MasukJalan hidup tidak ada yang tahu. Reina yang sebelumnya hidup di kota yang penuh dengan diskriminasi pada kaum minoritas. Kini dia kembali ke kota asalnya yaitu Distrik Kumuh. Gadis yang akan menginjak 17 tahun itu, tidak menyangka jalan hidupnya yang dikenal sebagai jenius pemecah misteri akan mengarah pada hal yang tidak pernah dipikirkannya yaitu menjadi putri sulung anak seorang mafia di kota itu. "Aku ingin tahu siapa yang membawaku ke kota terkutuk itu, juga siapa yang membunuh orang tuaku. Aku akan menghancurkannya sampai anak-cucunya"
Lihat lebih banyak“Selamat datang, Tuan Layn. Laporan hari ini sudah disetor sesuai permintaan anda.” Seorang wanita berambut pirang dikepang rapi, berdiri di dekat pintu menyambut seorang laki-laki pemilik ruangan di belakangnya.
Layn melepas jubah putihnya sambil melangkah masuk ke dalam ruangan. “Lalu, bagaimana dengan Reina, Ama? Aku belum mendengar kabarnya minggu ini.” Meletakkan jubahnya ke sandaran kursi kerjanya.
Ama berdiri di seberang meja. “Seharusnya hari ini rombongannya akan tiba di stasiun. Haruskah saya memberinya sambutan?”
“Tidak. Jangan lakukan itu. Kita tidak boleh muncul di depannya sekarang. Masih ada banyak waktu,” sanggah Layn. “Apa lagi laporanmu berikutnya?”
“Organisasi Reddog masih belum bisa kita temukan. Mereka berhasil menghindari area cctv. Tidak banyak informasi yang bisa kita dapatkan tentang mereka.”
Helaan napas berat terdengar seiring bersandarnya tubuh ramping itu ke sandaran kursi. “Aku berniat membereskan mereka sebelum Reina datang. Tapi sepertinya ekspektasiku terlalu tinggi. Bagaimana dengan Black Falcon?”
Departemen Pengawas Distrik Kumuh (DPDK), organisasi yang diprakarsai oleh Layn sejak 16 tahun yang lalu. DPDK salah satu organisasi terbesar di Disktrik Kumuh, selain Qi dan Black Falcon. Tiga organisasi besar tersebut hidup berdampingan bersama. Ketiganya memiliki otoritas masing-masing dan tidak boleh ada yang ikut campur masalah pihak lain.
Black Falcon merupakan pusat informasi sekaligus markas para mafia yang menguasai dunia bawah. Sulit bagi orang awan menemukan mereka, namun nama mereka bisa didengar dimana saja.
“Maaf. Mereka menolak membantu.”
-o0o-
---Aku harus hidup dengan tenang di kota ini.
“Kereta Agro telah tiba di Peron Ratan, Distrik Kumuh. Terima kasih telah mempercayai kami. Pastikan tidak ada barang bawaan anda yang tertinggal. Selamat datang di Distrik Kumuh.”
Pintu kereta di masing-masing gerbong terbuka. Sebagian besar penumpang turun, membawa banyak barang bawaan mereka. Pintu masuk dan pintu keluar penumpang kereta berbeda, karena itu tidak ada kepadatan penumpang masuk dari tempat penumpang keluar.
Peron Ratan, stasiun utama di Distrik Kumuh. Bangunannya sangat luas dengan langit-langit yang tinggi dan beberapa pilar. Loket stasiun memanjang di sebelah kiri, beberapa orang terlihat mengantri di depan counter.
“Apa rumah kita masih jauh, Pah?” wanita berambut pendek berjalan bersama gadis remaja sambil menyeret koper putih miliknya.
Sang suami menjawab. “Dari sini harusnya 30 menit jalan kaki, Mah. Kita akan naik taksi di depan sana. Apa kalian lapar? Kita bisa makan lebih dulu.” Menggerakkan tangan kirinya membenarkan posisi kacamata kotaknya.
