Neil adalah seorang bandar narkoba besar yang memiliki kekayaan tak terbatas jumlahnya. Ia berada di puncak kejayaan, sekaligus di ambang kehancuran. Vonis hidup yang kian menipis dan ancaman dari orang-orang terdekat membuatnya harus berpacu dengan waktu. Mampukah Neil melindungi diri sekaligus membongkar kejahatan besar yang mengintainya dari balik bayang-bayang kekuasaan?
View MorePukul 03.12 dini hari. Udara di pelabuhan terasa dingin dan lembap. Beberapa kapal barang bersandar di dermaga tanpa suara. Lampu-lampu pelabuhan sebagian padam, menyisakan kegelapan yang cukup untuk menyembunyikan aktivitas ilegal.
Saga berdiri di tepi dermaga dengan kedua tangannya terselip di saku jaket, sementara matanya mengawasi satu per satu anak buahnya yang memindahkan karung-karung dari truk ke dalam kapal. Karung-karung itu bertuliskan beras kualitas super. Tapi semua itu hanya alibi, yang tersembunyi di antara butiran beras itu adalah paket-paket narkoba yang dibungkus rapi menggunakan plastik bening. “Cepet! Jangan ada yang berhenti sampe semua karung naik kapal!” bentak Saga dengan suara keras. Tak ada yang berani bicara. Malam ini bukan malam biasa. Operasi ini sudah disiapkan berbulan-bulan, dan tak boleh gagal hanya karena seseorang lambat atau ceroboh. "Bos di ujung sana sepertinya ada sebuah mobil berwarna hitam yang terparkir, saya khawatir itu bukan mobil sembarangan, bos!" Ungkap Karo, salah satu anak buah yang paling senior. Saga langsung diam. Matanya tajam, mengarah ke ujung dermaga yang mulai berkabut. “Bawa dua orang. Cek. Jangan dekat-dekat. Kalau mencurigakan, kasih kode. Kalau nekat masuk... tembak saja.” “Siap, Bos.” Saga kembali menoleh ke kapal. “Lambung bawah udah penuh?” tanyanya. “Masih 28 karung lagi. Kita kebut, paling lambat dua puluh menit selesai,” jawab salah satu anak buah sambil mengatur karung ke dalam lorong kapal. “Jangan kebut doang, tapi pastikan paketnya tetap aman. Kalau sampai ada yang rusak atau bocor, kalian semua harus tanggung jawab" "Baik bos!" Saga mulai gelisah. Waktu terus jalan. Begitu cahaya pagi muncul, risiko mereka jadi berkali lipat. Pelabuhan bisa mulai ramai. Patroli laut juga makin aktif menjelang fajar. “Karo!” teriaknya lagi. “Ya, Bos?” "Bagaimana? Sudah di cek belum?" Karo berlari mendekat "Aman bos" “Bereskan lagi bagian ini. Begitu semua karung masuk, langsung angkat jangkar" “Siap bos!” Langkah-langkah cepat dan suara karung diseret makin intens. Tak ada tawa. Tak ada obrolan. Hanya kerja cepat dan tekanan yang makin besar. Sementara langit di timur mulai menunjukkan garis biru tipis. Waktu hampir habis. Setelah memeriksa karung terakhir dan memastikan semua sudah tersusun rapi di lambung kapal, Saga mengangguk singkat pada Karo. “Angkat jangkar. Sekarang.” Kapal perlahan mulai bergerak, meninggalkan dermaga dengan mesin nyaris tanpa suara. Lampu kabin dimatikan. Awak kapal tahu persis jalur mana yang harus ditempuh agar tidak tertangkap radar patroli. Saga berbalik dan berjalan cepat menuju mobil hitam yang diparkir agak jauh dari dermaga, dikelilingi oleh gudang kosong dan peti-peti tua. Ia membuka pintu depan, masuk, lalu duduk di kursi pengemudi. Begitu pintu tertutup, suara sunyi menyelimuti kabin. DRRTT... DRRTT... Ponselnya bergetar. Layarnya hanya menampilkan nomor tanpa nama. Tapi Saga tahu siapa yang menelepon. Ia menatap layar sebentar, lalu menekan tombol hijau. “Ya.” Suara berat dan dingin terdengar dari seberang. “Saga. Laporan.” Saga duduk tegak, tatapannya mengarah ke kaca depan yang masih berkabut. “Semua karung sudah naik kapal. Paket aman. Kapal jalan tepat waktu. Tidak ada gangguan.” Beberapa detik hening. “Gak ada yang mencurigakan?” “Tidak. Ada satu mobil asing sempat parkir, tapi langsung mundur begitu kita dekati. Kemungkinan hanya orang iseng atau pemancing malam. Sudah ditangani.” Lalu suara itu menjawab, datar. “Bagus. Cepat kembali ke markas” "Baik, bos" KLIK. Telepon terputus tanpa pamit. Hanya suara diam yang tersisa