Share

4. Memburuk

Penulis: Liani April
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-05 12:16:40

Hal ini memaksa kak Kazan sampai datang ke tempatku. Kami memilih Café Tree sebagai tempat diskusi. Ada aku, Kak Kazan, Nara dan Riga.

Dari tadi Riga mengacak-acak rambutnya mendengar Kak Kazan bercerita bagaimana bundanya keukeuh akan melamarku.

“Kamu sudah jelaskan ke Bunda, kan?” aku menendang kaki Riga di kolong meja.

“Sudah. Tapi Bunda gak mau dengar. Dia kadung suka sama kamu, Viana.”

“Apa sih, padahal aku gak melakukan sesuatu, kenapa Bundamu bisa tergila-gila begitu.”

“Menurutmu kenapa coba?”

“Kenapa?”

“Karena kamu cantik. Jadi bisa ia pamerkan ke teman-teman sosialitanya.”

Kutendang tulang kering Riga di hadapanku ini. Riga mengaduh. Sebenarnya Riga memujiku, tapi entah kenapa kalau dia yang bilang rasanya ingin kutendang. Apalagi di depan Nara.

“Apa bundamu sering memaksakan kehendaknya?” ucap Kak Kazan pada Riga.

“Ya, Bunda yang terparah. Sekalinya ia menginginkan sesuatu, maka harus ia dapatkan. Apa pun itu.”

“Termasuk menginginkan seseorang?” tanyaku.

“Ya, termasuk itu.”

“Bundamu mengerikan.”

“Percayalah, Bunda lebih mengerikan kalau ia nggak dapat apa yang ia mau.”

“Sepertinya bundamu orang yang gigih. Dia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan Viana. Kamu yang paling kenal bundamu. Kamu punya jalan keluar dari masalah ini?” Kak Kazan mendesak Riga. Mewakili isi hatiku.

Pria itu diam sepersekian detik. Mulutnya mengulum hendak mengatakan sesuatu, tapi terhenti.

“Aku … ada ide.” Riga ragu-ragu. “Tapi mungkin agak sedikit gila.”

“Apa?”

Riga tidak langsung bicara. Ia memberi jeda pada kami yang sekarang memelototinya.

Riga menatapku. Bahunya terangkat sebelum mengungkapkan idenya.

“Viana, menikahlah denganku. Itu satu-satunya cara,” katanya serius.

Tidak ada yang bereaksi, ucapannya tidak terduga. Kutendang lagi kaki Riga. Sekarang lebih membabi buta.

Aw, aw, dengar dulu. Kita gak benar-benar menikah. Maksudku kita pura-pura. Kamu pemain teater, kan. Pasti mudah kan berpura-pura.”

“Aku gak mau menikah sama kamu,” teriakku.

“Mengertilah. Bunda suka sama kamu. Dan aku juga butuh pernikahan itu untuk jadi direktur. Ayo menikah pura-pura. Bisa kan, setelah beberapa lama kita bercerai.”

Aku tidak suka pemilihan kata dari Riga. Itu membuat Nara menghunuskan tatapan tajam padanya. Sedetik pun tak berkedip.

Aku menghajar kepala Riga. Masa bodoh kepalanya diasuransi atau aku akan dipidana. Otak orang ini perlu disiram air keras. Dasar gila.

“Jangan main-main dengan pernikahan. Apalagi tujuannya untuk bercerai, aku gak akan pernah menyetujui kalian.” Kak Kazan bertindak tegas.

“Terus gimana dong?” Riga melindungi kepalanya dari bogeman mentahku.

“Mati saja sana!” geramku.

Nara tidak bisa menahan emosi. Dalam satu ancaman, Riga berhasil tak berkutik.

“Jangan main-main dengan Viana."

Urat di pelipis Nara mencuat. Giginya gemetrakan. Mau serius atau bercanda kalau itu menyangkut diriku, Nara akan protektif.

Hening kemudian. Riga tertunduk kalah. Nara menenangkan diri sambil kuelus-elus tangannya.

Saat itulah, Kak Kazan mulai ambil suara.

“Begini saja … Nara, apa kamu mau menikahi Viana?”

Aku tidak paham maksud Kakak. Yang diharuskan menikah itu Riga, bukan Nara.

Sontak kami mengernyitkan dahi. Kecuali Nara yang tetap berekspresi datar dan tidak kutahu sedang memikirkan apa.

“Ya!” jawab Nara terlambat.

“Kak, Kakak paham situasinya gak, sih?” aku mengeluh.

“Kakak cuma menyambung ide gila Riga. Kalian akan menikah, Viana dan Nara. Tapi membuatnya seolah Viana dan Riga-lah yang menikah.”

Tunggu, aku pusing. Otakku tidak sampai menafsirkan kalimat ambigu Kak Kazan. Tapi sepertinya Riga paham. Ia menepuk tangannya sekali seperti mendapatkan ilham.

“Aku mengerti.” Riga sampai menaikkan sebelah kakinya ke kursi. “Seperti kataku tadi, kita pura-pura menikah. Aku dengan Viana. Tapi sewaktu ijab kabul, Nara yang melakukannya. Begitu kan, Kak?"

Riga bersorak untuk kata-katanya sendiri. "Aah~ benar-benar brilian. Sekali tepuk tiga burung tertembak. Aku dapat jabatan direktur utama, Nara dan Viana bisa menikah, dan Bunda mendapatkan menantu yang cantik. Hebat sekali Kak Kazan.”