“Kita bisa membelinya dalam perjalanan ke sana. Aku ingin segera istirahat.” Gadis dengan netra berlainan memilih menolak. Di tangan kirinya dia juga menyeret koper yang berisi penuh pakaiannya.
“Benar juga. Reina butuh banyak istirahat. Baiknya kita langsung ke rumah.”
“Oke.”
Keluar dari stasiun, mereka dihadapkan dengan gedung-gedung tinggi. Tidak dipungkiri kalau semua yang tinggal di DK adalah orang menengah keatas dengan pekerjaan mapan dan penghasilan di atas UMR. Ditambah lagi, perkembangan teknologi di DK satu langkah lebih maju dibandingkan dengan Kota Arcent.
Masih dengan tidak banyak kendaraan pribadi, dan lebih banyak transportasi umum, seperti taksi, bus, dan kereta distrik. Kereta distrik lebih mirip dengan kereta wisata yang hanya ada satu gerbong berisi 12 penumpang. Kereta tersebut akan mengelilingi distrik sesuai jalurnya dan akan berhenti di stasiun setiap titik.
Reina bersama dua orang dewasa berjalan di jalan raya khusus pejalan kaki. di setiap lantai dasar gedung terdapat pertokoan, dua SPG pun berdiri di depan gedung memegang brosur diskon toko mereka.
Argi memimpin di depan, diikuti dua wanita di belakangnya. Karena jalan yang mereka lewati merupakan pusat pertokoan, maka tak jarang banyak wanita-wanita SPG yang menawarkan brosur pada mereka.
“Apa kalian pendatang baru?” dua wanita menghadang jalan Ruri dan Reina.
Keduanya berhenti. Ruri masih bisa tersenyum, namun Reina tidak berekspresi sedikit pun.
“Tempat kami menawarkan pekerjaan diprioritaskan untuk pendatang baru, Bu. Apa anda tertarik?” ucap wanita berambut panjang sebahu, senyumnya sangat ramah, berusaha meyakinkan orang di depannya.
“Pekerjaannya gampang kok. Kalian bisa jadi frontliner di perusahaan swasta. Bisa kalian baca lebih dulu.” Rekannya berambut keriting menyerahkan selembar pamflet pada Ruri.
Ruri menerimanya dengan sopan, membacanya. “Bisa memilih tempat bekerja sendiri ya?”
“Iya, Bu. Pekerjaannya juga hanya empat hari kerja, jadi ibu bisa menikmati liburan lebih banyak bersama keluarga anda.”
Sepanjang pembicaraan, Reina hanya dia menyimak. Minatnya untuk ikut campur tidak ada. Dia hanya memperhatikan dua wanita itu yang berada di umur 20-an, mereka memakai jam tangan di tangan kanan dan gelang berwarna merah. Si rambut keriting bahkan memakai jepit rambut bentuk bunga. Tidak ada yang mencurigakan dari mereka, namun tatapan di sekitar mereka memberinya pandangan yang berbeda.
---Aku hanya ingin hidup dengan damai. Tolong.
Batinnya dengan helaan napas berat. Dia menyenggol lengan Ruri, mengisyaratkan padanya untuk menatap Argi yang sudah menunggu mereka.
“Ah! Akan aku pikirkan lagi. Terima kasih atas tawarannya. Ayo.” Ruri tersenyum pada mereka sebelum pergi bersama Reina. Dia masih membawa pamflet itu bersamanya.
Argi menatap kedua wanita yang berjalan mendekat. Jarak mereka cukup jauh karena Argi tidak tahu kalau mereka berhenti. Ruri dengan kertas di tangannya dan Reina yang terlihat santai.
“Aku tidak ingin mengatakan apapun, jadi jangan bertanya.” Reina menegaskan dengan suara pelan pada Argi yang terus saja menatapnya.
