“Wanita suka pada pria yang memberi perhatian saat ia terpuruk atau menangis. Jangan sampai hal itu membuat Khiva jadi menyukaimu juga. Aku gak mau bersaing dengan siapa-siapa. Aku hanya mau mengingatkan kalau kamu sudah menikah denganku. Tolong jangan terlalu baik dengan wanita mana pun dan buat mereka jadi menginginkanmu.”
Perkataan Viana ada benarnya juga. Harusnya aku bisa mengontrol diri. Aku mengabaikan perasaan Khiva setelah apa yang aku lakukan padanya. Beruntung saat itu Gumi datang dan menghentikan kami. Kalau tidak, mungkin Khiva akan sedikit berharap padaku.
Sungguh, aku tak mau memainkan perasaan wanita mana pun. Apalagi perasaan istriku sendiri.
Aku mengembuskan napas panjang. Lega karena itu yang Viana pikirkan tentangku. Ia marah bukan karena adegan salah paham antara aku dan Khiva. Tapi ia marah karena takut aku tersesat dan memberi orang lain pengharapan.
Viana yang dewasa seperti ini membuatku merasa bangga.
Aku terse
Studio Latia memang sudah lama dibangun. Para member-nya pun sudah banyak. Tapi baru kali ini aku melihat Viana zumba di studionya sendiri. Ia dibimbing salah satu pelatihnya menirukan koreo untuk musik beat. Beberapa orang duduk menonton, beberapa lagi ikut menari di belakang Viana.Aku bersandar di dekat pintu masuk studio. Menyilangkan kedua tanganku di dada melihat Viana yang begitu lincah mengikuti irama musik. Ia tidak menyadariku datang untuk menjemputnya. Aku juga tidak berusaha membuatnya sadar. Aku terpesona melihatnya menari.Viana tertawa-tawa karena salah langkah dan membuatnya hampir oleng karena menginjak kakinya sendiri. Melihatnya tertawa, aku jadi ikut tertawa di tempatku.Aku suka dengan Viana yang bahagia ini. Mirip seperti saat ia berteater dulu. Wajahnya yang seolah tak memiliki beban. Wajah yang selalu kuusahakan untuk terus hadir bersamanya. Viana-ku yang bahagia.Nampaknya Viana sadar dengan keberadaanku setelah
Aku tahu cafe tempat mereka janji temu. Sengaja kuberikan selang waktu antara kepergiaan Viana, dengan aku yang menyusulnya.Ya, aku berniat mengikuti Viana yang bertemu dengan Lhasa. Aku tak akan memergokinya. Aku tidak akan seurakan itu. Aku hanya penasaran. Kurasa sebagai suaminya aku patut tahu ia hendak kemana dan mau apa.Aku memarkirkan mobil lumayan jauh dari Cafe Cozy. Dari rumah sudah kusiapkan topi juga masker untuk menyembunyikan wajahku. Kupakai semua itu dan berjalan mantap ke cafe yang mengusung tema modern.Dari pintu masuk mataku berkeliling mencari sosok Viana atau Lhasa, yang mana saja yang sudah sampai duluan.Ternyata baru ada Viana di kursi sofa paling pojok, paling tersembunyi. Sambil menundukkan kepala, aku jalan ke dekat kursinya. Mencari posisi tepat untuk bisa mendengar suara mereka berbincang.Aku memilih kursi yang membelakangi Viana. Hanya terpaut satu meja. Aku bisa leluasa melepas maskerku dan mendengar saat Vi
Aku telah sampai dua jam lalu di rumah. Kupandangi jendela yang bisa melihat pemandangan dari luar rumah.Aku menunggu Viana. Melihatnya menangis sewaktu di Cafe Cozy, aku tidak punya keberanian untuk menghubunginya. Aku berencana pura-pura tidak tahu tentang pertemuannya dengan Lhasa.Lebih baik begitu, kan. Kalau ia ingin hal ini terbuka, ia akan menceritakannya padaku. Sebaliknya, kalau Viana ingin merahasiakannya, maka akan kuikuti sebaik mungkin.Viana, apa pun yang kamu lakukan, aku tidak peduli. Asalkan kamu tetap kembali padaku. Jadi istriku. Meski hatimu masih penuh dengan Nara, tak apa. Kuharap lambat laun namanya akan terkikis. Tinggal namaku yang di sana.Viana belum juga kembali meski sore sudah mampir di langit. Berkali-kali kulirik handphone, memastikan Viana menghubungiku untuk jemput atau tidak. Nyatanya, handphoneku sepi meski telah kupelototi cukup lama.Dua puluh menit kemudian, sebuah taksi berhenti di depan rumah. Dari jendela
Khiva memilih Pangandaran sebagai objek wisata kantor. Sebenarnya bisa saja kuajukan tempat lain, tapi Khiva punya satu pemikiran unik khusus untuk rekannya, Rio."Sengaja aku pilih Pangandaran karena gak terlalu jauh kalau pakai motor. Iya, Rio akan naik motor ke sana. Dia mabuk darat kalau pakai mobil atau bus, kalau pakai motor enggak, kok. Rio harus ikut pokoknya."Khiva orang tersolider yang kukenal. Bisa saja sih Rio menolak ikut, apalagi hanya untuk capek-capek mengendarai motor sampai Pangandaran.Tapi, Khiva berhasil membujuknya. Khiva berdalih akan ada acara pembagian doorprize dengan hadiah yang fantastis. Mata Rio mendadak hijau. Apalagi saat disebutkan salah satu hadiahnya sepeda. Dia berharap yang dapat itu.Dasar, mudah sekali membujuk Rio.Akhirnya, setelah berbagai protes dari Akita, Cyan dan Ammar, mereka pun setuju dengan wisata dadakan ini.Selama semua biaya ditanggung kantor, tentu saja mereka harus manut saja.
