Dari kemarin kulkas rusak. Bagian dalamnya tak terasa dingin. Sedangkan Viana lebih suka susu hamil yang dingin.
Pagi ini saat libur, aku membetulkannya. Aku bukan ahli, hanya memutar baut, melepaskan bagian mesin demi mesin. Aku tidak tahu letak yang salah. Hanya kutiupi, melihat-lihat, lalu mengembalikan ke tempat semula.
Dengan begitu kulkas tidak langsung menyala, tentu saja. Kerjaku hanya membongkar, bukan membetulkan. Mana ada perubahan.
Aku menyerah. Dua jam berkutat dengan mesin juga kabel-kabel tidak membuat kulkas nyala kembali.
"Fiuh, beli yang baru saja lah, Viana." Aku menyerah.
Viana menggeleng. Sedari tadi dia menunggu di kursi sambil mengelus-elus perutnya yang kian membuncit.
"Padahal masih baru kulkasnya, sayang banget kalau harus ganti yang baru," komentar Viana dengan segala perasaan.
"Iya, tapi aku gak ngerti cara membenarkannya. Panggil tukang saja, ya?" keluhku sambil duduk di hadapan Viana.
Kehamilan Viana telah menginjak bulan kelima. Sudah tiba waktunya kontrol ke dokter kandungan.Aku setia menemaninya yang siang itu punya jadwal kontrol. Aku izin dari kantorku. Meninggalkan semua urusan pada Khiva yang sudah mulai stabil dengan pekerjaannya. Berkat Cyan.Sekarang kami sedang duduk di ruang tunggu. Menunggu giliran dipanggil perawat untuk masuk ke ruang dokter.Viana nampak tegang, tapi wajahnya sumringah. Kontradiksi yang cantik.Aku mengelus perutnya yang buncit. Meminta dia menurunkan kadar tegangnya hingga tersisa sumringahnya saja."Riga, bagaimana kalau kehamilannya gak sehat. Selama ini gak ada makanan yang masuk dengan benar ke perutku. Aku takut bayinya gak tumbuh," cemas Viana langsung kutepis."Ssst, ibu hamil gak boleh bilang begitu. Optimis saja bayi kita sehat. Makanan yang dimuntahkan itu bukan berarti gak ada yang masuk, kok." Aku menenangkan."Tapi Riga, aku merasa berdosa jarang minum susu hamil kare
Nara datang bersama dua orang, lelaki dan wanita. Dua orang itu bermata sembab, menuju kamar Adia, tempat yang tadi kudatangi sebelum menyusul Viana ke toilet.Nara di belakangnya, tidak ikut menangis seperti dua kawan di depannya. Namun raut kesedihan tetap membingkai wajah tenang Nara.Kulihat Bria keluar dari ruangan saat dua orang itu datang. Tangis mereka bertiga tumpah, apalagi si wanita yang meraung-raung datang ke pelukan Bria."Reist meninggal, Kak Bria? Bagaimana Reist bisa meninggal? Tolong bilang kalau itu bohong, huhuhu!"Wanita dengan ikat ekor kuda mengulang nama Reist berkali-kali di depan Bria.Nara yang tadinya diam saja, dia mengelus pundak wanita itu. Tatapannya nanar. Perhatian tertuju pada wanita yang kuyakin orang yang sama dengan wanita di pernikahan Biru yang lalu."Adia baik-baik saja, kan?" teman satunya lagi tak pelak menanyai kabar Adia.Yang bisa kusimpulkan, dua orang di samping Nara itu teman A
Aku dan Viana berada di mobil untuk pulang. Sedari tadi Viana tidak mengubah raut mukanya setelah bertemu dengan Nara.Aku tahu ia masih kaget dengan pertemuan yang tiba-tiba. Atau pun tak menduga sebab Nara yang dulu sudah berubah.Ya, Nara jauh lebih terlihat ceria sekarang. Apalagi setelah pergi dengan Seya berjalan-jalan seperti katanya. Mereka jalan bergandengan, membuktikan jelas ada hubungan lebih dari sekedar teman biasa dengan Seya.Kami belum beranjak dari parkiran di basement. Viana masih melongo dengan pemandangan yang barusan ia lihat di dalam. Sudah kuduga dampak pertemuan dengan Nara akan sangat besar pada Viana. Tapi Nara yang bersama pasangannya tentu membuat Viana jauh lebih terpukul.“Viana, pakai sabuk pengamannya dengan benar,” kataku.Namun Viana tak juga bereaksi. Lamunan yang ia lakukan malah makin dalam dan tak bertepi.Aku mendengkus. Segera kutarik sabuk pengaman Viana di samping tubuhnya. Kupasangkan d
Aku masih ingat kalimat Viana saat di rumah sakit. Terus berputar-putar seperti kaset rusak.“Kenapa rasanya sakit sekali, Riga? Melihat Nara yang bahagia seperti itu, membuatku sakit hati.”Saat Viana bilang tentang sakit hati, di saat yang sama dadaku berkali-kali lipat sakitnya.Viana masih peduli dengan Nara, di hatinya masih ada Nara. Entah masih dalam jumlah yang besar atau sedikit, hanya saja bagi Viana, Nara tetap raja di hatinya.Kami pulang ke rumah dalam keadaan saling mendiamkan. Viana ke kamar. Ganti baju. Meminum susu hamil, suplemen, juga vitamin.Tidak ada dialog dari kami. Begitu pun saat Viana tidur. Ia tidur dalam posisi menyamping. Tidak mengizinkanku melihat wajahnya saat ini. Apakah menangis, apakah melamun, atau benar-benar tertidur.Aku pernah mendengar kalau ibu hamil akan lebih sering sensitif dan perubahan mood swing yang signifikan. Tapi tidak kusangka hal itu dipicu oleh kehadiran Na
Terburu-buru, aku mencegat rombongan wanita yang hendak masuk ke studio."Apa yang terjadi, kenapa studio mendadak sepi?"Mereka para pelatih Viana, jelas mereka mengenalku dan tak heran kenapa jenis pertanyaanku seperti itu."Anu, ada yang jatuh dari tangga saat kami sedang latihan. Dia berdarah-darah dan sampai pingsan. Makanya semua panik dan mengantarkannya ke klinik terdekat," terang salah satu dari mereka."Dia, siapa?""Dia ... salah satu pelatih di sini, Pak!"Jadi bukan Viana?Oh, syukurlah.Aku tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi lagi pada Viana dan kandungannya. Tidak lagi ada acara keguguran, aku sudah janji akan menjaganya selalu sehat.Sementara itu, wanita yang sedang kupikirkan muncul dengan dikawal dua orang di sisinya. Dia sedang bicara sambil berjalan ke arah studio. Tidak melihatku yang berdiri di pintu, memerhatikan bagaimana ia terlihat panik, tapi bersikap seolah dirinya baik-baik saja.
Hanya berselang tiga jam, Rio mendapatkan apa yang aku mau. Ia khusus datang ke ruanganku dengan secarik kertas kecil yang kutahu berisi alamat Nara seperti yang kupinta.Rio menaruhnya di mejaku. Sedikit menyentak dengan tepukan tangan yang keras di meja. Aku jadi terpancing melihat raut wajahnya yang kentara sekali sedang marah.“Lain kali jangan menyuruhku dengan iming-iming uang. Ini terakhir kalinya Pak Riga memintaku mencari-cari seperti ini. Nanti, lakukan saja sendiri.”Meski cara memberinya kasar, tapi kuakui Rio punya keterampilan luar biasa untuk urusan mencari data. Dia lebih cepat dan akurat dibanding Biru yang katanya sedang mencari alamat Nara juga.Kubuka secarik kertas darinya. Membaca tulisan paling atas dengan huruf tercetak tebal.SMP Angkasa 1 SurabayaSMP? Apa Rio tidak salah alamat? Aku mendongak dan menampilkan mimik bertanya.“Aku gak menemukan alamat pastinya tempat Pak Nara tinggal. Tapi ak
Aku diantarkan ke dalam lingkungan sekolah. Murid-murid sedang beristirahat, ada yang bermain olahraga di lapangan, bergosip di depan kelas, atau pun memenuhi lorong sambil bersenda gurau. Melihat mereka, membangkitkan masa mudaku sewaktu masih belia seperti mereka.Lab komputer berada di sebelah perpustakaan sekolah. Guru tadi mengantarkanku hanya sampai pintu depan lab. Selanjutnya, tanpa perlu susah payah, pemandangan Nara dengan kemeja putih, duduk di depan komputer sambil dikerubungi murid-murid perempuan, tersaji di depan mataku.Nara sedang menimpali guyonan murid-murid yang sebagian besar berisi rayuan untuk guru tampan macam Nara.Kulihat, Nara banyak tersenyum bersama mereka. Tertawa dengan seringai lebar di bibirnya. Tawa yang tidak pernah kutemukan saat bersamaku dulu.Nara juga lebih banyak bicara dan kesan ramah melekat padanya. Dia sempurna berubah seratus delapan puluh derajat dari Nara yang dulu.Kupandangi Nara di mulut pintu. Seo
“Kumohon, kembalilah pada Viana.”Suaraku seperti menggema. Di kantin yang sepi. Di hadapan Nara yang mengubah raut wajahnya jadi serius. Pandangan mata kami bersirobok. Pintaku membuat kami jadi canggung kembali, sama seperti saat di rumah sakit kemarin.“Setelah dia bertemu denganmu kemarin, Viana jadi kehilangan gairah. Dia memikirkan banyak hal tentang masa lalu denganmu. Termasuk, merasa bersalah karena membuatmu terluka sangat banyak.”Aku tidak tahu apa yang kukatakan pada Nara. Aku hanya sedang mengungkapkan kegundahanku selama ini. Aku merasa Nara perlu tahu tentang ini.“Dia ingin bertemu denganmu sekali lagi. Mungkin ingin mengutarakan maaf, atau sesuatu yang lain yang belum tuntas antara hubungannya denganmu.”Aku terus bicara. Tidak mengizinkan Nara memotongku dengan kalimatnya yang mungkin akan sangat dewasa, tidak sepertiku yang kekanakkan dan pengecut.“Aku gak mungkin membawa Viana k