Share

Diancam dipecat

Author: Lia Scorpio
last update Last Updated: 2022-09-21 22:37:14

Intan yang tadinya merasa lapar, kini tidak berselera lagi untuk kembali ke restauran tempat Lingga berada. Intan memutuskan kembali ke kamarnya.

"Baru satu hari di sini, berarti masih ada sisa enam atau tujuh hari lagi. Apa aku bisa bertahan selama itu, apalagi satu kamar dengan bos gila seperti dia," gumam Intan, duduk membelakangi pintu kamar.

"Siapa yang kamu sebut bos gila? Kamu mengatai saya di belakang?" tanya Lingga, entah dari mana dan kapan munculnya.

Mendengar suara Lingga, sontak Intan berbalik. "Bapak? Ka-kapan Bapak kembali?" tanya Intan, menepuk keningnya sendiri.

"Kapan saya kembali, itu tidak penting. Ternyata kamu memang suka membuat masalah, ya? Masalah yang sebelumnya saja, sudah membuat kamu mau dipecat, sekarang membuat masalah baru. Apa kamu mau dipecat sekarang?" tanya Lingga, perlahan mendekati Intan.

Intan memundurkan posisi duduknya. "Berhenti Pak! Bapak mau a-apa?" Wajah Intan sudah ketakutan.

"Saya mau apa? Itu terserah saya. Saya bos di sini, dan kamu bawahan. Kalau kamu tidak mau dipecat, kamu harus mau menuruti kemauan saya," bisik Lingga, sengaja menghembuskan nafasnya tepat di telinga Intan.

Untuk yang kesekian kalinya, Intan merasakan sesuatu yang lain. Bulu-bulu halus itu kembali berdiri. Entah perintah dari mana, bukannya menjauh dari Lingga, Intan malah memejamkan matanya pasrah.

Lingga menyeringai melihat tingkah Intan. "Buka matamu itu! Apa yang ada di dalam pikiran kotormu? Kamu pikir, aku mau mencium atau menyentuh kamu? Hahaha... Jangan pernah bermimpi setinggi itu!" ejek Lingga, beranjak dari tempatnya menuju sofa.

Intan mengerucutkan bibirnya kesal. Baru kali ini dirinya diejek habis-habisan oleh seorang pria. Terlebih lagi itu pria yang masih asing. Intan membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arah Lingga.

'Dasar menyebalkan,' batin Intan, beranjak dari tempatnya.

"Mau ke mana kamu?" tanya Lingga.

"Mau makan," ketus Intan, tanpa mengatakan apa apa lagi langsung keluar.

Lingga terkekeh melihat tingkah Intan. Rasa penasarannya semakin besar terhadap Intan.

'Gadis yang unik. Sepertinya dia akan jadi mainan baruku di kantor nanti. Lumayan lah, dari pada suntuk karena banyak kerjaan, lebih baik aku mengganggu dia saja nanti,' gumam Lingga, dengan setianya memperhatikan pintu kamar.

Sedang asyik melamun tentang Intan, suara dering ponsel mengejutkan Lingga. Dikeluarkannya ponsel dari saku celananya.

"Agung?" gumam Lingga, dengan cepat menjawab panggilan sang asisten.

"Ada apa Gung?"

"Begini Ling, aku sudah mendapatkan sekretaris yang cocok. Mungkin sekretaris magang itu akan dipindahkan ke divisi lain setelah ini. Bagaimana menurut kamu?"

Ekspresi wajah Lingga berubah masam, mendengar informasi Agung. "Aku tidak bersedia, biarkan saja gadis itu menyelesaikan magangnya. Untuk sekretaris baru yang kamu rekomendasikan tadi, tolak saja!"

"Tapi Ling, ini tidak sesuai dengan prosedur perusahaan. Nona Intan itu hanya bertugas sementara, selama sekretaris yang baru datang. Sekarang tugasnya sudah selesai, dan harus digantikan sekretaris yang baru," bantah Agung.

"Kamu turuti saja, apa yang aku perintahkan! Di sini aku bosnya, aku pemilik perusahaan itu. Aturan, prosedur, atau apalah itu. Aku berhak mengubah atau membatalkannya," tegas Lingga.

"Kamu kenapa Ling? Kamu menyukai nona Intan? Kenapa kamu kekeh mempertahankannya? Apa kalian berdua?"

"Jaga mulut kamu itu Gung! Aku dan gadis itu tidak ada apa-apa. Jangan gunakan otak kotormu itu untuk berpikiran yang tidak-tidak!" gerutu Lingga.

"Ya, aku kan hanya menebak saja. Siapa tau saja, secara kalian berdua kan sedang dalam tugas dinas. Aku dengar, kamar tidur kalian juga bersebelahan," ledek Agung, semakin membuat Lingga kesal.

"Bersebelahan apa? Aku dan gadis itu tidur satu kamar," gumam Lingga tanpa sadar.

Agung membulatkan matanya, sesekali mengorek-ngorek telinganya. "Kalian tidur satu kamar? Jadi, maksudnya, kalian tidur satu ranjang berdua?" pekik Agung.

