"Yah, Bunda. Kenapa enggak di sini aja? Arka 'kan juga mau ikut ngobrol sama Bunda dan Om Baik!"
Sosok mungil itu merenggut tak setuju. Namun siapa sangka, Kara yang biasa menjadi orang pertama menenangka Arka malah kalah cepat dengan sosok pria yang ada di hadapannya. Barra lebih dulu memberikan pengertian pada anak lelakinya itu, hingga membuatnya berubah pikiran."Tapi abis ini Om harus temenin Arka ya? Om 'kan tadi udah janji, mau main bareng sama Arka!""Iya! Om janji!" balas Barra tersenyum, seraya mengusap sekilas rambut ikal kecoklatan Arka.Tanpa mereka berdua sadari, Kara semakin meremas kuat ujung floral dress-nya. Ia mencoba menahan segala letupan yang tengah meluap di hati. Tak menyangka dengan rasa sesak seperti ini, ketika berhadapan langsung dengan seseorang yang sudah menghancurkan dirinya dan mati-matian dilupakannya.Baru saja ia berdoa untuk jangan pernah renggut Arka dari sisinya, akan tetapi kenapa sekarang sosok tersebut harus hadir di hadapannya? Kenapa setelah sekian lama takdir kembali mempertemukannya dengan pria itu?Ah, sungguh Kara tak tahu harus seperti apa sekarang. Kinerja otaknya benar-benar melambat, apalagi sedari tadi Barra terus-menerus memperhatikannya dalam diam."Baiklah, kalau begitu silakan," ucap Barra seketika.Lamunan Kara buyar. Dengan susah payah wanita itu menarik napas, hingga setelahnya langsung berjalan maju. Sungguh, sebenarnya Kara ingin terlepas dari jerat perasaan ini. Akan tetapi sayang, segala perasaan di hatinya sudah terlanjur berkecamuk. Bahkan saat ini degup jantungnya semakin berdetak cepat tak karuan.Barra Piterson!Walau sudah sempat melupakannya, akan tetapi bohong rasanya jika Kara tak mengenali pria tersebut. Ia masih mengingat jelas bagaimana bentuk rupa sosok tersebut. Tatapannya tajam, rahangnya tegas, hidungnya mancung, auranya sangat dominan, dan pesona juga sangat mengikat siapa pun yang melihatnya.Meski durasinya bertemu dengan sosok itu sangatlah sedikit, akan tetapi dampak yang terjadi setelahnya sangat banyak. Ada banyak air mata yang tumpah, penderitaan, kesakitan, dan juga masih banyak hal lain yang semakin membuat Kara merasa hancur setelahnya."Kara Isabelle! Apa kabar?"Deghh!Kara tersentak, ketika sosok itu telah benar-benar berada di belakangnya. Entah kenapa tenggorokannya semakin tercekat, kala tak menemui tatapan lembut yang sempat dilihatnya tadi di dalam."Kenapa? Terkejut?" lanjut Barra semakin mendekat.Dengan susah payah Kara menelan ludahnya. Ia berusaha bergerak mundur, tetapi sayang Barra sudah lebih dulu memojokkannya ke tembok. Pria itu benar-benar mengunci pandangannya dengan tatapan matanya yang tajam, hingga membuat peluh keringat mulai membasahi dirinya."Lepaskan, Barra! Kita ada di rumah sakit!"Kara berusaha memberontak, tetapi sayang pria itu hanya tersenyum. Barra pindai raut wajah ketakutan Kara dari dekat, hingga setelahnya ia bergerak merapikan beberapa helai rambutnya yang berantakan."Sudah berapa lama kau menghindar dariku, Kara? Siapa sebenarnya dirimu, hingga membuat seorang Barra Piterson kebingungan selama bertahun-tahun!" geramnya tertahan dengan rahang yang semakin mengeras.Sudah bertahun-tahun lamanya Barra habiskan waktunya untuk mencari keberadaan Kara. Sosok wanita yang amat membuatnya penasaran itu hilang bagai ditelan bumi. Tak ada kabar sedikit pun yang berhasil ia dapatkan, terlebih setelah mengetahui sosok tersebut telah pindah rumah dan tak lagi meneruskan kuliahnya."Kebingungan? Untuk apa? Kau hanya pernah sekali bertemu denganku, dan itu pun juga karena sebuah petaka!" tegas Kara pada akhirnya.Demi Arka, Kara tak mau lagi tenggelam dalam rasa takutnya. Netra tajam itu, kini ia tatap dengan