Hal ini memaksa kak Kazan sampai datang ke tempatku. Kami memilih Café Tree sebagai tempat diskusi. Ada aku, Kak Kazan, Nara dan Riga.
Dari tadi Riga mengacak-acak rambutnya mendengar Kak Kazan bercerita bagaimana bundanya keukeuh akan melamarku.
“Kamu sudah jelaskan ke Bunda, kan?” aku menendang kaki Riga di kolong meja.
“Sudah. Tapi Bunda gak mau dengar. Dia kadung suka sama kamu, Viana.”
“Apa sih, padahal aku gak melakukan sesuatu, kenapa Bundamu bisa tergila-gila begitu.”
“Menurutmu kenapa coba?”
“Kenapa?”
“Karena kamu cantik. Jadi bisa ia pamerkan ke teman-teman sosialitanya.”
Kutendang tulang kering Riga di hadapanku ini. Riga mengaduh. Sebenarnya Riga memujiku, tapi entah kenapa kalau dia yang bilang rasanya ingin kutendang. Apalagi di depan Nara.
“Apa bundamu sering memaksakan kehendaknya?” ucap Kak Kazan pada Riga.
“Ya, Bunda yang terparah. Sekalinya ia menginginkan sesuatu, maka harus ia dapatkan. Apa pun itu.”
“Termasuk menginginkan seseorang?” tanyaku.
“Ya, termasuk itu.”
“Bundamu mengerikan.”
“Percayalah, Bunda lebih mengerikan kalau ia nggak dapat apa yang ia mau.”
“Sepertinya bundamu orang yang gigih. Dia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan Viana. Kamu yang paling kenal bundamu. Kamu punya jalan keluar dari masalah ini?” Kak Kazan mendesak Riga. Mewakili isi hatiku.
Pria itu diam sepersekian detik. Mulutnya mengulum hendak mengatakan sesuatu, tapi terhenti.
“Aku … ada ide.” Riga ragu-ragu. “Tapi mungkin agak sedikit gila.”
“Apa?”
Riga tidak langsung bicara. Ia memberi jeda pada kami yang sekarang memelototinya.
Riga menatapku. Bahunya terangkat sebelum mengungkapkan idenya.
“Viana, menikahlah denganku. Itu satu-satunya cara,” katanya serius.
Tidak ada yang bereaksi, ucapannya tidak terduga. Kutendang lagi kaki Riga. Sekarang lebih membabi buta.
“Aw, aw, dengar dulu. Kita gak benar-benar menikah. Maksudku kita pura-pura. Kamu pemain teater, kan. Pasti mudah kan berpura-pura.”
“Aku gak mau menikah sama kamu,” teriakku.
“Mengertilah. Bunda suka sama kamu. Dan aku juga butuh pernikahan itu untuk jadi direktur. Ayo menikah pura-pura. Bisa kan, setelah beberapa lama kita bercerai.”
Aku tidak suka pemilihan kata dari Riga. Itu membuat Nara menghunuskan tatapan tajam padanya. Sedetik pun tak berkedip.
Aku menghajar kepala Riga. Masa bodoh kepalanya diasuransi atau aku akan dipidana. Otak orang ini perlu disiram air keras. Dasar gila.
“Jangan main-main dengan pernikahan. Apalagi tujuannya untuk bercerai, aku gak akan pernah menyetujui kalian.” Kak Kazan bertindak tegas.
“Terus gimana dong?” Riga melindungi kepalanya dari bogeman mentahku.
“Mati saja sana!” geramku.
Nara tidak bisa menahan emosi. Dalam satu ancaman, Riga berhasil tak berkutik.
“Jangan main-main dengan Viana."
Urat di pelipis Nara mencuat. Giginya gemetrakan. Mau serius atau bercanda kalau itu menyangkut diriku, Nara akan protektif.
Hening kemudian. Riga tertunduk kalah. Nara menenangkan diri sambil kuelus-elus tangannya.
Saat itulah, Kak Kazan mulai ambil suara.
