MasukAlessia Ardelia tak pernah menyangka, hidup yang sederhana dan penuh luka justru membawanya ke dalam dunia yang paling ditakutinya, dunia mafia. Hanya dalam satu malam, ia dipaksa mengenakan gaun pengantin, dinikahkan dengan pria asing yang bahkan namanya baru ia dengar. Pria itu adalah Drazhan Alvaro. Don muda yang namanya digemakan dengan rasa gentar, pewaris kerajaan mafia yang dingin, kejam, dan tak pernah gagal menundukkan lawan. Namun pernikahan itu bukanlah tentang cinta. Bagi Drazhan, itu hanyalah formalitas, sekadar jalan untuk mengamankan kekuasaan dan mempertahankan posisinya. Sementara di balik semua itu, ada seorang wanita lain, Seraphine Morelli yang menjadi alasan sesungguhnya mengapa ia rela menyeret Alessia ke dalam ikatan pernikahan tanpa hati. Bagi Alessia, pernikahan itu adalah belenggu. Sebuah penjara tanpa jeruji, di mana setiap tatapan tajam sang Don adalah ancaman sekaligus misteri. Ia ingin bebas, tapi semakin ia berusaha menjauh, semakin kuat ikatan takdir menariknya kembali pada pria itu. Dalam pusaran pengkhianatan, darah, dan cinta yang terlarang, bisakah Alessia menemukan jalannya? Ataukah ia akan selamanya terperangkap dalam belenggu cinta sang Don Juan? cinta yang bisa menghancurkan, atau justru menyelamatkan?
Lihat lebih banyakKaki mungil seorang gadis muda bernama Alessia Ardelia menapaki gang sempit yang remang. Map cokelat di tangannya kini lusuh, penuh dengan surat lamaran kerja yang seharian ia serahkan tanpa hasil. Nafasnya terengah, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban di dadanya yang kian berat.
Apa aku akan dimarahi lagi malam ini? pikirnya getir. Ia tahu, begitu pulang, Paman Viktor dan Bibi Mariana akan kembali mencacinya, menyebutnya beban yang tak berguna. “Sudahlah, besok aku coba lagi,” gumamnya lirih, berusaha menguatkan diri. Namun langkahnya terhenti. Di depan rumah mungil itu, terparkir sebuah mobil hitam mengilap. Bukan mobil sembarangan. Kaca gelapnya, bodi yang kokoh, serta pelat nomor khusus, membuat Alessia terdiam. “Hai, Alessia! Cepat kemari, Nak!” suara bibi Mariana terdengar riang, terlalu riang untuk ukuran perempuan yang biasanya selalu bersuara ketus padanya. Dengan bingung, Alessia melangkah masuk. Di ruang tamu, seorang pria asing duduk di kursi kayu sederhana. Ia tampak tidak sepadan dengan tempat itu. Jas hitamnya mahal, posturnya tegap, sorot matanya dingin dan tajam. Aura kuasa dan bahaya melekat pada dirinya. “Inilah dia, Tuan. Alessia Ardelia,” ujar Paman Viktor, menekan bahu Alessia agar duduk di samping pria itu. Alessia menunduk, merasa tak pantas menatap mata setajam itu. Pria asing itu mengangguk singkat. Suaranya berat, penuh perintah. “Baik. Persiapkan dia malam ini.” Jantung Alessia mencelos. Persiapkan? Untuk apa? “Tenang, Tuan. Semua akan beres,” jawab bibi Mariana dengan senyum lebar, sesuatu yang tak pernah Alessia lihat sebelumnya. Begitu pria itu pergi, suasana rumah berubah. Bibi Mariana menyeret Alessia masuk ke kamar kecilnya dan betapa terkejutnya Alessia ketika melihat gaun putih tergantung rapi, perhiasan terhampar di meja, serta alat rias siap dipakai. “Ini untuk siapa, Bi?” tanyanya gugup. “Tentu saja untukmu. Malam ini kamu akan menikah,” jawab bibi Mariana dengan suara dingin. “Apa?! Menikah? Dengan siapa?! Kenapa begitu mendadak?!” suara Alessia pecah, tubuhnya bergetar. Bibi Mariana menatapnya tajam. “Kamu hanya perlu menuruti semua ini. Jangan banyak bertanya. Anggap saja balas budi pada kami yang sudah merawatmu sejak orang tuamu mati.” Kata-kata itu menghantam Alessia seperti palu. Selalu begitu. Setiap kali ia mencoba menolak, paman dan bibinya akan mengungkit masa lalu, kematian orang tuanya, dan kenyataan bahwa ia dibesarkan dengan belas kasihan. Air matanya jatuh. Ia tak punya pilihan. Malam itu, untuk pertama kalinya, Alessia merasa hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Ia seperti