Tak berselang lama, wanita itu tiba di rumah sakit, Maudy segera menuju area pendaftaran untuk mendaftarkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia mengisi formulir dan menyerahkan berkas yang diperlukan.
Setelah selesai, Maudy duduk di ruang tunggu. Saat sedang duduk di ruang tunggu, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang duduk di kursi roda. Wajah wanita itu begitu pucat, seolah kehilangan segenap warna. Maudy merasa simpati melihat keadaan wanita itu, apalagi tidak terlihat ada orang disekelilingnya. Maudy memutuskan untuk mendekati wanita itu, karena melihat ingin minum dari botol tapi kesusahan. “Biar aku bantu bukain, Kak.” Ucap Maudy, mengambil botol minum dari tangan wanita tersebut. Wanita itu menatap Maudy dengan sorot mata lelah, namun senyuman kecil terukir di bibirnya, “Terima kasih, maaf merepotkan,” jawab wanita itu pelan. Setelah berhasil membuka botol minum tersebut, Maudy meletakkan sedotan agar wanita itu mudah untuk meminumnya. “Kakak sendirian?” Tanyanya ingin tahu. “Kakak ditemenin sama suami, tapi dia lagi nerima telepon. Oh ya, nama kamu siapa?” “Aku Maudy, nama Kakak siapa?” Melihat wanita itu berkeringat, Maudy dengan sigap mengambil tisu, lalu mengusapkan keringat yang ada di wajah wanita di sampingnya. “Aku Jasmine,” Jawabnya tersenyum manis, melihat bagiamana perhatiannya Maudy, membuat pikiran Jasmine melayang begitu jauh, “Apa kamu udah menikah?” Mendengar pertanyaan itu, Maudy terdiam sejenak. Bingung mau menjawab apa, “U-Udah, Kak.” Mengetahui Maudy sudah menikah, mimik wajah Jasmine berubah cemberut. Padahal jika wanita yang menolongnya ini belum menikah, Jasmine ingin mengenalkan Maudy pada Arya-suaminya. Saat Maudy dan Jasmine tengah terlibat dalam percakapan hangat, terdengar suara perawat yang memanggil nama “Jasmine Meira...” Maudy memperhatikan Jasmine yang dengan hati-hati menjawab panggilan perawat tersebut, “Saya, Sus,” Jawab Jasmine sembari menaikkan tangannya. “lbu Jasmine datang sendiri? Suaminya tumben gak ikut?” Tanya perawat, bingung. Perawat itu mengenali Jasmine dan Arya sebagai pasien tetap di rumah sakit. Bahkan perawat itu memberikan julukan pasangan paling romantis, karena Arya yang selalu setia menemani Jasmine. “Suamiku ikut kok, Sus. Tapi sedang ada urusan sebentar,” Jawab Jasmine sambil tersenyum ramah, menjelaskan keberadaan Arya yang sedang sibuk. “Kalau begitu, izinkan saya membantu dorong kursi rodanya.” Ucap sang perawat, meminta izin. Sebelum pergi, Jasmine menoleh ke arah Maudy dengan senyuman hangat, “Aku masuk dulu, ya,” Ujar Jasmine memberitahu dengan lembut. “lya, Kak,” balas Maudy sambil memberikan senyuman yang sama. Mereka saling bertukar pandang sejenak, sebelum Jasmine melanjutkan perjalanannya bersama perawat. Tak lama setelah Jasmine masuk, giliran Maudy yang dipanggil oleh perawat. Maudy mengikuti perawat dengan langkah ringan menuju ruangan dokter. Maudy yang tak menyadari, jika pada saat yang bersamaan, Arya kembali ke ruang tunggu setelah menyelesaikan urusannya. Keduanya melewatkan satu sama lain tanpa menyadari keberadaan masing-masing, terpisah oleh ruang dan waktu yang terus bergerak tanpa henti. Sepuluh menit telah berlalu sejak Jasmine keluar dari ruang konsultasi, didampingi oleh Arya yang selalu setia mendorong kursi rodanya. “Mas, tadi aku bertemu dengan wanita cantik, orangnya sangat