Felix baru selesai mandi dan melilitkan perban ke perutnya sendiri tanpa meminta bantuan Susie atau Hvitserk. Sejak sore, Felix sibuk memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh Billy ke surelnya.
"Namanya Edward Suter, dia ingin bertemu dengan Anda, Mister." terngiang dalam kepala Felix akan perkataan Billy, penanggung jawab perusahaannya di Cape Town dan Somalia, yang menyampaikan melalui sambungan videocall jika ada seseorang ingin mengajukan kerjasama untuk project pertambangan di Somalia dengan Felix.
Baru saja Felix hendak menyalakan laptopnya untuk mencari tahu tentang Edward Suter, ponselnya sudah berdering panggilan telpon dari Hvitserk.
"Veronica di culik. Orang kita tidak bisa bertindak di sini ..."
"Tawarkan uang besar untuk para berandal jalanan!" potong Felix cepat dengan nada sangat dingin memberikan perintah. "Jika sampai Veronica terluka karena keengganan mereka bertindak, maka esok aku sendiri yang akan menghabisi mereka semuanya!" tambah Felix sambil memakai pakaian santai dari dalam lemari, bukan piyama tidur.
"Baik." Hvitserk menjawab cepat seperti keinginan Felix, lalu bertanya sebelum ia memutuskan sambungan telpon, "Apa kau ingin cari udara segar keluar sejenak?"
Tentu saja pertanyaan Hvitserk bukanlah benar-benar bermakna bertanya pada Felix yang ingin mencari udara segar, melainkan bertanya apakah sahabat sekaligus bosnya itu akan turut serta pergi menyelamatkan Veronica.
"Uhm! Perintahkan orang untuk menyiapkan mobilku!" jawab Felix tegas yang tangannya baru saja meraih pistol untuk dia selipkan ke balik pinggang serta tali panjang berujung jarum halus di bagian ujungnya yang ia masukkan ke dalam tas kecil, kini tergantung pada sisi pinggangnya.
Tidak lama kemudian, raungan suara mobil sport milik Felix sudah bergabung di jalanan. Hvitserk duduk pada kursi penumpang sambil terus memberikan perintah koordinasi dengan para anak buahnya yang sedang mengikuti Veronica.
Veronica di bawa ke sebuah rumah kosong yang diyakini jika wilayah tersebut milik Mussolini, wakil dari pejabat pemerintah yang memimpin Amalfi.
*****
"Uhmmm ..." Veronica menggeliat malas ketika merasakan tamparan pelan di wajahnya.
Veronica bukanlah wanita yang bisa dengan mudah terpengaruh oleh obat bius. Ia juga kebal terhadap berbagai macam jenis obat perangsang. Tetapi sepertinya tubuh dan pikirannya sedang lelah, sehingga tanpa sadar kini ia tertidur akibat dari semburan aroma parfum mengandung obat bius sewaktu memasuki taksi.
"Selena, aku masih mengantuk. Hari ini aku datang agak siang aja ya ke restoran." Veronica kembali berucap manja memalingkan wajahnya ke samping, namun ...
Kedua kelopak mata Veronica langsung terbuka lebar, menyadari dirinya ternyata diikat pada salah satu kursi kayu menggunakan tali berserat baja.
"Hallo ...Veronica!" Arkada menyeringaikan senyuman seraya menaikkan kedua alisnya ke atas seolah sangat menikmati keterkejutan Veronica.
Veronica memindai ruangan tempat ia berada. Di setiap sudut dan langit-langit ruangan terdapat lampu bercahaya benderang juga ada kamera mahal yang biasa digunakan untuk merekam adegan dengan sebuah titik berwarna merah terlihat menyala.
"Bagaimana? Masih ingat denganku?" Arkada bertanya setelah tatapan Veronica beralih memandangnya sinis. "Urusan kita belum selesai, hem?"
"Pengecut!" dengkus Veronica tidak gentar sedikitpun menatap tajam pada Arkada yang semakin menggetarkan tawa meledak.
