Share

Pertemuan yang Tak Disangka

"No, Mom! Sudah aku bilang! Aku belum siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun! Aku tidak mau! Jadi tolong jangan paksa aku lagi!"

Bughhh!

Benda pipih seharga puluhan juta itu melayang dan terpantul begitu saja pada sebuah kursi tanpa arti setelahnya. Sang pemilik ponsel nampak abai. Ia tak peduli, dan lebih memilih melanjutkan perjalanannya.

"Akhh! Sial! Kenapa Mama mulai memaksaku lagi?!" ujar pria itu tak tahan, seraya memukul kembali setir mobilnya.

Percakapan singkatnya dengan sang ibu, memang cukup ampuh mempengaruhi konsentrasinya pagi ini. Dirinya yang sedari tadi bersusah-payah untuk fokus agar bisa segera sampai ke kantor, kini malah jadi memikirkan hal lain yang jauh lebih menyebalkan menurutnya.

Sungguh demi apa pun, ia benci disuruh cepat-cepat menikah. Meski umurnya sudah sangat matang, akan tetapi sampai saat ini dirinya belum sanggup berkomitmen serius lebih jauh lagi. Masih ada banyak hal yang dipikirkannya. Selain dari pekerjaan, masih ada satu masalah pribadi yang sampai detik ini belum bisa diselesaikannya.

"Kara Isabelle! Ini semua karena kau!" geramnya tertahan seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Dengan rahang yang semakin mengetat, pria itu semakin menginjak pedal gasnya. Gerak garis kecepatannya semakin maju. Ia terus menerobos jalanan sepi di depannya tanpa ampun. Hingga tak begitu menyadari, bahwa ada sesosok anak kecil yang tengah menyebrang dengan setangkai bunga indah di tangan mungilnya.

"Astaga!"

Tinnn!!!

***

Dengan peluh keringat, Kara terus melangkah cepat menyusuri setiap lorong yang ada di sebuah rumah sakit besar pusat kota. Sedari tadi dirinya tak berhenti melihat ke sekitar, mencari keberadaan sang anak dengan doa yang selalu terucap dalam hati. Apalagi menurut informasi yang didapatkannya tadi, Arka sempat mendapatkan beberapa jahitan di lukanya.

Ah, kenapa bisa sampai separah itu? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kara tak tahu bagaimana kronologis jelasnya, karena si pemberi kabar hanya menyuruhnya untuk segera datang ke rumah sakit ini.

"Sus! Pasien atas nama Arka di mana ya?" tanya Kara dengan napasnya yang semakin terengah.

Suster itu memberikan arahan. Mulanya Kara sedikit merasa bingung, kala mendapati area yang dipijaknya semakin jauh dan sepi. Namun pada akhirnya, Kara bisa bernapas sedikit lega karena telah mendengar suara sang buah hati dari kejauhan.

"Ruang VVIP?"

"Iya, Bu. Bapak yang tadi mengantarkan Arka, memang telah meminta perawatan yang terbaik di rumah sakit ini," jelas sang suster sebelum beranjak pergi meninggalkan Kara.

Dengan mengatur napasnya terlebih dahulu, Kara pun akhirnya bergerak maju hendak membuka pintu yang tengah tertutup itu. Di dalam hati, ia masih terus berharap agar kondisi Arka tak seburuk apa yang telah dipikirkannya.

Namun sayang ketika pintu tersebut terbuka, Kara malah dikejutkan dengan hal lain. Kedua netranya membulat tak percaya, saat melihat keberadaan seorang pria yang tengah tersenyum dan memeluk tubuh anaknya dengan erat.

"Tidak! Ini tidak mungkin!" gumamnya pelan, seraya mencengkram erat pakaiannya sendiri.

Untuk sesaat, Kara terpaku seolah melupakan tujuan awalnya. Seluruh tubuhnya membeku, hingga kedua lelaki berbeda usia itu melihat ke arahnya dengan kedua alis yang sama-sama mengerenyit.

"Bunda! Sini, Bunda! Ini ada Om Baik yang udah nolongin Arka!" tegur anak kecil itu lebih dulu dengan satu tangan mungilnya yang bergerak melambai.

