Pukul 17.00 wib,
setelah minum obat dan istirahat yang cukup, Maudy merasa tubuhnya mulai membaik, bahkan sekarang ia sudah sibuk memasak untuk dirinya sendiri. “Untungnya isi kulkas penuh, jadi aku gak perlu belanja.” Sebenarnya menjadi istri Arya cukup menguntungkan, ia tidak perlu kerja keras untuk mencari uang, namun rasa bersalah pada Kakak madunya terus menghantui pikirannya. Saat Maudy sedang sibuk membuat ayam goreng mentega, juga tumis kangkung, Maudy terlonjak kaget saat merasakan ada yang menggelung rambutnya yang tergerai bebas. “Astaghfirullah hal adzim, Mas... Kamu ngagetin aku tau,” Bagaimana tidak kaget, ia tinggal di apartemen ini sendiri, jadi saat merasakan ada yang memainkan rambutnya, Maudy langsung kaget. “Kalau lagi masak itu rambutnya di ikat, biar gak ganggu,” Maudy melepas dasinya, lalu mengikatkan dasi itu pada rambut panjang Maudy, “Kamu ngapain masak sih, emang kamu udah mendingan??” Tanya Arya, khawatir. Maudy mengangguk pelan, tak berani menatap mata pria di hadapannya itu. Entah kenapa rasanya begitu canggung walaupun sudah pernah tidur bersama. Arya mencoba mengecek suhu tubuh Maudy dengan meletakkan telapak tangan di kening wanita itu, “Syukurlah kalau panasnya udah turun.” “Maudy mau angkat ayamnya dulu, Mas.” Padahal bisa saja masakan itu ditinggal, namun Maudy memang menggunakan kesempatan ini untuk menghindar sementara waktu. “Ya, silahkan,” Jawab Arya, berjalan menuju meja makan. Maudy yang merasa di tatap Arya dibalik meja meja makan, jantung Maudy seketika berdetak tak karuan. Ia mencoba menghilangkan rasa grogi agar tidak terlihat salah tingkah. Setelah itu, Maudy membuatkan teh hangat untuk Arya, lalu membawanya ke meja tersebut, “Di minum dulu, Mas.” Ucapnya setelah meletakkan cangkir tersebut di hadapan Arya. “Hem,” Arya hanya berdehem. “Kondisi istrimu gimana, Mas?” Tanya Maudy, ingin tahu. “Baik,” Jawab Arya, meskipun kondisi Jasmine masih terus memprihatinkan, “Namanya Jasmine... Jadi kamu cukup panggil nama, bukan hanya istriku. Karena bagaimanapun kamu juga istriku.” Maudy cukup terharu. Arya kini mengakuinya sebagai istri? Walaupun istri simpanan. “I-lya, Mas.” Jawab Maudy, lagi-lagi tak menoleh pada Arya. Arya menatap Maudy, “Kamu beneran udah sembuh, kan?” Tanyanya, memastikan. Maudy mengangguk, “lya, Mas, emangnya kenapa?” “Aku ingin mandi bersama denganmu, Maudy...” Ujar Arya. Maudy tercengang. Pria itu ingin mandi bersamanya? °°° Maudy terpaku di ambang pintu kamar mandi, jantungnya berdebar kencang seperti burung pipit yang terperangkap dalam sangkar. Sementara Arya, tengah bersenandung di balik kabut uap yang mengepul dari bathtub. “Maudy, cepetan! Airnya udah anget ini, selain itu, aku gak bisa lama-lama di sini,” panggil Arya, suaranya terdengar samar. Maudy menggigit bibir bawahnya, matanya berkedip-kedip gugup. Ajakan Arya untuk mandi bersama membuatnya berdebar. Bukan karena ia tidak suka, tapi karena ia tahu, ajakan itu pasti berujung pada kegiatan berkeringat, seperti kemarin sore. Rasa ngilu di tubuhnya masih terasa. Saat itu, Arya begitu bersemangat. Dan Maudy, meski sebenarnya belum siap, akhirnya luluh juga. Ia masih ingat bagaimana tubuhnya bergetar, bagaimana rasa sakit bercampur dengan kenikmatan, dan bagaimana ia akhirnya di tinggalkan begitu saja oleh pria itu. “Maudy...” Panggilnya lagi, karena wanita itu belum juga ikut bergabung, “Kamu ngapain? Apa kamu pusing?” Suaranya terdengar sedikit khawatir. Maudy tersentak, buru-buru menggeleng, “Gak apa-apa, Mas. Cuman ini... lagi kelilipan, sebentar,” jawabnya, berusaha terdengar santai. Awalnya ia ingin mengatakan jika dirinya sedang sakit, namun sedetik kemudian ia berubah pikiran karena tidak boleh menolak ajakan suami. “Kalau udah merasa baikan, cepat kemari,” Titah Arya lagi. Dengan tubuh gemetaran, Maudy kemudian melangkah masuk ke kamar mandi. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak beraturan. Arya sudah berada di dalam bathub, tubuhnya tertutup busa sabun yang wangi. Arya tersenyum samar, saat melihat Maudy akhirnya masuk juga, “Ayo sini, Maudy...” Ajaknya lagi, tangan Arya menepuk air di sampingnya. Maudy terdiam sejenak, ragu. Kemudian dengan hati-hati melangkah mendekati Arya. Maudy duduk di tepi bathub, air hangat menyelimuti kakinya, “Em, kamu gak dingin dari tadi berendam, Mas?” Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian. “Enggak, airnya kan hangat,” jawab Arya, matanya yang sayu menatap Maudy, karena hasrat yang belum disalurkan. Sedangkan, Maudy menunduk, pipinya bersemu merah. " “Lepas handuk kamu dan cepat masuk ke dalam sini,” Titah Arya. “I-Iya, Mas.” Maudy dengan tangan gemetar, meraih handuk yang melilit tubuhnya. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. Arya yang masih berendam di bathtub, matanya tertuju pada Maudy. Pria itu tersenyum, matanya berbinar-binar, “Cepat, Maudy,” Titahnya lagi dengan suara terdengar serak, tak sabar. Maudy menunduk lagi, tak ingin Arya melihat pipinya yang merah. Maudy tahu, kini Arya sedang menatap tubuhnya dengan penuh nafsu. Dan Maudy tak bisa menahan rasa gugup yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dengan perlahan, Maudy melepas handuknya. Ia merasakan jantungnya semakin berdebar kencang, tubuhnya terasa panas. Maudy bisa merasakan tatapan Arya yang tak berkedip, menusuk kulit. Arya menelan saliva dengan kasar, matanya terbelalak lebar, tak menyangka jika istri mudanya ini memiliki tubuh yang begitu seksi. Arya baru menyadari sekarang, karena kemarin memang belum terlalu memperhatikannya. Kulit Maudy yang putih bersih, lekuk tubuhnya begitu sempurna, dan bagian atas yang penuh menggoda. “Tubuhmu sangat menggoda, Maudy,” gumam Arya, suaranya semakin berat. Arya menegakkan tubuhnya, tangannya meraih pinggang ramping Maudy, “Aku sudah tidak sabar ingin menyentuhmu...” bisiknya penuh nafsu. Menarik pelan Maudy masuk ke dalam bathtub, hingga akhirnya Maudy terduduk juga di sampingnya. Maudy tak menjawab, wanita itu hanya bisa terdiam dengan mata terpejam. Merasakan tangan Arya yang hangat menelusuri tubuhnya, sentuhan yang lembut tapi penuh gairah. Arya mulai menciumi leher Maudy, kemudian turun ke bahunya. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terhanyut dalam sentuhan sang suami. “Kita lakukan di sini ya,” bisik Arya, suaranya serak. Maudy membuka mata, matanya bertemu dengan mata Arya yang bernafsu. “Aku, eh, aku...” Maudy tergugup, ia tak tahu harus berkata apa. Wanita itu merasa takut, tapi juga sedikit tergoda. Arya tersenyum, senyumnya penuh kemenangan. Arya tahu, jika dirinya akan mendapatkan apa yang pria itu inginkan. “Kamu harus mulai belajar, bagaimana caranya memuaskan suami,” bisik Arya lagi, tangannya mulai merangkak ke tubuh sang istri. Maudy memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terhanyut dalam aliran gairah yang tak tertahankan itu. Maudy tahu, dirinya tidak bisa menolak. Maudy merasa tak akan menyerah pada keinginan Arya. Tapi dia berharap, kali ini tidak akan merasakan rasa sakit seperti pergumulan kemarin. °°° Satu jam kemudian, hawa hangat dan lembap masih menyelimuti tubuh mereka. Arya menggendong Maudy keluar dari kamar mandi. Keringat menempel di kulit, bercampur dengan aroma sabun dan shampo yang samar. Maudy bersandar di dada Arya, kepala menunduk, pipinya memerah malu. Aroma tubuh Arya, yang bercampur dengan aroma tubuhnya sendiri, membuat Maudy merasa melayang. Arya melangkah pelan, kakinya masih sedikit gemetar, seakan masih merasakan sisa-sisa gairah yang baru saja mereda. Arya mencium dalam-dalam pucuk kepala Maudy dengan lembut, “Kamu lelah?” Tanyanya sedikit serak. Maudy mengeratkan pelukannya pada Arya, “Sedikit, Mas,” jawabnya, suaranya lirih. Arya melangkah menuju ranjang, dengan hati-hati menurunkan sang istri di ujung kasur. Maudy terduduk, matanya masih terpejam, mencoba memulihkan keseimbangannya. “Masih ngilu?” tanya Arya, matanya menatap wajah Maudy. Maudy membuka mata, mengerjap pelan, “Se-sedikit Mas,” Suaranya sedikit tergugup. Baru dua kali mereka berhubungan, dan Maudy masih merasa ngilu di area bawahnya. Arya mengelus lembut pipi Maudy, “Sabar ya... Nanti juga hilang sakitnya akan hilang. Kamu mau minum dulu?” Terlalu malu untuk berbicara, Maudy hanya mengangguk lagi, matanya mencoba berani menatap sang suami. Maudy merasa sangat aman dan nyaman di pelukan Arya. Rasa ngilu yang masih terasa di tubuhnya perlahan mereda, tergantikan oleh perasaan bahagia dan tenang. Senyum tipis muncul di wajah Arya yang tampan, pria itu mengambil segelas air putih di nakas dan menyodorkannya ke Maudy, “Minum dulu, biar kamu lebih tenang.” Maudy menerima gelas itu dengan tangan gemetar, matanya masih tertuju pada suaminya. Wanita itu meneguk air putih tersebut dengan perlahan, menikmati rasa dinginnya yang menenangkan. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan mereka. Maudy bersandar di dada Arya, merasakan detak jantung pria itu yang berdebar kencang. Maudy merasa sangat bahagia, terhanyut dalam perasaan cinta dan kasih sayang yang begitu dalam. ‘Mungkin ini gila, Mas. Tapi namamu udah ada di hatiku...’ Maudy membatin, sudah mulai mencintai pria yang memiliki istri itu.Tiba-tiba, ponsel Arya yang terletak di nakas berbunyi. Nada deringnya yang khas, sebuah lagu romantis yang sering ia dengarkan bersama Jasmine, membuat Maudy tersentak, kembali ke kenyataan. Arya mengernyit, melihat layar ponselnya. “Istriku menelepon,” gumamnya, nada suaranya berubah, sedikit gugup. Maudy menunduk, hatinya mulai berdesir. Ia tahu, itu istri pertama suaminya, adalah sosok yang sangat penting dalam hidup Arya. Jasmine adalah wanita yang telah menemani Arya selama bertahun-tahun, wanita yang telah memberikannya