Share

Malaikat Kecil yang Sempat Tak Diharapkan

"Bunda! Ayo, Bunda! Bangun!"

Seutas senyum sumringah seketika tercipta di wajah cantik Kara, berkat sosok mungil yang telah membangunkannya pagi ini. Tak sabar ia segera memeluk dan membubuhi beberapa kecupan singkat pada sosok kecil yang amat menggemaskan itu, hingga membuat sosok berambut ikal tersebut bergerak memundurkan diri dan memanyunkan bibirnya dengan lucu.

"Bunda belum mandi! Bunda enggak boleh cium cium Arka!" protes anak kecil itu dengan pipi tembamnya yang semakin menggembung.

"Kalau bunda belum mandi, memangnya Arka sudah mandi?"

"Ya belum dong, Bunda! Arka 'kan mandinya nanti, tunggu dimandiin sama Bunda. Kata Bunda, Arka masih kecil. Nanti kalau Arka mandi sendiri, airnya berubah jadi sabun!"

Kara kembali tertawa gemas melihat tingkah malaikat kecil yang sempat tak diharapkannya. Tak pernah ia sangka sosok yang sempat tiga tahun lalu dibencinya, kini malah memberikannya sebuah kebahagiaan sederhana yang sanggup membuatnya bertahan sampai saat ini.

"Bunda! Ih, kok Bunda melamun sih? Ayo, Bunda! Kita harus siap-siap! Kita 'kan mau ke pasar, Bunda!"

***

Dengan langkah terburu-buru Kara menyusuri pasar dengan Arka yang berada di gendongannya. Walau masih berusia 23 tahun, akan tetapi kecekatannya dalam berbelanja sekaligus mengurus anak memang patut diacungi jempol. Ia cukup handal mengurus semuanya sendiri karena memang inilah salah satu kegiatan rutinnya selain membuat dan menjual roti, setelah terpaksa tak meneruskan kuliah dan menghindar dari semua orang-orang yang pernah dikenalnya.

"Eh, ada Arka! Sama bundanya aja ke sini? Ayahnya ke mana?" tanya seorang penjual yang memang sudah kenal dengan anak semata wayang Kara.

"Ayah Arka lagi kerja, Bibi. Bunda bilang, ayah lagi cari uang yang banyak untuk Arka sekolah nanti!" jawab anak kecil tersebut dengan polos, hingga membuat Kara tersenyum singkat sebelum kembali melanjutkan aktivitas belanjanya.

"Memangnya ayahnya Arka kerja apa? Kok, kayaknya bibi enggak pernah lihat? Ayahnya Arka pelaut ya?"

Kedua netra bulat Arka mengerjap setelahnya. Ia menatap bingung ke arah sang ibunda. "Bunda, pelaut itu apa? Ayah pelaut buk—"

"Bu, ini semua totalnya berapa ya?"

"Oh, cuma 55 ribu saja kok. Kebetulan saya masih pakai stok yang lama," jawab sang pedagang yang langsung dengan cekatan mengambil plastik lain.

Kara terpaksa mengabaikan pertanyaan Arka dengan terus fokus berjalan keluar dari area pasar. Ia tentu tak ingin menciptakan kebohongan yang baru, karena hal tersebut hanyalah akan semakin menambah rasa sakit yang belum pernah sembuh di hatinya.

"Arka mau permen? Atau es krim?" tawar Kara untuk menutupi rasa bersalahnya.

"Enggak, Bunda. Arka cuma mau tau kapan Ayah bisa pulang? Memangnya kerjaan Ayah enggak pernah selesai ya, sampai Ayah enggak pernah bareng-bareng sama kita di sini?"

Deghh!

Sungguh demi apa pun, Kara pikir ia bisa terhindar dari pertanyaan semacam ini. Namun sayang, semakin lama Arka semakin beranjak besar dan pintar. Sehingga anak lelakinya itu semakin kritis dan terus berusaha mencari jawaban yang jelas, sampai semua rasa ingin tahunya terselesaikan.

"Arka, Sayang. Coba Arka ingat kata-kata bunda waktu itu, bunda pernah bilang 'kan kalau tempat kerja ayah jauh?" tutur Kara seraya menunduk dan berusaha menahan getaran di bibirnya.