Lingga menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Kenapa kamu heboh sekali? Siapa bilang aku tidur satu kamar dengan gadis itu?" elak Lingga.

"Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang. Awas Ling, hati-hati! Jangan sampai kebablasan, bisa-bisa pulang dari tugas luar, anak gadis orang berbadan dua," ledek Agung.

"Memangnya kenapa kalau berbadan dua? Kamu iri? Atau, kamu juga mau?"

"Eh, aku tidak seperti itu, ya! Begini-begini, aku masih tau agama sedikit. Aku mau yang sah-sah saja, tidak seperti kamu. Sekretaris magang saja diembat juga,"

"Sialan kamu Gung! Mau aku pecat sekarang? Atau mau aku turunkan jabatan kamu jadi OB?" ancam Lingga, emosi.

"Eih, jangan dong! Aku kan hanya bercanda. Hidup ini jangan terlalu dibawa serius Ling! Harus banyak bercanda, anggap saja hiburan. Kalau terlalu serius dan marah-marah, nanti cepat tua. Dan, itu artinya cepat bau tanah," Setelah mengatakan itu, terdengar tawa keras Agung.

"Sudahlah! Lebih baik aku matikan saja. Bicara denganmu tidak ada gunanya. Jangan terlalu banyak tertawa! Kerjakan pekerjaan kamu! Kalau sampai aku pulang nanti ada banyak masalah di kantor, awas saja kamu!" omel Lingga. "Satu lagi, jangan terlalu tertawa sendiri! Nanti orang-orang menyangka kamu gila," lanjut Lingga, setelah mengatakan itu, dengan cepat memutus sambungan telepon.

Lingga melempar ponselnya ke atas kasur, lalu berbaring di sampingnya. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Lama sekali gadis itu makan. Apa dia tidak tau, kalau sebentar lagi aku harus meeting? Baru tugas luar pertama, sudah membuat aku susah saja. Tidak ada disiplinnya sama sekali,' gerutu Lingga, bergegas bangun.

Kaki jenjangnya melangkah menuju pintu kamar. Lingga berniat menyusul Intan ke restauran hotel. Namun, baru saja tangannya terangkat ingin membuka pintu. Intan yang tidak tau kalau Lingga ada di depannya, dengan keras mendorong pintu kamar.

Alhasil, kening Lingga tertabrak daun pintu itu. "Aduh! Siapa yang membuka pintu? Apa tidak punya mata? Kepalaku sakit!" umpat Lingga, mengusap keningnya yang memerah.

Mendengar suara Lingga, Intan bergegas menjauh dari pintu kamar, sebelum dirinya terkena masalah lagi. Belum beberapa jam berlalu, dirinya sudah terlalu banyak membuat kesalahan.

'Kali ini aku tidak boleh ketahuan. Kalau sampai bos mesum itu tau, aku yang membuka pintunya, bisa habis aku.' batin Intan, mempercepat langkahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Terkurung di kantor

    Agung masuk tanpa persetujuan Lingga. Asisten pribadi Lingga itu langsung menghampiri keduanya yang sudah tertangkap basah ingin berciuman. "Gila, ini kantor Bos," ledek Agung. Intan langsung mendorong Lingga menjauh. Wajahnya memerah menahan malu. Tanpa mengatakan atau membela diri, Intan bergegas keluar dari ruangan Lingga. "Kenapa kamu masuk tidak ketuk pintu dulu?" Lingga menatap tajam Agung yang terlihat santai "Aku sudah mengetuknya, kamu saja yang tidak dengar. Saking fokusnya ingin berciuman, kamu sampai tidak tau," sindir Agung, menyerahkan satu map berwarna coklat kepada Lingga. "Ini jadwal kamu besok sampai satu minggu ke depan, aku hanya mau menyerahkan ini saja," lanjut Agung, tersenyum mengejek. Lingga tidak menerima map itu, hanya matanya yang melirik sinis. "Kamu hanya memberikan ini saja? Cepat keluar sana! Lain kali, kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!" usir Lingga, mendorong tubuh Agung, menuju pintu. Agung terkekeh mendapa

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Hampir berciuman

    Intan duduk termenung di kursinya. Kata-kata Agung membuatnya bingung. "Masa iya di kantor besar seperti ini ada kodok sih? Apa benar? Terus, dari mana Pak Agung tau, kalau tuh kodok berjenis betina?" "Aku seperti orang bodoh saja memikirkan ini. Apa jangan-jangan, pak Agung membohongi aku?" lanjut Intan bermonolog sendiri.Sibuk dengan pemikirannya. Telepon kantor di ruangannya berdering. Dengan tergesa-gesa Intan meraih gagang telepon di atas mejanya. "Hello selamat pagi, di sini Intan Sasmita, sekretaris dari perusahaan Lingga Mahendra," "Tidak perlu diberitahu! Cepat keruangan saya sekarang!" titah seorang pria, yang tidak lain adalah Lingga. Intan langsung meletakkan kembali gagang telepon ke tempat asalnya. "Huh, ternyata bos gila itu. Sudah bicara lembut, ternyata bukan orang penting yang menelepon," umpat Intan, dengan malas beranjak dari duduknya. Intan berjalan gontai menuju ruangan Lingga. Terlalu malas jika harus bertemu atasan yang selalu s