boneka, dipersiapkan untuk sesuatu yang bahkan tak ia pahami. ♣♣♣ Di sisi lain kota, di penthouse sebuah hotel mewah, seorang pria berdiri membelakangi jendela besar. Rokok menyala di antara jarinya, asapnya menari di udara. Dialah Drazhan Alvaro, Don muda, pewaris sebuah dinasti mafia yang namanya membuat banyak orang gemetar. Wajahnya rupawan, tapi sorot matanya dingin, nyaris tanpa perasaan. “Aku tidak yakin dengan semua ini,” ucapnya pada wanita di sampingnya. Seorang model glamor, cantik, dan seksi, dengan nama sebesar popularitasnya, Seraphine Morelli. Seraphine tersenyum tipis, menyentuh dada Drazhan manja. “Percayalah padaku, Sayang. Pernikahan ini hanya formalitas. Kamu dapatkan warisanmu, posisimu tetap aman, dan aku tetap di sisimu. Setelah semua stabil, ceraikan saja dia.” Drazhan menghela nafas, sorot matanya menajam. “Hanya kali ini aku menuruti permintaan konyolmu, Sera.” Wanita itu tersenyum puas, lalu memeluknya erat. “Demi kita, Don. Demi kita.” Tak jauh dari mereka, seorang pria muda berdiri menunggu instruksi. Rafael Cruz, tangan kanan Drazhan, yang sudah menyiapkan semua rencana. “Semua sudah siap, Don,” lapornya singkat. Drazhan menoleh. “Pastikan kontraknya ditandatangani. Aku tidak mau ada celah untuk orang miskin itu memanfaatkanku.” Rafael mengangguk patuh. “Baik, Don. Semuanya akan berjalan sesuai keinginanmu.” Malam itu, takdir dua jiwa bertolak belakang mulai digoreskan. Alessia, gadis lugu yang hanya ingin hidup tenang. Drazhan, Don muda yang hanya menikah demi kuasa. Dan pernikahan mereka hanyalah awal dari belenggu panjang yang mengikat jiwa Alessia pada dunia gelap sang Don Juan.Lima menit setelah kejadian di balkon, seluruh komplek mansion berubah menjadi benteng perang. Lampu sorot dinyalakan, alarm keamanan tersembunyi aktif dan puluhan anak buah Drazhan diposisikan di sudut-sudut strategis. Senjata berat muncul dari ruang bawah tanah seperti hewan buas yang dibangunkan.Drazhan duduk di tepi ranjang Alessia, mengusap perlahan pipi istrinya yang masih berdarah. Luka tipis, tapi cukup untuk membuat amarahnya melonjak melewati batas manusia.Dokter pribadi Drazhan mengobati luka Alessia tapi tangan Drazhan tidak pernah sekali pun melepaskan pinggangnya. Tubuh Alessia masih gemetar, ekspresinya pucat dan itu saja cukup untuk menyalakan neraka di dada Drazhan.Ketika dokter selesai, Drazhan berdiri dalam diam yang mematikan.Rafael tahu tanda itu. Semua orang di ruangan tahu. Drazhan bukan hanya marah. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak boleh dibangunkan.“Rafael,” vokalnya rendah bagai racun.“Ya, Tuan?”“Siapkan mobil lapis baja. Bawa orang-orang yang se
Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada burung malam, tidak ada angin yang menerpa pepohonan. Seolah dunia menahan napas.Alessia berdiri di balkon kamarnya, memandang lampu-lampu taman sendirian. Drazhan sedang berada di ruang rapat bawah, mengatur serangan selanjutnya untuk memburu Seraphine san anehnya, Alessia merasa ada sesuatu di udara yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia memeluk dirinya, hendak masuk kembali ke kamarSaat Alessia berjalan satu langkah, ia mendengar suara kecil. Suara yang tak wajar. Ia segera menoleh dan mendapati sebuah batu kecil memantul di lantai balkon. Terikat pada seutas tali tipis warna hitam.Alessia mendekat perlahan. Jantungnya mulai berdegup aneh ketika ia meraih benda itu..Batu itu diikatkan pada sebilah gigi manusia.Darahnya langsung membeku. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan benda mengerikan itu. Sebelum Alessia bisa bergerak, sesuatu berdesing cepat dari bawah. Suara tembakan cukup keras dan kaca bal
