로그인Jari-jari Elena Wijaya diciptakan untuk menari di atas tuts piano, menciptakan melodi yang indah dan menenangkan. Namun, takdir memaksanya memainkan lagu kematian di dalam sangkar emas milik seorang monster. Damian Kael, sang penguasa dunia bawah yang dijuluki "The Devil", tidak menginginkan uang sebagai pelunas utang ayah Elena. Ia menginginkan Elena. Seutuhnya. Tubuhnya, napasnya, hingga jiwanya. Terjebak di sebuah mansion mewah yang terisolasi, Elena harus bertahan hidup di antara kegelapan yang menyelimuti Damian. Namun, semakin keras ia mencoba lari, semakin erat jerat obsesi Damian melilitnya. Ketika rasa takut perlahan berubah menjadi ketergantungan yang menyakitkan, Elena dihadapkan pada satu pertanyaan mematikan: Apakah ia bisa menyelamatkan diri tanpa kehilangan hatinya pada sang Iblis?
더 보기Hujan di luar jendela taksi tidak lagi sekadar air yang jatuh dari langit; ia telah berubah menjadi tirai abu-abu yang menenggelamkan Jakarta. Gedung-gedung pencakar langit hanya tampak seperti bayangan raksasa yang bersembunyi di balik kabut, mengintip dengan mata-mata lampu neon yang buram.
Elena duduk mematung di kursi belakang. Tangannya yang dingin saling meremas di atas pangkuan, buku-bukunya memutih. Bau jok kulit sintetis yang apek dan pengharum mobil aroma jeruk murahan membuat perutnya semakin mual, namun rasa mual itu tak sebanding dengan teror yang melilit ususnya. "Mbak, yakin mau turun di lobi depan?" tanya sopir taksi, memecah keheningan panjang. Matanya melirik ragu lewat spion tengah. "Itu Sky Tower, Mbak. Biasanya taksi kayak gini nggak boleh masuk sampai drop-off utama. Satpamnya galak-galak." Elena menelan ludah yang terasa seperti pasir. "Turunkan saya di gerbang depan saja kalau begitu, Pak." Sky Tower. Gedung itu adalah legenda urban di kalangan warga Jakarta, namun bukan jenis legenda yang diceritakan dengan kekaguman. Itu adalah monumen kekayaan yang vulgar dan kekuasaan yang tak tersentuh. Sebuah menara kaca hitam setinggi lima puluh lantai yang menjulang angkuh di pusat distrik bisnis, seolah menantang langit. Orang bilang, hukum Indonesia berhenti berlaku begitu kau melewati gerbang otomatissnya. Di dalam sana, hukum dibuat oleh mereka yang memiliki uang paling banyak. Dan malam ini, Elena menyerahkan dirinya ke tempat itu. Taksi berhenti sepuluh meter dari pos penjagaan yang megah. Elena membayar dengan tangan gemetar, lalu keluar. Hujan badai langsung menyambutnya, menghantam tubuhnya tanpa ampun. Jaket tipis yang ia kenakan basah kuyup dalam hitungan detik, menempel di kulitnya yang menggigil. Rambutnya yang tadi sempat ia rapikan kini kembali lepek, menempel di wajahnya yang pucat. Dia berdiri di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi. Dua orang penjaga berseragam safari hitam—bukan seragam satpam biasa, melainkan setelan taktis yang ketat—segera menghadangnya. Tubuh mereka besar, tegap, dengan earpiece melingkar di telinga. Di pinggang mereka, Elena bisa melihat tonjolan yang jelas. Pistol. "Area privat," kata salah satu penjaga dengan suara datar. Wajahnya keras seperti batu granit. Dia tidak membentak, tapi nada bicaranya menyiratkan ancaman yang jelas. "Pergi sebelum kami menyeretmu." Mereka melihat Elena sebagai sampah. Seorang gadis basah kuyup, berantakan, dengan sepatu sneakers kotor, yang tersesat ke istana para dewa. Elena tidak mundur. Dia tidak bisa mundur. Bayangan apartemennya yang hancur dan darah di lantai kayu masih menghantui pelupuk matanya. Dengan jari yang kaku karena kedinginan, Elena merogoh saku celananya dan mengeluarkan kartu hitam itu. Kartu dengan lambang ular melilit pedang. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi, membiarkan air hujan membasahi permukaan beludru kartu tersebut. "Aku... aku punya undangan," suaranya serak, nyaris hilang ditelan suara guntur. Penjaga itu menyipitkan mata. Senter di tangannya menyorot kartu itu, lalu beralih menyorot wajah Elena dengan silau yang menyakitkan. Sikap tubuh penjaga itu berubah seketika. Ketegangan yang tadi bersifat mengusir, kini berubah menjadi kewaspadaan militer. Dia menekan earpiece-nya. "Elang Satu melapor. Ada tamu dengan kartu hitam. Kode Viper. Seorang wanita. Ya. Dimengerti." Penjaga itu menurunkan senternya. Dia menatap Elena lagi, kali ini bukan dengan penghinaan, melainkan dengan tatapan aneh—campuran antara rasa hormat yang terpaksa dan... rasa kasihan? "Masuk," katanya singkat. Gerbang besi raksasa itu bergeser terbuka dengan dengungan mesin hidrolik yang halus. "Seseorang akan menjemputmu di lobi." Elena melangkah masuk. Kakinya terasa berat, seolah dia sedang berjalan menuju tiang gantungan. Setiap langkah membawanya semakin jauh dari dunia normal yang dia kenal, dan semakin dalam ke wilayah kekuasaan Damian Kael. Lobi Sky Tower terasa seperti katedral modern yang dingin. Lantainya terbuat dari marmer hitam Italia yang dipoles begitu licin hingga memantulkan bayangan Elena seperti cermin air yang gelap. Dindingnya kaca setinggi sepuluh meter, menampilkan pemandangan badai di luar seolah-olah itu adalah lukisan bergerak. Ruangan itu hening. Tidak ada suara hiruk pikuk kota. Bahkan suara hujan pun teredam sempurna oleh kaca kedap suara. Yang terdengar hanya bunyi squish-squish dari sepatu basah Elena yang merusak kesempurnaan tempat itu. AC sentral berhembus kencang, membuat tubuh basahnya menggigil hebat. Giginya mulai beradu. "Nona Elena Wijaya?" Suara itu datang dari arah lift pribadi di ujung ruangan. Halus, sopan, namun memiliki ketajaman yang tersembunyi. Elena mendongak. Seorang pria berdiri di sana. Dia mengenakan setelan jas abu-abu tiga potong yang dijahit sempurna, membungkus tubuhnya yang ramping namun atletis. Rambutnya pirang gelap, disisir rapi ke belakang. Kacamata berbingkai perak bertengger di hidungnya yang mancung, memberikan kesan intelektual. Namun, Elena tahu lebih baik daripada tertipu oleh penampilan. Di tempat ini, iblis tidak memakai tanduk; mereka memakai Armani. "Saya Victor," pria itu memperkenalkan diri sambil berjalan mendekat. Langkahnya tidak bersuara. "Asisten pribadi Tuan Kael. Kami sudah menunggu Anda." "Ayahku..." Elena memaksakan suara keluar dari tenggorokannya yang kering. "Di mana dia?" Victor tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. Mata di balik lensa kacamata itu berwarna biru pucat, sedingin es, dan sedang memindai Elena dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menilai. Mengalkulasi. "Mari kita bicarakan itu di atas," jawab Victor tenang. "Tuan Kael tidak suka menunggu, dan Anda sudah menghabiskan 82 menit dari waktu yang diberikan. Anda nyaris terlambat, Nona Wijaya." Victor berbalik dan memberi isyarat agar Elena mengikutinya. Elena menyeret kakinya mengikuti pria itu. Mereka melewati meja resepsionis yang kosong, menuju lift khusus yang terpisah dari lift umum. Panel lift itu tidak memiliki tombol angka, hanya pemindai biometrik. Victor menempelkan telapak tangannya, dan pintu lift terbuka tanpa suara. Interior lift itu dilapisi cermin emas dan kulit. Begitu pintu tertutup, sensasi naik yang cepat membuat perut Elena bergejolak. Telinganya berdenging karena perubahan tekanan udara. Mereka naik sangat tinggi, sangat cepat. "Lantai 50," gumam Elena, melihat angka digital yang berkedip cepat di layar atas pintu. "Penthouse," koreksi Victor tanpa menoleh. Dia berdiri tegak dengan tangan tertaut di belakang punggung. "Dunia Tuan Kael ada di puncak. Dia suka melihat segala sesuatu dari atas." "Kenapa dia melakukan ini?" tanya Elena tiba-tiba. Pertahanan dirinya mulai retak karena ketegangan. "Ayahku hanya seorang akuntan tua yang bodoh. Uang itu... kami