INICIAR SESIÓNSuara sekretaris perempuan terdengar dari interkom; lembut, tapi mengguncang dada Risa.
Jantung Risa berdebar tak karuan, tubuhnya tiba-tiba sangat panas sekaligus dingin. Tangannya menahan dada Dante agar berhenti, tapi pria itu tetap melaju, tak memberi celah bagi keraguan.
“Tuan?” suara sekretaris terdengar lagi, sedikit khawatir.
“Katakan padanya aku sedang bersama kekasihku, nggak bisa diganggu,” sahut Dante tegas, suaranya serak penuh kepemilikan.
Risa terpaku di atas meja, tubuhnya membeku, matanya membola mendengar kalimat itu. Malu, takut, terhina, tapi juga semakin tergila-gila. Karena di situ, di tengah guncangan meja dan deru nafas, ia tahu ia benar-benar milik Dante, tanpa sisa.
Suara Diana menembus ruangan, keras dan tajam, “Kita harus bicara, Dante!”
Ketukan pintu makin beringas, seperti dentuman di dada Risa. Dante terdiam sejenak, tapi sorot matanya tetap candu—tatapannya hanya untuk
“Kalau kamu nggak mau tanda tangan, ya sudah. Aku juga nggak mau ketemu sama kamu,” ucap Risa cepat, nadanya tegas dan dingin.“Risa, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku benar-benar nggak bisa tanpa kamu,” suara Rendi kini terdengar memelas, hampir bergetar.“Iya, kamu nggak bisa tanpa aku karena kamu nggak punya babu lagi!” seru Risa, amarahnya akhirnya pecah.“Risa, bukan seperti itu! Aku bener-bener pengin kamu kembali. Aku janji… aku akan berubah,” seru Rendi putus asa.“Rendi…” suara Risa kini berat, nyaris bergetar.Rendi diam. Hanya terdengar helaan napas dari seberang.“Aku bisa terima kamu jadi pembunuh a
Kata-kata itu jatuh pelan tapi menghantam keras. Risa langsung membeku. Jantungnya berdetak cepat, darahnya terasa dingin. Ia ingin bertanya maksudnya apa, tapi lidahnya kelu. Tatapan Darma terlalu dalam, seolah tahu sesuatu yang tidak seharusnya ia tahu.Risa menunduk, tidak menjawab sepatah kata pun.“Mari, saya antar sampai depan,” ucap Darma akhirnya, nadanya datar seperti sebelumnya.Risa hanya mengangguk kecil. Ia mencubit pahanya sendiri diam-diam, berusaha menenangkan diri agar kakinya bisa melangkah. Langkah mereka pelan tapi terasa berat—dan setiap kali Risa mencuri pandang, wajah Darma tetap tanpa ekspresi, tapi entah kenapa justru itu yang paling menakutkan.Begitu pintu kamarnya tertutup, Risa langsung bersandar pada daun pintu. Napasnya bera
Akhirnya jet pribadi itu mendarat dengan mulus di bandara kecil milik perusahaan keluarga Santoso. Risa terdiam menatap keluar jendela, masih terbawa suasana indah dari kepulauan tempat mereka berlibur. Semua terasa begitu cepat berlalu.Begitu pesawat berhenti sepenuhnya, Dante berdiri lebih dulu dan mengenakan kacamata hitamnya.“Risa,” panggilnya pelan.Risa menoleh, “Ya, om?”Dante menatapnya sebentar sebelum berkata,“Kamu pulang duluan sama Erick, ya. Aku masih harus ketemu orang kantor dulu.”Risa sempat terdiam, ada rasa kecewa yang muncul begitu saja. Tapi ia mencoba tersenyum.“Oh… iya. Gak apa-apa,” ucapnya pela
Suara Dante tiba-tiba terdengar di sampingnya.Risa tersentak kecil, tapi cepat-cepat memejamkan mata lagi, pura-pura tenang.“Risa,” panggil Dante, suaranya berat dan dalam.Risa tak menjawab. Ia masih berpura-pura tertidur, tapi napasnya yang tidak teratur jelas terbaca. Dante menunduk, menatap wajah Risa yang berpaling ke arah lain, lalu dengan lembut memegang dagunya agar menoleh.Tatapan mereka akhirnya bertemu. Dante menatapnya lama, lalu menunduk sedikit dan mencium bibirnya pelan.“Kenapa?” tanya Dante lembut, masih menatapnya.Risa menelan ludah, matanya bergetar.“kamu mau ngomong sesuatu?” Dante menegaskan lagi.
Entah sudah berapa kali mereka bermain dalam pelukan satu sama lain. Risa merasa tubuhnya mulai berat, ditambah kurang tidur selama dua hari terakhir membuat matanya terasa perih. Akhirnya, daripada keluar kamar, ia memilih untuk tidur saja sambil menunggu Dante kembali dari pertemuannya.Suara ponselnya tiba-tiba berdering. Saat melihat nama yang muncul di layar, Risa menghela napas — Diana.Ia menatap layar itu beberapa detik, ragu. Namun pada akhirnya, ia hanya menekan tombol diam dan membiarkannya berdering sampai berhenti sendiri.“Bukan waktunya,” gumamnya pelan, lalu memejamkan mata lagi.Ia baru terbangun saat matahari mulai condong ke barat. Cahaya jingga senja menyusup lewat celah
Risa hanya tersenyum nakal, matanya berkilat di bawah cahaya matahari terbenam.“Om juga dong, buka aja… cuma kita berdua kok.” Suaranya lembut, tapi jelas menantang. Ia melirik ke arah Dante, menunggu, dadanya berdebar.Dante menghela napas panjang, lalu jemarinya tanpa ragu membuka satu per satu kancing kemejanya, melepas celana, membiarkan tubuhnya telanjang di hadapan wanita yang sudah meluluhlantakkan hidupnya. Kini hanya ada mereka, di pulau yang seperti dunia sendiri. Dante mendekat, menarik tangan Risa dan mengajaknya kembali ke air.Gelombang membasuh kaki saat mereka melangkah ke laut—kulit ke kulit, tubuh ke tubuh, tanpa sekat apa pun. Ciuman mesra langsung menyala, bibir mereka saling melumat di bawah sisa cahaya senja yang memantul di permukaan air. Suara tawa Risa pecah, napasnya berat oleh hasrat dan kebahagiaan liar yang hanya bisa ia rasakan di sini. Ia bahkan sempat mengangkat ponselnya, jari gemetar mengabadikan momen






