Maudy tersenyum. Ia memeluk putranya erat, menutupi segala perasaan yang bergemuruh di dalam dadanya. “Wah, anak Mama udah pulang? Gimana di rumah Oma, seru?” Tanyanya antusias.“Seru, Mama...” Jawab Azzam antusias, wajahnya berseri-seri. “Azzam kangen Mama,” tambahnya sambil menyandarkan kepalanya di dada Maudy.“Mama juga kangen sama Azzam,” Ungkap Maudy sambil membelai rambut putranya dengan lembut. Semua perasaan yang tadi berkecamuk bisa sirna dalam pelukan hangat anaknya.Sedang Arya akhirnya kembali ke kamar, langkahnya melambat begitu melihat pemandangan di atas ranjang. Di sana, Azzam dengan wajah polosnya memeluk erat Maudy.Namun, alih-alih merasa senang, perasaan lain mulai merayap di dada Arya. Amarah kecil yang tak ia duga muncul begitu saja. ‘Harusnya aku yang meluk Maudy, bukan Azzam!’ Batinnya kesal. Hatinya mendadak terasa jengkel. Rasa cemburu pada anaknya sendiri. ‘Bisa-bisanya dia rebut istriku,’ gumamnya dalam hati, sambil menghela napas panjang.Arya tahu betapa
Maudy dan Arya sama-sama terjebak dalam rasa malu. Di satu sisi, Maudy sudah berusaha tampil menggoda untuk suaminya. Di sisi lain, Arya ingin maju tapi takut jika istrinya marah.Setelah selesai mencuci piring, Maudy berjalan melewati Arya yang sejak tadi tak henti-hentinya menatapnya. Tatapan itu seharusnya membuatnya merasa diperhatikan, tapi malam ini rasanya berbeda.Maudy kesal dan malu, sehingga ia langsung menuju kamar, menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, berusaha menghindari rasa kecewa yang semakin merambat dalam pikirannya.‘Apa Mas Arya udah gak tertarik lagi sama aku? Dulu, pakai daster yang panjangnya di bawah lutut aja dia udah nempel terus, sekarang aku pakai dress super pendek, malah takut aku masuk angin!’ Batin Maudy menebak.Tak lama, pintu kamar perlahan terbuka. Arya masuk dan langsung merebahkan diri di samping Maudy. Maudy yang awalnya ingin cuek, tiba-tiba mengurungkan niatnya ketika melihat wajah Arya yang puc
Setengah jam kemudian,Pintu utama apartemen terdengar terbuka. Maudy yang pikirannya sedang berkelana, segera tersadar. Suara langkah yang familiar membuatnya yakin bahwa itu Arya. Dengan cepat, ia memutuskan untuk berpura-pura tidur.Langkah kaki Arya terdengar semakin dekat, menandakan pria itu sedang menuju kamar mereka. Maudy memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.Sesaat kemudian, ia merasakan kecupan di keningnya.“Maaf ya, Maudy... Aku lama keluarnya,” Bisik Arya pelan, tak ingin mengganggu tidur Maudy.Setelah itu, tanpa suara lagi, Arya berjalan menuju kamar mandi.Begitu pintu kamar mandi tertutup rapat, Maudy membuka matanya perlahan. Pandangannya menatap kosong ke arah langit-langit kamar, pikirannya berputar dengan perasaan yang sulit diungkapkan. ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Dalam diam, ia merenung, berusaha mencari jawaban.Setelah beberapa saat merenung, akhirnya Maudy menghela napas panjang dan memu
“Udah lah, Mas. Mandi gantian aja, ya?” Ujar Maudy.Di luar, Arya mendesah kecewa. “Tapi, Maudy...” ucapnya dengan nada memelas, sebelum akhirnya menyerah. “Ya udah deh...”Ketukan pintu berhenti. Maudy menghela napas lega, merasa bebannya sedikit terangkat. la memandang bayangannya di cermin, merasa aneh dengan sikapnya sendiri.Sejujurnya, ia tahu rasa malu ini tak seharusnya ada lagi, tapi entah kenapa ia belum bisa sepenuhnya nyaman.“Aku tau ini dosa... Tapi aku belum siap,” bisiknya pelan pada dirinya sendiri.Setelah menenangkan diri, Maudy berdiri di bawah kucuran air shower, membiarkan air hangat mengalir deras di atas kepala, membasahi seluruh tubuhnya.Setelah beberapa saat, Maudy akhirnya selesai mandi. la meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya sebelum mengenakan pakaian bersih yang telah ia siapkan.Namun, saat kembali ke kamar, ia mendapati ruangan itu kosong. Arya tidak ada di sana. Dengan alis berkerut, ia memeriksa ruangan lain, ruang keluarga, dapur, bahkan balkon.
Jason mengangguk, “Iya...” Jawabnya singkat.Arya segera berjalan mendekati Jason yang duduk di sofa, “Isinya apa sih?” Tanyanya penasaran.“Aku juga gak tau. Cuma, pas aku buka kotak itu, ada tulisannya, untuk Maudy. Sepertinya sebelum Jasmine meninggal, dia memang sengaja nyiapin ini untuk Maudy!” Jelas Jason.“Jadi, kamu pikir aku harus kasih ini ke Maudy?” Tanya Arya, menatap kotak itu yang tampak begitu berharga.“Walaupun aku juga gak tau ini isinya apa, tapi siapa tau bisa buat hubunganmu dengan Maudy menjadi lebih baik.” Sementara itu,Maudy yang berada di dalam kamar memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Feby.Setelah beberapa saat, panggilan terjawab, dan suara ceria Azzam langsung memenuhi telinganya.[Assalamu'alaikum, Mama...]“Wa'alaikumsalam, sayang. Azzam mau ke mana sama Tante dan Oma?” Tanya Maudy tersenyum, melihat gambar putranya di layar ponsel yang sedang di dalam mobil.[Mau ke Timezone, Ma! Papa di mana, Papa gak pergi, kan?]“Papa lagi kerja
“Rumah kamu dan Kak Jasmine aja bagus, Mas. Jadi aku gak ragu sama hasil rumah yang kamu bangun sekarang,” Jawab Maudy tenang.Saat mendengar nama Jasmine, Arya merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Tangannya yang memegang setir tiba-tiba mencengkeram lebih erat.Ia menelan ludah, merasa perlu menjelaskan sesuatu. “Maudy, aku...” Arya membuka mulut, ingin memastikan tidak ada salah paham di antara mereka.“Aku apa? Rumah kalian emang bagus kok. Aku suka taman di belakangnya. Boleh kan buat taman juga di rumah kita nanti?” Ungkap Maudy sambil kembali menatap ke luar jendela.Arya terkejut. Ia sempat berpikir jika Maudy mungkin marah atau cemburu, tetapi terdengar dari şuarya istrinya benar-benar biasa saja, seolah tak ada perasaan terselip di balik kata-katanya tadi. Istrinya bahkan terlihat begitu tenang, tak ada tanda-tanda cemburu di wajahnya.“Kamu lagi gak cemburu kan?” Tanya Arya hati-hati, mencari kepastian di balik sikap sang istri.Maudy mengernyit, bingung dengan