neraka bagian mana yang bisa membujuknya melakukan perbuatan laknat itu.

Terlebih lagi saat ia melihat ceceran darah yang terpercik di atas bed cover putih ranjangnya. Khandra menyesal saat mengetahui istrinya itu masih perawan dan ia memberikan yang terburuk bagi Evanna.

Khandra cepat-cepat mengenyahkan rasa penyesalan itu dari benaknya. Tidak itu bukan salahnya. Perempuan itu yang membuatnya melakukan hal itu. Ia tak perlu menyesal sudah melakukan semua itu. Evanna pantas mendapatkan hukuman darinya.

Kalau saja Evanna tidak mengungkit kembali kejadian memalukan yang ingin ia kubur dalam-dalam, Khandra tak mungkin akan terbawa emosi seperti itu. Ia sudah sangat terpuruk karena skandal itu. Dan Evanna dengan sesuka hatinya mengaduk-aduk lagi hal paling memalukan yang pernah Khandra lakukan.

Kalau saja Evanna tidak membuat emosinya naik sampai gelap mata, mana mungkin Khandra merudapaksanya. Perempuan seperti itu wajib diberi pelajaran supaya lebih tahu diri.

“Kau kenapa?” ucap Angela lembut, ”bukankah sudah sangat lama kau tidak memerlukan obat penenang?”

Sudah lebih dari tujuh tahun keponakannya itu terlepas dari obat-obat penenang. Dulu ia memang membutuhkan obat-obatan antidepresan karena kematian ibunya yang mengenaskan.

Namun, semakin ia bertambah dewasa, Khandra juga sudah bisa berpikir logis meskipun kadang keadaan membuatnya harus menguras emosi, tapi tak pernah ia sampai meminta obat penenang padanya.

“Bisakah Tante memberiku tanpa banyak bertanya?”

“Mana bisa. Meskipun kau keponakanku, sebagai psikiater, aku harus melakukan observasi terlebih dahulu sebelum memberi pasienku obat. Nah, sekarang apa masalahmu?” tolak Angela halus.

Khandra mengeluh putus asa. Ia ingin mendinginkan isi kepalanya saat ini juga. Dulu, ia terbiasa mengonsumsi obat penenang jika emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, Khandra merasa emosinya sedang tidak stabil.

“Tante tak bisa membiarkanmu ketergantungan lagi. Sudah cukup. Kondisimu sudah sangat baik dalam tujuh tahun terakhir. Percaya padaku, kau tidak membutuhkannya. Kau hanya perlu menenangkan dirimu dan semua akan baik-baik saja,” ujar Angela tegas.

“Gampang sekali Tante bicara. Lalu aku harus bagaimana sekarang?” tanya Khandra semakin frustrasi.

“Pulanglah. Ada yang menunggumu di rumah. Aku hanya bertemu sekali dengan istrimu, tapi aku yakin ia bisa membuat hidupmu lebih baik. Dia perempuan yang baik menurut penilaianku. Kalau kau memperlakukannya dengan baik, ia juga akan baik padamu,” bujuk Angela.

“Itu sangat tidak membantu. Tante tidak tahu kalau perempuan itu hanya benalu,” keluh Khandra.

“Benalu? Benalu bagaimana maksudmu? Tante tidak mengerti.”

“Iya, Tante. Dia hanya benalu. Oh, tidak, bukan hanya benalu. Dia malah seperti lintah. Ya, benar lintah adalah sebutan yang paling cocok untuknya. Sama seperti yang lain, ia tidak hidup untukku. Ia hidup hanya untuk uangku. Kenapa Tante menatapku begitu? Tante tidak percaya padaku?”

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status