"Iya, Bunda. Tapi memangnya Ayah enggak bisa pulang sebentar aja ya untuk ketemu kita? Arka cuma mau lihat Ayah, Bunda! Arka enggak pernah lihat Ayah, sementara anak-anak yang lain sering main sama ayahnya." Sosok mungil itu kini menatap aspal jalanan yang tengah dipijaknya, dengan kedua netra yang sudah mendung dan beberapa bulir air mata yang sudah terjatuh.

Tidak pernah Kara sangka sebelumnya, semua kata-kata itu bisa lolos dengan mudah dari bibir mungil anaknya. Entah sejak kapan semua hal tersebut telah dipendam oleh Arka akan tetapi yang jelas saat ini dirinya bisa melihat dengan jelas raut kekecewaan dan kesedihan yang terpancar dari sana.

"Arka, Sayang. Peluk bunda, yuk? Maaf, karena bunda enggak bisa jawab semua pertanyaan Arka," kata Kara yang akhirnya juga tak bisa menahan tangisnya lagi.

Walau masih dengan wajah murungnya, akan tetapi sosok mungil itu tetap mendekat dan memeluk tubuh sang ibunda. Kara dan Arka pun akhirnya saling memeluk satu sama lain, dengan emosi yang berkecamuk di dalam hati. Tak dapat dipungkiri, keduanya memang selalu mudah rapuh jika telah membahas permasalahan ini.

"Kalau memang Ayah masih sibuk kerja, enggak apa-apa Bunda. Bunda enggak usah nangis lagi ya? Arka selalu ada di sini kok sama Bunda! Arka masih mau nemenin dan bantuin Bunda setiap hari, sampai nanti Ayah pulang dan gantian jagain Bunda!"

Tangis anak kecil itu seketika saja surut dengan mudahnya. Entah apa yang sudah dipikirkannya saat ini, akan tetapi yang jelas hal tersebut malah semakin membuat hati Kara perih. Tak pernah terkira olehnya, sosok mungil yang masih berusia tiga tahun itu bisa bersikap layaknya orang dewasa seperti ini.

"Maaf ya, Nak? Maaf, karena ayah belum bisa menemuimu," lirih Kara dengan pelan sambil menatap manik coklat sang buah hati.

Kara mengigit kuat-kuat bibirnya. Ia kembali mengeratkan pelukan, agar segala pilu yang tengah dirasakannya tak dapat disaksikan oleh sang anak. Dirinya tentu tak akan tega memberi tahu Arka, jika sebenarnya sosok yang selama ini disebutnya sebagai ayah itu tidak pernah mengetahui keberadaannya sebagai seorang anak.

"Iya, Bunda. Maafin Arka juga ya? Maaf karena pertanyaan Arka tadi buat Bunda sedih!"

Dengan beberapa jari mungilnya, Arka bergerak menghapus beberapa tetes air mata yang sudah membasahi wajah sang ibunda. Bahkan dirinya sampai rela berjinjit, demi bisa mensejajarkan kepalanya dengan sosok yang telah melahirkannya tersebut.

"Tidak apa-apa, Sayang," sahut Kara tersenyum sambil kembali memeluk tubuh mungil itu.

Tak dapat Kara pungkiri, dekapan Arka memang ampuh membuat hatinya kembali kuat. Walau sekeras apa pun kejadian yang telah membuat dirinya hancur, Arka selalu saja bisa membuatnya tenang dan bersemangat untuk menjalani hidup.

"Love you, Bunda!"

"Love you too, Sweetheart!"

Sekali lagi Kara mendekap erat tubuh mungil Arka. Ia harap anak lelakinya itu bisa kuat dalam menjalani semua kenyataan yang cukup berat ini. Hingga tiba-tiba saja telepon genggamnya berdering, dan langsung membuatnya mundur menciptakan jarak ketika melihat nama sang pemilik kontrakan di layar ponselnya.

"Baik, Bu. Saya mohon kelonggaran waktunya. Iya, Bu. Pasti saya akan usahakan secepat mungkin!"

Dengan susah payah Kara membasahi tenggorokannya. Ia berusaha tenang, sebelum kembali menjumpai Arka. Berkali-kali dirinya menarik napas, agar pikiran kalutnya segera usai. Sampai akhirnya tiba-tiba saja detak jantung seolah terhenti, ketika sama sekali tak menemukan keberadaan sang buah hati di sekelilingnya.

"Arka! Arka! Kamu di mana, Sayang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status