Pukul 17.00 wib,
setelah minum obat dan istirahat yang cukup, Maudy merasa tubuhnya mulai membaik, bahkan sekarang ia sudah sibuk memasak untuk dirinya sendiri. “Untungnya isi kulkas penuh, jadi aku gak perlu belanja.” Sebenarnya menjadi istri Arya cukup menguntungkan, ia tidak perlu kerja keras untuk mencari uang, namun rasa bersalah pada Kakak madunya terus menghantui pikirannya. Saat Maudy sedang sibuk membuat ayam goreng mentega, juga tumis kangkung, Maudy terlonjak kaget saat merasakan ada yang menggelung rambutnya yang tergerai bebas. “Astaghfirullah hal adzim, Mas... Kamu ngagetin aku tau,” Bagaimana tidak kaget, ia tinggal di apartemen ini sendiri, jadi saat merasakan ada yang memainkan rambutnya, Maudy langsung kaget. “Kalau lagi masak itu rambutnya di ikat, biar gak ganggu,” Maudy melepas dasinya, lalu mengikatkan dasi itu pada rambut panjang Maudy, “Kamu ngapain masak sih, emang kamu udah mendingan??” Tanya Arya, khawatir. Maudy mengangguk pelan, tak berani menatap mata pria di hadapannya itu. Entah kenapa rasanya begitu canggung walaupun sudah pernah tidur bersama. Arya mencoba mengecek suhu tubuh Maudy dengan meletakkan telapak tangan di kening wanita itu, “Syukurlah kalau panasnya udah turun.” “Maudy mau angkat ayamnya dulu, Mas.” Padahal bisa saja masakan itu ditinggal, namun Maudy memang menggunakan kesempatan ini untuk menghindar sementara waktu. “Ya, silahkan,” Jawab Arya, berjalan menuju meja makan. Maudy yang merasa di tatap Arya dibalik meja meja makan, jantung Maudy seketika berdetak tak karuan. Ia mencoba menghilangkan rasa grogi agar tidak terlihat salah tingkah. Setelah itu, Maudy membuatkan teh hangat untuk Arya, lalu membawanya ke meja tersebut, “Di minum dulu, Mas.” Ucapnya setelah meletakkan cangkir tersebut di hadapan Arya. “Hem,” Arya hanya berdehem. “Kondisi istrimu gimana, Mas?” Tanya Maudy, ingin tahu. “Baik,” Jawab Arya, meskipun kondisi Jasmine masih terus memprihatinkan, “Namanya Jasmine... Jadi kamu cukup panggil nama, bukan hanya istriku. Karena bagaimanapun kamu juga istriku.” Maudy cukup terharu. Arya kini mengakuinya sebagai istri? Walaupun istri simpanan. “I-lya, Mas.” Jawab Maudy, lagi-lagi tak menoleh pada Arya. Arya menatap Maudy, “Kamu beneran udah sembuh, kan?” Tanyanya, memastikan. Maudy mengangguk, “lya, Mas, emangnya kenapa?” “Aku ingin mandi bersama denganmu, Maudy...” Ujar Arya. Maudy tercengang. Pria itu ingin mandi bersamanya? °°° Maudy terpaku di ambang pintu kamar mandi, jantungnya berdebar kencang seperti burung pipit yang terperangkap dalam sangkar. Sementara Arya, tengah bersenandung di balik kabut uap yang mengepul dari bathtub. “Maudy, cepetan! Airnya udah anget ini, selain itu, aku gak bisa lama-lama di sini,” panggil Arya, suaranya terdengar samar. Maudy menggigit bibir bawahnya, matanya berkedip-kedip gugup. Ajakan Arya untuk mandi bersama membuatnya berdebar. Bukan karena ia tidak suka, tapi karena ia tahu, ajakan itu pasti berujung pada kegiatan berkeringat, seperti kemarin sore. Rasa ngilu di tubuhnya masih terasa. Saat itu, Arya begitu bersemangat. Dan Maudy, meski sebenarnya belum siap, akhirnya luluh juga. Ia masih ingat bagaimana tubuhnya bergetar, bagaimana rasa sakit bercampur dengan kenikmatan, dan bagaimana ia akhirnya di tinggalkan begitu saja oleh pria itu. “Maudy...” Panggilnya lagi, karena wanita itu belum juga ikut bergabung, “Kamu ngapain? Apa kamu pusing?” Suaranya terdengar sedikit khawatir. Maudy tersentak, buru-buru menggeleng, “Gak apa-apa, Mas. Cuman ini... lagi kelilipan, sebentar,” jawabnya, berusaha terdengar santai. Awalnya ia ingin mengatakan jika dirinya sedang sakit, namun sedetik kemudian ia berubah pikiran karena tidak boleh menolak ajakan suami. “Kalau udah merasa baikan, cepat kemari,” Titah Arya lagi. Dengan tubuh gemetaran, Maudy kemudian melangkah masuk ke kamar mandi. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak beraturan. Arya sudah berada di dalam bathub, tubuhnya tertutup busa sabun yang wangi. Arya tersenyum samar, saat melihat Maudy akhirnya masuk juga, “Ayo sini, Maudy...” Ajaknya lagi, tangan Arya menepuk air di sampingnya. Maudy terdiam sejenak, ragu. Kemudian dengan hati-hati melangkah mendekati Arya. Maudy duduk di tepi bathub, air hangat menyelimuti kakinya, “Em, kamu gak dingin dari tadi berendam, Mas?” Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian. “Enggak, airnya kan hangat,” jawab Arya, matanya yang sayu menatap Maudy, karena hasrat yang belum disalurkan. Sedangkan, Maudy menunduk, pipinya bersemu merah. " “Lepas handuk kamu dan cepat masuk ke dalam sini,” Titah Arya. “I-Iya, Mas.” Maudy dengan tangan gemetar, meraih handuk yang melilit tubuhnya. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. Arya yang masih berendam di bathtub, matanya tertuju pada Maudy. Pria itu tersenyum, matanya berbinar-binar, “Cepat, Maudy,” Titahnya lagi dengan suara terdengar serak, tak sabar. Maudy menunduk lagi, tak ingin Arya melihat pipinya yang merah. Maudy tahu, kini Arya sedang menatap tubuhnya dengan penuh nafsu. Dan Maudy tak bisa menahan rasa gugup yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dengan perlahan, Maudy melepas handuknya. Ia merasakan jantungnya semakin berdebar kencang, tubuhnya terasa panas. Maudy bisa merasakan tatapan Arya yang tak berkedip, menusuk kulit. Arya menelan saliva dengan kasar, matanya terbelalak lebar, tak menyangka jika istri mudanya ini memiliki tubuh yang begitu seksi. Arya baru menyadari sekarang, karena kemarin memang belum terlalu memperhatikannya. Kulit Maudy yang putih bersih, lekuk tubuhnya begitu sempurna, dan bagian atas yang penuh menggoda. “Tubuhmu sangat menggoda, Maudy,” gumam Arya, suaranya semakin berat. Arya menegakkan tubuhnya, tangannya meraih pinggang ramping Maudy, “Aku sudah tidak sabar ingin menyentuhmu...” bisiknya penuh nafsu. Menarik pelan Maudy masuk ke dalam bathtub, hingga akhirnya Maudy terduduk juga di sampingnya. Maudy tak menjawab, wanita itu hanya bisa terdiam dengan mata terpejam. Merasakan tangan Arya yang hangat menelusuri tubuhnya, sentuhan yang lembut tapi penuh gairah. Arya mulai menciumi leher Maudy, kemudian turun ke bahunya. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terhanyut dalam sentuhan sang suami. “Kita lakukan di sini ya,” bisik Arya, suaranya serak. Maudy membuka mata, matanya bertemu dengan mata Arya yang bernafsu. “Aku, eh, aku...” Maudy tergugup, ia tak tahu harus berkata apa. Wanita itu merasa takut, tapi juga sedikit tergoda. Arya tersenyum, senyumnya penuh kemenangan. Arya tahu, jika dirinya akan mendapatkan apa yang pria itu inginkan. “Kamu harus mulai belajar, bagaimana caranya memuaskan suami,” bisik Arya lagi, tangannya mulai merangkak ke tubuh sang istri. Maudy memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terhanyut dalam aliran gairah yang tak tertahankan itu. Maudy tahu, dirinya tidak bisa menolak. Maudy merasa tak akan menyerah pada keinginan Arya. Tapi dia berharap, kali ini tidak akan merasakan rasa sakit seperti pergumulan kemarin. °°° Satu jam kemudian, hawa hangat dan lembap masih menyelimuti tubuh mereka. Arya menggendong Maudy keluar dari kamar mandi. Keringat menempel di kulit, bercampur dengan aroma sabun dan shampo yang samar. Maudy bersandar di dada Arya, kepala menunduk, pipinya memerah malu. Aroma tubuh Arya, yang bercampur dengan aroma tubuhnya sendiri, membuat Maudy merasa melayang. Arya melangkah pelan, kakinya masih sedikit gemetar, seakan masih merasakan sisa-sisa gairah yang baru saja mereda. Arya mencium dalam-dalam pucuk kepala Maudy dengan lembut, “Kamu