Aku memilih jujur pada Biru. Dia bisa kupercaya mengenai rahasia yang merupakan aib bagi rumah tanggaku ini. Aku sudah lelah menyimpannya seorang diri. Aku juga butuh ditenangkan.“Kamu tahu kan, sebelumnya aku pernah membongkar sandiwara kalian karena kecerobohan Viana. Dia wanita yang sederhana dan mudah sekali ditebak. Dan melihat apa yang sudah dia lakukan denganmu, aku tahu dia jujur tentang perasaannya. Dia benar-benar menyukaimu, Riga. Dan tentang Nara, itu hanya ketakutanmu saja.”Inilah yang ingin kudengar dari Biru. Dia pandai menyimpulkan. Dia menepuk pundakku sekali. Ada bau persahabatan yang kental darinya.“Percaya saja pada istrimu.” Saran yang bagus. Dan akan kulakukan meskipun itu sulit.Biru memasukkan tangan ke saku celananya. Sikapnya jadi lebih santai daripada tadi. Aku pun menirunya dengan mengembuskan napas lega.“Entah kamu sudah tahu tentang ini atau belum. Nara datang ke pernikahanku. Aku meli
Viana baru kembali ke kamar setelah pagi. Kudapati ia sedang memandangiku yang masih setengah mengantuk di kasur. Aku tersenyum melihat Viana yang sama cerahnya seperti mentari yang jadi latar belakangnya.“Kamu sedang apa, senyum-senyum begitu. Sedang merencanakan hal jahat, ya?” kataku sembari mengelus pipinya yang berada sejangkauanku.“Sedang memandangimu saja. Ternyata suamiku ganteng juga.”“Baru sadar sekarang?”Dia menggeleng. “Hari ini berkali-kali lipat gantengnya.”Viana bisa juga membuat bibirku tergerak senyum. Aku meraih tubuhnya, kubawa masuk ke rangkulanku agar ia ikut tidur di sisi.“Kamu sudah mandi?” tanyaku setelah menghidu wewangian dari rambut juga lehernya.“Sudah, dong. Jalan-jalan, yuk! Yang lain malah sudah main sepeda, loh.”“Boleh gak, istirahat sebentar lagi. Sambil... hmm...,”Viana mencubit pipiku dengan gem
"Riga, aku hamil."Hening. Bola mataku berlari ke wajah Viana yang mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan napas. Aku diam, masih mencerna baik-baik apa yang baru saja kudengar ini.“Hah? Ha-hamil?” responku kurang gesit.Viana tak nampak kecewa, ia justru dengan sabar mengulang perkataannya lagi. Kali ini ditambah kalimat penunjang yang membuatku yakin kalau Viana tidak sedang bercanda seperti yang biasa kami lakukan.“Tadi pagi aku test pack di kamar Khiva. Hasilnya, dua garis merah muda yang sangat jelas,” imbuhnya lagi.“Du-dua garis? Positif? Kamu benar hamil? Anakku?” setiap pertanyaan yang kulayangkan hanya dapat anggukan kepala dari Viana. Ia mengangguk dengan pasti dan senyum yang tak lepas membayangi.“Iya, Sayang, iya. Kamu akan jadi ayah.”Aku tidak peduli sekarang berada di mana. Siapa saja yang memerhatikan. Atau seseorang menganggapku gila. Kuangkat tubuh Vian
Pagi hari di akhir pekan jadi kegiatan yang menyenangkan. Viana berencana memasak hari ini. Karena libur, aku membantunya. Menciptakan suasana romantis dengan mencincang bawang, merajam daging, juga menumis.Viana koki yang ulung, ia bergerak menguasai dapur, membuatku terpesona saat tangan kurusnya lincah memotong-motong apa pun di talenan.Rambut Viana terburai. Ia mengibaskan dengan bantuan punggung tangan sebab telapaknya kotor habis memegang lengkuas.Ini jadi tugasku sekarang. Kuraih tiap helaian rambutnya, mengikat dengan genggaman tanganku. Kulepaskan ikatan Viana, memperbaiki dengan ikatan versiku.Viana tersenyum. Manis sekali. Ia melanjutkan kegiatan mencincangnya. Dari belakang sini lekuk lehernya kelihatan seksi. Kugerayangi dengan bibirku. Membuat geli Viana yang mengendikkan bahu."Kamu mengganggu," keluh Viana lucu."Habisnya, kamu seksi," godaku sambil menaruh tangan di pinggangnya."Lebih baik kamu bantu aku memotong