Setelah beberapa lama mengalami koma, Widya akhirnya sadar juga.“Mas...” Panggil Maudy.“Iya, sayang?”“Cuman mau ngingetin, jangan bahas masalah siapa yang culik atau apa yang Mama alami selama ini, aku cuman takut otak Mama belum siap untuk mengingat kejadian buruk itu.” Ucap Maudy mengingatkan.Arya mengangguk, “Iya, sayang... InsyaAllah Mas akan tahan semua yang ingin Mas tanyakan.” Jawabnya.Maudy dan Arya berjalan cepat menyusuri lorong menuju ruang VVIP di mana Widya dipindahkan. Rasa gugup dan cemas menyelimuti mereka berdua.Saat tiba di depan pintu, Arya menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan membukanya.Di dalam, tampak Widya yang masih terbaring di atas bed pasien, matanya sudah terbuka, menatap langit-langit dengan tatapan lemah.Arya terdiam sejenak, dadanya terasa sesak melihat Ibunya yang dulu begitu kuat kini tampak rapuh. la kemudian berjalan mendekat, sementara Maudy tetap di belakangnya, memberikan ruang bagi Arya untuk lebih dulu mendekati Ibunya yang sudah l
Setelah resepsi pernikahan yang berlangsung meriah, keluarga besar kini berkumpul untuk makan siang bersama di sebuah restoran mewah.Suasana semula tenang, diwarnai obrolan santai antar keluarga. Namun, di sudut meja, ketegangan mulai merayap.Feby memperhatikan anak kecil yang lucu dan ceria, tapi hatinya memanas melihat keakraban Azzam dengan Aditya, suaminya yang baru saja ia nikahi dengan setengah hati.Azzam yang duduk di samping Aditya, tertawa riang sambil memegang perkedel kecil di tangannya.Wajah Aditya pun sedikit lebih lembut saat ia meladeni bocah itu, menyuapi Azzam sesekali sambil berbicara pelan.Sedang Feby yang duduk di seberang meja, berkali-kali menghela napas panjang sambil melirik keduanya. Kecemburuannya semakin besar. Ia menahan diri, tapi akhirnya tak tahan lagi.“Azzam...” Panggil Feby, suaranya terdengar tajam, menarik perhatian orang-orang di seluruh meja. “Kamu kok dari tadi sama Om Aditya terus, sih?! Harusnya kamu sama Tante, dong!” Ucapnya lagi, kesal.
“Ya mau gimana lagi? Mas punya istri secantik dan semenggemaskan kamu. Mana bisa Mas tahan, Sayang... Kalau pun di sini banyak orang, Mas akan tetap cium kamu.” Ujar Arya sambil tersenyum.Maudy menunduk lagi, jantungnya seakan berlari kencang. Meski sudah lama bersama, perlakuan Arya dan perhatian seperti ini masih bisa membuatnya merasa seperti remaja yang baru jatuh cinta. Perasaan malu bercampur dengan bahagia membuatnya tak bisa berkata-kata, hanya senyuman kecil yang terus menghiasi wajahnya.“Sayang, Mas mau minta tolong, boleh?” Tanya Arya suaranya terdengar penuh rayuan. Maudy langsung menangkap nada manja suaminya yang sering kali muncul ketika Arya ingin sesuatu darinya.Maudy menatap Arya, mengangkat alis dengan sedikit curiga tapi tak bisa menahan senyum di sudut bibir. “Tolong apa, Mas?” Tanyanya.Merasa terlalu ada jarak, Arya menggeser duduknya, lebih mendekat ke Maudy, “Hem... Mas pengen kamu yang nyuapin.” Ucapnya penuh harap.“Mas, malu ih... Nanti ada yang liat, k
Di sebuah ruang tamu temaram di Bandung, Feby duduk dengan gelisah. Jari-jarinya terus bergerak, saling bermain di pangkuannya, sementara keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Matanya tertuju ke lantai, tak berani menatap wajah Ayahnya.Haris dengan wajah tegas, duduk di depan Feby. Ekspresi marah dan kecewa terpancar jelas di wajah Haris, garis-garis usia di dahinya semakin terlihat ketika emosinya memuncak. Ia menatap putrinya dengan tatapan marah, seolah tak bisa menerima apa yang baru saja terjadi.“Kenapa kamu lakukan ini, Feby?? Kenapa kamu bikin malu keluarga kita?!” Bentak Haris. Suaranya menggema di ruangan, membuat Feby semakin merunduk takut.Feby menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Ini cuma salah paham, Pa,” Jawabnya lirih.“Salah paham?!” Bentak Haris, suaranya semakin tinggi. “Salah paham sampai kamu digrebek warga?!” Tambahnya menggeram.Haris tak bisa lagi menyembunyikan rasa kecewanya. Bagaimana mungkin putrinya, yang selama in
“Siapkan CT scan!! Kita perlu melihat kondisi otak dan organ dalam pasien secepat mungkin!!” Titah dokter Rian pada perawat.Perawat-perawat yang terlatih dengan cekatan memindahkan Widya ke mesin CT scan yang besar. Sementara itu, Dokter Amri terus memantau kondisi Widya melalui monitor.Sedang Arya berdiri di luar ruangan dengan penuh khawatir, menatap kaca besar yang memperlihatkan Ibunya di dalam mesin itu.Mesin CT scan mulai beroperasi, memindai tubuh Widya dengan sinar X untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi internalnya. Dokter Amri berdiri di depan monitor Iain, melihat hasil yang perlahan-lahan muncul di layar.Setelah beberapa menit, dokter Amri menoleh ke salah satu dokter radiologi yang ada di sebelahnya. “Ada indikasi apa, Dok?” Tanyanya.Dokter itu mengerutkan kening saat memeriksa gambar. “Ada pembengkakan di bagian otak dan beberapa Iuka dalam di hati dan paru-paru pasien. Ini harus segera ditangani!!” Jelasnya.Dokter Amri mengangguk pelan, wajahnya se
Arya segera bangkit. Dengan napas yang tertahan, ia berjalan cepat mendekati dokter. Tubuhnya terasa semakin berat dengan setiap langkah yang ia ambil.“Dok, bagaimana keadaan Mama saya?” Tanya Arya dengan suara yang bergetar.Dokter menghela napas, raut wajahnya tak bisa menyembunyikan keprihatinan.“Kondisi ibu Anda sangat memprihatinkan. Dia mengalami dehidrasi dan malnutrisi yang cukup parah. Kami sudah memberinya cairan infus dan suplemen nutrisi, tapi kondisinya masih sangat lemah. Dia perlu mendapatkan perawatan intensif dan rawat jalan. Apalagi ada beberapa organ yang perlu mendapatkan perawatan ekstra.” Ungkapnya serius.Arya merasa dadanya semakin sesak mendengar penjelasan dokter. “Tapi, dokter... Malam ini kami harus kembali ke Jakarta. Saya bawa Ibu saya ke sini hanya untuk memastikan dia bisa mendapatkan nutrisi yang cukup agar tubuhnya lebih kuat. Kami berencana merawatnya di Jakarta, di rumah sakit yang lebih lengkap!” Jelasnya.“Jika Anda berencana membawa beliau ke J