“Akh, naskahku!”
Dua lelaki di hadapanku itu bergerak cepat. Reist mengambilkan laptop yang terbelah antara penutup dan keyboard-nya. Sedangkan lelaki satunya lagi berseru dengan histeris.
“Duh, Adia. Gimana sih, sudah seharian kamu nulis naskah. Bisa-bisa hilang tulisanmu di laptop,” lelaki itu panik.
“Aaaa~ bagaimana dong? Mana deadline-nya sebentar lagi. Aduh!”
Semua orang yang berada di sana panik. Hanya Reist yang kelihatan agak tenang. Ia menaruh laptop kembali ke meja. Melihat seberapa parah laptop wanita bernama Adia itu rusak. Ternyata hentakannya ke lantai membuat laptop sempurna mati total.
“Nah kan, rusak. Kamu teledor sekali sih, Adia!” lelaki tadi masih saja menyalahkan Adia.
“Yenan, jangan bikin Adia makin panik, dong!” marah Reist pada lelaki yang dipanggilnya Yenan.
“Ya, habisnya—“
“Ini bisa diperbaiki, mungkin
Yenan memberitahu, ia akan pulang ke Surabaya besok lusa. Saat yang sama, Yenan mengajakku pergi bersamanya. Aku menurut setelah berbincang dengan bibi dan pamanku.Mereka hanya ingin aku bekerja, dimana pun tempatnya. Namun aku yakin keinginan sesungguhnya mereka ingin aku lepas dari rasa sedih yang hampir kulakukan tiap hari setelah bercerai dengan Viana.Mungkin, kepergianku ke Surabaya pun menjadi awal kehidupan baru dimana tidak ada Viana di dalamnya. Atau masa lalu yang suram itu.Maka, dengan tekad yang bulat, aku beranjak ke terminal bus yang diberitahu Yenan di telepon. Yenan datang duluan, ia melambaikan tangannya begitu aku sampai di terminal bus lintas kota.“Kamu bawa sertifikat komputermu, kan?” Yenan mengingatkan.“Bawa!” kataku singkat.Setelahnya kami menaiki bus yang telah kami bayar tiketnya via online. Sekedar pemberitahuan, tiketnya Yenan yang belikan. Meskipun Yenan tidak menagih, tapi aku janji
Ternyata Yenan orang yang menyenangkan. Hampir setiap hari ada saja alasanku tertawa karenanya. Ia mengajarkanku bahwa tidak semua orang sekaku dan semenderita aku, selalu ada satu orang yang menjadi penyemangat yang lain. Keceriaan Yenan entah kenapa menyebar pada siapa pun yang dekat dengannya.Contohlah kemarin siang di ruang guru. Aku baru mendapat meja baruku. Belum terisi apa-apa selain tas ranselku yang berisi agenda dan alat tulis. Lacinya juga kosong melompong tanpa meninggalkan apa pun.Yenan menghampiriku. Memberikan segelas kopi dingin di mug kecil dengan tulisan ‘Seya is my sister.’ “Ada banyak pilihan minuman di pantry. Suka kopi atau teh? Atau jus?” Yenan bertanya. “Hari ini kubuatkan kopi, lain kali kalau mau, buat sendiri di sana, oke?”Tanpa sadar aku mengangguk dan kalimat ‘oke’ meluncur begitu saja di mulut. Kuminum kopi dingin buatan Yenan. Menyeruputnya sambil membayangkan dah
Hari libur, Yenan mengajakku berkeliling di sekitar pasar. Kemarin pertama kalinya aku dapat gaji sebagai guru. Aku ingin membeli beberapa kemeja juga celana katun untuk mengajar.Yenan menunjuk satu toko yang menjadi langganannya. Toko itu terletak tak jauh dari pasar. Aku dan Yenan berjalan-jalan dari kontrakan sampai ke pasar. Lumayan dekat. Jalan kaki saja cukup.“Kamu duluan ke sana ya, aku beli dulu beberapa barang. Adik perempuanku mau pulang, dia pasti akan berisik kalau gak ada pengharum ruangan di rumah,” Yenan memberi tanda akan berbelok di trotoar.“Oh, oke!”Yenan sudah memberitahu tempat itu sebelumnya saat kami pulang kerja kemarin. Aku masih ingat jalannya.Pagi itu, pasar lumayan ramai. Karena hari libur, trotoar dijadikan pasar tumpah yang menjajakan aneka barang dengan harga murah. Pedagang membuka lapaknya dengan menggelar tikar di trotoar. Hanya setengah jalan, sebab setengahnya lagi dipakai untuk para p