Sekali lagi, Veronica bukanlah gadis penakut dan ia tidak dibesarkan untuk menjadi wanita yang penakut ataupun menghindari masalah. Meskipun kini tangannya di ikat ke belakang punggung dan kedua kakinya juga diikat dengan tali berserat baja, sulit untuk dilepaskan.
Veronica adalah tipikal wanita yang akan menantang apapun itu masalahnya hingga ia mengetahui jika tak perlu menghabiskan waktu untuk memikirkannya lagi di masa depan.
Arkada memberikan kode dengan siulan pada anak buahnya agar membawa masuk satu pitcher minuman untuk Veronica.
"Kau haus?"
Arkada mengambil gelas berisi air minuman yang telah dituangkan anak buahnya, kemudian mencengkeram dagu Veronica untuk meminumkan paksa air yang secara khusus telah anak buahnya campur dengan obat perangsang dosis tinggi.
Pria tampan berambut gondrong itu berniat akan melecehkan Veronica dan merekam kegiatan mereka untuk dia jadikan alat memeras wanita itu yang sudah membuatnya merasa tersentil ego kelelakiannya.
Veronica menyentakkan wajahnya ke samping, sehingga air dalam gelas di tangan Arkada tumpah ke pakaiannya.
"Menarik!" Arkada berujar sambil membelai leher dan bagian depan dada Veronica yang basah oleh air minuman.
Senyuman mesum semakin tercetak lebar pada wajah Arkada.
"Kau?!"
Veronica menggeram emosi dan tepat ketika kedua tangan Arkada menyentak kemeja yang Veronica pakai terbuka lebar, wanita muda itu juga menyemburkan air ludah dari mulutnya ke wajah Arkada.
"Oh, kau suka bermain kotor, hem?"
Arkata mengelap wajahnya dengan kasar, lalu dengan sebelah tangan, pria itu menyentak rambut panjang Veronica ke belakang, kemudian mendaratkan bibirnya membungkam mulut Veronica.
"Uhmmmm ...!"
Veronica menggeram marah, namun justru Arkada ingin melepaskan tautan bibirnya. Veronica benar-benar menggigit bibir Arkada hingga merasakan darah asin mengalir masuk ke dalam mulutnya.
Plakk!!
Telapak tangan Arkada melayang tinggi ke wajah Veronica yang langsung terpaling ke samping dan akhirnya gigitan wanita itu pun terlepas dari bibirnya yang sudah berdarah-darah dibuatnya.
Anak buah Arkada yang tetap berdiri tidak jauh di belakang pria itu, bergegas keluar ruangan untuk mengambil kotak obat.
"Ternyata kau suka bermain kasar!"
Arkada mendengkus, kembali mendaratkan tamparan keras ke pipi Veronica yang lain. Selama ini tidak ada wanita yang berani menolak keinginan Arkada, bahkan ketika dia meminta bercinta dengan gaya paling ekstrem sekalipun.
Baru Veronica yang berani menggigit bibirnya sampai berdarah dan kini terkulai dengan sangat tidak seksi pada wajah tampannya.
Arkada meremas kasar buah dada Veronica yang telah terpampang jelas karena pakaiannya sudah tersentak koyak olehnya sebelumnya.
"Kau pasti menyukai permainanku dan aku tidak keberatan mengikuti cara kasarmu!"
Veronica berusaha melepaskan ikatan tali pada pergelangan tangannya di balik punggung. Menyadari hal itu, Arkada semakin tertawa menyeringai kejam, merundukkan wajah untuk menggigit buah dada ranum Veronica.
Veronica menggigit bibirnya menahan perih pada kulitnya yang di balas digigit berdarah oleh Arkada, Kedua kelopak matanya terpejam rapat, memikirkan berbagai macam kemungkinan untuk melepaskan diri dari pria laknat yang sedang mengambil keuntungan dari dirinya saat ini.
"Bawakan tali ke sini!" Arkada memberikan perintah tanpa menoleh ke arah pintu ruangan yang terdengar terbuka di belakangnya.
