Masuk"Sekarang?" cicit Chloe, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, lalu kembali menatap wajah Jordan yang tak terbantahkan.
"Ya, sekarang! Kamu mau menunggu sampai tahun baru monyet, hah?!" sentak Jordan tidak sabar. "Lima menitmu berjalan, Perawat Eva." Chloe meringis, mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban tebal. "Tuan, ini melanggar HAM. Tangan kanan saya ini baru saja Tuan jadikan adonan geprek tadi malam tepat jam 7. Tulangnya masih nyeri, bengkak pula. Mana bisa saya melakukan... manuver stimulan?" "Itu bukan urusanku," jawab Jordan dingin. Matanya melirik ke arah nakas tempat pistol tadi ia letakkan. "Apa aku harus menggunakan pistol, supaya kamu mau menurut?" Chloe menelan ludah kasar. "Oke! Oke!Saya kerjakan!" Dengan jantung berdegup kencang dan pipi memanas, Chloe menarik napas panjang. Otaknya mulai memutar kembali semua memori anatomi tentang stimulasi vital. 'Tuan, maafkan kelancanganku,' batin Chloe merutuk. 'Ini demi bertahan hidup.' Dengan ragu-ragu dan tangan gemetar, Chloe mulai menggerakkan tangannya di atas selimut. Matanya terpejam rapat karena tidak sanggup melihat apa yang akan ia lakukan. Tangannya perlahan merambat naik, menuju area pusat di antara kedua paha Jordan. Lima senti lagi. Tiga senti. Satu sen— PLAK! "ADUH!" pekik Chloe kaget saat tangannya dipukul keras oleh Jordan. Chloe membuka mata, menatap Jordan dengan bingung sambil mengusap punggung tangannya. "Kenapa dipukul? Katanya suruh buktikan?!" Wajah Jordan tampak syok bercampur murka. "HEI! Tanganmu itu mau ke mana, hah?! Mau cari mati?!" "Loh?" Chloe memiringkan kepala, wajahnya panas. "Kan Tuan sendiri yang minta bukti! Tadi kita bahas tumesensi dan aliran darah, jadi saya pikir Tuan mau saya… ya… bantu rangsang manual supaya teorinya kebukti." "APA?!" potong Jordan, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Kalau saja kakinya bisa bergerak sempurna, dia pasti sudah menendang gadis ini ke plafon. "Apa otakmu itu isinya cuma lendir, hah?! Apa otakmu sudah tercemar situs dewasa?!" "Hah?" "PIJAT KAKIKU, BODOH!" bentak Jordan, menunjuk betis dan telapak kakinya dengan garang. "Maksudku, buktikan kalau saraf kakiku merespons sentuhan! Cek sensitivitas kulitnya! Cek refleks tendonnya! Kenapa kamu malah mau meremas masa depan-ku?!" Hening. Wajah Chloe yang tadi merah, sekarang berubah menjadi ungu saking malunya. Rasa malunya mungkin akan menembus galaxy. "O-oh..." cicit Chloe, suaranya hampir hilang. "S-salah sambung ya, Tuan?" "Salah sambung Bapakmu hijau tosca!" umpat Jordan kasar. "Cepat pindah ke bawah! Pijat telapak kakiku! Aku mau lihat apakah aku bisa merasakan tekanan jarimu atau tidak! Jangan macam-macam!" Dengan gerakan kaku, Chloe merangkak mundur menjauhi area berbahaya itu menuju ujung kasur. "Dasar perawat mesum," gumam Jordan pelan, tapi cukup keras untuk didengar Chloe. "Saya dengar lho, Tuan!" protes Chloe sambil menyibakkan selimut dari kaki Jordan. "Lagian Tuan sih, bahasanya ambigu! Pakai bilang bangunkan dia, buktikan. Siapa yang nggak salah paham?!" "Nggak usah membatah. Segera kerjakan!" "Iya, Tuan." Chloe mulai memijat telapak kaki Jordan dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang sakit hanya membantu menahan. "Apa