bisa mencarinya. Kenapa harus menculiknya?" Victor akhirnya menoleh. Tatapannya membuat Elena merasa kecil. "Uang?" Victor tertawa pelan, tawa yang kering tanpa humor. "Nona Wijaya, bagi Tuan Kael, uang yang diambil ayahmu hanyalah recehan. Hilangnya uang itu tidak mengganggu neraca keuangannya sedikit pun." "Lalu kenapa?" "Prinsip," jawab Victor dingin. "Di dunia kami, pengkhianatan adalah kanker. Jika satu sel kanker dibiarkan hidup, ia akan menyebar. Ayahmu tidak hanya mencuri; dia mencoba menjual informasi rahasia klien kami kepada pesaing. Itu dosa yang tidak bisa ditebus dengan uang." Napas Elena tercekat. Ayahnya tidak pernah memberitahukan bagian itu. Handry hanya bilang dia menggelapkan uang untuk judi. Tapi menjual informasi? Itu sama saja dengan bunuh diri di dunia kriminal. "Jadi... kalian akan membunuhnya?" bisik Elena. Ting. Pintu lift terbuka sebelum Victor sempat menjawab. Pemandangan di depan Elena membuatnya tertegun sejenak, melupakan ketakutannya barang sedetik. Penthouse itu luasnya luar biasa, tanpa sekat dinding yang membatasi pandangan. Seluruh dinding luarnya adalah kaca, menyajikan panorama 360 derajat kota Jakarta yang sedang diamuk badai. Kilat menyambar di kejauhan, menerangi ruangan yang temaram itu dengan cahaya putih kebiruan sesaat. Desain interiornya minimalis, maskulin, dan sangat gelap. Sofa kulit hitam, meja dari kayu ebony, karpet bulu tebal berwarna abu-abu arang. Tidak ada foto keluarga, tidak ada bunga, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang hangat. Ruangan ini indah, tapi mati. Seperti mausoleum. Udara di sini berbau tembakau mahal, kayu cendana, dan sesuatu yang lebih tajam—aroma bahaya. "Tunggu di sini," perintah Victor. Dia menunjuk ke arah sofa tunggal di tengah ruangan. "Jangan sentuh apa pun. Jangan berjalan-jalan. CCTV mengawasi setiap inci ruangan ini, dan penembak jitu otomatis aktif di balkon." Elena tidak tahu apakah Victor bercanda soal penembak jitu, tapi dia tidak berani mengambil risiko. Dia berjalan kaku dan duduk di tepi sofa. Air dari pakaiannya menetes ke karpet mahal di bawah kakinya, menciptakan genangan kecil. Dia merasa kotor, merasa seperti noda di tengah kemewahan yang steril ini. Victor menghilang ke balik sebuah pintu ganda besar dari kayu mahoni di ujung ruangan, meninggalkan Elena sendirian. Detik demi detik berlalu. Keheningan di ruangan itu mencekik. Hanya ada suara detak jam antik besar di sudut ruangan dan detak jantung Elena sendiri yang berpacu liar. Dia mengedarkan pandangan. Di dinding sebelah kiri, ada sebuah lukisan besar. Abstrak, dengan dominasi warna merah darah dan hitam. Lukisan itu tampak kacau, penuh goresan kasar yang menyiratkan kemarahan pelukisnya. Semakin lama Elena menatapnya, semakin dia merasa lukisan itu sedang berteriak padanya. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki. Bukan langkah kaki Victor yang ringan. Ini langkah kaki yang berat, berirama, dan lambat. Langkah kaki seorang predator yang tidak perlu terburu-buru karena mangsanya sudah terperangkap. Pintu mahoni ganda itu terbuka lebar. Dua orang penjaga menyeret sesuatu keluar dari ruangan itu dan melemparnya ke lantai tepat di depan kaki Elena. "AYAH!" jerit Elena. Dia melompat dari sofa dan menjatuhkan diri ke lantai, meraih tubuh ayahnya. Kondisi Handry Wijaya mengerikan. Wajahnya lebam hingga nyaris tak dikenali. Bibirnya pecah, dan salah satu matanya bengkak menutup. Pakaiannya robek-robek, memperlihatkan noda darah yang merembes di kemejanya. "El... Elena..." Handry merintih, matanya yang masih berfungsi sedikit terbuka. "Lari..." "Apa yang kalian lakukan padanya?!" Elena berteriak, menoleh ke arah pintu yang terbuka. Kemarahan meledak di dadanya, mengalahkan rasa takutnya. Dia memeluk kepala ayahnya, berusaha melindunginya dari monster-monster