Share

2. Desakan Orang Tua

Penulis: IKYURA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-23 23:08:29

ANTASENA mengayunkan langkahnya melewati ruang tamu kediaman orang tuanya. Tidak ada tanda-tanda orang yang ada di sana, lalu pria itu melangkah ke dalam dan melihat ibunya tengah termenung di taman belakang.

"Ma…"

Shinta yang tadinya sibuk tenggelam dalam lamunannya, lantas menoleh. Perempuan itu menerbitkan senyumannya, lalu bangkit saat melihat Antasena. Tangannya meletakkan secangkir teh yang tadinya ada di atas pangkuannya, kemudian mendekati putra sulungnya.

"Mama lagi ngapain sendirian di sini?"

Shinta tak langsung menjawab. Perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain kepada Antasena. "Kamu baru pulang dari kantor?"

"Iya, Ma."

"Udah makan belum? Mau temenin Mama makan malam, Sayang?"

Antasena tidak menjawab. Shinta lantas menggandeng putra sulungnya itu, mengajak pria itu menuju ruang makan. Ada beberapa hidangan yang sudah tersaji di atas meja.

"Satya sama Papa ke mana, Ma?"

"Mereka pergi ke acara gala dinner kolega bisnisnya Papa," jawab Shinta sembari mengangsurkan piring yang sudah diisi dengan nasi ke arah Antasena.

Antasena mengerutkan keningnya. "Mama nggak ikut?"

"Mama lagi nggak enak badan, Sen. Makanya Mama minta Satya buat nemenin Papa. Mumpung hari ini adikmu lagi senggang di kantornya."

Antasena menghela napas. Dia mengambil lauk dan sayur di sana, bersamaan dengan seorang asisten rumah tangga yang menghampirinya.

"Bi, minta tolong siapkan teh hangat untuk Sena, ya?" pinta Shinta saat itu.

"Baik, Bu."

Bibi meninggalkan meja makan, lalu menuju ke dapur untuk membuatkan minuman mereka. Shinta menarik kursi yang ada di hadapannya, kemudian menikmati makan malamnya.

"Gimana kerjaan kamu, Sayang?"

"Lancar, Ma." Antasena meneguk air putih di sampingnya. "Mama kalau nggak enak badan kenapa nggak ke dokter sih, Ma?"

"Mama nggak apa-apa, kok Sen. Palingan Mama cuma kecapekan aja."

Antasena menghela napas. "Emangnya Mama capek apa? Mama masih kepikiran soal Kakek Sandiaga?"

Selama tiga puluh dua tahun, Shinta adalah kelemahannya. Barangkali selama ini Antasena menjadi anak yang pembangkang dan hidup sesukanya, tapi saat Shinta sudah berbicara, hatinya mendadak luluh dalam sekejap.

"Jadi kapan kamu bisa ngajak Priya ke sini?"

Benar, kan?

"Minimal, kamu kenalkan ke Papa dan Mama dulu, biar kami juga bisa mengenal lebih jauh calon istri kamu."

Antasena tak langsung menjawab. Bibi yang tengah membawakan dua cangkir teh itu, sudah lebih dulu mengalihkan perhatian mereka. Tiba-tiba saja nafsu makannya lenyap begitu saja setelah mendengar ucapan Shinta.

"Harus banget aku nikah, Ma?" tanya Antasena setelah menelan nasinya tanpa minat.

"Kenapa? Kamu keberatan kalau Mama minta kamu segera menikah?"

Antasena tidak menjawab. Dan Shinta kembali melanjutkan ucapannya.

"Kakek Sandiaga bukan Mama atau Papa yang selalu membebaskan kamu hidup dengan pilihanmu sendiri, Sen. Setidaknya dengan adanya ikatan pernikahan, kakekmu tahu kalau akan ada generasi penerus di keluarga kita.

"Mama nggak mungkin minta Satya untuk menikah duluan. Meskipun bisa saja. Hanya saja, Kakek Sandiaga hanya melihatmu untuk saat ini. Cuma itu yang diinginkan Kakek Sandiaga."

"Mama tahu kan kalau pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dibuat main-main?”

"Siapa yang mau main-main? Itulah kenapa Mama akan merestui hubungan kamu dengan Priya. Mama tahu kalau kamu mencintainya, Sen. Dan Mama akan berusaha untuk menerimanya," putus Shinta dengan bijaksana.

"Bukan itu masalahnya, Ma. Tapi—"

"Tapi apa?" potong ibunya dengan cepat.

Jeda sesaat tatapan Antasena tertuju ke arah Shinta. Ingin rasanya pria itu mengatakan yang sejujurnya, tapi raut penuh harap yang tercetak jelas di wajah ibunya sejenak membuat Antasena mulai gamang.

"Satu tahun, Ma. Aku janji tahun depan akan menikahi Priya. Aku nggak—"

"Dua bulan lagi ada rapat direksi. Dan itu artinya, Papa kamu harus merelakan perusahaan untuk Tomi."

Antasena menggertakkan rahangnya dengan keras. Kepalanya mendadak pening, tidak tahu harus bagaimana menjawab perkataan Shinta.

"Mama nggak pernah ikut campur dengan urusan pribadimu, Sena. Termasuk saat kamu memilih untuk bekerja di perusahaan lain. Mama memberimu kebebasan. Saat kamu memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Priya yang notabene Mama meragukan dia.

