“Viana, apa ibu-ibu trendi kemarin datang lagi?” seru Milan di sela istirahat kami.
Aku mengerti maksudnya siapa. Aku menggeleng sebagai jawaban. Milan merengut. Tidak puas.
“Yah, padahal minuman mahal itu enak banget, loh!” jujur Milan membuatku melotot padanya. “Eh, dia siapamu, sih? Orang kaya, ya?”
“Orang kaya, iya. Tapi dia bukan siapa-siapaku.”
“Masa? Kukira calon mertuamu. Habis dia perhatian gitu, sampai kasih kamu multivitamin mahal yang kamu makan sekarang ini, kan.”
Hampir saja aku tersedak. Multivitamin tablet pemberian Bunda memang selalu kukonsumsi. Meskipun aku menolak Bunda, bukan berarti multivitamin mahal ini kubuang, kan. Mubazir. Mending kumakan. Lumayan sehat.
“Dia siapa sih? Kayak familiar gitu wajahnya?” Milan penasaran atau mau mengujiku nih.
Sorry to say Milan, aku sedang tidak mood bahas Bunda. Lebih baik aku bungkam.
“Kamu gak kenal ibu itu? Keterlaluan.” Satu lagi temanku, Havana, menyerobot pembicaraan.
“Dia dari keluarga Abimahya Corp. Itu loh, yang perusahaannya dimana-mana. Malahan minuman di tangan kamu sekarang ini kamu beli di salah satu minimarketnya,” ungkap Havana.
“Waw, benarkah? Orang sekaya itu datang ke sanggar kita? Untuk menemui Viana? Woah~” Milan tidak berhenti takjub.
“Kalau aku gak salah tebak, putranya lagi cari calon istri, kan. Kabar itu sudah jadi rahasia umum. Kalau mau jadi direktur utama, harus menikah dulu.” Havana meneruskan.
Dia wanita ter-update yang kukenal. Harusnya dia bekerja jadi wartawan daripada jadi pemain teater.
“Oh … dia menawarimu jadi menantunya? Kan, gak mungkin orang terkaya di negeri ini mau repot-repot kemari, membelikan minuman mahal pula, kalau bukan untuk calon menantunya yang cantik rupawan ini.”
Aku menepis tangan Milan di daguku. Membuat kepalaku seperti bunga mekar. Ejekan khas Milan.
“Terima saja, Viana. Kamu akan langsung jadi nyonya besar. Kamu bisa keluar dari sanggar ini dan melangkah ke tempat yang lebih bagus. Lagipula sanggar ini akan berakhir, gak ada yang bisa dipertahankan di sini.” Havana mengatakannya dengan pilu.
Tanpa ia bilang pun aku tahu, kami bangkrut. Tidak ada lagi sponsor. Biaya produksi terpaksa patungan. Properti panggung alakadarnya, kostum dari barang bekas.
Tinggal masalah waktu sanggar kami ditutup. Pementasan kali ini bisa jadi yang terakhir.
“Viana, kalau kamu jadi nyonya Abimahya jangan lupakan kami di sanggar ini ya. Terutama aku yang lucu imut ini,” Milan ikut menambah rasa sedih.
Aku bangkit berdiri. Bukan tanpa sebab, sutradara kami sudah menyeru, meminta kami bersiap latihan stage terakhir.
“Enggak akan ada nyonya Abimahya di sanggar ini. Pacarku itu Nara, tahu. Aku berniat jadi istri Nara. Titik!” kataku menutup obrolan para penggosip.
Tiga hari lagi jadwal pementasan kami. Aku hanya harus fokus dengan peranku. Begitu pun yang lain.
Itu hanya curhatan singkat Milan dan Havana. Aku tahu, dalam hati mereka ada sedih yang teramat sangat. Bagaimanapun sanggar ini tempat mimpi kami jadi nyata. Berita bangkrut dari ketua sanggar cuma membuat kami serasa ditendang ke jurang. Kebas.
Sekilas aku memikirkan ide Kak Kazan tempo hari. Kalau aku menikah dengan Riga, aku bisa minta sanggar kami dihidupkan kembali.
Kalau aku menikah dengan Riga, aku bisa tinggal di rumah layak bukan di sarang kecoa dan pengap.
Kalau aku menikah dengan Riga, aku tidak perlu berpuasa hanya untuk membeli kostumku.
Tapi … bisakah?
Malam ini Nara tidak menjemput. Lagi.
Sejak tempo hari, ia terus berdiam diri dan tidak bisa dihubungi. Aku memberinya jarak. Kupikir Nara butuh waktu untuk sendiri.
Tapi malam ini, aku membutuhkan Nara. Bagiku, sosoknya seperti candu. Sehari saja tidak bertemu, aku akan sakau.
Masa bodoh Nara masih marah atau menolak keberadaanku. Aku cuma ingin melihatnya, memeluknya.