cinta, kasih sayang, pada pria di sampingnya. “Saya angkat telepon dulu, kamu diam jangan bersuara!” Tegas Arya, namun ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di dalamnya. Maudy mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Entah apakah dia sudah mulai merasa cemburu atau bagaimana. Ia tahu, prioritas Arya adalah Jasmine, dan pria itu tidak ingin istri pertamanya tahu jika sedang bersama Maudy. Maudy juga tidak protes karena tidak ingin menjadi penyebab keretakan
“Karena aku gak mau kalau sampai Mas jajan di luar sana! Bagaimana pun juga, aku gak mau nyiksa hasrat Mas. Aku gak bisa melayani Mas dan juga gak bisa memberikan anak. Jadi, aku mohon menikahlah lagi, Mas!” Pinta Jasmine. Arya terdiam, hatinya merasa bersalah. Ia merasa sangat bersyukur memiliki istri seperti Jasmine, yang begitu tulus mencintainya dan selalu mengutamakan kebahagiaannya. Arya merasa terharu dengan pengorbanan Jasmine, yang rela melepaskan kebahagiaan wanita itu demi kebahagiaan Arya. “Jasmine...” Arya tidak bisa berkata apa-apa. Merasa sulit untuk menjelaskan bahwa saat ini ia sudah menikah lagi. Namun Arya takut jika istrinya itu sebenarnya tidak siap bahkan nanti malah membuat sakit wanita itu semakin parah. “Aku mohon, Mas... Mas nikah lagi ya! Aku akan bahagia melihat Mas bahagia, asal Mas menikah dengan wanita yang juga mau menerimaku sebagai kakak madunya!” Jelas Jasmine. “Mas akan memikirkan semuanya dulu, sayang.” Jasmine mengangguk, air matanya terus m
“Mas...” Panggil Maudy. Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh makna. Pria itu kemudian ikut masuk ke dalam bathtub. Air hangat membasahi tubuh keduanya, menciptakan suasana yang menggoda. Maudy yang awalnya gugup, mulai merasakan sensasi yang berbeda. Arya dengan tangannya yang hangat, menelusuri lekuk tubuh wanita itu. Maudy yang awalnya menolak, mulai merasakan ketertarikan yang sama. “Mas, stop! Jangan ke bawah!” Maudy mencegah tangan Arya yang hampir menyentuh area miliknya. “Kenapa?” Suara Arya terdengar semakin berat, gairahnya sudah memuncak. “A-Aku lagi datang bulan,” Jawab Maudy sedikit tersengal. Arya dengan tubuh yang bergetar karena hasrat, menatap Maudy dalam-dalam. Uap air hangat mengepul, membasahi kulit istri mudanya itu, semakin menonjolkan lekuk tubuh Maudy yang indah. Arya merasakan tubuhnya panas, napasnya tersengal-sengal. la merasakan sebuah gelombang keinginan yang tak tertahankan, menyerbu dirinya. “Maudy, saya_” Arya terdiam, kata-kata yang ingin i
~SUPERMARKET~Maudy mengambil sebuah troli dan mulai berkeliling, mencari bahan makanan yang dibutuhkan.Maudy mengambil beras yang cukup untuk dirinya selama satu bulan. Setelah itu, ia mengambil beberapa kotak telur ayam. Kemudian beralih ke bagian sayur dan buah, memilih beberapa jenis sayuran hijau dan buah lainnya.Tidak lupa Maudy mengambil beberapa jenis cemilan, juga beberapa minuman.Setelah merasa sudah lengkap, Maudy mendorong troli menuju kasir. Wanita itu menata barang-barang belanjaannya dengan rapi, menunggu giliran untuk membayar.Saat Maudy tengah mengantri, tatapannya terhenti pada seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah pucat pasi. Maudy mengenal wanita itu, Jasmine seseorang yang ia temui di rumah sakit waktu itu.Sementara itu_Jasmine begitu terlihat lemah, tangan wanita itu gemetar, dan keringat dingin menetes di kening. Di samping Jasmine, terdapat seorang asisten rumah tangga dengan wajah panik. “Kan saya sudah bilang, Nyonya. Nyonya jangan ikut,