berani. Tanpa ragu Kara mengangkat wajahnya, agar dirinya bisa berhadapan langsung dengan sosok pria yang jauh lebih tinggi darinya tersebut."Hmm, ternyata hanya seperti itu pikiranmu padaku?""Ya! Memangnya apa yang kau harapkan dariku, Barra? Kita memang tidak pernah saling mengenal sebelumnya! Lalu untuk apa saling memikirkan, hingga membuat kacau semuanya?" balas Kara tak peduli.Bughhh!Satu pukulan kencang, tiba-tiba sampai di sisi kosong sebelah Kara. Ucapan itu semakin membuat Barra emosi, hingga setelahnya ia langsung mencengkram wajah wanita yang ada di hadapannya dengan kuat."Sebenarnya apa maumu, Kara?! Kau pikir kau bisa datang dan pergi begitu saja setelah berhasil masuk ke dalam kehidupanku dan menghancurkan semuanya?""Dan kau pikir, selama ini hidup kau saja yang hancur?!" sahut Kara dengan sedikit meringis kesakitan.Tanpa gentar, wanita itu membalas tatapan nyalang Barra. Napasnya memburu, seiring dengan emosi yang semakin menggulung dirinya. Kedua tangannya mengepal, mencengkram erat kemeja pria tersebut tanpa ragu."Asal kau tahu, Barra! Hidupku juga hancur! Bahkan jauh lebih hancur darimu!" lanjut Kara dengan penuh penekanan, dan emosi yang semakin menggebu.Bertahun-tahun Kara sendirian bangkit dari masa kelamnya. Itu jelas bukanlah hal yang mudah. Ada banyak kesakitan dan air mata yang selalu menemani hari-harinya, dan hal tersebut tentu tak akan pernah bisa sebanding dengan kehidupan Barra yang serba mewah dan terjamin."Maaf, Barra. Sepertinya tidak ada yang harus kita bicarakan lagi! Tujuanku mengajakmu bicara di luar tadi hanya untuk membicarakan penyebab kecelakaan Arka, bukan untuk membahas pertemuan singkat kita yang sama sekali tidak berarti!" putus Kara akhirnya dengan nada yang sedikit melemah.Walau rasanya sesak, tetapi Kara tetap berusaha mengatakannya. Ia tak mau Barra semakin masuk ke dalam kehidupannya, apalagi jika nanti pria itu mengetahui kenyataan yang sudah selama ini dirinya tutupi.Tidak! Kara tidak mau itu terjadi! Ia masih mau hidup tenang bersama Arka, tanpa hadirnya Barra di sisinya!"Permisi!"Dengan satu dorongan saja, Kara akhirnya bisa terlepas dari kurungan Barra. Pria itu nampak terdiam pasrah sesaat, sebelum akhirnya berhasil memberhentikan langkahnya yang baru saja hendak kembali membuka pintu ruangan tempat Arka berada."Katakan yang sebenarnya, Kara! Apa alasanmu terus menghindar dariku seperti ini? Apa ada hal yang kau tutupi dariku? Aku sudah tahu, kau bukanlah orang suruhan musuhku!"Kara memejamkan kedua netranya sekilas, berusaha menenangkan diri. "Kau itu terlalu percaya diri, Barra! Aku sama sekali tidak menghindar dari siapa pun, dan aku juga tidak pernah menutupi apa pun darim—""Lalu, Arka apa?" potong Barra cepat, yang seketika berhasil membuat seluruh tubuh Kara terdiam.Kedua bahu tegap Kara lunglai saat itu juga. Kara berusaha tak menanggapi ucapan Barra. Namun sayang ketika baru saja ia hendak kembali melangkah maju untuk menemui Arka di dalam, tiba-tiba saja pria itu telah lebih dulu membukakan pintu untuknya sambil membisikkan sesuatu di telinganya."Kau boleh beralasan apa pun di hadapanku, Kara Isabelle! Akan tetapi jangan pernah coba-coba sekali pun, kau mencegahku untuk dekat dengan anakku sendiri! Aku tidak bodoh! Kau baru pertama kali melakukannya padaku waktu itu!""Sebaliknya kau jangan salah sangka, Barra! Aku memang pertama kali melakukannya denganmu, tetapi itu bukan berarti aku tidak pernah melakukannya dengan berbagai pria lain di luar sana setelahnya!"Salah satu alis tebal Barra terangkat, sedikit terkejut dengan ucapan yang cukup frontal dari wanita yang kini tengah menatapnya dengan berani."Jangan pernah tertipu dengan