tenaga Kamu hanya segini? Pijatanmu nggak kerasa apa-apa." protes Jordan. "Itu pijat atau ngelus kucing? Yang benar!" "Ini sudah sekuat tenaga, Tuan!" balas Chloe kesal. "Tangan kiri saya tidak sekuat kanan! Lagian kaki Tuan kan mati rasa! Mana bisa ngerasain?" "Di mulutmu mati rasa, tapi bagiku rasanya kamu seperti sedang mengelus debu!" sembur Jordan, berbohong untuk menutupi fakta bahwa ia memang tidak merasakan apa-apa. "Tekan yang benar! Pakai sikumu kalau perlu!" "Hah? Pakai siku?" Chloe melongo, berhenti memijat sejenak, menatap betis Jordan yang diam seperti batang kayu. "Tuan mau dipijat atau diajak gelut?" "Jangan banyak tanya! Lakukan saja! Aku mau melihat seberapa besar usahamu untuk berani menyentuh asetku!" " Aaa ... dasar," gerutu Chloe pelan. Chloe menghela napas pasrah. Ia menekuk tangan kirinya, lalu mulai menekan sikunya yang runcing ke betis Jordan. Ia memulainya dengan hati-hati, memutar sikunya di otot Gastrocnemius. "Begini? Puas?!" tanya Chloe dengan napas sedikit terengah. Jordan diam. Matanya menatap langit-langit. Secara fisik? Nihil. Sikutan Chloe yang sekuat tenaga itu bagaikan menekan batu. Tidak ada rasa sakit, tidak ada rasa geli, tidak ada sedikitpun sinyal listrik yang merambat ke otaknya. Kakinya tetaplah dua onggokan daging mati yang setia mengecewakannya. Namun, secara psikologis... Jordan melirik ke bawah. Melihat gadis mungil itu yang sedang bersusah payah, rambutnya lepek, wajahnya cemberut, dan bibirnya yang tidak berhenti komat-kamit menyumpahinya. Biasanya, kamar ini sunyi senyap seperti peti mati. Hanya ada suara detak jam dan keputusasaannya sendiri. Tapi malam ini, ada suara napas ngos-ngosan Chloe, dan omelan-omelan kecil yang kurang ajar. Suasana berisik ini... entah kenapa membuat Jordan tidak merasa sendirian. "Kurang kuat," komentar Jordan datar, sengaja ingin mengerjai gadis itu lebih lama. "Kamu belum makan ya?" "Ya ampun!" seru Chloe histeris, menegakkan badannya. Keringat sebiji jagung menetes. "Ini saya sudah pakai tenaga dalam, Tuan! Tangan saya gemetar nih! Kaki Tuan saja yang kulitnya setebal badak!" "Apa kamu bilang?" mata Jordan menyipit tajam, meski sudut bibirnya berkedut menahan geli. "Ehh... Maksudnya kokoh! Kulitnya kokoh!" ralat Chloe cepat, kembali menekan sikunya dengan wajah manyun. "Nasib... nasib... Udah tangan digilas, diancam pistol, sekarang jadi tukang pijat rodi. Awas saja kalau Tuan sembuh, saya minta bonus motor matic!" "Berisik sekali mulutmu," cibir Jordan. "Kalau terus mengoceh, energi kamu habis di mulut, bukan di tangan." "Mulut ini satu-satunya aset saya yang bebas merdeka!" balas Chloe tak mau kalah. Jordan mendengus pelan. Menyebalkan. Tapi menghibur. Beberapa perawat yang datang hanya bisa ketakutan. Tidak dengan yang satu ini. Begitu cerewet dan lancang. Jordan memejamkan mata, membiarkan Chloe terus memijat kakinya. Meskipun ia tak merasakan apapun, ia menikmati pijatan yang Chloe berikan. Ya ... Anggap saja Chloe itu hiburan. 'Nyebelin, aku pasti dikerjain. Tapi ibu kenapa nggak ngasih tahu kalau ayah tiriku. ' Chloe menggeleng. 'Maksudnya, mengapa pria ini tidur dengan pistol? Seharusnya tidur dengan ibuku, kan? Apa ibuku dan suami barunya ini punya hubungan yang tidak beres?' batin Chloe bertanya-tanya. 