-o0o-
Tepat setelah melewati taman, ketiga orang itu menghentikan langkahnya. Mereka tiba di depan gerbang sebuah rumah. Letak rumah baru mereka juga masih sama, berada di dalam gang perumahan.
Argi mengeluarkan kartu akses, menempelkannya ke mesin pendeteksi yang ada di sisi kanan gerbang. Lempengan besi setinggi dua meter bergeser ke kiri.
“Gerbang ini anti peluru,” kata Argi singkat.
Sejak awal dia mencari rumah untuk ditinggali oleh pemimpin kota, namun siapa sangka tujuannya bukanlah untuk ditinggali olehnya melainkan oleh Argi. Rumah mewah di balik gerbang menegaskan semuanya.
Rumah berbentuk kubus dengan kaca-kaca tebal membungkus lantai dua. Satu pohon besar tumbuh dengan kokoh di kanan rumah. Pintu garasi putih tertutup rapat. Taman ada di sisi kiri rumah dihiasi oleh lampu taman. Jarak antara rumah dan gerbang hanya lima meter, jalan setapaknya pun sudah paving.
“Apa ini tidak terlalu mewah untuk kita?” Ruri memandang suaminya, meminta penjelasan.
“Tidak. Aku rasa ini sangat cocok untuk kita. Mari masuk.”
Dengan mempertimbangkan keberadaan Reina diantara mereka, rumah dengan pertahanan secanggih itu sangatlah cocok.
Pintu gerbang kembali tertutup. Tiga orang masuk ke dalam rumah yang lagi-lagi disambut dengan megahnya isi rumah tersebut.
“Selamat datang, tuan, nyonya.” Dua pelayan wanita, dua pelayan laki-laki, dan juga dua penjaga, berdiri menyambut mereka.
Ruri yang melihatnya dibuat merinding, terlebih tubuh penjaga yang terlihat bergitu tinggi dan kekar.
“Mereka akan melayani kita, jadi jangan sungkan untuk meminta pada mereka. Kau juga tidak perlu memasak, Mah.”
“Ehhhhh.” Ruri bergeming di tempat. Tatapannya tidak lepas dari Argi, berharap dia menjelaskan.
Reina justru sebaliknya. “Bantu aku ke kamar. Aku ingin istirahat.” Dia menatap seorang pelayan wanita yang masih terbilang muda.
Iza, 26 tahun. Wanita yang sudah bekerja sebagai pelayan di rumah itu setelah dia lulus kuliah. Dia menghampiri Reina dan menawarkan untuk membawakan kopernya.
“Silakan ikuti saya.” Dia tersenyum lebar kemudian berjalan mendahului.
Satu pelayan laki-laki ikut mendekat, menggantikan Iza membawa koper itu ke lantai dua. Namanya Oni, 35 tahun, baru dipindahkan menjadi pelayan satu tahun yang lalu setelah dipecat dari pekerjaannya.
Reina berjalan paling belakang, melangkah dengan hati-hati. “Apa kalian bersaudara?”
“Kami tidak bersaudara, Nona,” jawab Iza disertai tawa kecil.
“Saya anak terakhir,” Oni menjawab tanpa menoleh, nada suaranya pun terasa dingin.
“Begitu, ya.” Reina memilih berhenti bicara. Lawan bicaranya saling berkebalikan yang membuatnya merasa lebih lelah dari sebelumnya.
Lantai dua memiliki beberapa ruangan. Dua kamar, satu perpustakaan mini, satu ruang santai yang terhubung dengan balkon rumah yang menghadap ke belakang.
Iza membuka pintu kamar yang nantinya ditempati Reina, membiarkan pemilik kamar masuk lebih dulu. Kamar seluas 5x6 meter, dengan perlengkapan lengkap dan sebuah kasur besar di tengah-tengahnya.
“Terima kasih. Letakkan saja koperku di sana. Jangan bangunkan aku sampai makan malam.” Reina menunjuk lemari, mengisyaratkan Oni melakukan yang dimintanya.
Tanpa ucapan, Oni meletakkan koper itu sesuai dengan yang diminta, kemudian pamit pergi. Diikuti Iza terakhir, sempat berpamitan sebelum akhirnya menutup pintu kamar.
---Dia terlihat kecewa.
Reina mengangkat bahu disertai tawa kecil. “Dia pasti berpikir kalau pemilik rumah adalah orang yang luar biasa.”
-o0o-
Keesokan paginya. Argi mengatakan kalau dia akan mulai bekerja pagi itu.
“Apa kalian tidak mau ikut tur distrik?” Argi sambil merapikan kemejanya, menatap Ruri yang berdiri di depannya dan Reina yang sedang bersantai di sofa ruang tamu. Semua orang berkumpul di sana dengan menjaga jarak masing-masing.
Kepalanya mendongak di sandaran sofa, menatap dunianya yang terbalik.
“Pesan tiket?”
“Aku sudah meminta master untuk pesan dua tiket untuk kalian, terserah kalian mau pergi atas tidak.”
Seorang pelayan paruh baya membawa apa yang dikatakan Argi. Dua tiket untuk ikut tur distrik.
Ruri masih terlihat ragu-ragu. “Bagaimana, Rei?”
Reina berdiri, memandang wanita yang menjadi walinya. “Aku akan pergi. Bibi?”
“Tidak ada yang memaksamu untuk pergi kok.” Argi menyahut. Dia paham istrinya itu sulit untuk beradaptasi dengan sekitarnya. Setidaknya dia butuh 2-3 bulan untuk memastikan dia merasa nyaman.
“Aku bisa pergi dengan Iza,” imbuh Reina sambil menujuk ke arah Iza yang berdiri di dekat sofa.
Ucapan Reina justru membuat Argi meragukannya. “Akan lebih aman jika kau pergi dengan master, Rei.”
Master, sebutan untuk kepala pelayan paruh baya yang bekerja pada mereka. Dia merupakan combat-butler, di mana dia yang merupakan seorang pelayan bisa melakukan tindakan seperti bertarung, memata-matai, dan bela diri.
Reina menggeleng, berjalan mendekat. “Tidak, paman. Aku akan tetap pergi dengan Iza.”
Helaan napas berat terdengar dari Argi. Dia tidak pernah bisa menang dari Reina dan dia tidak pernah bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya.
“Baiklah. Ini uang sakumu. Beli saja apapun yang kau mau.” Argi memberikan kartu debit berwarna putih. “Itu juga sebagai identitasmu di sini.”
Kartu dengan desain sederhana, garis silver yang terbuat dari metal dan tiga titik kecil di ujung kartu.
“Belilah juga ponsel baru untuk dirimu sendiri setelah pulang tur nanti. Karena hanya kau yang tidak punya ponsel.”