Rumah besar milik Alexei dipenuhi ketegangan yang menajamkan udara malam. Pintu ruang kerja terbanting ketika Alexei masuk, wajahnya gelap, sorot matanya tajam seperti bilah yang baru diasah. “Dia kabur,” desisnya, suaranya rendah namun penuh ledakan yang tertahan. Viktor yang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. “Seraphine tidak punya cukup orang untuk melakukan itu. Siapa pun yang membawanya keluar pasti bukan kelompok kecil.” Alexei menghantam meja kayu dengan tinjunya..“Dia tidak bisa menghilang begitu saja! Dia tidak cukup pintar untuk merencanakan pelarian bersih.” “Kami dapat laporan dari lapangan.” Mikhail meletakkan beberapa berkas dan foto di meja. “Orang yang membawa Seraphine kabur menghancurkan semua CCTV tapi ada satu hal, satu kesalahan kecil.” Alexei mendekat dengan langkah besar, meraih foto buram yang dicetak dari rekaman terakhir CCTV sebelum kamera dihancurkan. Gambar itu menunjukkan seorang pria berjas gelap keluar dari mobil van. Hanya sebagian wajah
Van hitam itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam pengap, bau besi karat dan bahan bakar memenuhi ruangan. Seraphine terseret keluar oleh dua pria bersenjata, lalu diseret ke sebuah ruangan luas yang diterangi satu lampu gantung berayun pelan. “Lepaskan dia!” Suara itu berat, dalam, dan mengandung wibawa dingin yang langsung membuat seluruh penjaga menunduk. Seraphine mendongak pelan, pandangannya kabur tapi tajam. Di hadapannya berdiri seorang pria berusia sekitar lima puluhan, mengenakan mantel hitam panjang, dengan mata tajam yang mirip dengan mata milik Drazhan, namun lebih tua, lebih licik. Pipi kirinya menyimpan luka lama yang membentuk garis miring dari tulang pipi hingga rahang. “Sergei,” desis Seraphine pelan. “Aku pikir kamu sudah mati beberapa tahun lalu, bahkan aku sempat menghadiri pemakamanmu.” Pria itu tersenyum miring. “Dunia hanya tahu apa yang kuizinkan mereka tahu.” Seraphine menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa lirih. “Jadi, paman
Langit sore di atas gedung pengadilan tampak berat, seakan ikut menindih setiap napas yang keluar dari dada Seraphine. Ia duduk di kursi terdakwa dengan borgol di pergelangan tangan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan senyum tipis yang selama ini menjadi senjata paling mematikan kini tak lagi mampu menyembunyikan kehancurannya.Ruang sidang dipenuhi wartawan dan pejabat tinggi. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya, kilatan lampu kamera menyambar tanpa henti. Di meja depan, jaksa membacakan tuntutan dengan suara lantang, setiap kata mengiris seperti belati.“Terdakwa Nona Seraphine dijatuhi dakwaan berlapis, penculikan, penyiksaan berat, percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Alessia Drazhan, serta pembunuhan berencana terhadap dua korban lain. Semua bukti telah dinyatakan sah dan tak terbantahkan.”Seraphine mendengar dakwaan untuknya tanpa berkedip. Semua urat-uratnya terasa menegang, ia belum siap dengan semua ini. Ia ingin memohon pada Drazhan yang hadir paling depan tapi pria
Udara di dalam sel itu lembap, bau karat bercampur keringat dan sabun murahan menyesakkan dada. Seraphine duduk bersandar pada dinding dingin di pojok ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Matanya menatap kosong pada bayangan dirinya yang terpantul samar di lantai semen yang basah.Tak ada cermin besar di sini.Tak ada cahaya kamera.Tak ada tepuk tangan, make-up, atau baju mahal yang dulu membuatnya tampak seperti dewi.Hanya wajah pucat dengan mata sembab dan rambut yang kusut, lepek oleh keringat dan air mata.Hari pertama ia masih menjerit, memaki sipir dan semua orang yang lewat di koridor. Hari kedua, ia mulai diam. Hari ketiga, semua teriakannya berubah menjadi bisikan.“Aku bukan penjahat.”“Aku hanya mencintainya.”Namun bisikan itu tak menggema ke mana pun. Dinding penjara hanya memantulkan kejujuran yang selama ini ia tutupi di balik glamor.Seraphine memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Drazhan kembali muncul. Tegas, dingin. Namun dulu, ia pernah melihat senyum di wa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen