Share

4. Memburuk

Hal ini memaksa kak Kazan sampai datang ke tempatku. Kami memilih Café Tree sebagai tempat diskusi. Ada aku, Kak Kazan, Nara dan Riga.

Dari tadi Riga mengacak-acak rambutnya mendengar Kak Kazan bercerita bagaimana bundanya keukeuh akan melamarku.

“Kamu sudah jelaskan ke Bunda, kan?” aku menendang kaki Riga di kolong meja.

“Sudah. Tapi Bunda gak mau dengar. Dia kadung suka sama kamu, Viana.”

“Apa sih, padahal aku gak melakukan sesuatu, kenapa Bundamu bisa tergila-gila begitu.”

“Menurutmu kenapa coba?”

“Kenapa?”

“Karena kamu cantik. Jadi bisa ia pamerkan ke teman-teman sosialitanya.”

Kutendang tulang kering Riga di hadapanku ini. Riga mengaduh. Sebenarnya Riga memujiku, tapi entah kenapa kalau dia yang bilang rasanya ingin kutendang. Apalagi di depan Nara.

“Apa bundamu sering memaksakan kehendaknya?” ucap Kak Kazan pada Riga.

“Ya, Bunda yang terparah. Sekalinya ia menginginkan sesuatu, maka harus ia dapatkan. Apa pun itu.”

“Termasuk menginginkan seseorang?” tanyaku.

“Ya, termasuk itu.”

“Bundamu mengerikan.”

“Percayalah, Bunda lebih mengerikan kalau ia nggak dapat apa yang ia mau.”

“Sepertinya bundamu orang yang gigih. Dia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan Viana. Kamu yang paling kenal bundamu. Kamu punya jalan keluar dari masalah ini?” Kak Kazan mendesak Riga. Mewakili isi hatiku.

Pria itu diam sepersekian detik. Mulutnya mengulum hendak mengatakan sesuatu, tapi terhenti.

“Aku … ada ide.” Riga ragu-ragu. “Tapi mungkin agak sedikit gila.”

“Apa?”

Riga tidak langsung bicara. Ia memberi jeda pada kami yang sekarang memelototinya.

Riga menatapku. Bahunya terangkat sebelum mengungkapkan idenya.

“Viana, menikahlah denganku. Itu satu-satunya cara,” katanya serius.

Tidak ada yang bereaksi, ucapannya tidak terduga. Kutendang lagi kaki Riga. Sekarang lebih membabi buta.

Aw, aw, dengar dulu. Kita gak benar-benar menikah. Maksudku kita pura-pura. Kamu pemain teater, kan. Pasti mudah kan berpura-pura.”

“Aku gak mau menikah sama kamu,” teriakku.

“Mengertilah. Bunda suka sama kamu. Dan aku juga butuh pernikahan itu untuk jadi direktur. Ayo menikah pura-pura. Bisa kan, setelah beberapa lama kita bercerai.”

Aku tidak suka pemilihan kata dari Riga. Itu membuat Nara menghunuskan tatapan tajam padanya. Sedetik pun tak berkedip.

Aku menghajar kepala Riga. Masa bodoh kepalanya diasuransi atau aku akan dipidana. Otak orang ini perlu disiram air keras. Dasar gila.

“Jangan main-main dengan pernikahan. Apalagi tujuannya untuk bercerai, aku gak akan pernah menyetujui kalian.” Kak Kazan bertindak tegas.

“Terus gimana dong?” Riga melindungi kepalanya dari bogeman mentahku.

“Mati saja sana!” geramku.

Nara tidak bisa menahan emosi. Dalam satu ancaman, Riga berhasil tak berkutik.

“Jangan main-main dengan Viana."

Urat di pelipis Nara mencuat. Giginya gemetrakan. Mau serius atau bercanda kalau itu menyangkut diriku, Nara akan protektif.

Hening kemudian. Riga tertunduk kalah. Nara menenangkan diri sambil kuelus-elus tangannya.

Saat itulah, Kak Kazan mulai ambil suara.

“Begini saja … Nara, apa kamu mau menikahi Viana?”

Aku tidak paham maksud Kakak. Yang diharuskan menikah itu Riga, bukan Nara.

Sontak kami mengernyitkan dahi. Kecuali Nara yang tetap berekspresi datar dan tidak kutahu sedang memikirkan apa.

“Ya!” jawab Nara terlambat.

“Kak, Kakak paham situasinya gak, sih?” aku mengeluh.

“Kakak cuma menyambung ide gila Riga. Kalian akan menikah, Viana dan Nara. Tapi membuatnya seolah Viana dan Riga-lah yang menikah.”

Tunggu, aku pusing. Otakku tidak sampai menafsirkan kalimat ambigu Kak Kazan. Tapi sepertinya Riga paham. Ia menepuk tangannya sekali seperti mendapatkan ilham.

“Aku mengerti.” Riga sampai menaikkan sebelah kakinya ke kursi. “Seperti kataku tadi, kita pura-pura menikah. Aku dengan Viana. Tapi sewaktu ijab kabul, Nara yang melakukannya. Begitu kan, Kak?"

Riga bersorak untuk kata-katanya sendiri. "Aah~ benar-benar brilian. Sekali tepuk tiga burung tertembak. Aku dapat jabatan direktur utama, Nara dan Viana bisa menikah, dan Bunda mendapatkan menantu yang cantik. Hebat sekali Kak Kazan.”

Riga berlebihan dengan mengguncang-guncang tubuh Kak Kazan yang berumur kepala empat itu.

Dan apa tadi katanya, sekali tepuk tiga burung tertembak? Dia benar-benar bisa dipercaya jadi direktur tidak, sih?

“Aku setuju dengan ide ini, acungkan tangan yang setuju?” Riga heboh sendiri, mengacungkan tangan sendiri.

“Tunggu dulu, bagaimana dengan buku nikahnya? Ditulis nama siapa?”

“Tentu saja atas nama kamu dan Nara, lah.”

“Terus penghulunya bodoh gitu, sampai gak tahu orang di buku nikah beda dengan yang ada di hadapannya.”

“Ya gampang, lah. Kita beritahu, kerja sama dengan penghulu. Juga dua orang yang akan jadi saksi. Pokoknya orang-orang itu yang bisa kita percaya dan menjaga rahasia.”

Aku takjub ternyata Riga cepat sekali memikirkan ide yang tercetus tiba-tiba ini.

“Lalu … yang menyaksikan ijab kabul nanti ada banyak. Memangnya mereka gak curiga kalau Nara menggantikanmu ijab kabul?”

Terus, aku mengorek semua lubang yang bisa jadi cacat logika. Dan anehnya Riga selalu punya jawaban. Seperti ia telah mempelajari hal ini sangat matang selama bertahun-tahun.

“Pakai masker. Aku akan pura-pura sakit atau batuk pilek sebelum ijab kabul. Lalu izin ke toilet. Nah, saat itulah aku bertukar dengan Nara. Badan kami sama, kan?”

“Nara lebih langsing.”

Euh Viana, bukan itu kan masalahnya.” Riga berdecak. “Pokoknya akan kupikirkan ini matang-matang. Dan yang pasti nggak merugikan siapa pun. Setuju?”

Orang ini ... yakin ini idenya Kak Kazan, bukan idenya Riga?

“Gila, gila, ini gila. Bagaimana kalau sampai ketahuan. Kita sudah menipu banyak orang.”

“Makanya, kita buat ini gak ketahuan. Kamu pintar berakting, pasti bisa menangani ini dengan baik.”

“Enggak. Kehidupan nyata beda dengan di panggung. Aku bisa berakting karena ada naskah dan arahan sutradara. Di dunia nyata aku gak berani berakting.”

“Ayolah Viana, ini ide brilian. Kakakmu sendiri yang mengusulkan.”

Aku mendelik Kak Kazan. “Justru itu yang mau aku tanyakan, kenapa Kakak malah menjerumuskanku pada ide gila ini.”

Kak Kazan tidak lantas menjawab. Ia menghela napas panjang. Memandangiku penuh arti.

“Karena Kakak pikir, Riga bisa membuatmu hidup layak.”

Aku membisu. Apa yang kakak pikirkan? Tahukah dia, kalimatnya barusan secara tidak langsung menyerang Nara.

Memang kuakui, hidupku sekarang jauh dari kata layak. Menjadi pemain teater tidak menjadikanku berkecukupan. Aku mendapat uang hanya setelah selesai tampil dan tiket ludes terjual.

Aku menunggak di sana sini, untuk makan saja kadang kewalahan. Pun sama dengan Nara, dia yang membayar kost milikku sekaligus kamar apartemennya. Gajinya di café habis untuk itu. Tidak ada foya-foya, tidak ada tabungan.

“Kak, aku baik-baik saja selama ini.”

“Enggak, Viana. Kamu gak baik-baik saja.”

Aku menggigit bibir bawahku. Ingin menangis karena tertangkap basah pindah ke ibukota tidak menjadikanku lebih baik, seperti yang kujanjikan pada Kakak.

"Riga, kalau kamu setuju dengan ide ini, berjanjilah padaku. Cukupi kehidupan mereka berdua, rumah, makanan, baju-baju yang bagus.”

“Aku janji!” Riga membuat tanda V dengan jari. “Aku akan berikan segala yang Viana mau, yang Viana inginkan. Aku akan menjadikan Viana orang paling beruntung sedunia. Oh, Nara juga.”

Aku kehabisan kata-kata. Koalisi mereka melukai harga diriku.

“Bagaimana dengan Nara. Kita belum mendengar pendapatnya,” ucap Riga.

Ah, benar. Hampir saja kami melupakan Nara. Dia tidak ikut berdebat, cenderung menarik diri. Padahal dialah tokoh utama dalam ide gila ini.

Perhatian kami jatuh pada Nara. Ia selalu tidak mudah diselami. Saat yang lain menunggu reaksinya, Nara seolah punya pemikirannya sendiri.

Diam, tatapan kosong, menerawang. Pikirannya jauh berkelana. Kak Kazan sampai rela mengulang perkataan Riga. Memanggilnya.

Ruh Nara kembali ke raganya. Ia menoleh pada kami.

“Jangan gila!” itu saja kata darinya sambil bangkit berdiri.

Nara meninggalkan kami, jalan ke dapur. Pintu ditutupnya keras. Berdebam.

Begitu saja aku paham. Nara marah. Hal ini membuat kami kompak bungkam. Kehilangan minat meneruskan diskusi.

__BERSAMBUNG__

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status