Pukul 19.00 wib,Maudy tengah membuat bubur di dapur untuk Jasmine. Sesekali gadis itu mencicipi rasanya, memastikan bubur yang dibuatnya tidak terlalu hambar atau terlalu asin.“Semoga Kak Jasmine suka,” gumamnya sambil tersenyum.Setelah bubur matang, Maudy menuangkannya ke dalam mangkuk. Berjalan keluar menghampiri Jasmine yang tengah beristirahat di kamar.“Kak, buburnya udah jadi. Ini Mudy bikinin khusus buat kakak,” Ucap Maudy tersenyum.Jasmine membuka matanya perlahan, menatap gadis itu, “Makasih, Maudy. Kamu baik banget.”Maudy dengan cekatan membantu Jasmine duduk bersandar, lalu menyuapi Jasmine dengan hati-hati. Jasmine menikmati bubur yang dibuat Maudy dengan Iahap. Membuat gadis itu merasa senang.“Enak gak, kak?” Tanya Maudy menatap wanita di depannya itu, berharap Jasmine suka bubur buatannya.“Hu'um, enak banget.” Jawab Jasmine manggut-manggut sambil mengunyah.Maudy seketika tersenyum senang melihat Jasmine makan bubur itu dengan lahap.Jasmine menghabiskan bubur bu
“Mas Arya?” Ulang Maudy, membuat Jasmine menoleh. “Nama suami kakak, Arya??” “lya, kenapa?” “Namanya mirip dengan suami aku, kak.” Jawab Maudy apa adanya. “Wah, serius? Kebetulan banget ya.” Jawab Jasmine, tak curiga sama sekali. “Iya, Kak... Maudy yakin kakak pasti sembuh, dan kakak bisa menjalani rumah tangga seperti awal menikah dengan suami kakak.” Maudy merasa iba melihat Jasmine yang terlihat merasa bersalah pada suami wanita itu, padahal ini semua juga bukan kemauan Jasmine. “Itu semua gak mungkin, Maudy. Karena sakit yang kakak alami udah stadium akhir. Bisa dibilang kakak hanya tinggal menunggu waktu.” Ungkap Jasmine dengan mata berkaca-kaca, bayangan dirinya pergi sebelum melihat suaminya menikah lagi rasanya begitu berat. “Kakak jangan ngomong gitu, kita baru kenal bahkan baru beberapa hari bersama. Maudy ingin terus mengenal kak Jasmine dan menghabiskan waktu bersama.” Maudy memeluk Jasmine, rasanya tidak mau berpisah dengan wanita itu. Walaupun yang namanya kematian
“Arya, kamu mau kemana? Kita belum selesai makan,” Tanya Andika. “Aku gak mau makan di sini lagi. Aku mau pulang saja!!” Kekeuh Arya, muak. “Arya, jangan marah-marah. Kita kan cuma mau bersenang-senang,” Tambah Rian, mencoba merayu sahabatnya itu. Arya mengerutkan kening, “Bersenang-senang? Dengan cara seperti ini?” Tanyanya tergelak sinis. “Kalian berdua sudah gila!!” Bentak Arya, makin geram. “Aku gak mau lagi ngobrol sama kalian. Aku mau pulang!!” “Arya, udah lah... Kita itu kasian sama kamu. Lagian kamu ngapain masih mempertahankan dan setia sama wanita penyakitan begitu, mending cari hiburan. Tenang, wanita-wanita di sini sangat pandai memuaskan kita.” Kata-kata Rian menusuk di telinga Arya seperti belati. Darah di tubuhnya seketika mendidih, amarah yang selama ini dipendam meledak. Arya menarik kemeja Andika dengan kasar, matanya menatap tajam sahabatnya itu. “Kamu boleh menghinaku sepuasmu, tapi jika istriku yang kamu hina dan kamu rendahkan, AKU GAK AKAN TINGGAL DIAM!
