Share

8: Menyuapi Majikan

“Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?”

            Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, “baiklah, terserah kamu saja.”

Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. 

            “Makanlah,” suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut.

            Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. “Aku benci melihat caramu makan, lambat.”

Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi dari tangannya. Selalu saja, tiap kali dia memperlakukanku seperti ini, aku seperti ingin menangis. Air mataku sudah menetes, tapi masih dengan antusias menerima semua suapan darinya. Tuan Abizar terlihat datar dan tak berkutik, aku tidak bisa menebak perasaannya dari raut wajahnya yang tidak berubah itu, apakah dia jijik? Senang? Atau biasa saja?

            “Aku bisa makan sendiri, Tuan ….” Aku berkata sambil mengunyah nasi.

            “Aku tahu kamu bisa makan sendiri,” Tuan Abizar berbisik. Dia mengambilkanku air minum, melihat wajah merahku yang seperti nyaris tersedak. Aku menerimanya lalu menenggak air mineralnya hingga tandas. Tangan besar Tuan Abizar kembali bersiap hendak menyuapiku lagi, aku hanya membuka mulut, menerima suapannya dan mengunyah.

            “Saya sudah kenyang, Tuan ….” Aku berbisik dengan pipi mengembung, penuh dengan lauk dan nasi.

            “Kalau kamu sudah kenyang, siapa yang akan menghabiskan semua sisa makanan ini ….” Kalimatnya masih datar, kembali memberikan aku air minum, saat mendapatiku susah menelan setiap suapannya.

            “Aku tidak bisa menghabiskannya sendirian ….”

            Aku menatap wajahnya yang diam sebentar. Lalu kepalanya mengangguk, “kalau begitu aku ikut makan.” Dia meraup nasi untuk dirinya sendiri, berhenti menyuapiku, dia kembali makan dan menyuruhku mandiri. Dari piring yang sama, aku mengambil nasi dan lauk untuk kumasukkan ke dalam mulut. Aku memerhatikan kebiasaan Tuan Abizar, lagi-lagi dia menyisakan lauk enak untukku, lebih memilih memakan nasi dan sayur yang rasanya hambar.

            “Kalau Tuan ingin berbagi kehidupan Tuan denganku, kalau begitu bolehkah aku juga membagi kehidupanku dengan Tuan?”

            Mendengar pertanyaanku Tuan Abizar berhenti menyuap. Beliau mengerjap, berusaha mencerna kalimatku. Lalu tebakannya terlontar, “kamu juga ingin menyuapiku?”  

            Tebakan yang tepat sasaran, apalagi tanganku sudah terangkat hendak menyuapinya. Kukira Tuan Abizar akan berubah jijik, menatapku dingin, marah lalu pergi. Ternyata dugaan terlalu berlebihan, Tuan Abizar membuka mulutnya, menerima suapanku langsung dari tanganku.

Setelah mengunyah, dia bertanya. “Hanya sekali saja?” Aku kembali meraup nasi dan lauk yang dia abaikan. Sengaja aku menyuapinya agar dia ikut memakan makanan enak yang sengaja dia abaikan untukku. Bibirnya kembali mengambil suapan di tanganku, Tuan Abizar mengunyah, kepalanya mengangguk-angguk. “Enak,” ini kali pertama aku mendengar dia memuji sebuah makanan. Aku senang mendengarnya.

            Wajahnya kembali mendekat, menanti suapanku ke selanjutnya. Dengan semangat, aku kembali menyuapinya. Rasanya seperti menyuapi adikku di kampung, wajah Tuan Abizar terlihat seperti itu. “Aku sudah kenyang,” Tuan Abizar baru bilang seperti itu setelah semua makanan di atas meja sudah habis. Aku tersenyum, dia yang menghabiskan semuanya. Sepertinya dia bisa menambah makanan lebih banyak jika aku yang menyuapinya. Ah, teringat umur, saat hal barusan terbayang di kepalaku, kupikir kami kekanakan sekali.

            “Kamu itu suka berdandan, tapi garis bedak di bawah matamu selalu kelihatan ….” Tuan Abizar berdecak setelah mengamati wajahku selama beberapa detik. Jari telunjuk kanannya meratakan garis bedak di bawah mataku, lalu setelah itu tersadar. Tuan Abizar menatap telunjuknya lama, lalu memeringatkan. “Sepertinya bedak murahmu itu tidak cocok di wajahmu, perlu kubelikan make up lain?”

            “Tidak usah, Tuan. Setidaknya bedak itu tidak membuat wajahku berjerawat.”

            Aku menampik, memerhatikan Tuan Abizar yang tidak mengalihkan tatapannya dari ujung telunjuknya.

            “Bisa buatkan aku kopi? Agar aku tidak mengantuk, karena setelah ini aku harus bergadang mengurus dokumen.”

            Kepalaku mengangguk, baru saja bangkit beliau kembali menambahkan. “Yang panas.”

            “Yang panas?”

            Tuan Abizar mengangguk, “benar, yang sangat panas.”

            Tanpa bertanya, aku mengiakan saja. Setelah kubuatkan Tuan Abizar membawa gelas kopi tersebut ke ruangannya. Beliau duduk diam di atas kursi kerjanya, meletakkan cangkir kopi tersebut, lalu memasukkan ujung telunjuknya ke dalam cairan hitam yang masih begitu panas. Tuan Abizar hanya meringis, tidak mengangkat telunjuknya sebelum kopi itu dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status