baik. Awalnya aku ingin mengenalkannya pada Mas Arya, tapi sayangnya dia udah menikah,” Ungkap Jasmine, wajahnya terlihat cemberut. Karena Jasmine begitu sayang wanita sebaik Maudy, walaupun baru pertama kali bertemu. Jasmine ingin Maudy bersanding dengan Arya bukan pria lain. “Kamu ngapain sibuk mikirin Mas terus, sayang? Mas udah sering bilang, fokus aja pada kesehatan kamu itu,” Arya benar-benar heran, kenapa Jasmine begitu ingin dirinya menikah lagi? Padahal banyak wanita diluar sana yang melarang suaminya melakukan hal seperti itu. “Karena aku sadar posisi dan keadaanku, Mas. Aku benar-benar ikhlas, kalau Mas Arya nikah lagi...” Jawab Jasmine, tak merasa ragu. “Udah, udah... Gak usah aneh-aneh, lebih baik kita ke mobil sekarang.” Setelah mengantarkan Jasmine masuk ke dalam mobil, Arya memutuskan untuk menuju apotik, ingin mengambil obat yang dianjurkan dokter. Namun, matanya seketika terbelalak saat melihat kehadiran Maudy di sana, berdiri dengan tenang di antara keramaian rumah sakit. Arya bergegas menghampiri istri simpanannya itu. “Maudy, kamu ngapain di sini?” tanya Arya, terkejut dan bingung saat pria itu sudah berdiri di samping wanita yang baru kemarin menjadi istrinya. Maudy yang mendengar suara lelaki yang tak asing di telinganya, menoleh dengan ekspresi terkejut. Maudy juga kaget melihat Arya di sana, apakah suaminya ini sedang sakit juga? Melihat wajah istri mudanya begitu pucat, Arya jadi khawatir, “Kamu sakit?” Tanyanya dengan panik, sambil mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh Maudy, “Badan kamu panas Maudy, sejak kapan?” Sambung Arya, ingin lebih tahu. “Habis sholat subuh, Mas,” jawab Maudy dengan suara lemah, mencoba menjelaskan kondisinya kepada Arya. Wanita itu sejak tadi menunduk, karena tidak berani menatap wajah Arya. Maudy kembali teringat dengan ucapan pria itu, dimana jika di luar apartemen berlagak tidak memiliki hubungan apapun. Arya mengerutkan kening, merasa heran, mengapa kedua istrinya bisa sakit pada waktu yang sama, “Kamu ke sini sama siapa?” tanyanya lagi, mencoba memahami situasi yang tak terduga ini. “Sendiri, Mas. Naik taksi,” jawab Maudy dengan singkat, “Mas sendiri di sini ngapain? Sakit juga?” Tanya Maudy balik. “Bukan aku yang sakit, tapi istriku.” Mendengar jawaban Arya, Maudy menggigit bibir bawahnya, ada rasa yang sulit untuk dijelaskan. Apakah dia mulai cemburu? Tapi memang mendengar Arya mengatakan hal itu, perasaannya jadi tidak menentu. ‘Bukankah aku juga istrimu, Mas?’ Ingin sekali Maudy mengatakan hal itu, namun sadar jika dia dinikahi hanya sebagai alat pembayaran hutang. Selain itu, dia juga hanya istri kedua yang tidak boleh merasa cemburu pada Kakak madunya. “Maudy Ameera!” Panggil penjaga apotek, karena obat milik Maudy selesai disiapkan. “Maudy pergi dulu, Mas. Assalamu'alaikum...” Pamit Maudy, tersenyum kecil. Mencoba menunjukkan sikap yang sopan dan ramah pada Arya, meskipun hatinya terasa begitu sakit. “Wa'alaikumsalam,” balas Arya sambil mengulurkan tangannya, namun Maudy sudah lebih dulu pergi dari tempat itu, meninggalkan Arya yang terdiam, terpaku dalam kebingungan dan keheningan yang menghantui pikirannya. ‘Walaupun Maudy juga sakit, tapi dia masih bisa berjalan kemana-mana sendiri, sedangkan Jasmine berbeda. Jadi aku gak perlu merasa bersalah,’ Batin Arya, mencoba meyakinkan diri sendiri, bahwa keputusannya untuk fokus pada kesehatan Jasmine adalah yang terbaik. Setelah selesai mengambil obat, Maudy segera melangkah menuju taksi yang telah dia pesan sebelumnya. Dengan hati yang berdebar kencang, Maudy memasuki taksi dan langsung duduk di kursi belakang. Maudy memejamkan mata perlahan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup tak karuan. “Ya Allah, rasa cinta ini memang belum ada, tapi sakitnya udah mulai terasa,” Lirih Maudy, sambil mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. Wanita itu berusaha keras untuk menahan tangisnya, menyadari bahwa dirinya harus tetap kuat dan tidak boleh larut dalam kesedihan. ‘Aku gak boleh nangis, kamu harus tetap sadar di mana posisi kamu sebenarnya Maudy!’ Batin Maudy, mencoba menguatkan diri. °°°°Aurora tersentak. Ia mencoba membuka suara, meskipun ragu. “Mas... Aku nggak ganggu dia! Dia duluan yang siram aku dengan kuah panas!” Jawabnya membela diri.Arya mendekat, langkahnya mantap dan dingin. “Istriku bukan wanita kasar seperti kamu. Dia nggak mungkin melakukan hal seperti itu!” Bentaknya lagi.“Mas, dia itu ular! Dia pura-pura di depan kamu! Dia_”“DIAMM!!” Bentak Arya, menyela pembicaraan Aurora dengan suara yang bergema, membuat Aurora ersentak mundur. “Kalau kamu berani sentuh istriku lagi, aku akan pastikan Papamu dipecat dari perusahaan ini!!” Tegas Arya, matanya yang tajam tak lepas dari menatap Aurora.Aurora terdiam, kata-kata Arya menghantamnya seperti pukulan keras. Napasnya tercekat, wajahnya memucat. Tak ada lagi yang bisa ia katakan.Arya kemudian berbalik, memeluk Maudy erat-erat, dan melangkah menuju lift tanpa menoleh ke belakang. Suasana tegang masih menyelimuti ruangan, tetapi Aurora tak mampu bergerak atau bersuara.Di pelukan Arya, Maudy menyandarkan k
“Bukannya ini almarhum Mama kandungnya Mas Arya? Jadi mereka saling kenal?” Gumam Maudy sambil mencerna setiap detail yang muncul di layar. Ia menemukan foto-foto Elizabeth di berbagai acara.Maudy merasa semakin terdesak untuk mengumpulkan informasi. Ia melakukan pencarian lebih dalam, menggunakan teknik-teknik peretasan sederhana untuk mencari data yang lebih pribadi, jika ada.“Kok aku curiga ya sama Mama tirinya Mas Arya? Aku yakin dia juga pasti lagi nyiapin rencana jika aku muncul!”Mengingat bagaimana kejamnya Elizabeth pada Jasmine saja sudah menjelaskan bagaimana jahatnya wanita itu.“Apa meninggalnya Mama Mas Arya juga ada campur tangan Mama tirinya ya?” Gumam Maudy lagi, menebak.Saat Maudy menyelidiki lebih dalam mengenai hubungan Elizabeth dengan orang-orang terdekatnya, ia mendapati pesan chat antara Elizabeth dan Aurora. Namun sebelum membukanya, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Arya masuk ke dalam.“Lagi cek pabrik ya?” Tanya Arya, meletakkan tas kerjanya, lalu mengh
Maudy tengah sibuk memasak di dapur, matanya fokus pada panci yang mengepul di depan. Namun, tiba-tiba ia merasakan sepasang lengan kuat melingkari pinggangnya dari belakang.Arya memeluknya erat, tubuh pria itu yang masih basah sehabis mandi menyentuh punggung Maudy. Kehangatan yang tiba-tiba, membuatnya terdiam sejenak, tubuhnya membeku karena terkejut.“Mas...” Ucap Maudy, menoleh sedikit, matanya membelalak saat menyadari Arya hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. “Kamu cuma pakai itu?!”Arya tersenyum penuh arti dan semakin mempererat pelukan. “Aku gak tahan jauh dari kamu,” bisiknya di telinga Maudy, suaranya rendah dan menggoda. Ia menunduk sedikit, menanamkan ciuman kecil di leher istrinya.audy menahan napas, wajah bersemu. Tangannya yang memegang spatula bergetar sedikit. “Mas... Aku lagi masak. Kalau begini, nanti makanannya gosong!” Ucapnya.“Nggak apa-apa, nanti bisa masak lagi... Atau pesen aja!” Jawab Arya, ciumannya semakin menyusuri tengkuk Maudy. Sudah