ini. Dari kegelapan ruangan kerja itu, sesosok pria melangkah keluar. Cahaya kilat kembali menyambar di luar jendela, menerangi siluet pria itu. Dia tinggi, jauh lebih tinggi dari Victor. Bahunya lebar, terbalut kemeja putih yang lengan bajunya digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kuat dengan tato samar yang melingkar di pergelangan tangannya. Kancing teratas kemejanya terbuka, memperlihatkan sedikit dada bidangnya. Wajahnya seperti pahatan patung Romawi—tampan, tegas, dengan rahang yang kuat. Namun, matanya adalah hal yang paling menakutkan. Mata itu berwarna abu-abu gelap, setajam silet, dan kosong dari emosi manusiawi. Tidak ada kemarahan, tidak ada kegembiraan. Hanya kehampaan yang dingin. Damian Kael. Sang Iblis. Dia memegang gelas kristal berisi cairan berwarna amber di satu tangan, dan sebuah pistol hitam matte di tangan lainnya. Pistol itu tampak santai dalam genggamannya, seolah itu adalah perpanjangan alami dari tubuhnya. "Aku tidak suka suara berisik," suara Damian rendah, dalam, dan bergetar dengan otoritas mutlak. Dia tidak berteriak, tapi suaranya mengisi seluruh ruangan, membungkam tangisan Elena. Dia berjalan mendekat, langkahnya pelan dan mengintimidasi. Sepatu kulitnya berhenti tepat di depan wajah Elena yang sedang berlutut memeluk ayahnya. Elena mendongak, menatap mata monster itu dengan air mata berlinang namun dagu terangkat. "Kau... kau menyiksanya." Damian menatap Elena. Dia tidak melihat ke arah Handry yang mengerang kesakitan; dia hanya menatap Elena. Matanya menelusuri wajah Elena yang basah, rambutnya yang berantakan, dan matanya yang menyala karena benci. Sesuatu berkedip di mata abu-abu itu—sepercik ketertarikan. "Dia mencuri dariku," kata Damian datar. Dia berjongkok perlahan, menyamakan tingginya dengan Elena. Aroma whisky dan musk menguar dari tubuhnya, memabukkan sekaligus mematikan. "Di duniaku, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan." Damian mengangkat pistolnya, dan dengan gerakan santai, menempelkan laras dingin itu ke pelipis Handry. "TIDAK!" Elena menjerit, refleks mencengkeram pergelangan tangan Damian. Ruangan itu hening seketika. Para penjaga di belakang menahan napas. Victor yang berdiri di sudut ruangan sedikit melebarkan matanya. Tidak ada yang pernah berani menyentuh Damian Kael. Tidak ada yang berani menyentuh tangan penembaknya. Elena menyadari kesalahannya sedetik kemudian. Tangannya gemetar di atas kulit hangat pergelangan tangan Damian. Dia bisa merasakan denyut nadi pria itu—tenang, lambat, stabil. Kontras dengan jantung Elena yang rasanya mau meledak. Damian tidak menarik tangannya. Dia menatap tangan kecil Elena yang pucat mencengkeram lengannya, lalu tatapannya naik ke mata Elena. Sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk seringai yang mengerikan. "Nyali yang besar untuk seekor tikus kecil," bisik Damian. Jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter. Elena bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya. "Kau ingin menyelamatkannya?" "Tolong..." Elena memohon, suaranya bergetar. Dia tidak melepaskan tangan Damian. Itu adalah satu-satunya hal yang menahan pelatuk itu ditarik. "Ambil apa saja. Aku akan melakukan apa saja. Jangan bunuh dia." "Apa saja?" ulang Damian. Nada suaranya berubah, menjadi lebih berat, lebih gelap. Dia berdiri tegak kembali, menarik tangannya dari cengkeraman Elena dengan mudah, seolah tenaga Elena tidak ada artinya. Dia menatap Elena dari ketinggian, seperti dewa yang sedang mempertimbangkan nasib manusia fana. "Victor," panggil Damian tanpa menoleh. "Ya, Tuan." "Bawa sampah tua ini ke ruang bawah tanah. Obati lukanya agar dia tidak mati karena infeksi. Tapi jangan beri makan." "Baik, Tuan." Dua penjaga segera menyeret Handry menjauh. Handry meronta lemah, memanggil nama Elena, tapi suaranya menghilang saat pintu lift tertutup membawanya pergi. Kini, hanya tinggal Elena dan Damian di ruangan luas itu. Elena bangkit berdiri, kakinya goyah. Dia merasa telanjang di bawah tatapan tajam pria itu. "Kau... kau bilang akan melepaskannya jika aku datang." "Aku bilang aku tidak akan mengirim kepalanya dalam paket jika kau datang," koreksi Damian. Dia berjalan menuju meja bar di sudut, menuang ulang minumannya. "Dia masih hidup. Kepalanya masih di lehernya. Aku menepati janji." Damian berbalik, bersandar pada meja bar, menyesap minumannya sambil menatap Elena. "Sekarang, mari bicara soal harga nyawa ayahmu." "Berapa?" tanya Elena cepat. "Berapa utangnya?" "Tiga puluh miliar rupiah," jawab Damian santai, seolah dia sedang menyebut harga permen. "Ditambah bunga berjalan, dan denda atas kebocoran informasi. Totalnya sekitar empat puluh lima miliar." Dunia Elena berputar. Empat puluh lima miliar. Dia bahkan tidak bisa membayangkan tumpukan uang sebanyak itu. Seumur hidupnya bermain piano pun tidak akan cukup untuk membayarnya. "Aku... aku tidak punya uang sebanyak itu," bisik Elena. Harapannya hancur berkeping-keping. "Aku tahu," kata Damian. Dia meletakkan gelasnya dengan bunyi klak yang tajam di atas meja. Dia melangkah mendekati Elena lagi. Kali ini dia tidak berhenti sampai ujung sepatu mereka bersentuhan. Elena harus mendongak tajam untuk menatap wajahnya. Aura dominasi pria itu begitu kuat hingga membuat udara di sekitar mereka terasa menipis. Damian mengulurkan tangan. Jari-jarinya yang kasar namun elegan menyentuh dagu Elena, memaksanya untuk tetap menatap mata abu-abunya. Sentuhan itu panas, mengirimkan sengatan listrik aneh ke tulang belakang Elena. "Aku tidak butuh uangmu, Elena," suara Damian merendah menjadi bisikan serak yang berbahaya. "Aku punya lebih banyak uang daripada yang bisa kuhabiskan dalam sepuluh masa kehidupan." "Lalu... apa yang kau inginkan?" Ibu jari Damian mengusap bibir bawah Elena yang gemetar. Gerakan itu hampir lembut, namun matanya berkilat posesif. "Kau," jawabnya. Satu kata yang jatuh seperti palu hakim. "Aku?" "Kau akan tinggal di sini. Di rumah ini. Di bawah aturanku," kata Damian. Matanya menggelap, pupilnya membesar. "Kau akan menjadi milikku. Menjadi bayanganku. Menjadi mainanku jika aku bosan, dan menjadi pianisku jika aku ingin musik." Damian mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyapu telinga Elena. "Satu tahun. Serahkan tubuh dan jiwamu padaku selama satu tahun. Dan aku akan menganggap utang ayahmu lunas." Dia menarik diri sedikit untuk melihat reaksi Elena. "Tolak, dan aku akan mengirim jari-jari ayahmu satu per satu setiap jam. Mulai dari sekarang." Elena membeku. Pilihan itu bukan pilihan. Itu adalah jalan buntu. Di satu sisi adalah kematian ayahnya yang menyakitkan. Di sisi lain adalah perbudakan pada pria yang lebih mirip monster daripada manusia. Dia menatap mata kelam Damian, mencari setitik belas kasih, tapi dia tidak menemukannya. Dia hanya menemukan kegelapan yang siap menelannya bulat-bulat. Elena memejamkan mata, air mata terakhir menetes jatuh ke tangan Damian yang masih mencengkeram dagunya. "Baik," bisiknya, suaranya pecah namun tegas. "Aku milikmu." Damian tersenyum. Bukan senyum mengejek seperti tadi, tapi senyum kemenangan. Senyum seorang predator yang baru saja mendapatkan mangsanya. "Keputusan yang bijak, Little Pianist," katanya. "Selamat datang di neraka." Guntur menggelegar di luar, seolah alam semesta sedang menutup pintu keluar bagi Elena, menguncinya dalam sangkar emas bersama sang Iblis.Benda itu terasa dingin di telapak tangan Elena, namun memancarkan kehangatan sejarah yang aneh.Elena duduk di tepi tempat tidur, sinar matahari pagi membanjiri kamarnya, membuat berlian-berlian kecil pada bros perak berbentuk bunga lili itu berkilauan. Bros itu