penampilanku, Barra! Aku tidak sebaik yang kau pikirkan!" lanjut Kara menambah dengan penuh penekanan.Kara memang berusaha mengerahkan segala alasan yang terlintas di dalam benaknya saat ini. Di dalam hati, ia berharap agar Barra segera percaya dan menjauh dari kehidupannya bersama Arka."Oke, kalau begitu siapa ayah kandung anakmu yang sebenarnya? Coba kau bawa orang itu tepat ke hadapanku, agar aku bisa segera mempercayai semua kata-katamu!""Tidak bisa! Dia sudah lama aku anggap mati!" jawab Kara cepat seraya menatap lekat dia manik mata coklat di hadapannya.Mendengar jawaban itu, Barra jadi tersenyum. Meski tatapa
"Siapa Anda? Anda tidak berhak ikut campur dengan urusan saya dan wanita ini!"Tanpa membuka kaca mata hitamnya, pria itu hanya tersenyum miring. Kara yang masih membeku di tempatnya pun tak berkata apa-apa, otaknya masih bekerja mencoba mencari tahu tentang bagaimana pria tersebut bisa menemuinya di sini."Anda tidak perlu kenal saya! Sampaikan saja, berapa total yang harus wanita ini bayar?""Ap–apa? Anda mau membayarkannya?" tanya pemilik kontrakan terbata-bata."Ya! Anda meragukan saya? Sebutkan saja jumlahnya, dan akan segera saya transfer detik ini juga! Sejuta? Sepuluh juta? Seratus juta? Atau bahkan lebih?" tekan pria itu kian membuat nyali sang lawan bicara menciut.Tanpa banyak berbasa-basi, pria itu pun mengeluarkan ponsel hitam mahalnya. Ia membuka salah satu aplikasi perbankan yang ada di sana, dan segera menyuruh pemilik kontrakan tersebut untuk memasuki nomor rekeningnya sendiri dan jumlah uang yang harus dibayar.
"Ap–apa? Tes DNA?"Wajah Kara langsung pucat mendengarnya. Kedua tangan yang sedari tadi menahan dada bidang Barra pun seketika lemas tak berdaya. Dirinya bagai kehilangan kekuatan. Bahkan hampir saja terjatuh, andai Barra tak sedang memegangi salah satu bahunya."Iya! Memangnya kenapa? Apa kau takut? Kalau begitu—""Tidak! Aku tidak takut!" potong Kara cepat, mengumpulkan kembali seluruh tenaganya.Dengan menarik sedikit tubuhnya mundur, Barra pun tersenyum puas. Seperti biasa, pria itu selalu suka dengan pemberontakan Kara. Wanita tersebut terlihat lebih cantik, ketika sedang berusaha menatap dua netra tajamnya dengan berani."Jika kau mau tes DNA dengan Arka, silakan saja! Akan tetapi jika nanti hasilnya tidak cocok, jangan pernah kau coba-coba untuk mendekatiku atau pun anakku lagi!" lanjut Kara dengan tegas, tanpa memutuskan pandangannya sedikit pun ke arah Barra.Jika tak mau Barra curiga, Kara memang harus yakin dengan keb
"Perkenalkan saya adalah sopir pribadinya Tuan Barra, yang ditugaskan untuk mengantarkan Nyonya Kara dan Tuan Muda Arka!" jelas pria itu seraya kembali menunduk hormat."Tuan Muda?" Arka menyahut dengan alis yang menekuk dalam. Satu jari telunjuk mungilnya pun kini bertengger sempurna di atas pipi tembamnya."Iya betul, Tuan Muda Arka!" sahut pria tersebut seraya tersenyum, menahan gemas pada sosok mungil di hadapannya.Mendengar kata Tuan Muda Arka kembali, anak kecil itu pun kian mengerjap. Arka belum mengerti sama sekali dengan artinya, hingga langsung menoleh ke arah sang ibunda."Bunda! Bunda! Tuan Muda itu apa?" tanyanya penasaran.Dengan menoleh ke arah anaknya, Kara menghela napas tipis. Sesaat ia bingung hendak menjelaskan seperti apa, karena saat ini dirinya masih terkejut dengan keputusan Barra yang sudah bergerak selangkah lebih maju dari perkiraannya.Padahal jika diingat kembali kejadian tadi, Kara sama sekali belum
