Valeria bergegas berjalan menuju restoran, namun ketika ia sedang berjalan dengan terburu untuk bertemu dengan Barbara tubuhnya bertabrakan dengan Erik yang terlihat hendak pergi ke arah berlawanan."Ah maaf, maafkan saya Pak Erik.""Tidak, tidak apa-apa, sepertinya Anda terlihat begitu terburu-buru, Nona Valeria." ujar Erik dengan nada heran."Ah begitulah, saya memiliki urusan penting. Kalau begitu saya permisi."Erik terlihat mengangguk kecil, namun raut wajahnya menunjukkan keheranan melihat gerak-gerik Valeria. Valeria memang terlihat sedang terburu, namun ia yang seolah mengalihkan kontak dari matanya membuat Erik merasa jika wanita yang sangat dilindungi oleh atasannya itu tengah menyembunyikan sesuatu. Dengan penasaran, Erik diam-diam mengikuti langkah Valeria yang menjauh dari area kantor. Keningnya berkerut dalam, sebenarnya Valeria mau pergi kemana?Erik terus mengikuti langkah Valeria, hingga langkahnya membawanya ke restoran tionghoa yang berada tidak jauh dari kantor mer
Revan yang mendengar suara muntah Valeria segera mendekat padanya, ia menyentuh bahu Valeria dengan raut wajah cemas, "Ada apa? Apa kau sakit?"Valeria segera menepis tangannya, "Saya baik-baik saja. Saya harus ke toilet,"Sebelum mualnya semakin menjadi, Valeria segera berlari menuju toilet. Ia segera memuntahkan seluruh isi perutnya di dalam sana. Sial, apa yang terjadi padanya? Kenapa ia merasa mual dan pusing seperti ini?Valeria segera teringat mengenai jadwal menstruasinya yang seharusnya datang seminggu yang lalu. Mata Valeria melebar dengan sempurna. Sial, ini tidak mungkin. Tidak mungkin ia mengandung putera Revan. Ini pasti salah! Ia pasti hanya sedang mengalami keterlambatan menstruasi saja.Ya itu benar! Ia harus percaya bahwa tubuhnya baik-baik saja.Sebelum Revan menjadi curiga Valeria kembali ke ruangannya. Di sana Revan sudah menunggu, masih menampilkan raut cemas saat melihat kedatangan Valeria kembali."Kau baik-baik saja?"Valeria mengangguk lemah mendengar pertany
Mendapat tekanan seperti itu, Barbara ikut terbawa emosi, ia sungguh tidak terima Revan memarahinya karena Valeria, "Aku tidak melakukan apapun. Dia sendiri yang bilang bahwa hubungannya denganmu sudah selesai. Dia bilang hubungan kalian akan berakhir."Raut wajah Revan seketika berubah mendengar balasan Barbara. Ia segera melepas cengkramannya dari lengan wanita itu, sepertinya Barbara tidak berbohong dengan jawabannya. Ada rasa tidak nyaman ia mendengar Valeria bersikeras kepada Barbara bahwa hubungan mereka memang sudah berakhir."Sebenarnya ada apa denganmu, Revan? Kenapa kau tiba-tiba memarahiku hanya karena Valeria?" Tukas Barbara kembali dengan sebal.Revan terlihat menghela nafas, "Tidak apa-apa, aku hanya penasaran saja.""Kau begitu penasaran dengan pembicara kami sampai kau membentakku begitu?" Sambung Barbara kembali masih tidak terima mendapatkan perlakuan kasar."Baiklah aku minta maaf, saat ini kepalaku sedang pening."Barbara ikut menghela nafas, meski amarahnya tadi i
Setelah memeriksakan dirinya ke sebuah klinik terdekat dan menerima obat mual dari dokter yang bertugas di sana, Valeria kembali ke rumah. Ia membuka pintu rumahnya dengan lemah lalu memakan sarapan ala kadarnya dan juga obat-obatan yang ia terima. Setelah selesai memakan obatnya, Valeria segera berbaring. Sedikit demi sedikit mual yang ia rasakan mulai berkurang, Valeria menghela nafasnya panjang. Syukurlah... Sekarang sudah tidak apa-apa. Saat ini ia merasa lelah dan mengantuk karena sedari tadi hanya pergi bolak balik ke kamar mandi, Valeria mencoba memejamkan matanya, ia sungguh ingin beristirahat.Namun baru saja beberapa menit berlalu, terdengar ada yang mengetuk pintu flatnya. Matanya yang terpejam seketika terjaga kembali. Sial, siapa yang datang mengganggunya sekarang? Dirasa bahwa ia terlalu lelah, Valeria memilih mengabaikannya. Bisa saja ada anak-anak yang iseng seperti tempo hari mengetuk pintunya dengan jahil. Namun, ketika pintu itu malah semakin nyaring berbunyi, Valer
