Freyaa akhirnya bisa tenang dan tidur kembali dalam pelukan hangat Zetha dan Luciano yang tak henti-hentinya memberikan kecupan ke kepala putri bungsu mereka tersebut.Sementara Zeze dan Simon baru saja tiba di Sorrento. Dominic telah memesankan mereka connecting room di sebuah hotel mewah, pusat kota Sorrento. "Uch, nikmatnya meluruskan punggung!" seru Zeze tertawa kecil seraya membaringkan punggungnya ke permukaan ranjang. "Ganti bajumu dulu, Young Lady." Simon turut terkekeh, tak lupa mengingatkan adik perempuannya agar tidak langsung tidur menggunakan pakaian yang ia pakai dari luar. "Sebelum tidur, jangan lupa berdoa dulu." ucap Simon kembali, sesudah ia meletakkan tas punggung berisi pakaian Zeze juga dirinya pada atas meja. Waktu masih menunjukkan dinihari di Sorrento. "Aku mau mengejutkan Pierre ahhh ..."Zeze meraih ponselnya, hendak menghubungi Pierre yang seolah gadis muda itu lupa jika sekarang belum pagi. "JIka sekarang kau mengejutkan Pierre ...aku yakin ia benar-b
Luciano keluar dari ruangan perawatan Luca sembari membopong Zeze yang belum puas ia manjakan, mereka masuk ke dalam ruangan tempat Michele dan Damon sedang didampingi Susie bersama Anjo. Effren yang melihat pemandangan Zeze di bopong oleh Luciano, rongga dadanya yang seperti digantungi batu besar, semakin terasa berat. ditambah langkah kaki Lucy yang ia gandeng terseok-seok. "Kendalikan dirimu, Young Lady, kendalikan dirimu ..." bisik Effren seraya mengeratkan lengannya memeluk pinggang Lucy, adik perempuannya, saudara kembarnya Luca. "A-aku ...tidak bisa hidup tanpa ...Luca ..." Lucy mencicit sedih. Bibir Effren tak sanggup berkata, ia benar-benar merasa menyesal karena sejak Luca menginjak usia dewasa, ia seperti bermusuhan dengan adik lelakinya itu.Effren pun teringat bagaimana ia pernah menghajar Luca habis-habsan sampai hampir sekarat, namun tak sekalipun adik lelakinya tersebut membalasnya. Luca juga yang selalu pasang badan melindungi mereka semua sekeluarga besar Salvat
Rombongan Effren, Zeze, Massimo, Megan dan Simon membawa Luca tiba di kediaman Salvatore dengan pengawalan ketat pasukan khusus yang dipimpin langsung oleh Ubba dan Bonnie. "Luca ...." Langkah kaki Lucy terseok menyongsong sampai ke pintu depan, pada genggaman telapak tangannya masih terdapat handuk kecil yang bernoda darah. Ikatan bathin Luca dan Lucy masih seperti biasa, Lucy tiba-tiba mengalami mimisan parah di kediaman. Effren langsung berlari memeluk Lucy ke depan dada, "Young Lady ..." bisiknya tercekat dan beban berat seakan berkumpul memberatkan sekaligus membuat rongga dadanya terasa seperti membengkak. Zetha, Ariana dan Luciano bersama Simon sudah membawa Luca ke ruangan khusus perawatan yang sengaja disediakan dalam kediaman Salvatore. "Aku menghentikan pernapasan paman untuk sementara. Pelurunya sudah dikeluarkan dan pendarahannya juga telah dihentikan." lapor Simon pada Zetha dan Ariana yang membuka pakaian Luca, hanya melihat bebat perban mengeliling tubuh Luca bagia
Simon tak banyak bicara dalam memberikan perawatan pada Luca. Namun Zeze sigap membantu di sebelahnya, termasuk siap sedia dengan lap handuk untuk menyerap darah Luca yang keluar. Sementara Luca sendiri telah dibius lokal namun pria itu tak membuka mulut ataupun kelopak matanya sama sekali. Hal ini meringankan tugas Simon melakukan pembedahan darurat mengeluarkan peluru juga memperbaiki kerusakan pada perikardum parietal, lapisan luar pelindung jantung, tempat bersarangnya peluru. "Bawakan air hangat lagi," pinta Simon pada Megan yang membantu membawakan dan mengganti air hangat untuk steril alat-alat medis yang akan digunakan oleh Simon. Massimo mengelap keringat Simon juga sesekali membantu pekerjaan sepupunya tersebut seperti mengambilkan pinset dan lain-lain. Sedangkan Effren berjaga dengan senapan dan kacamata yang di berikan Luca pada Zeze, bertengger pada atas batang hidung mancungnya. Kacamata canggih yang bisa berfungsi seperti teropong jarah jauh dan mendeteksi suhu tubuh
Effren tetap berjaga di depan ruangan Michele meskipun Zetha melarangnya masuk ke dalam, begitu matanya melihat Simon keluar dari ruangan tergesa-gesa membawa tas berisi peralatan medis, Effren langsung berdiri siaga, "Kau mau kemana?" "Massimo ..." Belum selesai perkataan Simon menjawab pertanyaan Effren, lengannya sudah ditarik cepat, "Ayah akan mengantarmu, ayo!" Simon mengangguk setuju karena kehandalan Effren menyetir mobil bisa lebih gila, sama seperti Mumma dan Didinya."Massimo ada di mana?" "Di Trapani, kediaman paman Luca." Setelah pertanyaan pendek Effren dan jawaban singkat Simon, tidak ada lagi pembicaraan terjadi selama dalam perjalanan. Kini, mobil yang dikemudikan Effren sangat cepat tersebut telah sampai di depan pintu gerbang kediaman Luca yang berpagar besi tinggi juga kokoh. "Sensornya sepertinya rusak, aku akan memeriksanya." ucap Simon karena berkali-kali ia mencoba membuka pintu gerbang menggunakan sistim protokol, tetap tidak terbuka. Baru saja beberapa l
Massimo membaringkan tubuh Luca telentang dan ia sudah memberikan totokan guna menghentikan pendarahan keluar. "Luca, please ...bertahan demi Michele dan anak kalian," biisk Massimo lirih. Tangan Luca meraih pergelangan tangan Massimo, lalu berkata pelan, "Tolong lindungi Zee, sepertinya ada pengkhianat diantara para pekerjaku." "Zee sudah melesat ke hutan, Megan menyusulnya." sahut Massimo sambil mengeluarkan ponsel di kantung celana, langsung menghubung Simon di kediaman Salvatore. "Jangan tidur, Luca!" Massimo menepuk sedikit keras pipi Luca yang kelopak matanya mulai terpejam rapat, "Simon sudah dalam perjalanan ke sini." "Aku lelah, Mass ...tolong ambilkan aku minum ..." Luca berkata terbata dengan kelopak matanya tetap terpejam rapat. Sebenarnya Luca sengaja menutup kelopak matanya karena sedang mengolah napasnya sendiri perlahan-lahan dari rasa panas, ngilu, perih, sakit dan sesak pada rongga dadanya. Gegas Massimo bangkit dan mengambil botol air minum yang sebelumnya su