Gleghh!Baru saja Barra merasa senang karena ibunya sudah berhasil teralihkan dengan pembahasan lain, akan tetapi sekarang? Wanita yang selalu mendidiknya dengan keras itu malah kembali mengembalikan topik yang sempat sangat dihindarinya.Dengan kembali menegakkan posisi duduknya, Avaline pun menatap penuh menyelidik ke arah sang anak kandung. Ia mencoba mencari tahu alasan Barra yang sebenarnya, karena dirinya paling tidak suka dibohongi."Apa kau tidak takut kalau kebiasaan burukmu akan dicontoh oleh para karyawan kita, Barra? Mau jadi apa perusahaan ini kalau semuanya seperti kau, yang seenaknya saja keluar tanpa izin?!" lanjut Avaline menghardik.Dengan terdiam, Barra tak berani menatap kembali sang ibu. Ia sadar bahwa dirinya salah, akan tetapi Barra juga tak bisa janji untuk tak mengulanginya lagi.Bagi Barra, Kara dan Arka terlalu sayang untuk diabaikan. Barra sudah terlanjur nyaman pada mereka berdua, sehingga tak mau melepaskanny
Larangan Avaline, bukan berarti apa-apa untuk Barra. Larangan tersebut bagai angin lalu yang sama sekali tak dihiraukannya. Di mana hal itu langsung terbukti setelah Barra menyelesaikan setumpuk pekerjaannya di kantor. Meski waktu hampir menunjukkan tengah malam, Barra tetap memacu kendaraannya. Ia terlihat masih bersemangat, dengan mengabaikan rasa lelah yang sempat bergelayut. Hingga langsung tersenyum, kala mendapati dua sosok yang sempat sangat dirindukan tengah tertidur dengan pulas di atas ranjang."Hufftt! Aneh! Kenapa aku bisa merasa setenang ini saat melihat mereka berdua terlelap? Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan ini!"Barra bertanya-tanya di dalam hati, sambil mengusap pelan rambut ikal Arka. Ia menyempatkan diri untuk memberikan sebuah kecupan singkat di sana, sambil kembali memperhatikan sosok yang entah kenapa mampu membuat hatinya merasa damai itu.Meski Barra belum tahu siapa sosok ayah kandung Arka yang sebenarnya, akan tetapi entah kenapa ia se
"Apa?! Model cilik?"Kara tak sadar memekik kencang, kala mendengar tawaran yang tak terduga dari mulut Barra. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria itu, karena bisa-bisanya Barra dengan yakin menjadikan anak lelakinya sebagai model cilik tanpa izin darinya.Bukankah seharusnya pria itu harus bertanya dan meminta izin lebih dulu padanya? Bukan dengan cara yang tiba-tiba menawarkan dirinya sebagai manajer pribadi untuk Arka seperti saat ini.Oh, astaga! Berbicara dengan Barra memang selalu berhasil membuat kepala Kara berdenyut pusing!"Iya, Kara! Aku yakin Arka pasti akan menyukainya kok," sahut Barra enteng, seolah tak menyadari raut kusut yang sudah tergambar jelas di wajah cantik Kara.Dengan memijat kepalanya pelan, Kara bersandar sesaat. Di dalam diamnya, Kara berusaha mencari kata-kata yang tepat agar Barra bisa kembali menimbang keputusan sepihaknya yang tiba-tiba ingin menjadikan Arka seorang model cilik.Menjadi seorang model, memanglah bukan hal yang negatif. Akan tetap
"Huwaa! Bunda! Arka mau mainan yang kemarin!"Pagi ini keributan mulai terjadi di saat Arka terbangun dan menangis ketika menyadari tempelan kulkas yang sempat dimainkannya semalam tak ada. Anak kecil itu terus saja tak berhenti meraung, sebelum melihat benda yang ia inginkan.Kara sudah berusaha mencarinya, karena barangkali mungkin benda itu terjatuh di kolong kasur atau sela-selanya. Namun sayang, hal itu belum juga membuahkan hasil. Entah ke mana benda kecil itu sekarang, sehingga saat ini Arka masih saja menangis dengan piyama tidur bergambar dinosaurus yang baru saja digantinya.Sementara penampilan Kara, tolong jangan ditanyakan lagi. Rambutnya masih kusut seperti layaknya orang yang baru bangun tidur, baju kaos kebesaran yang tengah digunakannya itu juga sudah basah berkat air mata Arka. Dan tak hanya itu saja, dua tangannya sibuk memegangi setumpuk seprai, selimut dan juga pakaian Arka karena semalam anak lelakinya tersebut mengompol lagi.