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Kodok betina

    Dengan sangat terpaksa Lingga hanya bisa menuruti kemauan Agung saja untuk tidak memotong gajinya. Ancaman dari asistennya itu, benar-benar membuat Lingga tak berdaya. "Sana keluar! Kerja yang benar, awas saja kalau ada yang salah!" "Kamu tenang saja Bos, semua kerjaan aman di tangan asisten handal seperti aku," sahut Agung, dengan penuh percaya diri. "Eh, tapi apa Bos yakin, tidak mau melihat sekretaris baru yang sesuai kriteria perusahaan?" tanya Agung, menggoda Lingga. "Keluar atau aku pecat kamu!" Lingga benar-benar dibuat kesal pagi ini. Agung langsung berlari keluar dari ruangan Lingga sambil terus tertawa. Mengerjai atasan itu, benar-benar ada kebahagiaan tersendiri, apalagi atasan yang seperti Lingga. Lingga melemparkan pena ke arah pintu yang baru saja Agung tutup, lalu memutarkan kursinya ke arah belakang. "Aduh!" Intan mengusap keningnya yang sakit. Mendengar suara yang familiar, Lingga langsung memutar kembali kursinya menghadap

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Mencari Intan

    Tak jauh berbeda dengan Intan. Lingga hanya bisa berbohong untuk saat ini. Tidak mungkin dirinya menceritakan kejadian saat di kamar mandi, saat dirinya tidak sengaja memegang satu diantara gunung kembar milik Intan karena lampu padam. "Bukannya tidak mencari kamar lain Ma, tapi saat itu memang semua kamar sedang penuh. Mama dan Papa kan tau sendiri kota itu bagaimana? Kota itu tempat wisata, pasti banyak yang datang," jelas Lingga, memberi alasan yang masuk akal. "Banyak alasan kamu Ga. Memangnya di kota itu cuma ada satu hotel saja? Masih banyak hotel lainnya, belum lagi penginapan, tidak mungkin semuanya penuh. Kalau mau memberi alasan, yang masuk akal sedikit. Memangnya kamu pikir, Mama dan papa ini bodoh?" omel sang mama. "Sudahlah Ma, semuanya juga sudah terlanjur. Tapi, kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa kan, Ga? Jangan macam-macam kamu Ga! Reputasi kamu bisa hancur kalau sampai punya skandal dengan sekretaris. Itu juga akan ber

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Alasan Lingga

    Cukup lama Intan terdiam, gadis bermanik hitam itu akhirnya mendongakkan kepalanya. "Tidak Yah, Intan memang sempat masuk ke kamar pak Lingga waktu itu. Tapi bukan karena tidur satu kamar. Ada berkas yang Intan ambil untuk persiapan meeting," ujar Intan berbohong. Sang ayah menghela nafas lega. "Syukurlah kalau begitu. Kalau sampai kalian tidur satu kamar, Ayah pastikan kalian menikah saat itu juga," sahut ayah Intan. Intan menelan air liurnya kasar. "Ah, Ayah, tidak mungkin Intan satu kamar," "Hem, iya. Besok kamu mulai masuk kerja lagi? Apa kamu betah kerja di sana?" tanya ayahnya. "Betah kok Yah, besok Intan kerja lagi. Memangnya kenapa Yah?" "Baguslah kalau kamu betah. Kalau tidak betah, kamu kerja di perusahaan Ayah saja. Tidak kenapa-kenapa sih, Ayah cuma khawatir saja. Apa kamu tidak mendengar berita di kantor itu, bagaimana Lingga memimpin. Ada banyak karyawan dan sekretaris yang dia pecat, karena ti

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Intan diinterogasi ayahnya

    Tak terasa, pekerjaan luar kota Lingga dan Intan akhirnya selesai. Setelah kejadian pegang memegang beberapa hari lalu, Intan seolah menjaga jarak, walaupun Lingga beberapa kali meledeknya. "Kamu kenapa sekarang pendiam sekali? Apa kamu masih marah karena kejadian itu?" tanya Lingga, merasa tidak nyaman diabaikan. Intan menggeleng sambil membenahi kopernya. "Saya sudah melupakan kejadian itu. Jadi, saya mohon jangan diungkit lagi! Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa!" Kopernya sudah siap, Intan berdiri memegang kopernya. "Saya sudah siap," ujar Intan, sudah tidak sabar ingin segera pulang. Lingga tidak melanjutkan percakapannya lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, Lingga langsung berjalan menyeret koper besar miliknya keluar dari kamar hotel. Perjalanan pulang kali ini tidak terlalu lama seperti saat mereka datang. Keduanya sudah sampai di bandara, menunggu pesawat yang membawa mereka sebentar lagi berangkat. "Apa kita makan dulu?" tanya Lingga,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status