Seseorang yang dikira Arkada adalah anak buahnya masuk ke dalam ruangan, berjalan sambil menyeret tubuh pria yang ia pegangi, lengannya dipelintir ke belakang punggung.
"Saya tidak menemukan talinya, Tuan Muda Mussolini." ucap sang pria seraya mendorong tubuh pria yang ia pegangi hingga terjatuh ke atas lantai di depan Arkada.
"Siapa kau?"
Arkada mengangkat wajah, menghentikan penyiksaannya pada dada Veronica, memandang pria yang baru saja mendorong anak buahnya terjatuh ke lantai.
Zeze terkejut mendengar pemberitahuan Luca mengenai Felix butuh bantuan. Zeze sangat tahu kemampuan beladiri dan bertarung Pamannya, sangat tidak mudah dikalahkan. Gadis itu sudah lebih dulu bangun dan meloncat kemudian menghilang dari pandangan Simon. Felix adalah mantan prajurit Dubai sekaligus tangan kanan Ibrahim dahulunya. Tetapi kini, Felix terjungkal berkali-kali dan terkapar membatukkan darah segar keluar dari rongga mulutnya. Pria berpakaian hitam dengan tubuh lebih besar juga lebih tinggi dari Felix, kembali melangkah cepat hendak menghantam punggung Felix yang sedang tertelungkup terbatuk-batuk darah. "Hiyaaaaa ...!!" Zeze sudah berlari berkelebat dan 'Bugh ....' lutut Zeze langsung menyundul tubuh bagian depan prajurit yang mendekati Felix. Sang pria terkejut, langkah kakinya mundur beberapa kali, tetapi sama sekali tidak terjatuh. Sorot mata sang prajurit terlihat bersinar terang dibalik kacamata, begitu mengenali Zeze di depannya, target yang harus dilenyapkan!Zeze b
"Paman titip Nicca ya. Ini jarum kesukaanmu." Felix mengeluarkan sekotak jarum dari kantung celananya untuk diberikan pada Freyaa.Freyaa mengulum bibirnya sendiri, menatap kotak jarum, lalu memandang penuh harap ke netra Felix, "Eyaa boleh ikut dengan paman?" Felix berjongkok dan tersenyum lembut, ia memang sangat tak pandai membujuk wanita apalagi anak-anak. Namun justru sikapnya yang tak bisa membujuk tersebut terlihat jauh lebih jujur di mata Freyaa pun Veronica. Felix membelai pipi montok Freyaa yang sejak dari kediaman mereka di Palermo, tak ingin terpisah jauh darinya, "Paman Luca-mu mengirimkan titik koordinat Zee dan sepertinya saudarimu sedang dikepung musuh. Paman harus segera pergi untuk membantunya." Felix berhenti sejenak, menatap netra Freyaa yang bergerak-gerak memandangnya. "Setelah urusan Zee dan Simon selesai, paman janji akan membawanya pulang padamu. Oke?""Hansel dan Quince pergi ke Amalfi, jadi tak ada yang menjaga Nicca di dalam kamar. Kau mau 'kan bantu pama
Sejak Luca siuman, Effren tak berhenti-henti keluar masuk kamar adik lelakinya itu. Ada saja yang ia bawa sebagai alibi agar tak diusir oleh Luca. "Kenapa kau kemari lagi? Kau belum tidur atau mau tidur di kamarku?!" dengkus Luca sinis tanpa melihat kedatangan Effren yang membawa nampan berisi makanan untuknya. "Mc Z bilang, kau sudah boleh makan pangsit. Anjo tadi membuatnya." sahut Effren tak peduli sesinis apapun Luca, tetap berkata santai. Luca menoleh, memajukan bibirnya dan mengulum kekesalan, "Letakkan aja di situ. Nanti ku makan." ucap Luca sembari memberi kode ke arah nakas. Hanya ada mereka berdua di dalam kamar. Michele dan Lucy yang sebelumnya menemani Luca, telah pria itu suruh istirahat karena mereka akan sering terjaga menyusui bayi tanpa kenal waktu dan jam. Effren menarik kursi ke sebelah ranjang hidroulik tempat Luca berbaring, "Buka mulutmu, aku suapi. cepatlah ...aaaakkk ..." "Stop, Effren! Dari sekian banyak pelayan di kediaman ini, kenapa harus kau yang meny