Dengan napas yang semakin sesak, Kara pun akhirnya melangkah maju sambil berusaha mengontrol letupan perasaan yang seketika membuncah di hatinya. Walau sebenarnya belum siap untuk bertemu dengan pria itu, akan tetapi ia sadar bahwa tak akan bisa menghindar lagi. Sehingga saat ini, dirinya hanya bisa tersenyum seolah tak pernah mengenali pria tersebut di hadapan Arka.

"Ya ampun, Sayang. Kenapa jadi seperti ini? Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu bisa jauh dari Bunda tadi?" tanya Kara yang berusaha sebisanya mungkin hanya fokus pada anaknya.

"Maaf ya, Bunda. Sebenarnya tadi Arka cuma mau kasih Bunda bunga, supaya Bunda enggak sedih lagi. Tapi ternyata, nyebrang jalan itu susah Bunda! Arka enggak sabar nunggu mobil dan motor lewat, jadi tiba-tiba Arka seperti ini deh," aku anak kecil tersebut dengan tertunduk menyesal.

Dengan menatap perih pada perban yang tengah menutupi bekas luka jahitan yang ada di lutut Arka, Kara pun langsung mengusapnya hati-hati. Ia tentu tak sampai hati memarahi anaknya, karena biar bagaimanapun kejadian ini terjadi berkat kecerobohannya.

"Ini juga salah bunda, Sayang! Maafkan bunda ya?" tutur Kara sambil menatap manik coklat yang ada di hadapannya secara bergantian.

Manik mata itu, memanglah tak sama dengan yang dimilikinya. Warna indah tersebut lebih mengingatkannya pada hal lain, yaitu seseorang yang sempat membuatnya terpesona hingga terjatuh dalam jeratannya. Akan tetapi terlepas dari itu semua, Kara memang tak bisa memungkiri jika semakin diselami dapat membuat hatinya merasa tenang.

"Iya, Bunda. Sekarang Arka juga udah enggak apa-apa kok. Pokoknya, Bunda jangan khawatir lagi ya? Arka janji deh, enggak akan seperti ini lagi!" Arka tersenyum setelahnya, seolah luka jahitan yang ada di tubuhnya bukanlah hal apa-apa.

"Benar ya? Pokoknya Arka harus janji sama bunda, jangan pernah pergi jauh-jauh dari bunda lagi! Kalau Arka mau ke mana pun, Arka harus bilang ke bunda. Kita harus selalu sama-sama terus! Bunda seperti ini karena bunda sayang kamu, Nak. Bunda enggak mau kehilangan kamu!"

"Iya, Bunda! Arka janji!"

Arka mengeluarkan jari kelingkingnya yang sangat mungil di hadapan sang ibunda. Kalau sudah seperti ini, Kara memang tak bisa membalas apa-apa lagi. Ia tak tahu harus marah atau bersyukur sekarang, karena kedua netra bulat yang ada di hadapannya ini selalu bisa mengubah suasana hatinya dengan cepat.

"Oh iya, Bunda. Arka mau kenalin Bunda sama Om Baik yang udah nolongin Arka! Om itu yang udah buat Arka enggak nangis lagi, sebelum Arka masuk ruangan serem sama Om Dokter!"

"Ruangan serem?" Dahi Kara mengerenyit setelahnya.

"Iya, Bunda! Bunda tanya aja langsung sama Om Baiknya!" sahut Arka yang semakin membuat Kara diam-diam menahan rasa gugupnya.

Dengan perlahan, jari mungil anak kecil itu mulai bergerak meraih salah satu tangan Kara. Dan tak hanya itu saja, setelahnya pemilik pipi tembam tersebut juga meraih tangan besar pria yang ada di hadapannya. Dengan seutas senyum sumringah, ia menyatukan keduanya. Hingga membuat kedua orang dewasa yang ada di hadapannya terdiam sesaat, dalam pandangan yang saling terikat satu sama lain.

"Om Baik, ini bundanya Arka! Namanya Bunda Kara!" ucapnya memperkenalkan.

Dengan debaran yang tak tertahankan lagi, Kara terdiam menunggu respon pria itu. Tatapan matanya, seolah menyiratkan sesuatu yang sangat jauh dari dugaannya. Apalagi setelahnya sosok tersebut benar-benar menggenggam tangannya dengan senyum ramah yang terukir di wajahnya.

"Barra! Barra Piterson! Maaf, kalau pertemuan ini membuat Arka terluka. Sebelumnya saya—"

"Boleh kita bicara di luar?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status