“Begini saja … Nara, apa kamu mau menikahi Viana?”
Aku tidak paham maksud Kakak. Yang diharuskan menikah itu Riga, bukan Nara.
Sontak kami mengernyitkan dahi. Kecuali Nara yang tetap berekspresi datar dan tidak kutahu sedang memikirkan apa.
“Ya!” jawab Nara terlambat.
“Kak, Kakak paham situasinya gak, sih?” aku mengeluh.
“Kakak cuma menyambung ide gila Riga. Kalian akan menikah, Viana dan Nara. Tapi membuatnya seolah Viana dan Riga-lah yang menikah.”
Tunggu, aku pusing. Otakku tidak sampai menafsirkan kalimat ambigu Kak Kazan. Tapi sepertinya Riga paham. Ia menepuk tangannya sekali seperti mendapatkan ilham.
“Aku mengerti.” Riga sampai menaikkan sebelah kakinya ke kursi. “Seperti kataku tadi, kita pura-pura menikah. Aku dengan Viana. Tapi sewaktu ijab kabul, Nara yang melakukannya. Begitu kan, Kak?"
Riga bersorak untuk kata-katanya sendiri. "Aah~ benar-benar brilian. Sekali tepuk tiga burung tertembak. Aku dapat jabatan direktur utama, Nara dan Viana bisa menikah, dan Bunda mendapatkan menantu yang cantik. Hebat sekali Kak Kazan.”
Riga berlebihan dengan mengguncang-guncang tubuh Kak Kazan yang berumur kepala empat itu.
Dan apa tadi katanya, sekali tepuk tiga burung tertembak? Dia benar-benar bisa dipercaya jadi direktur tidak, sih?
“Aku setuju dengan ide ini, acungkan tangan yang setuju?” Riga heboh sendiri, mengacungkan tangan sendiri.
“Tunggu dulu, bagaimana dengan buku nikahnya? Ditulis nama siapa?”
“Tentu saja atas nama kamu dan Nara, lah.”
“Terus penghulunya bodoh gitu, sampai gak tahu orang di buku nikah beda dengan yang ada di hadapannya.”
“Ya gampang, lah. Kita beritahu, kerja sama dengan penghulu. Juga dua orang yang akan jadi saksi. Pokoknya orang-orang itu yang bisa kita percaya dan menjaga rahasia.”
Aku takjub ternyata Riga cepat sekali memikirkan ide yang tercetus tiba-tiba ini.
“Lalu … yang menyaksikan ijab kabul nanti ada banyak. Memangnya mereka gak curiga kalau Nara menggantikanmu ijab kabul?”
Terus, aku mengorek semua lubang yang bisa jadi cacat logika. Dan anehnya Riga selalu punya jawaban. Seperti ia telah mempelajari hal ini sangat matang selama bertahun-tahun.
“Pakai masker. Aku akan pura-pura sakit atau batuk pilek sebelum ijab kabul. Lalu izin ke toilet. Nah, saat itulah aku bertukar dengan Nara. Badan kami sama, kan?”
“Nara lebih langsing.”
“Euh Viana, bukan itu kan masalahnya.” Riga berdecak. “Pokoknya akan kupikirkan ini matang-matang. Dan yang pasti nggak merugikan siapa pun. Setuju?”
Orang ini ... yakin ini idenya Kak Kazan, bukan idenya Riga?
“Gila, gila, ini gila. Bagaimana kalau sampai ketahuan. Kita sudah menipu banyak orang.”
“Makanya, kita buat ini gak ketahuan. Kamu pintar berakting, pasti bisa menangani ini dengan baik.”
“Enggak. Kehidupan nyata beda dengan di panggung. Aku bisa berakting karena ada naskah dan arahan sutradara. Di dunia nyata aku gak berani berakting.”
“Ayolah Viana, ini ide brilian. Kakakmu sendiri yang mengusulkan.”
Aku mendelik Kak Kazan. “Justru itu yang mau aku tanyakan, kenapa Kakak malah menjerumuskanku pada ide gila ini.”
