"Tidak! Ini tidak mungkin!"
Kara Isabelle, gadis berwajah cantik itu tengah membeku menatap dua garis merah yang terpampang jelas di hadapannya.Seharusnya hari ini Kara berada di kampus. Melaksanakan tugas barunya sebagai asisten dosen, dan menyelesaikan beberapa mata kuliahnya dengan baik agar status beasiswa penuhnya bisa segera disetujui. Namun sayang pada kenyataannya, ia malah terjebak di dalam kamar mandinya sendiri dengan sebuah hasil testpack yang amat mengejutkan."Ya Tuhan, harus apa aku sekarang?" lirihnya frustasi sambil memijat pelipis.Tak pernah Kara sangka, malam panas yang sudah mati-matian ia lupakan sebulan yang lalu malah membuahkan hasil.Sungguh, Kara belum siap menghadapi kenyataan ini. Ia menganggap semuanya telah usai, selepas dirinya berhasil kabur dari jeratan Barra. Bahkan dirinya tak pernah berusaha mencari tahu identitas jelas lelaki yang telah merenggut kesuciannya itu, karena menurutnya malam tersebut hanyalah malam pertama dan juga terakhir dirinya bertemu dengan sosok itu.Dunia Kara yang telah hancur, kini semakin tak terbentuk lagi! Perlahan air matanya pun mulai luruh, seiiring dengan tak sanggupnya ia menahan derita.Tokkk! Tokk! Tokk!"Kara! Cepat buka pintunya!"Deghh!Tangis Kara seketika terhenti, seiring terdengarnya suara sang ibu angkat. Dengan degup jantung yang semakin tak beraturan, Kara menoleh panik ke arah pintu yang semakin berguncang. Sebisa mungkin dirinya langsung menyembunyikan hasil bukti kehamilannya lebih dulu, menyeka air matanya, dan bergerak membuka pintu.Plakkk!"Apa-apaan ini, Kara?! Cepat jelaskan semuanya pada Ibu!" hentak Helena—sang ibu angkat dengan satu tangan yang memegang struk belanja berlogokan apotek."Bu ...."Tatapan mata Helena yang nyalang, membuat napas Kara semakin tercekat. Bibir pucatnya tak sanggup lagi melanjutkan kata-kata, karena semua hal yang telah ditutupinya telah terbongkar berkat kecerobohan yang sama sekali tak pernah ia duga."Untuk apa kau membeli benda itu?!" tanya Helena singkat, tanpa sudi menatap sang anak angkat yang telah bersimpuh di hadapannya.Sesak, takut, khawatir, berbagai perasaan itulah yang kini tengah berkecamuk di dalam diri Kara. Semuanya benar-benar muncul secara bersamaan, seolah tak mau memberikannya jeda untuk berpikir barang sedetik pun."Cepat jelaskan semuanya, Kara! Apa itu untukmu? Apa hasilnya?!" desis Helena dengan urat-urat yang tercetak jelas di leher.Dengan satu tarikan saja, wanita itu berhasil membuat Kara merintih kesakitan. Ia semakin menjambak kencang rambut sang anak angkat tanpa ampun, hingga lantas segera meraih dagu mungil yang sedari tadi hanya menunduk tersebut."Bu, maafkan aku! Aku memang membeli benda itu untukku, tapi tolong! Tolong jangan beri tahu ini ke Bapak! Aku—"Plakkk!"Dasar anak tidak tahu diri! Memalukan!" ujar Helena menggebu dengan tatapan yang kian membara."Bu, aku mohon! Aku tidak mau membuat kondisi Bapak semakin memburuk!"Tak peduli dengan dirinya yang terus dikasari, Kara hanya berharap agar kabar ini tak sampai ke telinga ayahnya. Ia tidak mau membuat sosok itu semakin sakit, sehingga tanpa pikir panjang dirinya pun langsung bergerak bersujud tepat di hadapan sang ibu angkat."Aku akui kesalahanku, Bu! Aku sudah melakukan sesuatu yang sangat memalukan, sehingga sekarang aku mengandung! Akan tetapi tolong, tolong rahasiakan ini ke Bap—"Brakkk!"Dasar bodoh!" maki Helena kian emosi.Masa bodoh dengan kondisi anak angkatnya yang tengah berbadan dua, ia tak mau mendengarkan lagi. Dengan tega wanita itu menendang tubuh lemas Kara sampai terjungkal ke belakang, sampai terdengar rintihan yang amat memilukan."Bisa-bisanya kau berkata seperti itu, disaat aku sedang bersusah-payah menjaga bapakmu yang penyakitan?!" teriak Helena semakin tak terkontrol. "Siapa ayah dari janin yang ada dikandunganmu itu? Pacarmu? Temanmu? Atau pria lain di luar sana? Cepat katakan, agar dia bisa segera bertanggung jawab!""Maaf, Bu. Itu ... Itu tidak bisa!" jawab Kara pasrah, dengan derai air mata yang kian menderas.Gadis itu semakin meringkuk ketakutan, seiring dengan langkah Helena yang semakin mendekat. Kara takut dengan ibu angkatnya, akan tetapi juga tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Ia tentu tak mau menemui Barra lagi, karena lelaki yang telah menanamkan benih di rahimnya ini sangatlah kejam dan tak mempunyai hati.Bughh!"Bodoh! Kalau bukan dia yang bertanggung jawab, lalu siapa lagi?! Kau pikir aku mau? Hah!" pekik Helena yang kini tak segan lagi membenturkan kepala sang anak angkat.Setetes darah segar, mulai mengalir membasahi dahi Kara. Ia memang merasakan sakit, akan tetapi sayang seluruh derita yang dirasakan fisiknya saat ini tak sebanding dengan rasa sakit yang ada di dalam hatinya."Gugurkan anak itu!""Tapi, Bu—""Aku bilang gugurkan secepatnya!"Brakkk!"Bapak!"Kara tersentak, tepat setelah melihat kehadiran sang ayah yang terjatuh dari kursi roda. Dengan segera ia bangkit, berusaha sebisa mungkin mengangkat sosok yang telah membesarkannya itu ke atas tempat tidur, dan membaringkannya dengan penuh hati-hati di sana dengan wajah sembab yang penuh dengan jejak air mata."Ra? Ka–kamu ... Ha—""Maaf! Maafkan Kara, Pak! Maaf, karena Kara telah melakukan kesalahan yang sangat fatal!" sambar Kara tak kuasa mendengar kenyataannya lagi.Dengan cepat ia langsung memeluk tubuh ringkih ayahnya. Tak peduli dengan dahinya yang semakin berdarah, Kara semakin menempelkan punggung tangan sang ayah di sana. Ia memohon ampun pada sosok yang telah sangat menyayanginya itu, sampai tak begitu menyadari bahwa sosok tersebut semakin terengah dan mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya.Deghh!"Pak! Bapak! Bangun, Pak!"Napas Kara tersendat, tak kuasa melanjutkan ucapannya lagi. Semua sudah diceknya, mulai dari deru napas, detak jantung, hingga denyut nadi. Ingin ia bertanya pada sang ibu angkat, guna menyakinkan bahwa yang telah dilihatnya saat ini hanyalah sekelebat dari bayangan buruk. Namun sayang, rasanya itu tidak mungkin."Enggak! Bapak pasti hanya pingsan saja 'kan?" gumam gadis itu akhirnya, dengan bibir yang semakin bergetar.Sebisa mungkin Kara menampik kenyataan yang amat mengiris hatinya. Ia masih belum menerima kepergian sang ayah yang sangat tiba-tiba. Hingga perlahan, tangan lemasnya pun bergerak mengusap wajah yang sudah tak berekspresi itu."Sekarang kamu lihat 'kan? Ini akibat dari perbuatan memalukanmu itu!" desis Helena dengan menatap nanar ke arah tubuh tak bernyawa sang suami."Bu, maaf! Tapi Bapak masih bisa bangun lagi kok! Bapak cuma—""Sudah cukup, Kara! Sudahi omong kosongmu itu dan segera pergi dari rumah ini! Percuma saja kau menangis meratapi kematian bapakmu, karena kau sendirilah yang sudah membuat bapakmu seperti ini! Kau sudah membunuhnya! Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pernah sudi melihatmu lagi! Kau hanya jadi beban keluarga, yang mempermalukan keluargamu sendiri!""Bunda! Ayo, Bunda! Bangun!"Seutas senyum sumringah seketika tercipta di wajah cantik Kara, berkat sosok mungil yang telah membangunkannya pagi ini. Tak sabar ia segera memeluk dan membubuhi beberapa kecupan singkat pada sosok kecil yang amat menggemaskan itu, hingga membuat sosok berambut ikal tersebut bergerak memundurkan diri dan memanyunkan bibirnya dengan lucu."Bunda belum mandi! Bunda enggak boleh cium cium Arka!" protes anak kecil itu dengan pipi tembamnya yang semakin menggembung."Kalau bunda belum mandi, memangnya Arka sudah mandi?""Ya belum dong, Bunda! Arka 'kan mandinya nanti, tunggu dimandiin sama Bunda. Kata Bunda, Arka masih kecil. Nanti kalau Arka mandi sendiri, airnya berubah jadi sabun!"Kara kembali tertawa gemas melihat tingkah malaikat kecil yang sempat tak diharapkannya. Tak pernah ia sangka sosok yang sempat tiga tahun lalu dibencinya, kini malah memberikannya sebuah kebahagiaan sederhana yang sanggup membuatnya bertahan sampai saat ini. "Bunda! Ih, kok Bun