'Maksudku, orang normal tidur memeluk guling atau istri, bukan memeluk Beretta 9mm di bawah bantal! Jangan-jangan rumah ini bukan rumah tangga, tapi medan perang dingin?' Tok. Tok. Tok. Chloe terhenti di tengah tugas penyiksaan betis itu. Sikunya masih nancep di otot Jordan, tapi kepalanya menoleh ke arah pintu dengan waspada. Jordan membuka satu mata. "Siapa jam segini? Dokter tidak mungkin. Pelayan? Tidak ada yang berani naik ke lantai. Claudia? Bukannya dia bilang ada urusan penting?"Sinar mentari pagi menembus jendela besar ruang makan Mansion Arsenio, meja panjang yang penuh dengan hidangan mewah. Namun, Chloe yang berdiri di samping kursi kosong Tuan Rumah justru menatap hamparan makanan itu dengan horor.Tubuh Chloe yang ringkih masih terasa linu di sana-sini. Semalam adalah hal paling sial yang pernah ia lalui. Pertempuran melawan ratusan nyamuk ganas di ruangan sauna tanpa ventilasi telah meninggalkan jejak nyata: bentol-bentol merah yang menghiasi leher, lengan, dan bahkan betisnya yang kini tertutup stoking tebal. Wajah Chloe juga tidak kalah mengenaskan; lingkaran hitam di bawah mata begitu pekat, tanda dia hampir tidak tidur sedetik pun karena sibuk menampar diri sendiri.Tapi insting ahli gizinya tetap bergejolak begitu melihat menu di meja."Sosis bakar, bacon goreng, telur orak-arik dengan heavy cream, dan roti putih?" batin Chloe ngeri. "Siapa yang menyusun menu ini untuk pasien cedera tulang belakang?! Ini bom kolesterol!"Aroma lemak jenuh menguar
Chloe baru saja tiba dalam kamar, tubuh wanita itu merosot perlahan, punggungnya bersandar pada daun pintu. Topeng "Eva si Perawat" yang ia pakai seharian luruh seketika. Chloe mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban. Denyut nyerinya makin menjadi-jadi."Papa..." bisik Chloe lirih, matanya menerawang ke langit-langit kamar mewah yang asing ini."Lihatlah anak perempuanmu ini, Pa. Sakit, tapi masih bisa berlagak semua baik-baik saja di depan orang agar Papa nggak merasa gagal jadi ayah. Kayaknya cuma di kamar ini, aku bisa jadi diriku sendiri. Jadi Chloe yang cengeng."Ingatannya melayang pada wajah ayahnya yang terus menerus dikejar penagih hutang. Sejak rentenir dan ibunya mengobrak-abrik apartemen, ponsel ayahnya tidak bisa dihubungi. Chloe meremas ujung seragamnya."Besok aku ke kampus, terus mampir ke kedai kopi. Papa harus ada di sana, ya? Kita makan enak. Papa mau Pizza? Atau jalan-jalan? Kita habisin waktu berdua sepuasnya sebelum aku benar-benar nggak bisa kembali."C
TOK! TOK! TOK!Suara ketukan itu tidak terlalu keras, namun di telinga Chloe yang sedang tegang, bunyinya seperti ledakan bom."Aaaa!" Chloe memekik tertahan, melompat mundur dari ranjang seolah kasur Jordan baru saja berubah menjadi bara api. Matanya melotot horor ke arah pintu. "I-ibu... maksudku Nyonya?! Mati aku! Aku harus sembunyi di mana? Kolong kasur? Lemari?"Jordan yang masih berbaring menatap kepanikan gadis itu dengan kening berkerut. Tangan kanannya perlahan turun dari balik bantal, menjauh dari pistolnya. Ketukan itu... dia kenal ritmenya."Tenanglah, Gadis Bodoh," desis Jordan. "Siapa di sana?" teriak Jordan ke arah pintu."Kiko, Tuan. Saya membawa berkas yang Tuan minta!" terdengar suara sahutan dari balik pintu. Bahu Jordan rileks seketika, sementara Chloe menghembuskan napas lega. "Aku pikir setan bersanggul." Chloe mengelus dada. Jordan menatap Chloe tajam. "Kamu dengar itu? Itu asistenku. Sekarang, rapikan bajumu yang kusut itu dan keluar dari sini. Aku muak meli
"Sekarang?" cicit Chloe, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, lalu kembali menatap wajah Jordan yang tak terbantahkan. "Ya, sekarang! Kamu mau menunggu sampai tahun baru monyet, hah?!" sentak Jordan tidak sabar. "Lima menitmu berjalan, Perawat Eva." Chloe meringis, mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban tebal. "Tuan, ini melanggar HAM. Tangan kanan saya ini baru saja Tuan jadikan adonan geprek tadi malam tepat jam 7. Tulangnya masih nyeri, bengkak pula. Mana bisa saya melakukan... manuver stimulan?" "Itu bukan urusanku," jawab Jordan dingin. Matanya melirik ke arah nakas tempat pistol tadi ia letakkan. "Apa aku harus menggunakan pistol, supaya kamu mau menurut?" Chloe menelan ludah kasar. "Oke! Oke!Saya kerjakan!" Dengan jantung berdegup kencang dan pipi memanas, Chloe menarik napas panjang. Otaknya mulai memutar kembali semua memori anatomi tentang stimulasi vital. 'Tuan, maafkan kelancanganku,' batin Chloe merutuk. 'Ini demi
"Aku tanya sekali lagi," tekan Jordan. "Sebenarnya, apa niatmu? Kamu dikirim untuk membunuhku, huh?" Mendapatkan ancaman moncong pistol di dahi dan kesalahpahaman ini, membuat otak Chloe berputar lebih cepat daripada gasing. Menangis? Tidak berguna. Memohon? Klise. Jordan Arsenio akan memakan rasa takut sebagai camilan. Chloe harus menggunakan satu-satunya senjata yang dia punya: Logika. "Huff! Chloe membuang napas. "Tuan ... Tolong turunkan benda yang Tuan pegang—" "Katakan!" "Oke. Oke. Jadi ... Secara teknis..." cicit Chloe, suaranya bergetar tapi dagunya terangkat sedikit demi memberi jarak pada pistol itu. "Kalau aku datang untuk niat membunuh, aku akan membekapmu dengan bantal Bukan mencolek... itu-mu dengan jari telunjuk." Hening. Mata Jordan menyipit. Cengkeramannya di pergelangan tangan Chloe tidak mengendur, justru semakin kuat hingga perban di tangan Chloe terasa sesak. "Mencolek?" ulang Jordan, nada suaranya penuh ketidakpercayaan. Cengkeramannya mengeras. "Kamu mer
"Kamu ceroboh," desis Claudia dingin begitu pintu ruang kerjanya yang mewah tertutup rapat. "Baru satu jam kerja, kamu sudah membuat suamiku hampir mematahkan tanganmu. Apa kamu berniat mati?" Chloe meringis, meniup-niup punggung tangannya yang kini merah padam, bengkak, dan berdenyut nyeri. Rasanya seperti baru saja digeprek palu. "Mana aku tahu Ibu mempunyai suami gila?" keluh Chloe sambil mendudukkan dirinya di kursi tamu tanpa dipersilakan. "Ingat, panggil aku Nyonya!" ralat Claudia. "Iya, Nyonya! Heran, Binatang kok dijadikan suami. Ini tangan! Bukan daging potong!" kekuh Chloe. "Aku sudah memperingatimu," balas Claudia tanpa simpati. Ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil kotak P3K dari laci, dan melemparnya ke pangkuan Chloe. "Obati sendiri. Jangan manja." Chloe menatap ibunya dengan tatapan tak percaya. Namun, ia segera membuka kotak itu dengan satu tangan yang gemetar. Ia mengambil salep, lalu melilitkan perban elastis ke tangannya yang memar sambil menahan