di kabin mobil. Saga menatap layar ponsel yang kini gelap, lalu meletakkannya di kursi sebelah. Napasnya perlahan kembali normal, tapi wajahnya tetap dingin. Percakapan singkat tadi bukan sekadar laporan rutin. Itu peringatan. Sekali ada kesalahan, bukan hanya kapal yang tenggelam—tapi seluruh tim bisa hilang dalam semalam. Saga menyalakan mesin mobil. Operasi berjalan lancar. Tapi kegiatan ini belum sepenuhnya selesai. *** Mobil melaju dengan tenang di jalan tol yang mulai lengang menjelang tengah malam. Lampu-lampu jalan menerangi permukaan aspal yang basah bekas hujan sore tadi. Di dalam mobil, suasana terasa hangat dan santai. “Aku senang akhirnya kita bisa melakukan acara pertunangan dengan lancar,” ucap Caelyn sambil menyandarkan kepalanya ke lengan Ether. Tangannya melingkar manja di sana, seolah tak ingin dilepas. Ether hanya melirik sekilas dan tersenyum hangat. “Iya, akhirnya. Semua lelah terbayarkan,” ujarnya pelan, lalu kembali fokus pada jalan di depannya. Caelyn mengangguk, lalu memandangi Ether dengan penuh rasa syukur. Ia bahagia karena diberikan seorang pasangan yang sangat baik dan tampan. Bukan hanya Caelyn yang mengagumi ketampanan Ether, tapi semua wanita yang memandangnya pasti juga akan memiliki pendapat yang sama. Wajahnya yang tirus dengan garis rahang yang rapi dan dagu tegas, memberi kesan maskulin namun tetap lembut. Kulitnya bersih dan cerah. Rambut hitamnya lurus, ditata rapi dengan bagian depan menjuntai ringan membingkai wajahnya, diantara itu terselip semburat highlight abu tipis yang membuat penampilannya terlihat elegan. Semua itu akan nampak sempurna jika Ether sedang mengulas senyum tipisnya. “Mulai sekarang pokoknya kamu gak boleh nakal,” lanjut Ether, dengan nada bercanda. “Kalau kamu nakal, aku akan percepat waktu pernikahan kita biar kamu makin terikat sama aku dan gak bisa bebas lagi.” Caelyn tertawa pelan. “Oke, setuju. Kalau gitu aku bakalan makin nakal. Aku bakal pergi ke club tiap malam, mabuk-mabukan, terus... aku juga bakal dekatin om-om duren” Ether melirik tak percaya. “Loh, kok gitu?” Caelyn tersenyum lebar. “Ya biar kamu makin cemburu dan buru-buru nikahin aku!” “Emang kamu mau aku larang-larang setelah kita nikah?” “Gak apa-apa, asal kamu juga jangan nakal. Aku gak suka kalo kamu genit-genit sama cewek lain. Aku kesel,” katanya sambil memanyunkan bibirnya. “Siapa sih yang genit? Aku gak pernah gitu ya!” “Cewek-cewek di kantor kamu tuh, suka banget nyari perhatian ke kamu.” “Sayang... itu mereka. Bukan aku.” “Iya, tapi kamu juga terlalu ramah sama mereka. Mereka jadi banyak berharap deh!” Ether menarik napas pendek. “Oke. Aku janji deh untuk ke depannya aku akan pasang muka datar ke mereka biar gak ada yang suka sama aku.” “Kalau perlu kamu jangan jawab setiap mereka bicara sama kamu” "Yah! Mana bisa begitu kalau urusan pekerjaan itu sama aja aku gak bisa profesional!" "Aku gak mau tahu! Pokoknya kamu harus keliatan jelek di depan mereka" "Iya... iya... aku akan coba sebisa mungkin untuk menghindar dari mereka" "Nah gitu dong!" Jawab Caelyn tersenyum senang. “Udah seneng sekarang?” tanya Ether sambil melirik ke arahnya. Caelyn mengangguk pelan. Ia menutupi senyumnya dengan tangan, malu-malu. Ether mengusap kepalanya lembut dengan sebelah tangan. Suasana kembali tenang. Mereka tertawa kecil, merasa seperti pasangan paling bahagia di dunia malam itu. Namun hanya beberapa detik setelah itu, suara klakson keras terdengar dari arah samping kanan. Lampu sorot besar dari truk yang datang dengan kecepatan tinggi menembus kabin mobil mereka. Ether sempat memutar setir ke kiri, refleks. Tapi terlambat. Truk besar itu menghantam sisi kanan mobil mereka dengan keras. Tubrukan terjadi begitu tiba-tiba dan brutal. Mobil mereka terpelanting ke sisi pembatas jalan, menghantam beton dengan keras lalu terguling dua kali sebelum berhenti dalam posisi miring. Kaca depan pecah. Bagian kanan mobil ringsek parah, dan suara alarm terus berbunyi samar di antara deru mesin