Kak Kazan tidak lantas menjawab. Ia menghela napas panjang. Memandangiku penuh arti.
“Karena Kakak pikir, Riga bisa membuatmu hidup layak.”
Aku membisu. Apa yang kakak pikirkan? Tahukah dia, kalimatnya barusan secara tidak langsung menyerang Nara.
Memang kuakui, hidupku sekarang jauh dari kata layak. Menjadi pemain teater tidak menjadikanku berkecukupan. Aku mendapat uang hanya setelah selesai tampil dan tiket ludes terjual.
Aku menunggak di sana sini, untuk makan saja kadang kewalahan. Pun sama dengan Nara, dia yang membayar kost milikku sekaligus kamar apartemennya. Gajinya di café habis untuk itu. Tidak ada foya-foya, tidak ada tabungan.
“Kak, aku baik-baik saja selama ini.”
“Enggak, Viana. Kamu gak baik-baik saja.”
Aku menggigit bibir bawahku. Ingin menangis karena tertangkap basah pindah ke ibukota tidak menjadikanku lebih baik, seperti yang kujanjikan pada Kakak.
"Riga, kalau kamu setuju dengan ide ini, berjanjilah padaku. Cukupi kehidupan mereka berdua, rumah, makanan, baju-baju yang bagus.”
“Aku janji!” Riga membuat tanda V dengan jari. “Aku akan berikan segala yang Viana mau, yang Viana inginkan. Aku akan menjadikan Viana orang paling beruntung sedunia. Oh, Nara juga.”
Aku kehabisan kata-kata. Koalisi mereka melukai harga diriku.
“Bagaimana dengan Nara. Kita belum mendengar pendapatnya,” ucap Riga.
Ah, benar. Hampir saja kami melupakan Nara. Dia tidak ikut berdebat, cenderung menarik diri. Padahal dialah tokoh utama dalam ide gila ini.
Perhatian kami jatuh pada Nara. Ia selalu tidak mudah diselami. Saat yang lain menunggu reaksinya, Nara seolah punya pemikirannya sendiri.
Diam, tatapan kosong, menerawang. Pikirannya jauh berkelana. Kak Kazan sampai rela mengulang perkataan Riga. Memanggilnya.
Ruh Nara kembali ke raganya. Ia menoleh pada kami.
“Jangan gila!” itu saja kata darinya sambil bangkit berdiri.
Nara meninggalkan kami, jalan ke dapur. Pintu ditutupnya keras. Berdebam.
Begitu saja aku paham. Nara marah. Hal ini membuat kami kompak bungkam. Kehilangan minat meneruskan diskusi.
__BERSAMBUNG__
“Viana, apa ibu-ibu trendi kemarin datang lagi?” seru Milan di sela istirahat kami.Aku mengerti maksudnya siapa. Aku menggeleng sebagai jawaban. Milan merengut. Tidak puas.“Yah, padahal minuman mahal itu enak banget, loh!” jujur Milan membuatku melotot padanya. “Eh, dia siapamu, sih? Orang kaya, ya?”“Orang kaya, iya. Tapi dia bukan siapa-siapaku.”“Masa? Kukira calon mertuamu. Habis dia perhatian gitu, sampai kasih kamu multivitamin mahal yang kamu makan sekarang ini, kan.”Hampir saja aku tersedak. Multivitamin tablet pemberian Bunda memang selalu kukonsumsi. Meskipun aku menolak Bunda, bukan berarti multivitamin mahal ini kubuang, kan. Mubazir. Mending kumakan. Lumayan sehat.“Dia siapa sih? Kayak familiar gitu wajahnya?” Milan penasaran atau mau mengujiku nih.Sorry to say Milan, aku sedang tidak mood bahas Bunda. Lebih baik aku bungkam.“Kamu gak kenal ibu itu? Keterlaluan.” Satu lagi temanku, Havana, menyerobot pembicaraan.“Dia dari keluarga Abimahya Corp. Itu loh, yang perus
