"Apa kau sengaja melakukan ini padaku hari ini, Revan? Apa kau membawa wanita itu hari ini untuk membuatku cemburu, begitu?"Revan tertegun mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Barbara di hadapannya. Barbara, wanita cantik yang membuatnya hampir setengah gila karena memilih menikahi ayahnya dibandingkan dengan dirinya. Malam dimana dirinya dan juga Valeria melakukan hal tidak senonoh itu merupakan malam pengantin wanita tercintanya ini dengan sang ayah. Begitulah kebenarannya, Revan melampiaskan seluruh kerinduan dan nafsunya terhadap Barbara kepada Valeria. Barbara adalah kekasih Revan, kekasih yang hendak dikenalkannya pada sang ayah, namun suatu kejutan tidak terduga menghampirinya terlebih dulu, sang ayah malah mengenalkan Barbara sebagai calon istrinya. Barbara telah mengkhianatinya secara kejam, membuat hatinya benar-benar mati hingga mempermainkan banyak perempuan sesuka hati.Awalnya Revan hanya hendak bermain-main dengan Valeria seperti para wanita lain yang menggodanya ke
Valeria tidak pernah menyangka jika pria di hadapannya akan menipunya dengan parah seperti ini. Seharusnya ia menyadarinya, pantas saja seorang Revan Mahendra mau terlibat dengan dirinya, pantas saja pria itu mau menikah dengannya padahal dengan status keluarganya yang luar biasa, ia bisa mengabaikan malam itu dengan mudah. Ternyata Revan memiliki keinginan di balik kebaikannya selama ini. Tenyata Revan tengah memanfaatkan dirinya yang tidak tahu apapun.Meski seluruh kontak fisik dari pria itu ia tolak, Revan masih saja mencoba menyentuh tangannya."Saya bisa menjelaskan semuanya, tapi jangan di sini. Ayo kita bicara di mobil.""Tidak perlu,""Hanya sebentar, Valeria. Kamu bisa menanyakan apa saja pada saya. Saya akan menjawabnya."Meski saat ini amarah dan kekecewaan tengah menguasainya, namun Valeria sungguh ingin tahu kenapa Revan malah menipunya dengan kejam seperti ini."Baik, tapi tolong lepaskan tangan saya."Mendengar hal itu tangan Revan yang tengah memegang Valeria seketika
"Apa? Keluar?"Valeria mengangguk mendengar pertanyaan Revan yang sepertinya tidak menduga hal ini. Ya benar, setelah semalaman ia berpikir, setelah semalaman ia merasa terkhianati dan tertipu, akhirnya Valeria sampai pada keputusan ini. Ia lebih memilih menyingkir dari kehidupan Revan daripada harus menjadi alat untuknya. Meski awalnya Valeria berpikir untuk tidak terlibat masalah perasaan dengan atasannya ini, namun segalanya terlambat. Ia tahu hatinya telah jatuh terhadap pria itu tanpa bisa ia cegah."Ya, saya memutuskan untuk keluar. Setelah seluruh tugas yang pernah Anda berikan pada saya selesai, saya akan mengajukan surat pengunduran diri saya."Mata Revan terlihat terbelalak, "Kau tidak sedang bercanda bukan? Kau bilang kau membutuhkan pekerjaan ini, Valeria.""Itu benar, tapi saya akan mencari pekerjaan lain, Anda tidak perlu khawatir. Jika tidak ada yang ingin Anda bicarakan lagi, silahkan kembali ke ruangan Anda." Balas Valeria ketus.Revan yang masih tidak terima dengan k
Valeria bergegas berjalan menuju restoran, namun ketika ia sedang berjalan dengan terburu untuk bertemu dengan Barbara tubuhnya bertabrakan dengan Erik yang terlihat hendak pergi ke arah berlawanan."Ah maaf, maafkan saya Pak Erik.""Tidak, tidak apa-apa, sepertinya Anda terlihat begitu terburu-buru, Nona Valeria." ujar Erik dengan nada heran."Ah begitulah, saya memiliki urusan penting. Kalau begitu saya permisi."Erik terlihat mengangguk kecil, namun raut wajahnya menunjukkan keheranan melihat gerak-gerik Valeria. Valeria memang terlihat sedang terburu, namun ia yang seolah mengalihkan kontak dari matanya membuat Erik merasa jika wanita yang sangat dilindungi oleh atasannya itu tengah menyembunyikan sesuatu. Dengan penasaran, Erik diam-diam mengikuti langkah Valeria yang menjauh dari area kantor. Keningnya berkerut dalam, sebenarnya Valeria mau pergi kemana?Erik terus mengikuti langkah Valeria, hingga langkahnya membawanya ke restoran tionghoa yang berada tidak jauh dari kantor mer