lelah?” Tanyanya sedikit serak. Maudy mengeratkan pelukannya pada Arya, “Sedikit, Mas,” jawabnya, suaranya lirih. Arya melangkah menuju ranjang, dengan hati-hati menurunkan sang istri di ujung kasur. Maudy terduduk, matanya masih terpejam, mencoba memulihkan keseimbangannya. “Masih ngilu?” tanya Arya, matanya menatap wajah Maudy. Maudy membuka mata, mengerjap pelan, “Se-sedikit Mas,” Suaranya sedikit tergugup. Baru dua kali mereka berhubungan, dan Maudy masih merasa ngilu di area bawahnya. Arya mengelus lembut pipi Maudy, “Sabar ya... Nanti juga hilang sakitnya akan hilang. Kamu mau minum dulu?” Terlalu malu untuk berbicara, Maudy hanya mengangguk lagi, matanya mencoba berani menatap sang suami. Maudy merasa sangat aman dan nyaman di pelukan Arya. Rasa ngilu yang masih terasa di tubuhnya perlahan mereda, tergantikan oleh perasaan bahagia dan tenang. Senyum tipis muncul di wajah Arya yang tampan, pria itu mengambil segelas air putih di nakas dan menyodorkannya ke Maudy, “Minum dulu, biar kamu lebih tenang.” Maudy menerima gelas itu dengan tangan gemetar, matanya masih tertuju pada suaminya. Wanita itu meneguk air putih tersebut dengan perlahan, menikmati rasa dinginnya yang menenangkan. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan mereka. Maudy bersandar di dada Arya, merasakan detak jantung pria itu yang berdebar kencang. Maudy merasa sangat bahagia, terhanyut dalam perasaan cinta dan kasih sayang yang begitu dalam. ‘Mungkin ini gila, Mas. Tapi namamu udah ada di hatiku...’ Maudy membatin, sudah mulai mencintai pria yang memiliki istri itu.Maudy masih duduk di sudut kamar, terbenam dalam halaman-halaman buku peninggalan Jasmine yang penuh dengan catatan dan tulisan tangan.Setiap lembar seolah menceritakan kembali kisah hidup yang tertinggal, menghubungkannya dengan apa yang terjadi.la mengernyitkan kening, wajahnya tampak bingung.‘Kalau Kak Jasmine tau mamanya Mas Arya masih hidup, kenapa dia gak bilang sama Mas Arya? Kenapa dia menyimpan semua kebenaran ini sendiri?’Maudy masih ingat dimana, Arya pernah mengatakan bahwa Ibu pria itu telah tiada. Berarti suaminya memang tidak tahu bahwa Ibu kandungnya sebenarnya masih hidup.‘Kenapa banyak teka-teki seperti ini ya?’ pikirnya, frustasi.Maudy merasa seakan berada di tengah labirin misteri yang membingungkan, dan ia tahu harus memilih langkah berikutnya dengan hati-hati. ‘Aku harus kasih tau Mas Arya atau menyelidiki ini semua dulu ya?’ la menatap halaman-halaman yang tidak hanya berisi kata-kata, tetapi juga rahasia yang bisa mengubah hidup seseorang.Maudy menutup b
“Ka-Karena Azzam bisa cepat istirahat,” Jawab Arya dengan tersenyum kaku, sambil berharap putranya tidak bertanya lebih jauh.Azzam akhirnya hanya mengangguk, seolah menerima alasan itu tanpa terlalu memikirkannya Iagi.“Yuk, sekarang tidur, biar besok pagi Azzam bangun, badannya udah segar!” Maudy menghampiri mereka dan merapikan selimut di atas ranjang.Tidak ingin protes, Azzam naik ke tempat tidur di antara kedua orang tuanya. Membuat Arya sedikit tidak suka.Begitu Azzam naik ke tempat tidur, Arya duduk di tepi ranjang sambil memandangi istri dan anaknya. Namun, ada ide yang tiba-tiba terlintas di kepalanya.“Gimana kalau Mama tidurnya di tengah?” Ucap Arya santai. Di balik kalimatnya, jelas ada harapan tersembunyi, jika Maudy tidur di tengah, ia bisa dengan leluasa memeluk istrinya sepanjang malam, sesuatu yang sangat diinginkannya.Azzam langsung mengerutkan kening, ekspresi bingung muncul di wajahnya. “Terus, Azzam tidulnya di mana?” Tanyanya polos, matanya menatap bergantian
