LOGINTak terasa sudah sepekan Glenn tinggal berjauhan dengan sang ibu. Akhir-akhir ini dia juga sering bolak-balik ke toko roti Misya untuk sekadar mengisi waktu kosong agar tidak dikira makan gaji buta. Itu semua merupakan inisiatifnya sendiri, Misya sama sekali tidak pernah menyuruh mau pun memaksa. Glenn dengan senang hati melakukannya. Terkadang kalau tidak sedang ke toko, Glenn diam-diam memantau ibunya dari kejauhan. Dia pulang, tetapi tidak ke rumah melainkan hanya berada di sekitaran perkampungan tempat tinggalnya selama ini. Rasa ingin menemui jelas ada, bahkan terkadang sangat menyiksa. Namun, sekangen-kangennya Glenn pada keluarga, dia tetap berusaha menahan diri untuk tidak kembali. Dan kali ini dia terpaksa menelepon lantaran rindu mendengar suara ibunya tak terbendung lagi. Sekalian Glenn ingin tahu kabar ibunya. "Halo, Bu. Ibu apa kabar?" Perasaan Glenn campur aduk saat ini ketika sang ibu menjawab teleponnya. Pemuda yang sedang duduk di pantry sambil menikmati s
Setelah beberapa menit, Glenn sudah kembali ke toko roti Misya. Pemuda itu tidak langsung turun, dan menoleh ke arah Tante Karin, yang melepas sabuk pengaman. "Aku harap Tante gak tersinggung sama ucapanku tadi," ucapnya membuat Tante Karin spontan memandangnya. Wanita itu hanya diam sambil menghela pendek. "Dan, setelah ini di mana pun Tante ketemu aku, anggep aja kita gak kenal," sambung Glenn, membuat bola mata Tante Karin membulat. "Tapi, Glenn—" "Aku rasa Tante pasti bisa ngerti cara kerjaku." Glenn menyela ucapan Karin yang hendak protes. Karin menelan kembali kalimat protesnya. "Selama ini kita udah lama kenal. Gak sekali dua kali Tante pake jasaku. Ini juga untuk sementara aja, Tan. Nanti kalo kontrakku udah selesai, kita bisa kerja sama lagi." Manik Karin memicing. "Beneran, ya? Cuma sementara?" Glenn mengangguk. Karin menyeringai senang karena merasa dia dan Glenn akan menjalin kerja sama kembali. "Ya udah, kalo gitu Tante pulang dulu. Byee..." "H
"Tante?" Glenn seketika berdiri dari kursi, menelan ludah, lalu memerhatikan sekeliling dengan raut cemas. Bola matanya berpendar gelisah—memastikan tidak ada yang menyadari jika wanita dewasa di hadapannya mengenali. Misya pun ikut berdiri. Tersirat kekhwatiran di mata bulatnya. "Dia siapa, Glenn? Kamu kenal?" tanyanya, nyaris berbisik sangat lirih. Glenn menoleh ke arah Misya, lalu berbisik, "Dia mantan pelangganku. Namanya Tante Karin." Bola mata Misya melotot mendengarnya. Kaget sudah pasti, tetapi ketakutan lebih mendominasi perasaannya detik ini. Bagaimana bisa mendadak ada mantan pelanggannya Glenn? 'Duh... Gimana, nih?' Misya membatin bingung. "Glenn, kamu kenapa ada di sini?" Wanita bernama Karin itu bertanya, membuat perhatian Glenn teralihkan dengan cepat. Otak Glenn berpikir keras—mencari cara agar identitas aslinya tidak terbongkar. Bisa bahaya! Demi menjaga rahasia serta identitas, pemuda itu pun terpaksa menghampiri Karin. "Ikut aku, Tan," ajak G
Siang ini di toko Misya bakery benar-benar diserbu oleh pengunjung karena kedatangan seorang pemuda tinggi, putih, murah senyum, dan ramah. Pengunjung yang didominasi oleh para betina itu berbondong-bondong masuk ke toko untuk membeli roti sekaligus ingin melihat sosok yang kemarin sempat datang, dan menarik perhatian. Tak disangka, ternyata pemuda tampan yang sempat membuat heboh, rupanya kembali datang dan kali ini turut melayani pembeli. Semua mata para betina-betina yang ada di toko tertuju pada Glenn, yang sedang membantu di bagian kasir. Mereka tak berhenti membicarakan Glenn yang katanya memiliki kegantengan paripurna. Glenn sendiri sebenarnya sadar jika kedatangannya di toko ini menjadi pusat perhatian para pengunjung. Namun, sebisa mungkin dia profesional, membantu Misya yang lumayan keteteran dengan pembeli. Pengalamannya yang sempat menjadi kasir di sebuah minimarket rupanya sangat berguna. Pemuda yang siang itu mengenakan kemeja warna hitam begitu cekatan menggunakan
"Aku, sih sebenernya juga khawatir. Terutama sama reaksi ibuku kalo semisal dia tau kerjaanku," ujar Glenn, bicara jujur apa adanya. Misya makin prihatin dan salut dengan usaha Glenn agar bisa membiayai pengobatan ibunya serta sekolah adiknya. "Siapa sih, yang mau kerja kayak gini? Enggak ada 'kan? Kalo gak karena terpaksa dan tuntutan biaya hidup, aku juga gak akan pernah mau terjun ke dunia kelam ini," lanjut Glenn dengan mata berkaca-kaca dan raut sedih. "Aku sampe bela-belain bohong ke ibu kalo aku dapet kerja di luar kota. Itu semua demi masa depan kami yang cuma dari kalangan kelas bawah." "Enggak semua hal buruk dipandang buruk. Gak semua hal baik dianggap baik. Semuanya sama rata. Termasuk hidup yang sekarang ini kamu jalanin, Glenn. Apa yang kamu lakuin memang salah, tapi itu semua ada alasan yang bisa diterima dengan logika. Kamu memilih jalan ini bukan karena maumu tapi karena Tuhan percaya kalo kamu bisa melewati jalan itu," ujar Misya sambil menyentuh pundak Glenn k
Bola mata Salim hampir loncat dari rongganya, saat mendengar Gunawan menceritakan tentang pacar baru Misya. Gunawan juga menyebutkan secara detail fisik Glenn beserta tanda lahir yang tak sengaja dilihatnya. "Kamu serius, Gun?" Salim masih kurang percaya dengan pemaparan Gunawan soal Glenn. Sebab, menurutnya itu terdengar sangat tidak masuk akal. Mana ada kebetulan semacam itu, pikirnya. "Aku serius, Lim. Makanya aku sampe ga bisa tidur gara-gara mikirin itu," sahut Gunawan, lalu meraup kasar wajahnya yang kembali lesu. "Seandainya aja Leon masih hidup, mungkin sekarang dia serumuran Glenn." Salim menarik panjang napasnya, mendengar Gunawan yang berandai-andai hal yang mustahil. "Kamu gak usah terlalu berharap dan berandai-andai kayak gitu, Gun. Farhan udah tenang di sana, Leon juga," sahutnya yang tak ingin ikut larut dalam kenangan yang begitu menyesakkan dada. Perkataan Salim ada benarnya. Tak mungkin orang yang sudah meninggal bisa bangkit lagi dari kuburnya. Akan tetap