Detik ini aku sudah berada di apartemennya. Kamar kelima di lantai 7. Nara tidak pernah mengunci pintu kecuali saat ia keluar kamar. Aku yakin Nara ada, hari ini ia tidak ada shift di café.
Aku pun masuk ke kamarnya yang sepi. Kepala celingukan, berkeliling ke setiap penjuru kamar yang berisi tiga ruangan ini; kamar mandi, kamar tidur, juga dapur merangkap ruang tengah.
Tidak ada Nara dimana pun. Juga tidak ada sahutan ketika kupanggil namanya.
Secara melankolis angin menyibakkan rambutku. Angin dari pintu balkon yang terbuka. Kutoleh, dan ada Nara di sana. Sedang merokok sambil bersedekap di besi pembatas.
Sudah lama tidak kulihat Nara merokok. Seingatku ia berhenti tahun lalu. Ia tidak akan kembali merokok kecuali karena frustrasi.
Aku menghampiri Nara di balkon. Berdiri di sampingnya melihat pemandangan kota di malam hari. Nara menolehku. Refleks mematikan abu rokok ke besi. Ia buang puntungnya ke bawah balkon. Nara tahu, aku tidak suka asap rokok.
Kami tidak saling bicara. Terus seperti itu sampai 15 menit lamanya.
“Maaf …,” Nara membuka diri. “Maaf aku nggak sekaya Riga.” Kalimatnya terdengar getir. Aku benci itu.
Aku menggeleng.
“Kamu tahu kan, aku gak melihatmu dari itu. Apa pun kamu, aku menyukaimu,” nadaku tidak kalah getir.
Nara diam. Tidak berani membalas bola mataku yang sedari tadi terus menatap wajahnya dari samping.
Nara menengadah ke langit malam. Entah bulan atau bintang yang membiaskan wajah Nara. Rahang yang tegas, hidung mancung, mata cenderung sipit, dan jakun di lehernya. Tiap lekuknya tanpa cela. Perwujudan ciptaan Tuhan yang sempurna.
Aku menyukai Nara tanpa terkecuali. Mulai dari ujung rambut dengan model bowl cut sampai ke ujung kakinya. Semuanya.
Genggaman tanganku padanya kuharap jadi bukti. Aku mencintai Nara. Tidak mau yang lain.
“Viana …,” Nara memanggilku pelan. “Apa kita sebaiknya melakukan ide itu?”
Aku diam. Nyaris tidak percaya.
“Toh, aku yang menikahimu. Dengan Riga hanya pura-pura, kan.”
Aku tidak mau membayangkan bagaimana Nara berpikir keras hingga akhirnya memutuskan pilihan ini.
“Kakakmu benar, sudah seharusnya kamu hidup layak. Kalau saja aku kaya, kita gak perlu memikirkan ide-ide gak masuk akal itu.”
Aku mendekatkan tubuhku pada Nara. Merengkuh punggungnya yang sekarang berada dalam kekalutan.
“Ayo kita lakukan saja, Viana.”
Aku mendongak untuk melihat bola mata teduhnya. “Tapi Nara, meskipun pura-pura. Tetap saja aku dengan Riga—“
“Aku akan bersabar. Akan kukendalikan emosiku dan memastikan kamu gak berada di posisi membingungkan.” Nara membelai rambut sepinggangku.
Mulutnya bau rokok, tapi aku ingin mendaratkan bibirku padanya. Setidaknya untuk membuat Nara diam. Aku tidak terbiasa mendengar nada defensif darinya.
“Enggak apa-apa, Viana. Asalkan denganmu, aku bisa melakukannya.”
Nara mencium keningku. Memelukku. Membawa tubuh ini makin erat ke badannya.
Kami tidak bicara lagi. Memilih berpelukan di udara dingin malam yang makin pekat.
Bersama Nara aku hangat. Di samping Nara kuyakin semua baik-baik saja.
.
.
“Halo, Riga. Dengarkan aku, aku hanya akan mengatakannya sekali saja.” Kutarik napas dalam-dalam sebelum kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Ayo kita lakukan pernikahan pura-pura itu.”
“Eh, sungguh? Gimana dengan Nara?”
“Ya, dia juga setuju.”
Suara Riga tenggelam sesaat. Bisa kutebak, ia sedang merayakan selebrasi dengan melompat girang di kasurnya, atau entahlah … aku malas tebak-tebakan.
“Oke, akan kuatur semuanya. Tunggu aku di tempatmu ya,” suara Riga terdengar girang.
Sebahagia itukah dia dengan pernikahan? Oh, karena direktur utama, ya. Jangan geer Viana.
“Makasih, Viana!”
Kalimat itu menyudahi panggilan telepon. Aku menghela napas panjang. Tercium bau apek dari dinding indekosku. Satu per satu kupandangi setiap inci kamarku, menghidu segala bebauan untuk yang terakhir kali.
Bye-bye indekos, aku akan menikah.
__BERSAMBUNG__
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k