Share

8: Menyuapi Majikan

Penulis: Hailey's Daily
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-24 21:27:16

“Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?”

            Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”

Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. 

            “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut.

            Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. “Aku benci melihat caramu makan, lambat.”

Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi dari tangannya. Selalu saja, tiap kali dia memperlakukanku seperti ini, aku seperti ingin menangis. Air mataku sudah menetes, tapi masih dengan antusias menerima semua suapan darinya. Tuan Abizar terlihat datar dan tak berkutik, aku tidak bisa menebak perasaannya dari raut wajahnya yang tidak berubah itu, apakah dia jijik? Senang? Atau biasa saja?

            “Aku bisa makan sendiri, Tuan ….” Aku berkata sambil mengunyah nasi.

            “Aku tahu kamu bisa makan sendiri,” Tuan Abizar berbisik. Dia mengambilkanku air minum, melihat wajah merahku yang seperti nyaris tersedak. Aku menerimanya lalu menenggak air mineralnya hingga tandas. Tangan besar Tuan Abizar kembali bersiap hendak menyuapiku lagi, aku hanya membuka mulut, menerima suapannya dan mengunyah.

            “Saya sudah kenyang, Tuan ….” Aku berbisik dengan pipi mengembung, penuh dengan lauk dan nasi.

            “Kalau kamu sudah kenyang, siapa yang akan menghabiskan semua sisa makanan ini ….” Kalimatnya masih datar, kembali memberikan aku air minum, saat mendapatiku susah menelan setiap suapannya.

            “Aku tidak bisa menghabiskannya sendirian ….”

            Aku menatap wajahnya yang diam sebentar. Lalu kepalanya mengangguk, “kalau begitu aku ikut makan.” Dia meraup nasi untuk dirinya sendiri, berhenti menyuapiku, dia kembali makan dan menyuruhku mandiri. Dari piring yang sama, aku mengambil nasi dan lauk untuk kumasukkan ke dalam mulut. Aku memerhatikan kebiasaan Tuan Abizar, lagi-lagi dia menyisakan lauk enak untukku, lebih memilih memakan nasi dan sayur yang rasanya hambar.

            “Kalau Tuan ingin berbagi kehidupan Tuan denganku, kalau begitu bolehkah aku juga membagi kehidupanku dengan Tuan?”

            Mendengar pertanyaanku Tuan Abizar berhenti menyuap. Beliau mengerjap, berusaha mencerna kalimatku. Lalu tebakannya terlontar, “kamu juga ingin menyuapiku?”  

            Tebakan yang tepat sasaran, apalagi tanganku sudah terangkat hendak menyuapinya. Kukira Tuan Abizar akan berubah jijik, menatapku dingin, marah lalu pergi. Ternyata dugaan terlalu berlebihan, Tuan Abizar membuka mulutnya, menerima suapanku langsung dari tanganku.

Setelah mengunyah, dia bertanya. “Hanya sekali saja?” Aku kembali meraup nasi dan lauk yang dia abaikan. Sengaja aku menyuapinya agar dia ikut memakan makanan enak yang sengaja dia abaikan untukku. Bibirnya kembali mengambil suapan di tanganku, Tuan Abizar mengunyah, kepalanya mengangguk-angguk. “Enak,” ini kali pertama aku mendengar dia memuji sebuah makanan. Aku senang mendengarnya.

            Wajahnya kembali mendekat, menanti suapanku ke selanjutnya. Dengan semangat, aku kembali menyuapinya. Rasanya seperti menyuapi adikku di kampung, wajah Tuan Abizar terlihat seperti itu. “Aku sudah kenyang,” Tuan Abizar baru bilang seperti itu setelah semua makanan di atas meja sudah habis. Aku tersenyum, dia yang menghabiskan semuanya. Sepertinya dia bisa menambah makanan lebih banyak jika aku yang menyuapinya. Ah, teringat umur, saat hal barusan terbayang di kepalaku, kupikir kami kekanakan sekali.

            “Kamu itu suka berdandan, tapi garis bedak di bawah matamu selalu kelihatan ….” Tuan Abizar berdecak setelah mengamati wajahku selama beberapa detik. Jari telunjuk kanannya meratakan garis bedak di bawah mataku, lalu setelah itu tersadar. Tuan Abizar menatap telunjuknya lama, lalu memeringatkan. “Sepertinya bedak murahmu itu tidak cocok di wajahmu, perlu kubelikan make up lain?”

            “Tidak usah, Tuan. Setidaknya bedak itu tidak membuat wajahku berjerawat.”

            Aku menampik, memerhatikan Tuan Abizar yang tidak mengalihkan tatapannya dari ujung telunjuknya.

            “Bisa buatkan aku kopi? Agar aku tidak mengantuk, karena setelah ini aku harus bergadang mengurus dokumen.”

            Kepalaku mengangguk, baru saja bangkit beliau kembali menambahkan. “Yang panas.”

            “Yang panas?”

            Tuan Abizar mengangguk, “benar, yang sangat panas.”

            Tanpa bertanya, aku mengiakan saja. Setelah kubuatkan Tuan Abizar membawa gelas kopi tersebut ke ruangannya. Beliau duduk diam di atas kursi kerjanya, meletakkan cangkir kopi tersebut, lalu memasukkan ujung telunjuknya ke dalam cairan hitam yang masih begitu panas. Tuan Abizar hanya meringis, tidak mengangkat telunjuknya sebelum kopi itu dingin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   79: Surat Talak Dari Tuan Omar

    “Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   78: Dendam Samuel

    “Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   77: Tiga Sekawan Gila (Lagi)

    Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   76: Omar Ingin Mati (2)

    “Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   75: Omar Ingin Mati

    Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   74: Yang Menggoda

    “Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   73: Calon Mertua

    Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   72: Mimpi Omar

    Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   71: Melamar Mawar

    Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status