“Rasanya sudah lama, ya, kita tidak bertemu, Reina.” Kiria tersenyum lebar sambil menatap Reina yang mau menuruti keegoisannya di hari libur.Tak sendirian, dia juga mengajak kembarannya, Ken, dan juga Zhao yang juga satu tempat kuliah dengannya. Menetapkan taman bermain sebagai tempat pertemuan mereka, keempat remaja itu berkumpul sebelum pintu masuk.[Citadel de Floral] Tempat segala jenis wahana permainan disediakan, mulai dari roller coaster hingga histeria. Aneka stan makanan pun menempati posisi masing-masing. Antrean panjang di pintu masuk menandakan ramainya pengunjung di akhir pekan.“Aaa ya ampun! Bagaimana bisa kau semanis ini, Reina?!” Padahal beberapa detik yang lalu dia terlihat begitu tenang, dan sekarang mulai tantrum.Hari ini, Reina memakai setelan lengan pendek dan rok hitam, rambut yang dihias dengan jepitan merah hitam, tas selempang berwarna cream, dan khusus hari ini Reina memilih memakai kacamata bulat. Semua yang dipakainya dipilih oleh Iza yang notabenenya l
---Meskipun dia masih muda, tapi boleh juga. Mata itu pasti akan mahal. Matanya dengan jelas menatap ke arah Reina yang sedang bicara dengan teman kerjanya.“Aku akan membawa mereka masuk,” ucap wanita itu.---Bagus! “Iya, beri tahu semua yang mereka butuhkan.”Tiga orang masuk ke dalam sebuah gedung. Di dalam sebuah ruangan yang cukup tertutup dan hanya ada dua kursi dan satu meja, seakan seperti sebuah ruangan interogasi. Dia atas meja terdapat beberapa berkas dan bolpen.“Langsung saja, a-anda akan membebaskan dari tempat ini, kan?” wanita berambut pendek yang diketahui bernama Ceri, menatap Reina penuh harap.“Tentu.” Reina menatap sekilas jam tangan analog silver di pergelangan tangan kirinya. “Waktu kita tidak banyak. Berikan semua informasi yang kau miliki.”Ceri membuka dokumen di depannya, lima lembar kertas kepada Reina. “Rute mereka mengarah ke pesisir Distrik Arboris dan akan melakukan perjalanan laut lima hari lagi. Saya dengar mereka mendapatkan beberapa orang berguna,
“Akhirnya ketemu. Reina.”Seorang laki-laki mendarat dengan sangat mulus dari atap bangunan ke tempat Reina berdiri. Dengan jaket abu-abu dan kaos hitam, memakai masker hitam, dia berdiri tepat di samping Reina.“Kita pernah bertemu sebelumnya.” Dia harus sedikit menurunkan maskernya agar Reina mengenali wajahnya, meskipun dia sendiri tidak yakin gadis itu mengingat wajahnya karena saat itu suasana dalam rumah temaram dan wajahnya banyak cipratan darah.“Ah. Kau yang waktu itu? apa yang kau lakukan di sini?”..[5 jam sebelumnya – rumah kosong di tengah hutan]“Cyber, bisa carikan aku seseorang?”Fang melangkah mendekat ke rekannya yang sedang duduk di kursi menghadap sembilan cctv. Sudah lebih tiga minggu berjalan, di mana pun Fang pergi, gadis itu tidak muncul lagi. Seakan orang yang mengobatinya waktu itu adalah hantu.Sedikit memutar kursinya, Cyber menatap Fang yang ada di belakang kursinya. “Siapa?”“Dia perempuan, tingginya tidak lebih dari 157cm. Rambutnya gelap.”Sambil mend
“Mendengar namanya saja aku sudah merasa bersalah.”Celi menundukkan kepalanya, pipi kanannya lebam. Setelah membiarkan Reina masuk, gadis itu benar-benar menamparnya dengan keras. Namun, Celi tidak memiliki keberanian untuk membalasnya.“Apa kau tidak mau kirim pesan?” Reina yang duduk di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit lab yang tinggi dan lampu gantung yang cantik.“Dia akan lebih kecewa kalau aku masih hidup,” sesal Celi. Dia semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Aku pergi begitu saja meninggalkannya dengan nenek. Aku...bukan ibu yang bertanggung jawab.”Huff...Reina berdiri, melangkah pergi. “Aku akan kembali lagi besok.”Membahas tentang Yoga -anak Celi- justru membuka luka lamanya lagi. Wanita itu terlihat banyak menyimpan luka masa lalu bahkan setelah belasan tahun pergi dari kota terkutuk itu.---Maaf, Yoga.-o0o-Reina mencoba menyelesaikan misi itu dengan sedikit bantuan dari Alistair. Dia memanfaatkan pria itu untuk memberitahunya arah. Meskipun begitu,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.