Revan yang mendengar suara muntah Valeria segera mendekat padanya, ia menyentuh bahu Valeria dengan raut wajah cemas, "Ada apa? Apa kau sakit?"Valeria segera menepis tangannya, "Saya baik-baik saja. Saya harus ke toilet,"Sebelum mualnya semakin menjadi, Valeria segera berlari menuju toilet. Ia segera memuntahkan seluruh isi perutnya di dalam sana. Sial, apa yang terjadi padanya? Kenapa ia merasa mual dan pusing seperti ini?Valeria segera teringat mengenai jadwal menstruasinya yang seharusnya datang seminggu yang lalu. Mata Valeria melebar dengan sempurna. Sial, ini tidak mungkin. Tidak mungkin ia mengandung putera Revan. Ini pasti salah! Ia pasti hanya sedang mengalami keterlambatan menstruasi saja.Ya itu benar! Ia harus percaya bahwa tubuhnya baik-baik saja.Sebelum Revan menjadi curiga Valeria kembali ke ruangannya. Di sana Revan sudah menunggu, masih menampilkan raut cemas saat melihat kedatangan Valeria kembali."Kau baik-baik saja?"Valeria mengangguk lemah mendengar pertany
Mendapat tekanan seperti itu, Barbara ikut terbawa emosi, ia sungguh tidak terima Revan memarahinya karena Valeria, "Aku tidak melakukan apapun. Dia sendiri yang bilang bahwa hubungannya denganmu sudah selesai. Dia bilang hubungan kalian akan berakhir."Raut wajah Revan seketika berubah mendengar balasan Barbara. Ia segera melepas cengkramannya dari lengan wanita itu, sepertinya Barbara tidak berbohong dengan jawabannya. Ada rasa tidak nyaman ia mendengar Valeria bersikeras kepada Barbara bahwa hubungan mereka memang sudah berakhir."Sebenarnya ada apa denganmu, Revan? Kenapa kau tiba-tiba memarahiku hanya karena Valeria?" Tukas Barbara kembali dengan sebal.Revan terlihat menghela nafas, "Tidak apa-apa, aku hanya penasaran saja.""Kau begitu penasaran dengan pembicara kami sampai kau membentakku begitu?" Sambung Barbara kembali masih tidak terima mendapatkan perlakuan kasar."Baiklah aku minta maaf, saat ini kepalaku sedang pening."Barbara ikut menghela nafas, meski amarahnya tadi i
Setelah memeriksakan dirinya ke sebuah klinik terdekat dan menerima obat mual dari dokter yang bertugas di sana, Valeria kembali ke rumah. Ia membuka pintu rumahnya dengan lemah lalu memakan sarapan ala kadarnya dan juga obat-obatan yang ia terima. Setelah selesai memakan obatnya, Valeria segera berbaring. Sedikit demi sedikit mual yang ia rasakan mulai berkurang, Valeria menghela nafasnya panjang. Syukurlah... Sekarang sudah tidak apa-apa. Saat ini ia merasa lelah dan mengantuk karena sedari tadi hanya pergi bolak balik ke kamar mandi, Valeria mencoba memejamkan matanya, ia sungguh ingin beristirahat.Namun baru saja beberapa menit berlalu, terdengar ada yang mengetuk pintu flatnya. Matanya yang terpejam seketika terjaga kembali. Sial, siapa yang datang mengganggunya sekarang? Dirasa bahwa ia terlalu lelah, Valeria memilih mengabaikannya. Bisa saja ada anak-anak yang iseng seperti tempo hari mengetuk pintunya dengan jahil. Namun, ketika pintu itu malah semakin nyaring berbunyi, Valer
"Itu–""Jawab dengan jujur, kau benar-benar hamil?"Valeria menghela nafasnya panjang mendengar desakan dari Revan. Sudah terlambat, ia sudah tidak bisa mengelak lagi karena Revan sudah mengetahui semuanya."Ya benar, saya memang hamil. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada Anda."Revan terlihat terperangah mendengar ucapan Valeria, "Apa? Apa yang sebenarnya kau katakan?""Anda dengan jelas mendengarnya, saya tidak akan mengusik kehidupan Anda. Keputusan saya sudah bulat, saya tetap akan keluar dari pekerjaan ini.""Apa? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?""Bisa. Sekarang sebaiknya Bapak pulang, saya benar-benar harus beristirahat." ujar Valeria dengan lemah, ia mendorong tubuh Revan hingga menuju pintu."Keadaanmu sedang tidak baik, biarkan aku di sini sebentar.""Tolong Pak, jika Bapak bersikeras di sini saya benar-benar tidak akan bisa beristirahat."Melihat bahwa keadaan Valeria yang lemah dan enggan diganggu, Revan akhirnya menghela n