LOGINPertanyaan itu jatuh seperti bara, membuat Dante terdiam sejenak. Matanya menutup, rahangnya menegang. Tangannya yang semula lembut kini mencengkeram leher belakang Risa, seolah butuh pegangan agar tidak tenggelam oleh rasa bersalah dan nafsu yang bercampur jadi satu.
“Kamu datang karena ingin tahu apa aku dan istriku juga melakukan hal ini di sini?” tanya Dante, suaranya berat dan melecut gairah.
Risa mengangguk, matanya penuh antusiasme dan tanpa rasa malu. Dante menarik tubuhnya lebih dekat, menatap Risa dengan tatapan dalam yang membakar.
“Jangan terlalu banyak ingin tahu soal hal-hal yang seharusnya tidak kau pikirkan,” bisiknya, sebelum mengangkat tubuh Risa dengan mudah, membawanya masuk ke kamar mandi yang tersembunyi di balik ruangan kantor.
“Aku cuma penasaran, Om,” Risa membalas, nada suaranya manja.
“Tidak ada yang terjadi,” Dante berbohong, sembari menurunkan Risa, namun matanya tak bisa
Risa berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, wajahnya setenang mungkin, walau dadanya terasa sesak luar biasa.Sejujurnya, ia ingin sekali berlari ke kamar, menutup pintu, dan melampiaskan amarahnya seperti Diana.Tapi tidak sekarang. Tidak di depan wanita yang sudah lebih dulu hancur karena lelaki yang sama.Diana menarik napas panjang, lalu merebut ponselnya dari tangan Risa.“Aku akan ke ruang Kakek,” katanya seraya bangkit.Baru beberapa langkah, tubuh Diana terhuyung.Refleks, Risa memegangnya erat.“Tante hati-hati,” ucap Risa cepat.Tatapan Diana kosong sesaat, lalu melembut—meski hanya s
Hari ini ulang tahun Dante.Namun sejak kemarin hingga siang, tak ada satu pun kabar darinya — tidak panggilan, tidak pesan, bahkan tanda baca read pun tak muncul di ponselnya.Risa sudah mencoba menelpon, mengirim pesan singkat, bahkan mengirim stiker seadanya hanya agar Dante tahu ia menunggu.Tapi semuanya sepi.Begitu sunyi hingga detak jam di kamarnya terdengar terlalu nyaring.Saat keluar untuk makan siang, langkahnya terhenti di depan kamar Diana.Pintu itu terbuka sedikit, hanya celah sempit, tapi cukup untuk membuat suara di dalam terdengar jelas.“Jangan main-main sama aku! Kau pikir aku tidak tahu, hah?” suara Diana terdengar parau — campura
Pesan itu terkirim ke grup — seketika centang dua di bawahnya berubah biru satu per satu.Tak sampai semenit, notifikasi bermunculan bertubi-tubi.Andien: AKHIRNYA! “Kamu ke mana aja, Ris? Gila, kita kira kamu udah kabur ke luar negeri!”Leny: “Sumpah ya, aku sampe ngecek semua akun kamu, gak ada update sama sekali.”Gio: “Kukira kamu diculik alien atau lari sama bule.”Risa tersenyum miring membaca semua pesan itu. Ada rasa hangat, tapi juga getir — karena selama ini dia memang “menghilang” untuk sesuatu yang bahkan gak bisa dia ceritain.“Cuma butuh waktu buat diri sendiri,”
“Kalau kamu nggak mau tanda tangan, ya sudah. Aku juga nggak mau ketemu sama kamu,” ucap Risa cepat, nadanya tegas dan dingin.“Risa, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku benar-benar nggak bisa tanpa kamu,” suara Rendi kini terdengar memelas, hampir bergetar.“Iya, kamu nggak bisa tanpa aku karena kamu nggak punya babu lagi!” seru Risa, amarahnya akhirnya pecah.“Risa, bukan seperti itu! Aku bener-bener pengin kamu kembali. Aku janji… aku akan berubah,” seru Rendi putus asa.“Rendi…” suara Risa kini berat, nyaris bergetar.Rendi diam. Hanya terdengar helaan napas dari seberang.“Aku bisa terima kamu jadi pembunuh a
Kata-kata itu jatuh pelan tapi menghantam keras. Risa langsung membeku. Jantungnya berdetak cepat, darahnya terasa dingin. Ia ingin bertanya maksudnya apa, tapi lidahnya kelu. Tatapan Darma terlalu dalam, seolah tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu.Risa menunduk, tidak menjawab sepatah kata pun.“Mari, saya antar sampai depan,” ucap Darma akhirnya, nadanya datar seperti sebelumnya.Risa hanya mengangguk kecil. Ia mencubit pahanya sendiri diam-diam, berusaha menenangkan diri agar kakinya bisa melangkah. Langkah mereka pelan tapi terasa berat—dan setiap kali Risa mencuri pandang, wajah Darma tetap tanpa ekspresi, tapi entah kenapa justru itu yang paling menakutkan.Begitu pintu kamarnya tertutup, Risa langsung bersandar pada daun pintu. Napasnya bera
Akhirnya jet pribadi itu mendarat dengan mulus di bandara kecil milik perusahaan keluarga Santoso. Risa terdiam menatap keluar jendela, masih terbawa suasana indah dari kepulauan tempat mereka berlibur. Semua terasa begitu cepat berlalu.Begitu pesawat berhenti sepenuhnya, Dante berdiri lebih dulu dan mengenakan kacamata hitamnya.“Risa,” panggilnya pelan.Risa menoleh, “Ya, om?”Dante menatapnya sebentar sebelum berkata,“Kamu pulang duluan sama Erick, ya. Aku masih harus ketemu orang kantor dulu.”Risa sempat terdiam, ada rasa kecewa yang muncul begitu saja. Tapi ia mencoba tersenyum.“Oh… iya. Gak apa-apa,” ucapnya pela