°°° Maudy dan Jasmine tengah asyik menata bunga-bunga aneka warna di atas meja kayu di taman belakang rumah. Maudy dengan gamis panjangnya yang berwarna coklat, tampak serius memilih bunga-bunga mawar merah dan putih, menata dengan hati-hati. Sementara Jasmine, dengan senyum cerianya, sibuk merangkai bunga-bunga lavender dan daisy menjadi bentuk-bentuk unik. “Kak, bunga ini bagus buat di tengahnya gak, ya?” Tanya Maudy, menunjukkan tangkai bunga lili putih yang mekar sempurna. “lya, Maudy. Warnanya cantik, pas banget buat kontras dengan bunga-bunga lainnya.” Keduanya tertawa lepas, saling bertukar ide dan membantu satu sama lain, membuat suasana taman terasa lebih hangat dan penuh cinta. Saat keduanya masih sibuk menatap bunga. Dari arah gerbang, muncul seorang wanita paruh baya dengan langkah lebar dan angkuh. Tas bermerek mahal tergantung di tangannya, seakan menandakan statusnya yang tinggi. Tatapannya tajam, matanya menyiratkan keangkuhan yang tak terselubung. Wanita itu ad
°°° Maudy dan Jasmine tengah asyik menata bunga-bunga aneka warna di atas meja kayu di taman belakang rumah. Maudy dengan gamis panjangnya yang berwarna coklat, tampak serius memilih bunga-bunga mawar merah dan putih, menata dengan hati-hati. Sementara Jasmine, dengan senyum cerianya, sibuk merangkai bunga-bunga lavender dan daisy menjadi bentuk-bentuk unik. “Kak, bunga ini bagus buat di tengahnya gak, ya?” Tanya Maudy, menunjukkan tangkai bunga lili putih yang mekar sempurna. “lya, Maudy. Warnanya cantik, pas banget buat kontras dengan bunga-bunga lainnya.” Keduanya tertawa lepas, saling bertukar ide dan membantu satu sama lain, membuat suasana taman terasa lebih hangat dan penuh cinta. Saat keduanya masih sibuk menatap bunga. Dari arah gerbang, muncul seorang wanita paruh baya dengan langkah lebar dan angkuh. Tas bermerek mahal tergantung di tangannya, seakan menandakan statusnya yang tinggi. Tatapannya tajam, matanya menyiratkan keangkuhan yang tak terselubung. Wanita itu ad
“Arya, kamu mau kemana? Kita belum selesai makan,” Tanya Andika. “Aku gak mau makan di sini lagi. Aku mau pulang saja!!” Kekeuh Arya, muak. “Arya, jangan marah-marah. Kita kan cuma mau bersenang-senang,” Tambah Rian, mencoba merayu sahabatnya itu. Arya mengerutkan kening, “Bersenang-senang? Dengan cara seperti ini?” Tanyanya tergelak sinis. “Kalian berdua sudah gila!!” Bentak Arya, makin geram. “Aku gak mau lagi ngobrol sama kalian. Aku mau pulang!!” “Arya, udah lah... Kita itu kasian sama kamu. Lagian kamu ngapain masih mempertahankan dan setia sama wanita penyakitan begitu, mending cari hiburan. Tenang, wanita-wanita di sini sangat pandai memuaskan kita.” Kata-kata Rian menusuk di telinga Arya seperti belati. Darah di tubuhnya seketika mendidih, amarah yang selama ini dipendam meledak. Arya menarik kemeja Andika dengan kasar, matanya menatap tajam sahabatnya itu. “Kamu boleh menghinaku sepuasmu, tapi jika istriku yang kamu hina dan kamu rendahkan, AKU GAK AKAN TINGGAL DIAM!