"No, Mom! Sudah aku bilang! Aku belum siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun! Aku tidak mau! Jadi tolong jangan paksa aku lagi!"Bughhh!Benda pipih seharga puluhan juta itu melayang dan terpantul begitu saja pada sebuah kursi tanpa arti setelahnya. Sang pemilik ponsel nampak abai. Ia tak peduli, dan lebih memilih melanjutkan perjalanannya."Akhh! Sial! Kenapa Mama mulai memaksaku lagi?!" ujar pria itu tak tahan, seraya memukul kembali setir mobilnya.Percakapan singkatnya dengan sang ibu, memang cukup ampuh mempengaruhi konsentrasinya pagi ini. Dirinya yang sedari tadi bersusah-payah untuk fokus agar bisa segera sampai ke kantor, kini malah jadi memikirkan hal lain yang jauh lebih menyebalkan menurutnya.Sungguh demi apa pun, ia benci disuruh cepat-cepat menikah. Meski umurnya sudah sangat matang, akan tetapi sampai saat ini dirinya belum sanggup berkomitmen serius lebih jauh lagi. Masih ada banyak hal yang dipikirkannya. Selain dari pekerjaan, masih ada satu masalah pr
"Yah, Bunda. Kenapa enggak di sini aja? Arka 'kan juga mau ikut ngobrol sama Bunda dan Om Baik!"Sosok mungil itu merenggut tak setuju. Namun siapa sangka, Kara yang biasa menjadi orang pertama menenangka Arka malah kalah cepat dengan sosok pria yang ada di hadapannya. Barra lebih dulu memberikan pengertian pada anak lelakinya itu, hingga membuatnya berubah pikiran."Tapi abis ini Om harus temenin Arka ya? Om 'kan tadi udah janji, mau main bareng sama Arka!""Iya! Om janji!" balas Barra tersenyum, seraya mengusap sekilas rambut ikal kecoklatan Arka.Tanpa mereka berdua sadari, Kara semakin meremas kuat ujung floral dress-nya. Ia mencoba menahan segala letupan yang tengah meluap di hati. Tak menyangka dengan rasa sesak seperti ini, ketika berhadapan langsung dengan seseorang yang sudah menghancurkan dirinya dan mati-matian dilupakannya.Baru saja ia berdoa untuk jangan pernah renggut Arka dari sisinya, akan tetapi kenapa sekarang sosok ter
"Sebaliknya kau jangan salah sangka, Barra! Aku memang pertama kali melakukannya denganmu, tetapi itu bukan berarti aku tidak pernah melakukannya dengan berbagai pria lain di luar sana setelahnya!"Salah satu alis tebal Barra terangkat, sedikit terkejut dengan ucapan yang cukup frontal dari wanita yang kini tengah menatapnya dengan berani."Jangan pernah tertipu dengan penampilanku, Barra! Aku tidak sebaik yang kau pikirkan!" lanjut Kara menambah dengan penuh penekanan.Kara memang berusaha mengerahkan segala alasan yang terlintas di dalam benaknya saat ini. Di dalam hati, ia berharap agar Barra segera percaya dan menjauh dari kehidupannya bersama Arka."Oke, kalau begitu siapa ayah kandung anakmu yang sebenarnya? Coba kau bawa orang itu tepat ke hadapanku, agar aku bisa segera mempercayai semua kata-katamu!""Tidak bisa! Dia sudah lama aku anggap mati!" jawab Kara cepat seraya menatap lekat dia manik mata coklat di hadapannya.Mendengar jawaban itu, Barra jadi tersenyum. Meski tatapa
"Siapa Anda? Anda tidak berhak ikut campur dengan urusan saya dan wanita ini!"Tanpa membuka kaca mata hitamnya, pria itu hanya tersenyum miring. Kara yang masih membeku di tempatnya pun tak berkata apa-apa, otaknya masih bekerja mencoba mencari tahu tentang bagaimana pria tersebut bisa menemuinya di sini."Anda tidak perlu kenal saya! Sampaikan saja, berapa total yang harus wanita ini bayar?""Ap–apa? Anda mau membayarkannya?" tanya pemilik kontrakan terbata-bata."Ya! Anda meragukan saya? Sebutkan saja jumlahnya, dan akan segera saya transfer detik ini juga! Sejuta? Sepuluh juta? Seratus juta? Atau bahkan lebih?" tekan pria itu kian membuat nyali sang lawan bicara menciut.Tanpa banyak berbasa-basi, pria itu pun mengeluarkan ponsel hitam mahalnya. Ia membuka salah satu aplikasi perbankan yang ada di sana, dan segera menyuruh pemilik kontrakan tersebut untuk memasuki nomor rekeningnya sendiri dan jumlah uang yang harus dibayar.