yang mati dan kepulan asap dari kap mobil. Caelyn berteriak panik, tubuhnya terhimpit. “Ether!” Ether tak menjawab. Kepalanya terkulai ke samping, darah mengalir dari pelipisnya. Ia tak sadarkan diri, dan napasnya tidak stabil. Pukulan keras dari benturan membuat bagian kanan kepalanya menghantam sisi jendela dan dashboard dengan sangat kuat. "Ether!" Sekali lagi ia memanggil nama tunangannya, namun yang dijawab hanya keheningan panjang. Nafasnya terengah, dadanya terasa sesak. Lalu tiba-tiba ia tersentak, matanya terbuka. Tubuhnya berkeringat dan air mata mengalir deras di pipinya. Ia baru saja terbangun dari mimpi buruk yang terus berulang sejak kecelakaan itu terjadi. Caelyn menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ia menghapus air mata dengan ujung jari, lalu menatap Ether yang masih terbaring dengan selang dan alat bantu pernapasan. Tangannya gemetar saat menggenggam tangan Ether. “Sudah setahun lebih mimpi itu masih terus menghantui aku, Ether,” ucapnya dengan suara pelan “Aku takut... Aku mohon sadarlah... temani aku lagi, kayak dulu...” Belum sempat ia melanjutkan, tubuh Ether tiba-tiba mengalami kejang hebat. Lengan dan kakinya menegang, tubuhnya menggeliat. Mesin monitor detak jantung mengeluarkan suara nyaring. “Dokter! Suster! Tolong!” jerit Caelyn panik sambil menekan bel darurat berulang kali. Tak sampai satu menit, dua perawat dan seorang dokter berlari masuk ke dalam ruangan. Mereka dengan sigap memeriksa kondisi Ether, menstabilkan alat-alat medis, dan melakukan penanganan cepat. “Mohon keluar dulu, nona” ujar salah satu suster dengan tenang. Caelyn berdiri ragu. Ia memandangi Ether sejenak, lalu melangkah mundur dan keluar dari ruangan dengan air mata masih mengalir. Di luar, ia duduk di kursi tunggu, menggenggam tangannya sendiri, dengan gelisah dan ketakutan. Beberapa menit kemudian, dokter keluar. Caelyn langsung berdiri. “Dok... bagaimana keadaannya?” Seorang pria paruh baya menatap Caelyn dengan wajah serius, “Terjadi peningkatan tekanan di dalam otak Ether. Dari hasil pemantauan, kami menduga ini akibat penumpukan cairan serebrospinal yang tidak bisa keluar dengan normal. Ini kondisi umum pada pasien koma menahun, disebut hidrosefalus akibat trauma kepala.” Caelyn mengangguk pelan, meski wajahnya tampak bingung. “Jadi... solusinya bagaimana, Dok?” “Kami sarankan untuk melakukan operasi VP Shunt, yaitu memasang selang khusus dari otak ke rongga tubuh agar cairan bisa dialirkan dan diserap secara normal. Ini prosedur penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan bisa membantu proses pemulihan,” jelas dokter. “Apakah itu berbahaya, Dok?” “Setiap operasi tentu punya risiko. Tapi kalau tidak segera dilakukan, tekanan pada otaknya bisa bertambah dan menyebabkan kondisi makin memburuk.” Caelyn terdiam, lalu dengan suara nyaris berbisik ia bertanya, “Kira-kira berapa biayanya, Dok?” Dokter menatapnya sesaat. “Untuk prosedur lengkap estimasinya sekitar empat ratus juta rupiah.” Caelyn membeku di tempat. Bibirnya gemetar. Empat ratus juta. Jumlah itu terlalu besar baginya yang sudah hampir menghabiskan seluruh tabungan demi perawatan Ether selama lebih dari setahun ini.Zephyr menjatuhkan diri ke kursi dan membuka laptop kerja. Map laporan operasi semalam masih kosong dari hasil berarti. Ia menatap layar tanpa ekspresi lalu mulai mengetikkan ulang data yang ia terima dari awal. Ia butuh melihatnya lagi—dari awal—dengan kepala yang lebih jernih.Neil White. Usia 34 tahun.Data asli menyebut Neil adalah pemilik salah satu hotel mewah dan klub malam paling prestisius di pusat kota. Hotel Winner di bilangan Menteng dan klub malam eksklusif bernama Velvet room. Tempat para pesohor dan politisi muda sering terlihat berpesta larut malam.Zephyr mengangkat alis. Aneh. Ia mengetikkan lebih dalam, menggali berkas profile tentang Neil. Tak butuh waktu lama sampai matanya berhenti di satu bagian kecil yang sebelumnya lolos dari perhatiannya, tentang hubungan personal.Nama Sea Alverdine muncul.Zephyr menajamkan pandangannya. Ia tahu nama itu. Bukan dari dunia kriminal. Tapi dari papan iklan, majalah fashion, dan berita sosialita.Sea Alverdine, seorang model ke
Caelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu."Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah.Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat.Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya.Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap?“Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang
Pagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas.Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih.“Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu.Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil.“Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas.Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaia
Pukul 19.40 – Area parkir kawasan industri lama.Zephyr berdiri di balik mobil hitam tanpa tanda. Jaket kulit gelap membungkus tubuhnya, dan earpiece di telinga kirinya terus menyala."Semua tim, posisi. Neil terdeteksi masuk lokasi pukul 19.16. Kita lakukan penyergapan saat jarum menunjuk pukul 20.00 tepat. Jangan ada tembakan kecuali gue perintahkan," ucapnya tegas lewat radio.Empat tim disebar.Tim Alfa: menyusup dari pintu utama.Tim Bravo: menunggu di pintu samping barat.Tim Charlie: berjaga di ventilasi dan jalur pembuangan.Tim Delta: cadangan, menyamar di sekitar area luar.Zephyr sendiri memilih ikut dengan Tim Alfa. Matanya menatap jam tangan. 19.59. Tangannya mengangkat isyarat tiga jari—hitung mundur.Tiga... dua... satu..."Eksekusi!"Mereka bergerak cepat. Pintu didobrak. Ruangan megah di lantai basement itu nampak kosong. Hanya suara langkah kaki berderap di seluruh penjuru.Zephyr memasuki ruangan target lebih dulu. Pandangannya menyapu cepat, suntikan bekas di lanta
Caelyn berdiri terengah-engah di depan rumah sakit. Napasnya masih memburu akibat berlari mengejar pria menyebalkan itu. Ia mengedarkan pandangan, berharap bisa menangkap sosoknya, tapi hasilnya nihil. Entah memiliki jurus apa, Neil bisa bergerak secepat itu. Seperti menghilang.Caelyn berbalik, berniat kembali masuk ke rumah sakit, tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Neil di halte bus seberang jalan. Ia berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa, sambil menikmati permen gulali berwarna merah muda di tangannya.Tanpa pikir panjang, Caelyn kembali berlari ke arahnya.“Kesepakatan tadi, gue setuju!” katanya cepat, setibanya di depan pria itu.Neil menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kesepakatan yang mana? Gue udah lupa.”“Isi paperbag itu. Dan tidur sama loe,” ucap Caelyn tegas, tanpa berputar-putar.Neil tertawa kecil. “Duh, gue gak inget pernah ngomong begitu. Apa jangan-jangan lo salah orang?”Caelyn mengerang kesal. “Tolonglah, jangan bercanda. Keadaannya mendesak sek
Setelah menerima penjelasan dari dokter, Caelyn keluar dari rumah sakit dengan kepala penuh beban. Pikirannya kalut. Ia mencoba menghubungi beberapa kenalan, tapi tak ada yang bisa membantu. Beberapa bahkan hanya membalas dengan permintaan maaf klise.Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan mendatangi seseorang. Sahabat lama Ether yang dulu pernah begitu dekat.Caelyn kini duduk di ruang kantor milik Saga. Ruangan itu gelap dan dingin. Lampunya tidak terlalu terang, seolah sengaja dibuat redup untuk menjaga suasana tetap tegang. Beberapa pria bertubuh besar dan berwajah dingin berdiri di sekitar ruangan, menjaga dalam diam. Mata mereka menatap tajam seperti sedang menakar bahaya.Saga duduk di seberang meja, mengenakan kemeja gelap yang digulung sampai siku, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangannya. Di depan Caelyn, ekspresinya datar. Tatapannya seperti bukan lagi sahabat Ether yang dulu ramah."Ada apa tiba-tiba menghubungiku?" tanya Saga datar, matanya menatap Caelyn taja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments