"More faster, Sen," desis Priya saat berada di bawah sana.
Antasena semakin mempercepat gerakannya, mendesakkan tubuhnya semakin dalam. Membuat Priya menjeritkan namanya berulang-ulang. "I love you, Ya. I love you." Lalu dalam sekali sentakan, Antasena sudah meledak di dalam sana. Masih dengan napasnya yang terengah-engah, Antasena menarik diri. Dia turun dari tempat tidurnya untuk melepaskan pengaman yang sempat dikenakannya tadi, lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak berselang lama pria itu sudah kembali. Naik ke atas ranjang, lalu menarik Priya ke dalam pelukannya. Untuk selama beberapa saat, ada keheningan yang mengambil alih. Bukankah seharusnya Antasena merasa lega? Namun saat pikirannya sibuk memikirkan banyak hal, pria itu justru terlihat kalut. “Kamu harus segera menikah, Sen. Kamu tahu beban yang Kakek Sandiaga limpahkan ke Papa kamu, bukan tanggung jawab yang bisa digampangkan.” “Ma…” “Kamu tahu kalau Kakekmu nggak pernah main-main, kan? Kakek hanya ingin ada orang yang bisa meneruskan perusahaannya saat beliau pensiun nanti. Dan satu-satunya harapan kami adalah kamu. Menikahlah dan memiliki keturunan. Agar Kakekmu tidak menghancurkan segalanya.” “Aku akan memikirkannya, Ma.” “Berapa lama?” tembak Shinta dengan cepat. “Ma, tolong jangan desak aku.” “Bawa Priya pulang ke rumah. Kurang baik apa Mama menyetujui hubungan kalian, meskipun Mama nggak pernah suka sama dia, hm? Kamu hanya perlu mengajak Priya untuk dikenalkan dengan keluarga besar kita, dan setelah itu kamu bisa menikah dengannya. Bukankah itu yang kamu mau?” Perkataan Shinta kemarin kembali berputar di pikiran Antasena. Bahkan setelah kegiatan panas yang baru saja dilakukannya dengan Priya. Masih dalam keadaan sama-sama polos, Priya menggeliat di atas tempat tidurnya. Perempuan itu menolehkan wajahnya ke arah Antasena sembari mengerutkan kening. Setelah kegiatannya barusan, Priya terlihat kelelahan. Namun saat melihat Antasena begitu kalut memikirkan sesuatu, perempuan itu justru penasaran. “Hei, Baby. Lagi mikirin apa, sih? Lagi ada masalah di kantor?” Priya mengubah posisinya menjadi miring, satu tangannya dilipat untuk menyangga kepalanya. Perempuan itu kembali menghujani pria itu dengan banyak kecupan, seolah ingin meredakan kegundahan yang sejak tadi mengusik pikiran sang kekasih. “Ya?” panggil Antasena dengan suara tenangnya. “Yes, Baby? Ada apa?” “Ayo kita nikah.” Gerakan Priya seketika terhenti begitu mendengar ucapan Antasena. Perempuan itu diam mematung dengan tatapan yang sulit untuk diterjemahkan. Antasena mengangkat wajahnya untuk mempertemukan tatapannya dengan sang kekasih. “Kamu sayang sama aku, kan?” “Yes, I do.” “Kalau begitu… ayo kita menikah,” ujar Antasena mengulangi perkataannya. “Aku harus menikah segera, Ya.” “Why? Kenapa harus buru-buru, Sen? Setahuku, kamu bahkan belum menginginkan pernikahan, kan?" elak perempuan itu. “Iya, Ya. Tapi aku nggak bisa mengabaikan permintaan Mama kali ini. Mama minta aku untuk segera menikah.” "Ini hidup kamu, Antasena. Kenapa kamu harus menuruti permintaan Mama kamu? Biasanya kamu bisa menolak permintaan itu, kan?" ujar Priya mengelak. "Tapi tidak untuk kali ini, Ya." Antasena menghela napas panjang. "Mama mengharapkan sebuah pernikahan, dan nggak mungkin aku meminta Satya untuk melakukannya." Butuh jeda selama beberapa saat untuk Priya menemukan jawaban yang tepat. Tentu saja jawabannya tidak. Priya menggeleng tak setuju. “Aku nggak bisa, Sen.” Perempuan itu menghela napas. "Tepatnya, belum bisa." “Kenapa?” Antasena tersenyum masam. “Kalau kamu takut karena Mama nggak kasih restu buat kita, kamu nggak usah khawatir. Mama minta aku untuk ngajak kamu ke rumah, dan kamu akan diperkenalkan sebagai calon istriku di depan keluarga besarku.” Priya tertegun selama beberapa saat. Setelah dua tahun terakhir ini mereka menjalin hubungan diam-diam, akhirnya Shinta merestui hubungannya dengan Antasena. “Aku nggak bisa, Honey.” Priya menggeleng lemah. “Nggak bisa kalau sekarang.” “Kenapa?” tanya Antasena dengan tatapannya yang kini sepenuhnya tertuju ke arah perempuan itu. "Sen, kamu tahu, kan kalau aku nggak mungkin menikah dalam waktu dekat ini?" Priya menatap lekat ke arah Antasena. "Aku sedang bersinar sekarang, Sen. Dan menikah bukan pilihan yang tepat untuk saat ini." Antasena mengembuskan napas. "Lalu bagaimana dengan aku, Ya? Mama udah memberikan restu untuk kita sekarang. Tinggal tunggu apa lagi, hm?" "Dengan mengorbankan karirku? Aku lagi berada di puncak karir sekarang, Sen. Semua orang sekarang sedang melihatku. Kamu tahu ini impianku, kan?" Antasena menggertakkan rahangnya dengan keras, tidak tahu lagi bagaimana caranya dia membujuk Priya. Perempuan itu lantas turun dari ranjang, masih dengan tubuhnya yang polos Priya meraih pakaian yang sempat berceceran di lantai, lalu mengenakannya satu per satu. “Aku mencintai kamu, Sen. Sangat. Tapi ide untuk menikah dalam waktu dekat ini, aku nggak bisa.” “Aku butuh kamu untuk menghentikan kegilaan Kakek Sandiaga, Ya. Kamu nggak perlu memikirkan seperti apa hidupmu nanti, karena aku yang akan memastikan kalau kamu nggak akan kehilangan masa keemasan kamu. Aku bisa minta tolong mereka untuk memastikan yang satu ini. Kamu nggak—” “Jadi sedangkal itu pikiranmu tentang aku?” potong Priya tersinggung dengan ucapan Antasena. "Aku merangkak dari nol untuk mendapatkan masa keemasan aku, Sen. Aku nggak menyangka kalau kamu akan sepicik itu." “Priya… aku sama sekali nggak—” “Kamu tahu kalau aku melakukan pekerjaan ini bukan semata karena uang, Sen! Kamu tahu itu!" sengal Priya marah. "Aku meniti karir dari nol dan sampai sekarang aku sedang berada di puncak, kalau kamu pikir hanya demi uang, kamu salah!” “Priya, maaf aku—” “Intinya aku nggak bisa menikah dalam waktu dekat ini!” Lalu tanpa menunggu Antasena menanggapi ucapannya, Priya sudah lebih dulu menyambar tasnya. Dia lantas mengenakan kacamata dan syalnya untuk menutupi sebagian wajahnya, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan apartemen kekasihnya. Menit demi menit dibiarkan berlalu begitu saja. Antasena menghela napas panjang, dengan pikirannya yang semakin kacau. Pria itu lantas turun dari tempat tidurnya, dan langsung bergegas membersihkan diri. Berharap jika setelah mengguyurkan air di atas kepalanya, dia akan mendapatkan pencerahan setelah ini. Setelah membersihkan diri selama tiga puluh menit lamanya, Antasena mengganti pakaiannya. Dia lantas meraih kunci mobilnya dan bergegas untuk meninggalkan apartemennya detik itu juga. Setelah berkendara selama tiga puluh menit, Antasena membelokkan mobilnya menuju sebuah apartemen. Pria itu memarkirkan mobilnya di basement lalu bergegas untuk turun. Setelah menaiki lift, dia melangkah menuju salah satu unit yang ada di sana. “Fuck! Lo ngapain ke sini?” Bayusuta yang baru saja melihat Antasena selarut ini di depan unitnya, ingin sekali mengumpat. “Lo nggak lagi sama cewek, kan?” “Nggak, gue—” “Gue lagi butuh hiburan.” Antasena lantas menerobos masuk ke apartemen Bayusuta. Pria itu melemparkan punggungnya ke sofa, tatapannya tertuju ke arah layar televisi yang menyala, menayangkan sebuah acara live boyband asal Korea itu. “Lo pikir gue badut yang bisa ngehibur lo?” tembak Bayusuta setelah bergerak menuju dapur untuk mengambil dua kaleng minuman dingin dari sana, lalu melemparnya satu ke arah Antasena. “Sejak kapan lo suka sama cowok kemayu gini?” Bayusuta mendecak pelan. Dia meraih remote