"Stop!" Ivy berteriak lantang tepat ketika Noah nyaris saja menempelkan bibirnya ke bibir perempuan itu. "Aku akan keluar."
Setelahnya, Ivy beranjak. Menyeret kakinya yang pincang dan kini terasa lemas karena sikap tega suaminya, ia pun keluar menuju kamar yang telah dipesankan Noah.
“Harusnya… harusnya aku memang tidak boleh memiliki harapan.”
Ivy duduk di tepian tempat tidur dengan kepala menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan demi mengontrol tubuhnya yang gemetar semenjak keluar dari kamar yang seharusnya menjadi saksi malam pertamanya.
Meski ia tidak menyaksikan bagaimana Noah dan perempuan murahannya itu melanjutkan adegan dewasa itu, tapi bayangan liar mengenai kemungkinan mereka memadu kasih kini terus mengganggu benak Ivy.
Seharusnya, Ivy tidak lupa tentang takdirnya yang selalu terkurung dan dibatasi. Sikap Noah selama beberapa minggu terakhir membuatnya sangat terlena hingga ia bisa jatuh cinta dengan mudah.
Sebelumnya, Noah memang melamar untuk Clara. Namun, ia berusaha membatalkan pernikahan itu dan menggantikan Clara karena adiknya masih terlalu muda untuk menikah apalagi terkekang dalam pernikahan bisnis.
“Aku pikir dia berbeda. Aku pikir….” Ivy tak bisa melanjutkan gumamannya karena air mata yang akhirnya keluar satu per satu.
Benak Ivy lantas membandingkan perilaku Noah sebelum dan setelah mereka menikah.
Noah tahu kalau Ivy memiliki kecacatan. Ia memiliki kaki yang tak sempurna, yang membuatnya terlihat kurang nyaman saat berjalan.
Ia pikir, kebaikan Noah adalah sebuah ketulusan. Nyatanya, Ivy yang terlalu mudah dibohongi.
Sadar tak bisa terus-terusan menjadi gadis lemah, Ivy mencoba memukul dadanya untuk menghentikan tangisan. Matanya menatap ke tiap penjuru kamar hotel, mencari barang elektronik yang mungkin disediakan di kamar.
“Kenapa nggak ada komputer di sini?”
Ivy mulai mendesis frustrasi. Ia benar-benar harus melakukan sesuatu. Di saat yang tepat, ponselnya berbunyi nyaring.
Sebuah panggilan masuk, dari Clara. Tanpa pikir panjang ia segera mengangkat panggilan dari adiknya.
“Halo, Kak? Bisa turun ke lobi nggak? Aku dan Ayah membawa kopermu karena Noah bilang kalian akan langsung berangkat ke Korea untuk bulan madu besok.”
Mata Ivy melebar. Ia hampir lupa dengan wacana bulan madu yang telah direncanakan jauh-jauh hari.
“Cepat datang, sebelum Ayah marah.”
“Tunggu!”
Ivy menunduk dan menyadari kalau ia hanya mengenakan jubah mandi. Bagaimana mungkin ia turun ke lobi hanya berpenampilan seperti ini?
“Apa kau bisa naik ke lantai sepuluh? Aku akan menunggu di lorong,” pinta Ivy.
Ivy bisa mendengar deru napas panjang di seberang telepon. “Aku sih tak masalah, tapi kau tahu kalau Ayah….”
“Please, Clara. Ayah bisa menunggu di lobi dan kau naik sendiri. Aku mohon….”
“Ya, baiklah.”
Saat panggilan berakhir, Ivy segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kepalanya makin pusing saat melihat penampilannya yang berantakan dengan wajah yang bengkak karena terlalu banyak menangis.
“Clara pasti curiga… aku harus bilang apa?”
Adiknya itu selalu mengkhawatirkannya dan ia tak mau membuatnya kepikiran. Lamunan Ivy buyar saat notifikasi ponselnya menunjukkan satu pesan baru dari Clara.
“Aku dan Ayah sudah di lorong lantai 10. Cepat keluarlah sebelum Ayah marah.”
Ivy berlari cepat. Meskipun kaki kirinya cacat dan susah bergerak, ia masih cukup lihai dengan kaki kanannya.
“Kak Ivy!”
Ivy menoleh ke arah kanan di mana sumber suara berada. Ayah dan adiknya berdiri tak jauh dari lift.
“Ini kopermu.” Clara menyerahkan koper abu-abu miliknya.
“Terima kasih banyak. Maaf merepotkan.”
“Sejak dulu kau memang selalu merepotkan dan menjadi beban.”
Senyuman Ivy menjadi kaku saat mendengar ucapan ayahnya. Ia hanya mengangguk. Sudah sangat biasa dengan segala ucapan menyakitkan dari ayahnya.