"Itu–""Jawab dengan jujur, kau benar-benar hamil?"Valeria menghela nafasnya panjang mendengar desakan dari Revan. Sudah terlambat, ia sudah tidak bisa mengelak lagi karena Revan sudah mengetahui semuanya."Ya benar, saya memang hamil. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada Anda."Revan terlihat terperangah mendengar ucapan Valeria, "Apa? Apa yang sebenarnya kau katakan?""Anda dengan jelas mendengarnya, saya tidak akan mengusik kehidupan Anda. Keputusan saya sudah bulat, saya tetap akan keluar dari pekerjaan ini.""Apa? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?""Bisa. Sekarang sebaiknya Bapak pulang, saya benar-benar harus beristirahat." ujar Valeria dengan lemah, ia mendorong tubuh Revan hingga menuju pintu."Keadaanmu sedang tidak baik, biarkan aku di sini sebentar.""Tolong Pak, jika Bapak bersikeras di sini saya benar-benar tidak akan bisa beristirahat."Melihat bahwa keadaan Valeria yang lemah dan enggan diganggu, Revan akhirnya menghela n
Valeria terperangah mendengar ucapan Revan di balik telepon. Apa pria ini benar-benar sudah gila? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu pada ayahnya?"Apa kamu serius dengan anak saya?"Mendengar suara ayahnya yang membalasnya, Valeria segera berteriak, "Jangan per–hmmmpp.."Belum sempat ia bersuara, Erik membekap mulutnya. Sial, Revan Mahendra benar-benar benar menyebalkan, bagaimana bisa ia mengambil keputusan sendiri seperti itu?"Tentu saja saya serius, sangat serius."Valeria mencoba berteriak sekuat tenaga, namun lengan besar Erik yang membekapnya membuat usahanya sama sekali tidak berguna."Baiklah saya tunggu kedatangan kamu nanti malam di rumah jika memang kamu benar-benar serius kepada anak saya.""Baik, ah jangan lupa undang semua anggota keluarga Anda karena saya harus mengabarkan kabar gembira ini ke semua orang."Saat Erik melepaskan cengkraman tangannya, Valeria segera memberikan tatapan nyalang terhadap pria itu, "Saya tahu Anda hanya menjalankan tugas Pak Erik, tapi
Valeria seketika terperangah mendengar ucapan Revan. Matanya membelalak dengan sempurna, bagaimana bisa Revan mengatakan hal semudah itu di hadapan keluarganya? Revan Mahendra benar-benar sudah gila. Ia melakukan cara apapun untuk menahannya di sisi pria itu."Apa? Valeria sedang mengandung?""Ya, dia sedang mengandung putera saya. Kami baru mengetahuinya beberapa hari ini."Urat wajah Herman seketika menegang mendengar ucapan Revan, ia mendekat ke arah Revan lalu menarik kerah bajunya, "Kau! Apa yang sudah kau lakukan pada puteriku hah?""Saya minta maaf, saya pasti–"Buukk!Valeria terhenyak saat melihat Revan diberikan pukulan oleh sang ayah, ayahnya terlihat sangat murka. Melihat ayahnya yang hendak menyerang kembali, Valeria segera maju ke depan Revan, menahan serangan sang ayah dengan tubuhnya sendiri."Minggir, Ayah harus menghajar bajingan ini!""Hentikan! Ayah tidak berhak memukulnya!"Mata Herman seketika terbelalak mendengar ucapan Valeria, "Apa? Aku ini ayahmu, tentu saja
Valeria segera menjauhkan dirinya saat merasakan kecupan itu. Revan terlihat tertegun sementara Valeria merasa sangat gugup. Ia sungguh tidak menyangka jika Revan akan menciumnya kembali. Jantungnya berdegup dengan cepat. Kenapa Revan tiba-tiba menciumnya dalam keadaan seperti ini?Tak ingin situasi menjadi canggung, Valeria segera menggeleng dengan cepat. Tidak, tidak apa-apa, tidak terjadi apapun. Jangan terpengaruh lagi dengan tindakan Revan yang berusaha menggodanya."Jangan memintaku meminta maaf, aku tidak akan minta maaf soal tadi."Valeria mendengus mendengar ucapan Revan, berusaha mengatur perasaannya agar tidak menjadi gelisah."Kenapa pula harus minta maaf? Ciuman itu sama sekali bukan apa-apa.""Kau bilang apa? Bukan apa-apa?" tukas Revan sedikit tersinggung mendengar ucapan Valeria.Valeria hanya mengangkat bahu, "Anda memang selalu bertindak sembarangan bahkan saat situasi kita sedang tidak baik, kenapa pula saya harus memikirkannya?""Apa?"Tanpa menanggapi Revan yang s