Kita bekukan dulu acara pernikahan, atau Riga yang tersenyum senang sebab jabatan impiannya ia dapatkan. Sekarang aku akan bercerita tentang pertama kali bertemu Nara. Pertama kali aku merasakan jatuh cinta. Waktu itu, aku sudah di ibukota sejak lulus SMA. Lima tahun. Dari kecil, impianku menjadi pemain teater tuntas terbayar. Meskipun harus terpisah dengan Kakak di kampung, asalkan untuk mimpi aku rela tinggal di indekos tua dan bobrok. Atau makan hanya sekali sehari pun tak apa. Aku terlanjur cinta bermain peran di atas pentas. Saat itu sanggar kami sedang jaya-jayanya. Bukan hanya saat usai pementasan saja kami dibayar, tapi setiap bulan sebagai gaji tetap kami. Makan enak masih bisa kulakukan. Kali itu pun aku sedang melakukannya dengan Milan dan Havana. Kami memilih Café Tree sebagai tempat istirahat. Tidak jauh dari sanggar, makanannya pun tidak terlalu mahal. Kami memilih menu dengan seorang pria siap mencatat pesanan kami. Pria itu membuatku terkesima hanya dengan berdiri
Dulu dan sekarang, tidak ada yang berubah dengan perasaanku pada Nara. Yang berbeda paling status kami sekarang, suami istri. Malam tadi, kami sama-sama lelah dengan pesta pernikahan. Tapi tidak mengubah performa kami di atas ranjang. Nara sama hebatnya seperti yang sudah-sudah. Hanya kali ini ia begitu lelah untuk sekedar mengenakan baju. Memilih berselimut sambil memeluk tubuhku. Kuperhatikan wajah Nara yang masih tertidur, usil memainkan jariku ke dagu. Lalu turun ke adam apple-nya alias jakun. Nara menelan ludah. Reaksi atas jari-jariku usilku. Aku cekikikan karena Nara yang setengah bangun setengah tidur menyembunyikan jakunnya ke bantal. Selimut sedikit tersingkap. Dan lasak. Nara mendengung tanda protes kuganggu. “Selamat pagi, suamiku. Ayo sarapan,” bisikku manja di telinganya. Nara menggulung tubuhnya lagi dengan selimut. Mulai sadar tak ada sehelai benang pun di badannya. “Aku mau tidur sebentar lagi,” pinta Nara den
Kami telah sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Kami perlu ke sini untuk mengelabui Bunda dan yang lain. Kalau kami nekat terbang dari Jakarta, bisa saja ada yang mengantar hingga ke pintu keberangkatan. Padahal tujuanku dengan Riga berbeda.Riga menelepon seseorang ketika tiba di bandara. Kulihat barang bawaannya hanya ransel besar dan tas pinggang membelit di tubuhnya. Bisa kutebak tujuan Riga adalah perjalanan domestik. Beda sekali denganku yang rikuh membawa banyak baju di koper. Terpisah dengan punyanya Nara di koper kecil.Hei, wanita selalu begitu kan. Setiap kemana pun selalu paling banyak bawaan dibanding para pria. Aku yakin kamu yang membaca ini juga begitu. Mengaku saja.Tiga minggu. Waktuku honeymoon dengan Nara di Cancun. Selama itu pula Riga pergi ke tempat entah kemana. Dia tidak bilang apa pun.Nampaknya Riga berhasil mengontek temannya, ia bersiap pergi begitu panggilan telepon dimatikan. Riga berbalik badan padaku dan Nara.&ldquo
Selagi masih di Cancun, kujajaki semua wisata dan mengeksplor kota indah nan romantis ini. Dimulai dari Taman Xcaret. Taman hiburan terbesar di Mexico di bawah payung Experiencias Xcaret. Selanjutnya kami mengunjungi Reruntuhan Coba Maya. Berjalan melalui reruntuhan, melihat jaringan jalan-jalan batu, monumen yang diukir lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Piramida. Tempat tinggal sehari-hari, dan bahkan lapangan bola tradisional. Masih belum puas, kami menjelajahi Downtown. Pergi ke pusat kota Cancun dimana penduduk setempat tinggal dan berkumpul. Aku menemukan beberapa toko turis dan restoran, tetapi getarannya jauh lebih otentik. Lalu ke Coco Bongo, tempat yang menawarkan kehidupan malam terbaik di Cancun. Ini bukan klub malam dengan lantai dansa, melainkan sebuah tempat yang menyediakan hiburan dan musik berenergi tinggi. Kami menyaksikan akrobat, musisi, DJ, dan layar video besar saat berinteraksi dengan garis conga, balon, gelembung dan co