Pukul 17.00 wib,Setelah seharian bekerja di kantor, Arya memutuskan untuk mengunjungi makam Jasmine. Hati Arya terasa berat, mengingat kembali kenangan indah yang pernah terukir bersama mendiang istrinya.“Nggak apa-apa kan Maudy, kita ke makam Jasmine dulu?” Tanya Arya hati-hati.“Nggak apa-apa, Mas. Yuk cepetan keburu malem.” Jawab Maudy santai, sama sekali tak keberatan.Sesampainya di makam, suasana sekeliling terasa tenang. Arya melangkah mendekat, menatap nisan dengan penuh rasa rindu.“Sini, Maudy. Di samping aku!” Ucap Arya sambil menepuk tempat di sampingnya.“Iya, Mas...” Mereka berdua kemudian membaca tahlil, suara mereka bersatu dalam doa, mengharapkan agar Jasmine diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Setiap kata yang terucap membawa rasa tenang, menyampaikan semua yang tak terucap selama ini.Setelah selesai, Arya mengambil bunga yang mereka bawa dan mulai menaburkannya di atas makam. “Kamu tau, Maudy... Sebelum Jasmine meninggal, dia sempat berpesan agar aku membahagi
Aurora tersentak. Ia mencoba membuka suara, meskipun ragu. “Mas... Aku nggak ganggu dia! Dia duluan yang siram aku dengan kuah panas!” Jawabnya membela diri.Arya mendekat, langkahnya mantap dan dingin. “Istriku bukan wanita kasar seperti kamu. Dia nggak mungkin melakukan hal seperti itu!” Bentaknya lagi.“Mas, dia itu ular! Dia pura-pura di depan kamu! Dia_”“DIAMM!!” Bentak Arya, menyela pembicaraan Aurora dengan suara yang bergema, membuat Aurora ersentak mundur. “Kalau kamu berani sentuh istriku lagi, aku akan pastikan Papamu dipecat dari perusahaan ini!!” Tegas Arya, matanya yang tajam tak lepas dari menatap Aurora.Aurora terdiam, kata-kata Arya menghantamnya seperti pukulan keras. Napasnya tercekat, wajahnya memucat. Tak ada lagi yang bisa ia katakan.Arya kemudian berbalik, memeluk Maudy erat-erat, dan melangkah menuju lift tanpa menoleh ke belakang. Suasana tegang masih menyelimuti ruangan, tetapi Aurora tak mampu bergerak atau bersuara.Di pelukan Arya, Maudy menyandarkan k
“Bukannya ini almarhum Mama kandungnya Mas Arya? Jadi mereka saling kenal?” Gumam Maudy sambil mencerna setiap detail yang muncul di layar. Ia menemukan foto-foto Elizabeth di berbagai acara.Maudy merasa semakin terdesak untuk mengumpulkan informasi. Ia melakukan pencarian lebih dalam, menggunakan teknik-teknik peretasan sederhana untuk mencari data yang lebih pribadi, jika ada.“Kok aku curiga ya sama Mama tirinya Mas Arya? Aku yakin dia juga pasti lagi nyiapin rencana jika aku muncul!”Mengingat bagaimana kejamnya Elizabeth pada Jasmine saja sudah menjelaskan bagaimana jahatnya wanita itu.“Apa meninggalnya Mama Mas Arya juga ada campur tangan Mama tirinya ya?” Gumam Maudy lagi, menebak.Saat Maudy menyelidiki lebih dalam mengenai hubungan Elizabeth dengan orang-orang terdekatnya, ia mendapati pesan chat antara Elizabeth dan Aurora. Namun sebelum membukanya, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Arya masuk ke dalam.“Lagi cek pabrik ya?” Tanya Arya, meletakkan tas kerjanya, lalu mengh
Maudy tengah sibuk memasak di dapur, matanya fokus pada panci yang mengepul di depan. Namun, tiba-tiba ia merasakan sepasang lengan kuat melingkari pinggangnya dari belakang.Arya memeluknya erat, tubuh pria itu yang masih basah sehabis mandi menyentuh punggung Maudy. Kehangatan yang tiba-tiba, membuatnya terdiam sejenak, tubuhnya membeku karena terkejut.“Mas...” Ucap Maudy, menoleh sedikit, matanya membelalak saat menyadari Arya hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. “Kamu cuma pakai itu?!”Arya tersenyum penuh arti dan semakin mempererat pelukan. “Aku gak tahan jauh dari kamu,” bisiknya di telinga Maudy, suaranya rendah dan menggoda. Ia menunduk sedikit, menanamkan ciuman kecil di leher istrinya.audy menahan napas, wajah bersemu. Tangannya yang memegang spatula bergetar sedikit. “Mas... Aku lagi masak. Kalau begini, nanti makanannya gosong!” Ucapnya.“Nggak apa-apa, nanti bisa masak lagi... Atau pesen aja!” Jawab Arya, ciumannya semakin menyusuri tengkuk Maudy. Sudah