Ivy tersedak saat tangan ayahnya sudah melingkar cepat di leher. “Kau pasti bersenang-senang dengan suamimu. Apa dia tahu tentang luka-luka itu? Apa kau sudah mengatakannya?”
Ia menggeleng cepat dan mencoba melepaskan cekikan itu tapi cengkraman tangan ayahnya makin erat.
Clara menarik tangan ayahnya dengan sekuat tenaga. “Ayah, jangan melakukannya di sini. Ada kamera CCTV, belum juga beberapa orang yang lewat.”
Saat lehernya terbebas, Ivy terbatuk-batuk dan mengambil napas dalam-dalam. Dadanya hampir pecah karena kehabisan oksigen. Beruntung, Clara berhasil menyelamatkannya untuk kesekian kali.
“Jangan merasa bahagia karena bisa lepas dari kendaliku. Selamanya, kau adalah samsakku.”
Ayahnya segera masuk ke lift setelah mengatakan itu.
Clara menyempatkan diri untuk memeluknya sambil berbisik, “Tidak apa, sekarang kau bisa bahagia tanpa kekangan Ayah.”
“Kau juga harus keluar dari rumah setelah aku menikah. Jangan sampai menjadi samsak penggantiku,” balas Ivy dengan memeluk Clara lebih.
“Iya, aku sudah ambil kamar di asrama kampus.”
“Clara! Cepatlah!” Terdengar ayahnya berteriak tak sabar.
Ivy mendorong tubuh Clara agar segera menyusul ayahnya. Ia tak mau membuat adiknya terkena masalah.
“Dadah!”
Clara melambaikan senyumnya dengan tersenyum lebar. Ivy ikut tersenyum sampai pintu lift tertutup rapat.
“Ah… sakit,” rintihnya sambil menyentuh leher bekas cekikan ayahnya.
Ivy segera kembali ke kamarnya dan mencari cermin. Kemudian, helaan napas panjangnya memenuhi ruangan karena melihat bekas merah yang melingkar di lehernya.
“Kenapa semua orang terobsesi untuk menyiksaku?”
Setelah berhasil lepas dari ayahnya yang suka menyiksa di tiap kesempatan, sekarang ia mesti terjebak dengan suaminya yang gemar menyiksanya secara batin.
Melihat aura kekejaman Noah semalam, diam-diam rasa takut mulai Ivy rasakan. Bukan tak mungkin, Noah bisa melakukan kekejaman yang sama, seperti yang ayahnya lakukan.
“Apa… nasibku akan sama seperti Mama?”
Ivy terduduk lemas di lantai. Angannya terbang pada memori masa kecilnya yang dipenuhi dengan jeritan dari mendiang ibunya saat menjadi pelampiasan amarah ayahnya.
Evan Dharma, ayahnya, memang memiliki temperamen yang sangat buruk. Apabila suasana hatinya memburuk sedikit saja, maka tangannya bergerak cepat memukul orang di dekatnya.
Ivy kembali menangis. Mengingat sikap Noah, membuatnya sadar kalau pernikahan ini telah menjadi neraka lain untuknya.
“Apa… pada akhirnya aku juga akan meninggal di tangan suamiku?”
Sudah satu minggu berlalu sejak siaran langsung yang dilakukan Ivy menggambarkan seluruh negeri. Sampai saat ini, banyak orang yang ikut mengawal kasusnya, bahkan ada beberapa pihak yang ikut angkat suara mengenai kelicikan dan kejahatan Evan.Akan tetapi, Ivy masih gundah karena tidak ada tanda-tanda kemunculan Evan. Ia tak tahu sembunyi dimana ayahnya sampai tak ada orang yang berhasil menemukannya.“Ivy! Ivy!” Ivy yang baru melamun di taman belakang, terkejut saat mendengar teriakan Noah. Ketika ia menoleh, Noah menatapnya dengan mata penuh keharuan.“Ada apa?” tanya Ivy.“Evan sudah ditemukan di bandara. Dia akan melakukan perjalanan ke Amerika. Beruntung pihak bandara sudah mengetahui wajah Evan yang tersebar luas dan segera melaporkan ke pihak berwajib,” jelas Ezra dengan helaan napas lega. Mendengar hal itu, Ivy tak kuasa untuk menangis bahagia. Perasaan gundah yang semula memenuhi dirinya telah sirna seutuhnya.“Kita berhasil, Ivy! Kita berhasil menangkapnya!” seru Noah deng
Clara mengerti dengan suasana tegang yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Ia pun paham dengan tatapan tajam dari Noah dan Ezra yang belum percaya kepadanya, meskipun ia sudah sepenuhnya bertaubat.Ia sudah melakukan banyak kejahatan dan menghancurkan hidup Ivy, jadi ia paham dengan perasaan Noah dan Ezra. Oleh karena itu, ia tak tersinggung meski ditatap dengan tajam.“Clara….” Ivy menoleh ke arah Clara dengan mata merahnya.Clara ingin memeluk Ivy, tetapi ia tak bisa melakukannya karena kedua tangannya sudah diborgol. Maka, ia hanya memberikan seulas senyuman dan kembali fokus menatap kamera.“Mungkin kalian terkejut melihat borgol di tangan saya, jadi saya ingin mengungkap kalau saya memang akan ditangkap karena saya terlibat dalam penculikan kakak saya,” tukas Clara.Noah dan Ezra baru bisa bernapas lega setelah mendengar ucapan Clara. Kini, mereka bisa mempercayai Clara sepenuhnya karena perempuan itu benar-benar terlihat tulus dengan mengungkap kejahatannya sendiri.“Kalian mungkin t
Ivy duduk dengan tegak. Di depan wajahnya sudah terdapat kamera yang menyalah merah, sedangkan di belakang kamera terdapat Noah, Ezra, Bibi Puja, dan Clara.Mereka sudah memutuskan untuk melakukan siaran langsung di kediaman Ezra karena Ezra memiliki banyak alat perlengkapan di bidang teknologi. Tanpa waktu panjang, Ezra dan Ivy mencoba menyusun semuanya sampai siap diluncurkan.“Aku benar-benar takjub melihat kalian,” komentar Noah saat Ivy dan Ezra sibuk menyiapkan senjata.“Sekarang kau sadar kalau sudah menikah dengan perempuan hebat?” tanya Ezra.“Aku memang sudah sadar dari dulu karena buktinya hanya Ivy yang bisa menaklukkan hatiku,” jawab Noah.Ivy hanya tersenyum saat mendengar ucapan penuh rayuan dari Noah. Setidaknya hal itu mampu untuk menenangkan dirinya yang sedang dilanda kegugupan.“Kau siap, Ivy?” tanya Ezra.Ivy mengangguk. “Ya. Mulailah.”Sebelum Ezra menekan tombol merah di komputer yang nantinya akan meretas semua media di indonesia, tangannya sudah berkeringat di
Ivy menunggu kedatangan Ezra dengan gugup. Meskipun Clara dan Noah terus menanyakan perihal maksudnya, ia tetap tak bisa menjawab.“Tunggu Ezra datang,” balasnya secara berulang kali ketika Clara bertanya ada apa.Ezra juga memegang peran penting dalam rencananya. Ia dan Ezra harus bekerja sama agar semuanya rencana berjalan dengan baik.Setelah menunggu selama hampir tiga puluh menit, akhirnya Ezra datang bersama Bibi Puja. Mereka berdua masuk ke ruangan Clara dengan raut panik. “Bibi Puja?” tanya Clara.Bibi Puja yang sudah panik semakin gelagapan karena melihat Clara. Ia bahkan langsung bersembunyi di belakang tubuh Ezra karena takut berhadapan dengan Clara.“Jadi kau tiba-tiba hilang ternyata ikut dengan mereka?” tanya Clara, lagi.“Ya. Bibi Puja yang membantu Noah dan Ezra,” sahut Ivy.Bibi Puja masih berdiri di belakang Ezra dengan gemetar. Ia takut Clara akan memarahinya ataupun memukulnya. Akan tetapi, Clara tak bereaksi apa-apa selain mengangguk.“Oh.”Melihat reaksi Clara y
“Keadaanmu sudah sangat membaik. Kau minum obat secara teratur, melakukan terapi dan konsultasi rutin, juga mengerjakan semua tugas yang saya berikan.”Dokter Serlyn tersenyum manis saat mengungkap kemajuan keadaan Ivy. Akan tetapi, ia tahu kalau Ivy sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Meskipun ia melihat senyum Ivy sekarang, gurat wajahnya yang kaku tak bisa mengelabui matanya. “Jadi, apa ada yang mengganggumu lagi akhir-akhir ini?” tanyanya kemudian. Ivy mengangguk kaku, tetapi mulutnya tak kunjung bersuara hingga Dokter Serlyn mengulangi pertanyaannya.“Apa yang mengganggumu, Ivy? Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ujarnya. Ivy memainkan jari-jemarinya ketika otaknya berusaha menyusun kalimat yang pas. Dokter Serlyn dengan sabar menanti sampai Ivy bersuara. “Dokter….” Ivy memanggil Dokter Serlyn dengan gugup.Dokter Serlyn mengangguk. “Ya?”“Menurut Dokter apa saya boleh balas dendam?” tanya Ivy dengan sangat lirih. “Kau ingin balas dendam?” tanya sang dokter, cukup terkejut