"Ap–apa? Tes DNA?"Wajah Kara langsung pucat mendengarnya. Kedua tangan yang sedari tadi menahan dada bidang Barra pun seketika lemas tak berdaya. Dirinya bagai kehilangan kekuatan. Bahkan hampir saja terjatuh, andai Barra tak sedang memegangi salah satu bahunya."Iya! Memangnya kenapa? Apa kau takut? Kalau begitu—""Tidak! Aku tidak takut!" potong Kara cepat, mengumpulkan kembali seluruh tenaganya.Dengan menarik sedikit tubuhnya mundur, Barra pun tersenyum puas. Seperti biasa, pria itu selalu suka dengan pemberontakan Kara. Wanita tersebut terlihat lebih cantik, ketika sedang berusaha menatap dua netra tajamnya dengan berani."Jika kau mau tes DNA dengan Arka, silakan saja! Akan tetapi jika nanti hasilnya tidak cocok, jangan pernah kau coba-coba untuk mendekatiku atau pun anakku lagi!" lanjut Kara dengan tegas, tanpa memutuskan pandangannya sedikit pun ke arah Barra.Jika tak mau Barra curiga, Kara memang harus yakin dengan keb
"Perkenalkan saya adalah sopir pribadinya Tuan Barra, yang ditugaskan untuk mengantarkan Nyonya Kara dan Tuan Muda Arka!" jelas pria itu seraya kembali menunduk hormat."Tuan Muda?" Arka menyahut dengan alis yang menekuk dalam. Satu jari telunjuk mungilnya pun kini bertengger sempurna di atas pipi tembamnya."Iya betul, Tuan Muda Arka!" sahut pria tersebut seraya tersenyum, menahan gemas pada sosok mungil di hadapannya.Mendengar kata Tuan Muda Arka kembali, anak kecil itu pun kian mengerjap. Arka belum mengerti sama sekali dengan artinya, hingga langsung menoleh ke arah sang ibunda."Bunda! Bunda! Tuan Muda itu apa?" tanyanya penasaran.Dengan menoleh ke arah anaknya, Kara menghela napas tipis. Sesaat ia bingung hendak menjelaskan seperti apa, karena saat ini dirinya masih terkejut dengan keputusan Barra yang sudah bergerak selangkah lebih maju dari perkiraannya.Padahal jika diingat kembali kejadian tadi, Kara sama sekali belum
Gleghh!Baru saja Barra merasa senang karena ibunya sudah berhasil teralihkan dengan pembahasan lain, akan tetapi sekarang? Wanita yang selalu mendidiknya dengan keras itu malah kembali mengembalikan topik yang sempat sangat dihindarinya.Dengan kembali menegakkan posisi duduknya, Avaline pun menatap penuh menyelidik ke arah sang anak kandung. Ia mencoba mencari tahu alasan Barra yang sebenarnya, karena dirinya paling tidak suka dibohongi."Apa kau tidak takut kalau kebiasaan burukmu akan dicontoh oleh para karyawan kita, Barra? Mau jadi apa perusahaan ini kalau semuanya seperti kau, yang seenaknya saja keluar tanpa izin?!" lanjut Avaline menghardik.Dengan terdiam, Barra tak berani menatap kembali sang ibu. Ia sadar bahwa dirinya salah, akan tetapi Barra juga tak bisa janji untuk tak mengulanginya lagi.Bagi Barra, Kara dan Arka terlalu sayang untuk diabaikan. Barra sudah terlanjur nyaman pada mereka berdua, sehingga tak mau melepaskanny