Tendangan demi tendangan dan tinju terkepal kuat saling beradu yang membuat ngilu pangkal lengan, beberapa kali pula Zeze dan Tony terjatuh terguling-guling di tanah paving yang keras.Mereka berdua memang lawan seimbang. Zeze bahkan seperti sedang berlawanan dengan Luciano, Didinya. Namun buru-buru ia enyahkan pikiran tersebut karena orang yang ada di depannya kali ini harus ia bunuh dengan sangat mengenaskan.Helm di kepala Tony sudah sejak tadi ia lepas, pun keadaan yang sama dengan Zeze, melepaskan helm berikut alat komunikasi radionya agar tidak membuat cemas Simon, Pierre, Asael, Owen dan para anak buahnya. Bughhh ...! Tubuh Tony ditendang kasar dan pria itu berusaha menghindar hingga melayang tinggi lalu mendarat dengan sangat keras di atas tanah paving. "Uhugk!" Tony memuntahkan darah ke tanah, mengelap sudut bibir menggunakan jempol, berguling ke samping sebelum bangun, sedangkan Zeze kembali berlari ke arahnya.Di bawah sinar bulan, rambut yang terikat tinggi di puncak k
Jessica berjalan bolak-balik dalam ruangannya yang merupakan resort pribadi ia sewa khusus ketika berada di Sorrento. "Kau mengantarkan nyawa datang kemari bukan? Maka aku harus menghargai dan memberikan kematian cepat padamu!" gumam Jessica sambil mencengkeram menggenggam tangan dan kuku runcingnya menusuk telapak tangan sendiri, tak ia rasakan meskipun ada darah yang merembas keluar. Entah apa tujuan Jessica yang sebenarnya, ia terlihat sangat mendendam pada keluarga Salvatore. Hatinya tak puas ketika mendengar kabar dari anak buahnya menyebutkan Jonathan Johnson yang merupakan 'Papa' anak-anak Salvatore telah tewas dalam kecelakaan, pun ia hanya terlihat berwajah masygul saat mendapatkan informasi mengenai Luca Salvatore juga sudah berhasil mereka bidik dengan tembakan jarak jauh, dipastikan tewas. Zetha meminta Effren dan semua anggota keluarga Salvatore, termasuk pasukan khusus mereka agar menunjukkan belasungkawa atas 'tewasnya' Luca Salvatore, meskipun tidak ada pengumuman re
"Sudah pesan makanan? Hidangan laut restoran ini sangat enak ..." Pierre bertanya seraya langkah kakinya terburu-buru menghampiri Zeze yang duduk santai di kursi dan bibir gadis itu mengulum senyum dengan tatapan iseng. Beberapa saat lalu Luciano, keponakannya Pierre menghubungi via telpon akan kamar tidur Pierre di kediaman mereka berantakan. Karena suara ombak terlalu besar, Pierre ijin pada Zeze agar bisa jelas menjawab telpon dari keponakannya di bagian dalam restoran, lalu meminta Zeze memesan makanan apapun yang ia sukai. "Uhm, sudah. Tapi aku belum tau Daddy Pierre sukanya apa, jadi ...aku pesan ini porsi jumbo." Zeze menyahut mengarahkan tatapannya ke atas meja. Pierre baru saja menghenyakkan bokongnya pada kursi di seberang Zeze, kedua bola matanya terbeliak lebar melihat menu yang di pesan oleh gadis mudanya. Sebuah sosis super duper jumbo dengan saos barbeque mix keju dan tomat yang dilumuri di bagian atasnya, disajikan dikelilingi sayuran serta kentang tumbuk."Apakah s