“Mas Arya?” Ulang Maudy, membuat Jasmine menoleh. “Nama suami kakak, Arya??” “lya, kenapa?” “Namanya mirip dengan suami aku, kak.” Jawab Maudy apa adanya. “Wah, serius? Kebetulan banget ya.” Jawab Jasmine, tak curiga sama sekali. “Iya, Kak... Maudy yakin kakak pasti sembuh, dan kakak bisa menjalani rumah tangga seperti awal menikah dengan suami kakak.” Maudy merasa iba melihat Jasmine yang terlihat merasa bersalah pada suami wanita itu, padahal ini semua juga bukan kemauan Jasmine. “Itu semua gak mungkin, Maudy. Karena sakit yang kakak alami udah stadium akhir. Bisa dibilang kakak hanya tinggal menunggu waktu.” Ungkap Jasmine dengan mata berkaca-kaca, bayangan dirinya pergi sebelum melihat suaminya menikah lagi rasanya begitu berat. “Kakak jangan ngomong gitu, kita baru kenal bahkan baru beberapa hari bersama. Maudy ingin terus mengenal kak Jasmine dan menghabiskan waktu bersama.” Maudy memeluk Jasmine, rasanya tidak mau berpisah dengan wanita itu. Walaupun yang namanya kematian
Pukul 19.00 wib,Maudy tengah membuat bubur di dapur untuk Jasmine. Sesekali gadis itu mencicipi rasanya, memastikan bubur yang dibuatnya tidak terlalu hambar atau terlalu asin.“Semoga Kak Jasmine suka,” gumamnya sambil tersenyum.Setelah bubur matang, Maudy menuangkannya ke dalam mangkuk. Berjalan keluar menghampiri Jasmine yang tengah beristirahat di kamar.“Kak, buburnya udah jadi. Ini Mudy bikinin khusus buat kakak,” Ucap Maudy tersenyum.Jasmine membuka matanya perlahan, menatap gadis itu, “Makasih, Maudy. Kamu baik banget.”Maudy dengan cekatan membantu Jasmine duduk bersandar, lalu menyuapi Jasmine dengan hati-hati. Jasmine menikmati bubur yang dibuat Maudy dengan Iahap. Membuat gadis itu merasa senang.“Enak gak, kak?” Tanya Maudy menatap wanita di depannya itu, berharap Jasmine suka bubur buatannya.“Hu'um, enak banget.” Jawab Jasmine manggut-manggut sambil mengunyah.Maudy seketika tersenyum senang melihat Jasmine makan bubur itu dengan lahap.Jasmine menghabiskan bubur bu
~SUPERMARKET~Maudy mengambil sebuah troli dan mulai berkeliling, mencari bahan makanan yang dibutuhkan.Maudy mengambil beras yang cukup untuk dirinya selama satu bulan. Setelah itu, ia mengambil beberapa kotak telur ayam. Kemudian beralih ke bagian sayur dan buah, memilih beberapa jenis sayuran hijau dan buah lainnya.Tidak lupa Maudy mengambil beberapa jenis cemilan, juga beberapa minuman.Setelah merasa sudah lengkap, Maudy mendorong troli menuju kasir. Wanita itu menata barang-barang belanjaannya dengan rapi, menunggu giliran untuk membayar.Saat Maudy tengah mengantri, tatapannya terhenti pada seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah pucat pasi. Maudy mengenal wanita itu, Jasmine seseorang yang ia temui di rumah sakit waktu itu.Sementara itu_Jasmine begitu terlihat lemah, tangan wanita itu gemetar, dan keringat dingin menetes di kening. Di samping Jasmine, terdapat seorang asisten rumah tangga dengan wajah panik. “Kan saya sudah bilang, Nyonya. Nyonya jangan ikut,
“Mas...” Panggil Maudy. Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh makna. Pria itu kemudian ikut masuk ke dalam bathtub. Air hangat membasahi tubuh keduanya, menciptakan suasana yang menggoda. Maudy yang awalnya gugup, mulai merasakan sensasi yang berbeda. Arya dengan tangannya yang hangat, menelusuri lekuk tubuh wanita itu. Maudy yang awalnya menolak, mulai merasakan ketertarikan yang sama. “Mas, stop! Jangan ke bawah!” Maudy mencegah tangan Arya yang hampir menyentuh area miliknya. “Kenapa?” Suara Arya terdengar semakin berat, gairahnya sudah memuncak. “A-Aku lagi datang bulan,” Jawab Maudy sedikit tersengal. Arya dengan tubuh yang bergetar karena hasrat, menatap Maudy dalam-dalam. Uap air hangat mengepul, membasahi kulit istri mudanya itu, semakin menonjolkan lekuk tubuh Maudy yang indah. Arya merasakan tubuhnya panas, napasnya tersengal-sengal. la merasakan sebuah gelombang keinginan yang tak tertahankan, menyerbu dirinya. “Maudy, saya_” Arya terdiam, kata-kata yang ingin i