Berita baik itu datangnya dari Ketua. Sanggar kami hidup kembali. Seorang derma membeli kepemilikan gedung. Tanpa syarat apapun ia hibahkan gedung tempat kami berlatih. Selama ini yang membuat kami bangkrut karena sewa gedung yang mencekik. Kalau masalah itu sudah dituntaskan, pemasukan bisa fokus untuk produksi. Bisa kamu tebak siapa dermawan itu? Yap, Bunda. Aku pernah bilang tentang pencari informasi Bunda yang setara intel itu, bukan. Kabar bangkrutnya sanggar terendus oleh Bunda. Suatu hari ia pernah menemui khusus untuk masalah satu ini. Pertanyaannya menohok. “Kenapa kamu suka teater?” Seperti wawancara dengan penggalang dana. Kalau alasanku tidak memuaskannya, hilang sudah kesempatan didanai. “Di dunia nyata aku cuma wanita biasa dan sederhana. Aku bisa jadi siapa pun dengan teater. Setidaknya aku pernah merasakan banyak peran walau cuma di atas panggung. Mungkin itu juga caraku bersimpati dengan banyak orang.”
Meski sudah tiga bulan pernikahan pura-puraku dengan Riga. Belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki ke kantornya. Kalau bukan karena Bunda yang mengajak, mungkin aku tidak akan pernah datang. Bunda bermaksud pamer pada anak bungsunya. Bahwa menantunya ini telah ia ubah, di make over. Rambut lurusku dipotong sampai se-dada dan sudah berubah warnanya jadi coklat. Ada poni setinggi alis yang kadang menggelitik keningku. Aku didandani. Memakai gincu merah muda dan perona pipi. Setelanku turut diganti. Rok sepan selutut dengan kemeja santai berbahan chiffon. Bunda juga memberikan tas selempang yang langsung tercangklong di bahuku. Sebenarnya untuk apa aku berdandan begini. Bunda tidak juga mau memberitahuku. Kami sudah berada di lobi kantor dengan tujuh lantai itu. Sekretarisnya memberitahu kalau Pak Riga sedang rapat dengan para manager. Jadilah sambil menunggu, kami diantarkan ke ruangan Riga. Ruangan Riga ada di lantai kelima. Ruan
“Aku pulang dengan Bunda saja, deh. Mumpung Bunda belum jauh.” Aku membalikkan badan berniat pergi. Namun Riga dengan cepat menghampiriku. Menarik tanganku sampai badanku bertubrukan dengan dadanya. “Jangan—“ cegahnya dengan wajah berada beberapa senti saja dariku. Aku membeku, seperti habis tersiram air dingin. “Nanti Bunda makin cerewet. Kamu pulang bareng Nara saja, ya,” kata Riga sembari mundur selangkah karena sadar kami terlalu dekat. Mendengar nama Nara, bibirku auto tersenyum. Aku mengangguk tanda setuju. Riga melakukan sesuatu lagi dengan interkomnya. Kali ini memanggil Nara. “Nara, tolong ke ruanganku dulu, ya!” Aku berharap Nara menjawab. Aku penasaran suara Nara di interkom bagaimana bunyinya. Tapi tidak, setelah bunyi BIP! Tak ada sahutan lagi. Riga seperti tahu, Nara tidak akan menjawab. Ia kembali ke berkas-berkasnya. Tidak sampai semenit, Nara datang. Aku berjingkrak kegirangan saat Nara masuk da