tidak besar, tidak mencolok seperti perhiasan orang kaya baru yang norak. Desainnya kuno, Art Nouveau, dengan lekukan perak yang elegan menyerupai kelopak bunga yang sedang mekar. Logamnya sedikit kusam di bagian lipatan, tanda bahwa benda ini sering disentuh, sering dipegang, mungkin ditenangkan."Terima kasih."Dua kata di kertas kuning itu masih tergeletak di meja nakas. Tulisan tangan Damian—tajam, miring ke kanan, penuh tekanan—seolah menatapnya.Pintu kamar Elena terbuka setelah ketukan singkat. Victor masuk membawa nampan sarapan dan koran pagi yang sudah disetrika (kebiasaan aneh orang kaya lama)."Selamat pagi, Nona," sapa Victor. Wajahnya segar, seolah semalam dia tidak sedang memegang senapan serbu di lobi. "
Pintu itu terkunci. Gerendel besi itu terpasang kokoh. Namun, Elena belum pernah merasa seterbuka dan serentan ini seumur hidupnya.Di dalam kamar tidurnya yang mewah namun menyesakkan, Elena duduk meringkuk di sudut ruangan, di celah sempit antara lemari pakaian dan dinding. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha membuat tubuhnya sekecil mungkin agar tidak terlihat oleh bahaya yang sedang mengamuk di luar sana.Jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.45 dini hari.Sudah lima jam sejak Damian membentaknya untuk masuk. Lima jam sejak Clair de Lune yang damai digantikan oleh dering telepon yang membawa kabar kematian.Selama lima jam itu, Sky Tower tidak lagi menjadi hunian sunyi di atas awan. Tempat ini telah berubah menjadi markas komando perang.Meskipun dinding kamarnya kedap suara, getaran dari aktivitas di luar merembes masuk. Elena bisa merasakan langkah-langkah kaki berat yang berlari di koridor marmer—bukan satu atau dua orang, tapi lusinan. Dia mendengar suara bip t
Bunyi bor listrik yang mendengung tajam memecah keheningan sore di penthouse Sky Tower. Suaranya menyakitkan telinga, menggema di lorong marmer yang biasanya sunyi senyap seperti makam.Elena berdiri di ambang pintu kamarnya, melipat tangan di dada, mengawasi pekerjaan itu dengan tatapan kosong.Seorang teknisi bertubuh kekar, mengenakan jumpsuit abu-abu tanpa logo perusahaan, sedang melubangi pintu kayu mahoni kamarnya yang tebal. Serbuk kayu berjatuhan ke karpet mahal. Di sebelahnya, Victor berdiri tegak seperti patung penjaga, mengawasi setiap gerakan teknisi itu dengan mata elang."Besi baja padat, silinder ganda," jelas Victor tanpa diminta, suaranya berusaha menyaingi bunyi bor. "Tidak bisa dibobol dari luar tanpa alat peledak atau kunci induk elektronik yang hanya dipegang oleh saya dan sistem keamanan pusat. Tuan Kael sendiri tidak memegang kunci fisiknya."Elena menatap lubang yang baru terbentuk di pintu itu. "Jadi, ini kandang di dalam kandang?""Ini privasi, Nona," koreksi
Cermin tidak pernah berbohong, dan pagi ini, kejujuran cermin itu terasa brutal.Elena berdiri di kamar mandi pribadinya, jemarinya yang gemetar menyentuh kulit lehernya. Di sana, tercetak jelas jejak malam neraka yang baru saja ia lewati. Kulitnya yang putih pucat kini dinodai oleh warna ungu kebiruan dan merah padam. Bentuknya bukan sekadar memar acak; itu adalah cetakan jari. Empat di satu sisi, satu jempol di sisi lain.Tanda cengkeraman.Setiap kali Elena menelan ludah, rasa sakit yang tajam menjalar hingga ke rahangnya, mengingatkannya betapa dekatnya ia dengan kematian beberapa jam yang lalu.Dia masih hidup. Jantungnya masih berdetak, meski iramanya kacau. Namun, bayangan Damian—mata yang melebar tanpa pupil, gigi yang gemeretuk, dan teriakan *"Mama"* yang memilukan—terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Elena mundur dari cermin, menarik kerah piyama sutranya tinggi-tinggi untuk menutupi tanda itu. Dia merasa mual. Bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi karena ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.