Riga berlebihan dengan mengguncang-guncang tubuh Kak Kazan yang berumur kepala empat itu.

Dan apa tadi katanya, sekali tepuk tiga burung tertembak? Dia benar-benar bisa dipercaya jadi direktur tidak, sih?

“Aku setuju dengan ide ini, acungkan tangan yang setuju?” Riga heboh sendiri, mengacungkan tangan sendiri.

“Tunggu dulu, bagaimana dengan buku nikahnya? Ditulis nama siapa?”

“Tentu saja atas nama kamu dan Nara, lah.”

“Terus penghulunya bodoh gitu, sampai gak tahu orang di buku nikah beda dengan yang ada di hadapannya.”

“Ya gampang, lah. Kita beritahu, kerja sama dengan penghulu. Juga dua orang yang akan jadi saksi. Pokoknya orang-orang itu yang bisa kita percaya dan menjaga rahasia.”

Aku takjub ternyata Riga cepat sekali memikirkan ide yang tercetus tiba-tiba ini.

“Lalu … yang menyaksikan ijab kabul nanti ada banyak. Memangnya mereka gak curiga kalau Nara menggantikanmu ijab kabul?”

Terus, aku mengorek semua lubang yang bisa jadi cacat logika. Dan anehnya Riga selalu punya jawaban. Seperti ia telah mempelajari hal ini sangat matang selama bertahun-tahun.

“Pakai masker. Aku akan pura-pura sakit atau batuk pilek sebelum ijab kabul. Lalu izin ke toilet. Nah, saat itulah aku bertukar dengan Nara. Badan kami sama, kan?”

“Nara lebih langsing.”

Euh Viana, bukan itu kan masalahnya.” Riga berdecak. “Pokoknya akan kupikirkan ini matang-matang. Dan yang pasti nggak merugikan siapa pun. Setuju?”

Orang ini ... yakin ini idenya Kak Kazan, bukan idenya Riga?

“Gila, gila, ini gila. Bagaimana kalau sampai ketahuan. Kita sudah menipu banyak orang.”

“Makanya, kita buat ini gak ketahuan. Kamu pintar berakting, pasti bisa menangani ini dengan baik.”

“Enggak. Kehidupan nyata beda dengan di panggung. Aku bisa berakting karena ada naskah dan arahan sutradara. Di dunia nyata aku gak berani berakting.”

“Ayolah Viana, ini ide brilian. Kakakmu sendiri yang mengusulkan.”

Aku mendelik Kak Kazan. “Justru itu yang mau aku tanyakan, kenapa Kakak malah menjerumuskanku pada ide gila ini.”

Kak Kazan tidak lantas menjawab. Ia menghela napas panjang. Memandangiku penuh arti.

“Karena Kakak pikir, Riga bisa membuatmu hidup layak.”

Aku membisu. Apa yang kakak pikirkan? Tahukah dia, kalimatnya barusan secara tidak langsung menyerang Nara.

Memang kuakui, hidupku sekarang jauh dari kata layak. Menjadi pemain teater tidak menjadikanku berkecukupan. Aku mendapat uang hanya setelah selesai tampil dan tiket ludes terjual.

Aku menunggak di sana sini, untuk makan saja kadang kewalahan. Pun sama dengan Nara, dia yang membayar kost milikku sekaligus kamar apartemennya. Gajinya di café habis untuk itu. Tidak ada foya-foya, tidak ada tabungan.

“Kak, aku baik-baik saja selama ini.”

“Enggak, Viana. Kamu gak baik-baik saja.”

Aku menggigit bibir bawahku. Ingin menangis karena tertangkap basah pindah ke ibukota tidak menjadikanku lebih baik, seperti yang kujanjikan pada Kakak.

"Riga, kalau kamu setuju dengan ide ini, berjanjilah padaku. Cukupi kehidupan mereka berdua, rumah, makanan, baju-baju yang bagus.”

“Aku janji!” Riga membuat tanda V dengan jari. “Aku akan berikan segala yang Viana mau, yang Viana inginkan. Aku akan menjadikan Viana orang paling beruntung sedunia. Oh, Nara juga.”

Aku kehabisan kata-kata. Koalisi mereka melukai harga diriku.

“Bagaimana dengan Nara. Kita belum mendengar pendapatnya,” ucap Riga.

Ah, benar. Hampir saja kami melupakan Nara. Dia tidak ikut berdebat, cenderung menarik diri. Padahal dialah tokoh utama dalam ide gila ini.

Perhatian kami jatuh pada Nara. Ia selalu tidak mudah diselami. Saat yang lain menunggu reaksinya, Nara seolah punya pemikirannya sendiri.

Diam, tatapan kosong, menerawang. Pikirannya jauh berkelana. Kak Kazan sampai rela mengulang perkataan Riga. Memanggilnya.

Ruh Nara kembali ke raganya. Ia menoleh pada kami.

“Jangan gila!” itu saja kata darinya sambil bangkit berdiri.

Nara meninggalkan kami, jalan ke dapur. Pintu ditutupnya keras. Berdebam.

Begitu saja aku paham. Nara marah. Hal ini membuat kami kompak bungkam. Kehilangan minat meneruskan diskusi.

__BERSAMBUNG__

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   195. My Happy Ending

    "Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   194. Menunggumu

    "Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   193. Keputusan

    Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   192. Kembali

    "Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   191. Stres dan Trauma

    “Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   190. Harusnya

    Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status