"Tapi sekarang, bahkan Mama sama sekali tidak menyatakan keraguan itu sama kamu. Untuk kali ini saja, Sen, tolong bantu Mama. Kapan Mama memohon sama kamu seperti ini, Nak? Jika kondisinya tidak serumit ini, Mama nggak akan meminta apalagi memaksa kamu. Jadi tolong, pikirkan Mama untuk kali ini saja."

Setelah menikmati makan malamnya bersama Shinta, Antasena memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Tadinya dia berniat untuk tetap tinggal, namun melihat situasi yang tidak kondusif, Antasena mengurungkan niatnya.

"Tau jalan pulang juga lo?"

Suara vokal Satya, sontak membuat Antasena mengangkat wajahnya. Ditatapnya sang adik yang usianya hanya terpaut dua tahun itu, lalu mendesah pelan.

"Lo harusnya sadar kalau sejak dulu Mama care sama lo. Apa susahnya nurutin maunya Mama, sih? Apa kepala lo mesti gue jedotin ke tembok dulu, biar lo amnesia? Dunia nggak hanya berputar di sekitar lo, Bang. Harusnya lo jadi anak yang lebih peka," sindir Satya saat tak kunjung mendapatkan tanggapan dari kakaknya.

"Bukan urusan lo," desis Antasena tampak tidak terusik dengan ucapan adiknya. "Kalau lo mau, lo aja yang nikah duluan."

Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Antasena berlalu begitu saja meninggalkan Satya yang masih termenung di tempatnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Antasena tampak kacau. Pikirannya sibuk berkelana memikirkan kemungkinan yang bisa dilakukannya. Setidaknya dia tidak ingin membuat ibunya kecewa.

Begitu tiba di apartemennya, Antasena mengayunkan langkahnya menyusuri koridor lantai unitnya. Dia menekan kombinasi angka saat berdiri di depan pintu, lalu mendorong pintu tersebut sebelum kembali melangkah.

Langkahnya mendadak terhenti. Dia bisa melihat sepatu high heels yang sangat familiar di susunan rak sepatunya, lalu Antasena mendesah pelan. Siapa lagi jika bukan Priya Zaneeta? Terus terang Antasena sedang tidak ingin bertengkar.

"Sen…"

Antasena membuang napas lelahnya. Pria itu hanya menoleh sekilas ke arah Priya sembari melepaskan jas yang sejak tadi membalut tubuhnya, lalu berjalan menuju dapur.

"Aku lagi nggak mau bertengkar, Ya." Pria itu membuka lemari pendingin, dia mengambil sebotol minuman dingin, lalu meneguknya dengan pelan.

Saat Antasena sibuk membasahi kerongkongannya dengan air dingin, Priya memeluknya dari belakang. Antasena bisa merasakan dekapan hangat perempuan itu, tapi dia sedang tidak dalam keadaan bergairah sekarang.

"Aku mau minta maaf sama kamu," ujar Priya dengan suara pelan.

"Maaf nggak akan menyelesaikan masalah, Ya. Kepalaku berat banget sekarang, aku pengen tidur."

Priya menarik diri lalu membalikkan badan Antasena agar bisa menghadapnya.

"Apa karena aku?"

Sementara pria itu hanya bergumam lirih. "Ada apa?"

Priya menggigit bibirnya bagian dalam, tampak ragu mengatakannya.

“Kalau yang ingin kamu katakan sekarang adalah tentang menyewa orang untuk jadi istri pura-pura aku, no thank you. Pernikahan bukan untuk main-main, Priya Zaneeta."

Bukan Priya yang mulai membahasnya. Sudah kepalang tanggung Antasena membicarakannya, perempuan itu hanya melanjutkannya.

"Tapi cuma itu yang bisa kita lakukan, Sen. Kamu bisa menyelamatkan keluargamu, dan aku masih bisa berkarir," elak Priya mencoba membenarkan idenya.

Antasena meraup wajahnya, lalu mendesah gusar. "Kamu udah nggak waras, Ya?" sengal pria itu tak terima. “Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sekarang, hm?"

"Aku sayang sama kamu, Sen. I mean, ini bisa menjadi solusi terbaik untuk kita. Aku nggak bakalan melakukan hal segila ini kalau bukan untuk kamu. Please, cuma satu tahun, Sen. Aku janji akan menggunakan waktu ini sebaik mungkin dan kita akan menikah setelahnya. It's a win-win solution, right?”

Antasena menggeleng cepat. "No, thank you. Aku nggak bisa."

Antasena berjalan meninggalkan Priya, berjalan menuju ke ruang tamu dan melemparkan punggungnya di sofa.

Cukup Shinta yang membuatnya gila hari ini, jangan tambahkan Priya.

"Aku akan mengatur janji dengan wanita yang aku sewa untuk pura-pura jadi istri kamu. Dia membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya, anggap saja aku juga sedang membantunya. Untuk alamat dan nomornya aku kirim nanti. Tolong pertimbangkan ide aku, Sen."

Setelah mengatakan itu, Priya meraih tasnya dan langsung meninggalkan Antasena yang masih termangu di tempatnya.

Begitu pintu apartemen itu ditutup, ingin rasanya pria itu mengumpat sejadi-jadinya.

"Fuck!"

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Cinta Wanita Pengganti   EPILOG

    “Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.

  • Jerat Cinta Wanita Pengganti   70. Quality Time

    PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang

  • Jerat Cinta Wanita Pengganti   69. Yang Sebenarnya

    TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den

  • Jerat Cinta Wanita Pengganti   68. Pertemuan Kembali

    “Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “

  • Jerat Cinta Wanita Pengganti   67. Sadarnya Antasena

    Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj

  • Jerat Cinta Wanita Pengganti   66. Keputusan Pradnya

    "Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status