“Karena aku gak mau kalau sampai Mas jajan di luar sana! Bagaimana pun juga, aku gak mau nyiksa hasrat Mas. Aku gak bisa melayani Mas dan juga gak bisa memberikan anak. Jadi, aku mohon menikahlah lagi, Mas!” Pinta Jasmine. Arya terdiam, hatinya merasa bersalah. Ia merasa sangat bersyukur memiliki istri seperti Jasmine, yang begitu tulus mencintainya dan selalu mengutamakan kebahagiaannya. Arya merasa terharu dengan pengorbanan Jasmine, yang rela melepaskan kebahagiaan wanita itu demi kebahagiaan Arya. “Jasmine...” Arya tidak bisa berkata apa-apa. Merasa sulit untuk menjelaskan bahwa saat ini ia sudah menikah lagi. Namun Arya takut jika istrinya itu sebenarnya tidak siap bahkan nanti malah membuat sakit wanita itu semakin parah. “Aku mohon, Mas... Mas nikah lagi ya! Aku akan bahagia melihat Mas bahagia, asal Mas menikah dengan wanita yang juga mau menerimaku sebagai kakak madunya!” Jelas Jasmine. “Mas akan memikirkan semuanya dulu, sayang.” Jasmine mengangguk, air matanya terus m
Tiba-tiba, ponsel Arya yang terletak di nakas berbunyi. Nada deringnya yang khas, sebuah lagu romantis yang sering ia dengarkan bersama Jasmine, membuat Maudy tersentak, kembali ke kenyataan. Arya mengernyit, melihat layar ponselnya. “Istriku menelepon,” gumamnya, nada suaranya berubah, sedikit gugup. Maudy menunduk, hatinya mulai berdesir. Ia tahu, itu istri pertama suaminya, adalah sosok yang sangat penting dalam hidup Arya. Jasmine adalah wanita yang telah menemani Arya selama bertahun-tahun, wanita yang telah memberikannya cinta, kasih sayang, pada pria di sampingnya. “Saya angkat telepon dulu, kamu diam jangan bersuara!” Tegas Arya, namun ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di dalamnya. Maudy mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Entah apakah dia sudah mulai merasa cemburu atau bagaimana. Ia tahu, prioritas Arya adalah Jasmine, dan pria itu tidak ingin istri pertamanya tahu jika sedang bersama Maudy. Maudy juga tidak protes karena tidak ingin menjadi penyebab keretakan
Pukul 17.00 wib, setelah minum obat dan istirahat yang cukup, Maudy merasa tubuhnya mulai membaik, bahkan sekarang ia sudah sibuk memasak untuk dirinya sendiri. “Untungnya isi kulkas penuh, jadi aku gak perlu belanja.” Sebenarnya menjadi istri Arya cukup menguntungkan, ia tidak perlu kerja keras untuk mencari uang, namun rasa bersalah pada Kakak madunya terus menghantui pikirannya. Saat Maudy sedang sibuk membuat ayam goreng mentega, juga tumis kangkung, Maudy terlonjak kaget saat merasakan ada yang menggelung rambutnya yang tergerai bebas. “Astaghfirullah hal adzim, Mas... Kamu ngagetin aku tau,” Bagaimana tidak kaget, ia tinggal di apartemen ini sendiri, jadi saat merasakan ada yang memainkan rambutnya, Maudy langsung kaget. “Kalau lagi masak itu rambutnya di ikat, biar gak ganggu,” Maudy melepas dasinya, lalu mengikatkan dasi itu pada rambut panjang Maudy, “Kamu ngapain masak sih, emang kamu udah mendingan??” Tanya Arya, khawatir. Maudy mengangguk pelan, tak berani men