Clara sudah dirawat selama satu minggu lebih dan selama itu pula Ivy tak kunjung mendatanginya. Ia sempat terenyuh saat mendengar ucapan Ezra beberapa waktu yang lalu, tetapi semua itu sirna karena Ivy tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.“Ezra pasti hanya bermulut besar. Aku yakin Ivy senang melihatku tak berdaya seperti ini,” gumam Clara sambil menatap langit-langit rumah sakit. Ketika Clara hanyut dalam lamunannya, sayup-sayup ia mendengar suara Ivy. Ia melirik pintu ruang kamarnya dan yakin kalau Ivy yang baru saja berteriak di depan kamarnya. Ivy seperti sedang marah kepada Noah karena ia baru mengetahui keadaannya. Mereka terus berdebat alot sampai akhirnya masuk ke dalam ruangannya. Ia pun langsung menutup matanya dan berpura-pura tidur. Clara tak tahu kenapa ia harus berpura-pura di depan Ivy. Harusnya ia langsung berteriak marah kepadanya seperti biasa. Akan tetapi, ia lebih memilih diam dan terus berakting tak sadarkan diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Clara merasa hidupnya sudah di ambang batas. Ia sudah yakin kalau dirinya akan mati saat disiksa dengan begitu kejam oleh ayahnya karena Ivy berhasil melarikan diri. Ia disekap selama berhari-hari dan akhirnya dibawa pergi dari rumah dengan niatan ingin dibuang.Ayahnya pasti mengira ia sudah menjadi mayat karena diam saja dan terus menutup mata, padahal ia memang sengaja berpura-pura pingsan agar siksaan itu terhenti. Ia juga menahan napasnya saat ayahnya mengecek alur napas di hidungnya.Saat berada di dalam mobil, Clara mendengar desisan ayahnya yang akan melemparkan mayatnya ke dalam lautan. Maka, saat ayahnya berhenti di pemberhentian bensin, ia segera kabur.Ia terus berlari dan bersembunyi hingga akhirnya ia tak sanggup lagi. Ia jatuh pingsan di tepian jalan dekat sungai dan sudah menyerah akan kehidupan.“Sebentar lagi aku pasti mati,” pikirnya.Di detik-detik menyakitkan itu, ia mulai terbayang dengan berbagai memori. Tentang kebersaman dengan mendian ibunya yang menghangatka
Ivy melewati lorong rumah sakit dengan jantung yang terus berdebar kencang. Setelah mendengar apa yang Noah sembunyikan, Ivy tak bisa menahan diri untuk tetap bergelung di atas tempat tidur.“Antarkan aku ke rumah sakit sekarang juga!” seru Ivy dengan berlonjak bangun.Ivy bahkan hampir lupa dengan kecacatan kakinya hingga ia hampir terjatuh dari tepat tidur sewaktu ingin bangun. Noah sontak menahan dirinya dan membantunya bersiap-siap dengan cepat.“Kau harus tenang Ivy. Jaga napasmu,” peringat Noah untuk kesekian kalinya.Noah terus mengatakan hal yang sama sejak membantunya bersiap-siap di rumah, di perjalanan menuju rumah sakit, hingga saat ini. Jika dihitung, mungkin sudah dari seratus kali Noah mengatakannya.“Aku akan tenang seandainya kau tak menyembunyikan hal ini dariku!” seru Ivy.“Aku menyembunyikannya karena tahu kalau kau akan bereaksi seperti ini. Aku tak ingin membuatmu makin khawatir,” ucap Noah.“Siapa yang tidak khawatir kalau adikku ditemukan hampir tewas dan sekar
Setelah Noah lebih tenang, ia melepaskan pelukan secara perlahan. Ivy mengapus air mata di wajah Noah dan memberi kecupan di setiap lekuk wajahnya. Noah pun melakukan hal yang sama.Bibir Noah terhenti cukup lama di bibir Ivy. Ia mengulum lembut bibir itu sembari menggendong tubuh Ivy dengan sigap dan membaringkannya ke tempat tidur. Ciuman itu tak terlepas sama sekali sampai Ivy menepuk-nepuk dadanya karena kehabisan napas.Mereka tak pernah melakukannya sejak Ivy siuman dari komanya. Mungkin sudah satu bulan berlalu Noah menahannya.Noah tahu ia harus memendam seluruh hasratnya karena keadaan Ivy yang masih lemah, sama seperti sekarang. Hanya saja posisi mereka yang sudah sangat dekat dan intim seperti ini membuat Noah lebih sulit menguasai diri.Ivy menyadari suasana yang jadi lebih intens di antara mereka. Kedua tangannya melingkar di leher Noah hingga membuat wajah Noah yang berada di atasnya hampir menempel di wajahnya.“Lakukan saja. Tak apa,” lirih Ivy.Noah menelan ludahnya