Setelah beberapa menit, Arya memecah keheningan. “Papa pasti seneng kalau kamu ikut jenguk hari ini,”Maudy menatap Arya lalu mengangguk kecil. “Aku belum pernah ketemu Papa kamu sebelumnya. Pasti dia sosok yang kuat ya, Mas?”Arya tersenyum tipis, “Papa... Dia sosok yang kompleks!” Ungkap Arya, “Ada banyak hal yang mungkin gak kamu tau tentang keluargaku.” Lanjutnya.“Maksudnya, Mas?” Tanya Maudy penasaran.Arya menarik napas dalam, mengingat kembali masa lalu yang menyakitkan. “Mama kandungku meninggal waktu aku masih kecil. Setelah itu, Papa menikah lagi sama seorang wanita bernama Elizabeth. Jadi, Eliza itu Mama tiriku!” Ungkapnya.“Jadi wanita yang memaki Kak Jasmine dan melukaiku waktu itu, Mama tiri kamu, Mas?” Tanya Maudy tak menyangka.Arya tersenyum pahit, tangannya mengencangkan pegangan di setir. “Iya... Aku jarang cerita karena itu bagian dari masa lalu yang gak terlalu menyenangkan. Eliza... Dia bukan orang yang bisa dibilang baik. Dia selalu menuntut ini itu dari Papa.
Pukul 10.00 wib,Maudy masih tertidur pulas di balik selimut. Tubuhnya terasa berat karena kelelahan setelah malam panjang yang intens bersama suaminya.Sepanjang malam, Arya begitu menggebu-gebu menuntaskan segala rindu yang telah lama terpendam. Baru setelah adzan subuh berkumandang, ia melepaskan Maudy dari pelukannya.Mereka berdua sempat menunaikan shalat subuh berjamaah, namun sesaat setelah itu, Maudy langsung terkulai di ranjang, terlelap dalam hitungan detik. Tidurnya sangat nyenyak, tubuhnya yang kelelahan benar-benar membutuhkan istirahat.Sementara di dapur, Arya sedang menyiapkan sarapan. Ia bersiul-siul riang, menyandarkan punggungnya ke meja dapur sambil menunggu air mendidih untuk membuat teh.Wajahnya berseri-seri, ada kebahagiaan yang tidak bisa ia sembunyikan sejak bangun pagi tadi. Senyumnya tak pernah lepas, mengingat betapa malam itu telah mempererat kembali hubungannya dengan Maudy yang sempat terasa renggang.Arya melirik jam di dinding dapur dan tertawa kecil.
“Pa...” Panggil Arya pelan.Rayendea yang awalnya terpejam segera membuka mata dan menatap putranya dengan wajah lega. “Kamu datang, Arya?” Ucapnya tak menyangka.Arya menarik kursi yang ada di samping ranjang dan duduk dengan santai, “Hem... Kenapa bisa sakit?” Tanyanya, matanya menyelidik wajah Rayendra.“Papa gak betah di sini, Arya!!Makanannya gak enak, suasananya juga panas!” Keluh Rayendra, mencoba menampilkan senyuman yang tampak dipaksakan.“Nikmati aja, kan ini semua juga karena ulah Papa sendiri kan?!” Jawab Arya datar.“Tapi Mama kamu butuh uang, Arya. Dia terus diincar teman-teman arisannya.” Ungkap Rayendra mengiba.Arya menggelengkan kepala, marah sekaligus kecewa. “Aku gak peduli!! Sebagai suami, harusnya Papa bisa mengatur istri, bukan malah diatur begini. Kalau bagus, boleh diikuti. Ini udah tau salah, malah nurut. Udah tua, harusnya bisa mikir mana yang benar dan mana yang salah kan?!” Jawabnya tegas.Meskipun sering dikecewakan oleh Ayahnya, Arya memutuskan untuk me