Detik itu, saat kami sedang bercakap-cakap, ponsel Yenan berbunyi. Ada nama Seya di layarnya. Yenan mengangkatnya dan menyerukan kalimat pembuka.“Halo?”Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bincangkan, sebab Yenan mendadak bangun dan pergi keluar ruangan. Mereka bicara dengan intens di telepon. Hanya dari pembicaraan satu arah saja, aku bisa tahu kalau mereka begitu akrab. Layaknya teman. Saudari yang awalnya dari teman.“Hei, Nara?” panggil Yenan kemudian setelah menutup panggilan ponselnya.Aku mendongak untuk mendengar ia berucap. “Apa?”“Seya sudah di terminal. Kamu mau antar aku, atau tunggu di sini saja?”“Em, di sini saja. Biar aku rapikan kamar untuk Seya nanti.”Yenan mengangguk dan menyetujui itu. Kami seperti melakukan formasi. Yenan mengambil jaket, merapikan diri dengan menyisir rambut lurus berponinya. Sedangkan aku merapikan kasur di kamarku. Membereskan b
“Aku duda,” kataku kemudian. “Baru beberapa bulan ini.”Tatapan Seya sulit kuartikan. Antara cerah tapi mendung. Ia memerhatikan Yenan yang saat itu menunduk seolah tidak mau tahu.Seya tersenyum. “Yes, itu artinya aku bebas mendekatimu, kan?” serunya dengan riang dan mengepalkan tangan ke udara.“Mendekati apa sih, makan sana yang benar,” protes Yenan sembari mengayunkan sendok ke kepala Seya.Wanita itu memang berhasil tertunduk untuk makan. Tapi hanya beberapa detik. Setelahnya cengiran penuh arti terlontar padaku.Lagi-lagi aku tidak menggubris. Kupikir gadis mana yang akan suka dengan duda. Selain karena tabiat yang buruk, seorang duda terindikasi tidak punya kemampuan dalam mempertahankan hubungan. Aku sudah sangat siap dengan pemikiran buruk semacam itu.Namun, pemikiran hanya sebatas pemikiran. Nyatanya aku tidak bisa menebak apa yang Seya pikirkan.Setelah tahu aku duda yang bar
Seya menghadiahiku ponsel setibanya di rumah. Aku tak langsung menerimanya. Dahiku mengernyit di hadapan ponsel yang lengkap dengan dus serta paper bag bertuliskan merek ponsel tersebut.“Ini hadiah untuk apa?” tanyaku ketus.“Bukan untuk apa-apa. Memangnya kalau aku mau memberi hadiah harus ada alasannya?” Seya mengendikkan bahu sambil terus memaksaku menerima paper bag berisi ponsel tersebut.Paper bag itu memang sudah beralih ke tanganku sekarang. Namun aku bingung bagaimana menanggapinya.“Aku gak mau menerima ini,” ucapku dingin.“Kenapa?”“Aku gak suka ponsel. Aku bukan orang yang akan mengangkat panggilan dengan cepat atau membalas satu pesan masuk. Lebih baik aku gak punya ponsel,” alasanku jujur.Seya diam beberapa detik. Bola matanya berlari ke wajahku. Pastilah ia merasa aneh dengan jawabanku yang tak lazim ini.“Kenapa?&rdqu
“Kalau kamu melakukan semua ini agar aku memerhatikanmu, lebih baik berhenti sekarang. Aku enggak tertarik padamu. Aku juga gak berniat punya pasangan lagi setelah aku bercerai.”Lihatlah. Wajah ceria Seya mendadak suram. Lengkung bibirnya turun. Bola matanya kehilangan kilat yang selalu memesona. Ia pudar seiring kalimat sadis itu lolos dari mulutku.Aku menekan tombol end di layar ponselku. Menghentikan panggilan kami sekaligus menghentikan usaha Seya yang kentara berjuang keras demi aku.Seya masih tidak berucap apa-apa. Kalimatku tadi berhasil membuatnya mematung di tempat.“Mulai sekarang, bersikaplah biasa padaku. Karena sekeras apa pun kamu berusaha, aku gak akan pernah menolehmu. Enggak akan pernah,” ucapku lagi penuh penekanan.Seya menunduk. Biarlah ia terluka sekarang sebelum makin dalam perasaannya. Sebelum makin banyak yang ia lakukan untukku.Aku sudah memutuskan dalam hati setelah berpisah deng
Seya melihatku datang. Matanya mengilat. Senyum membayangi bersama cahaya senja menerpa wajahnya.Baru kali ini aku memerhatikan Seya dengan seksama. Entah karena cahaya senja yang menyadarkanku, atau bukan. Seya sangat cantik. Setiap jengkal di wajahnya diciptakan sempurna oleh Sang Pencipta.Caranya menarik senyum seolah mengobatiku dari segala luka dan sakit hati. Dia oase di padang pasir. Ia jawaban dari doaku yang meminta untuk bahagia.Luar biasa. Inikah efek senja di langit yang memayungi kami. Saat Seya berjalan setengah berlari ke hadapanku, saat itu pula aku merasakan debaran yang sudah lama hilang, kini hadir kembali.Kukira aku tak akan menemukan senyum itu lagi. Kukira aku tak akan mendengarkan Seya melantunkan namaku lagi dengan suara riangnya.“Aku menunggumu pulang, Nara!” katanya sambil setengah melompat di hadapanku. Tangan menyilang di belakang tubuh. Juga mata berkedip manja.Aku tak bisa berucap. Selain menat