televisi untuk memindah channel, lalu mendengus gusar. “Sejak gue kenal sama Anak Bayi. Hampir setiap hari dia ngoceh soal boyband asal Korea yang katanya gantengnya kayak Malaikat di Surga.” “Dan cuma gara-gara itu doang lo jadi nonton beginian?” “Bacot lo! Nggak ada salahnya kalau gue memastikan, kan? Kali aja dia bohong soal malaikat-malaikat itu. Gue jadi bisa kasih hukuman buat dia besok!” Antasena tersenyum. “Lo tertarik sama Divya?” “Sembarangan! Dia cuma anak bayi, Nyet. Jangan gila! Kayak nggak ada cewek lain di dunia ini aja!” “Oh, cuma Samantha yang berputar di otak lo kok, ya?” “Berisik! Jadi lo ngapain ke sini, hah? Gue heran, kenapa orang-orang patah hati selalu datang ke sini, sih? Nggak lo, nggak J!” “Cuma lo doang yang single kalau lo lupa,” sahut Antasena sembari meneguk minumannya. “Sialan!" Bayusuta berjalan mendekati Antasena dengan tangannya yang membawa sekaleng soda, lalu duduk di samping sahabatnya itu. Untuk selama beberapa saat, keduanya saling berdiaman. Sesekali Antasena mengembuskan napas, menengadah untuk menatap langit-langit. “Nyokap desak gue buat nikah,” kata Antasena setelah hening selama beberapa saat. “Lo udah ada Priya, tinggal ajak dia ke KUA. Beres, kan?” Antasena menghela napas. “Nggak sesederhana itu, Bay. Lo tahu sejak dulu nyokap nggak setuju sama Priya, kan?” “Hm-mm.” Bayusuta mengangguk, tahu tentang permasalahan hidup Antasena dan Priya selama ini. “Kemarin nyokap telepon kalau dia merestui hubungan gue sama Priya. Dan nyokap minta gue ngajak dia ke rumah untuk membicarakan soal pernikahan.” “Terus masalahnya di mana?” Antasena tak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang, lalu meneguk minumannya dengan perlahan. “Masalahnya dia nggak mau gue ajak nikah.” “Fuck! Maunya dia apa, sih? Alasannya apa dia nggak mau diajak nikah?” “Karena dia sekarang lagi ada di puncak karirnya. Dia nggak mau popularitasnya lenyap begitu saja karena pernikahan ini. Terlebih dia nikah sama gue yang notabene bukan kalangan artis.” “Lo memang bukan kalangan artis, tapi minimal orang-orang tahu lo adalah keturunan Nanditama. Dia tolol apa gimana? Penyokong dia selama ini juga dari perusahaan kakek lo, kan?” Antasena tidak menjawab. “Gue gerah lama-lama ngelihat tingkah cewek lo. Bertahun-tahun lo pacaran sama dia, entah sedikitpun gue nggak ada respect sama dia." Bayusuta menghela napas panjang. "Terus rencana lo apa sekarang?” Pria itu menggeleng. “Gue nggak tahu. Sementara kalau gue nggak menikah dalam waktu dekat ini, perusahaan yang selama ini dibangun sama bokap dengan susah payah, akan diambil alih Om Tomi. Belum lagi sepupu jauhnya yang gencar mengambil alih perusahaan.” “Rumit keluarga lo, Sen.” Bayusuta meneguk minumannya sekali lagi. “Masih mending gue, kan? Meskipun bokap gue seorang politikus, tapi bokap nggak pernah maksa anak-anaknya untuk terjun ke bidang politik. Yah, meskipun Kamala mulai ada tanda-tanda ke arah sana juga, sih.” Lama bergelut dengan pikirannya sendiri, sebuah pesan dari Priya muncul di layar ponselnya. Pria itu menggeser layar ponselnya bersamaan dengan desahan putus asa meluncur dari bibirnya. [I really sorry, Baby. Kamu tahu kalau aku sayang sama kamu, kan? Satu tahun, okay? Kasih waktu aku satu tahun, dan setelah itu kita akan menikah. Tapi kalau kamu nggak bisa dan nggak mau, pertimbangkan ideku ini.] Priya mengirimkan serentetan pesan di bawahnya, dan tidak ada satupun pesan itu yang berhasil dipahami oleh Antasena. Bayusuta yang berada di samping Antasena ikut membaca pesan dari Priya, lalu umpatan kecil meluncur dari bibirnya. “Sinting! Dia pikir pernikahan itu main-main. Cewek lo gila atau gimana, sih?” ***“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“