LOGIN“Siapa lo, hah?!”
Abyan berdiri sambil mendongak, air hujan mengucur di wajah dan lehernya. Suaranya pecah, tapi cukup keras untuk memantul di antara gedung kampus yang mulai sepi.
“Siapa lo sampai berani ikut campur? Ini urusan gue sama Nara!” lanjutnya, napas memburu. “Kami itu sepasang kekasih. Lo orang luar, nggak punya hak ikut campur apa pun!”
Di sampingnya, tangan Nara masih digenggam Abyan erat, dingin dan licin oleh air hujan. Cengkeraman itu mulai terasa menyakitkan.
Aland mendengus pelan. Payung di tangannya miring sedikit, cukup untuk tetap melindungi Nara, tapi membiarkan sebagian tubuhnya sendiri basah terkena hujan.
“Yang lebih pantas dipanggil orang luar itu siapa, menurutmu?” tanyanya datar. “Kamu yang nggak tahu hubunganku dengan Nara sedekat apa… atau aku, yang tahu jelas kamu sama sekali tidak pantas untuk Nara?”
“Kamu–!”
“Cukup!”
Suara Nara memotong kalimat Abyan dengan tegas. Lebih tegas dari biasanya, bahkan untuk dirinya sendiri. Abyan terhenyak, menoleh pada Nara dengan mata melebar.
“Nara! Kamu bela dia dibandingkan aku, pacarmu?!” protesnya tidak percaya.
Nara mengernyit. Sampai detik ini, pria itu masih bisa dengan tanpa tahu malu mengakui dirinya sebagai kekasih, setelah apa yang ia lakukan di apartemen. Dadanya sesak, bukan lagi karena sedih, tapi karena muak.
Ia menghela napas, lalu berkata jelas, setiap kata ditimbang.
“Kita sudah putus, jadi kamu bukan pacarku lagi. Jangan sembarangan mengaku-ngaku.”
Beberapa orang yang masih bertahan di bawah atap kampus sontak saling pandang. Abyan mematung, seperti baru mendapat tamparan kedua setelah yang pertama di depan apartemen.
Nara melirik Aland sesaat, sebelum kemudian menambahkan, “Dan karena kita nggak ada hubungan apa-apa, kamu nggak perlu tahu tentang urusanku dengan orang lain.”
Diam. Hanya suara hujan yang masih deras menghantam aspal dan genteng.
Setelah itu, Nara menarik lengannya dari genggaman Abyan dan berbalik pergi, melangkah di bawah payung Aland. Kakinya gemetar, tapi ia paksa tetap melangkah mantap.
“Na! Nara, tunggu!”
Abyan hendak menyusul, tapi langkahnya terhenti ketika tatapan Aland menyambar tajam. Pria itu tidak berkata-kata, hanya menatap dengan dingin, seolah menantang Abyan untuk mencoba satu langkah lagi.
Pandangan itu saja sudah cukup mengunci Abyan di tempat. Rahangnya mengeras, napasnya terengah, sementara hujan terus mengguyur tubuhnya yang masih berlutut di tengah jalan. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar terlihat… hancur.
Aland berpaling tanpa sepatah kata, menyusul Nara yang sudah lebih dulu berjalan.
Mereka melangkah menjauh dari kerumunan, meninggalkan Abyan yang tampak runtuh di tengah hujan.
Beberapa langkah kemudian, ketika suara Abyan sudah tidak lagi terdengar dan hanya hujan yang mengiringi, Aland akhirnya bersuara.
Tidak langsung menatap Nara, ia tertawa rendah sedikit. “Tidak kusangka kamu bisa bersikap tegas juga.”
Nara terkesiap. Ia menoleh cepat ke arah Aland, yang tanpa ia sadari sedang menatapnya sambil tersenyum. Senyum tulus, lembut, seperti dulu… seperti Aland kecil yang selalu puas setiap kali Nara mengambil keputusan yang tepat.
Namun begitu manik Aland melirik balik dan tatapan mereka bertemu, Nara buru-buru memalingkan wajah.
“Walau aku tidak suka konflik,” ucapnya pelan tapi mantap, “tapi aku bukan orang bodoh yang bersedia ditindas. Aku tahu cara melindungi diri sendiri.”
Aland mendengus ringan. Senyumnya berubah menjadi senyum mengejek, khas dirinya.
“Heh. Melindungi diri sendiri, ya?”
Nara langsung menoleh cepat, tahu persis sindiran itu mengarah pada kejadian di malam lalu. Seketika pipinya merona merah karena malu. Ia mendesis sambil mengerutkan hidung.
“Dasar… menyebalkan!”
Aland tidak membantah. Ia hanya tertawa kecil—rendah dan dalam—seraya menyesuaikan posisi payung agar tidak setetes pun air hujan jatuh ke kepala Nara.
Sementara itu, beberapa meter di belakang mereka, Abyan yang masih berlutut menatap punggung keduanya. Amarah menebal di wajahnya. Tangannya mengepal begitu keras sampai buku jarinya memutih, dan urat di pelipisnya menonjol.
“Jangan-jangan…” bisiknya dengan suara serak, penuh dendam. “Selama ini yang selingkuh duluan bukan aku.”
Langkah Nara terhenti seketika. Ia menoleh tajam.
“Apa?”
Abyan berdiri goyah, wajahnya gelap. Sorot matanya merendahkan. “Benar ‘kan? Selama ini kamu ada main gila sama dia!” Telunjuknya terarah langsung pada Aland. “Makanya kamu nggak mau disentuh aku! Itu karena kamu takut ketahuan sudah selingkuh duluan!”
Beberapa mahasiswa yang berteduh di bawah kanopi menoleh serentak.
“Apa mereka sepasang kekasih?”
“Kayaknya ribut hebat.”
“Si cewe selingkuh ya?”
“Padahal kelihatan baik-baik….”
Bisikan-bisikan itu menusuk telinga Nara seperti duri.
Nara menatap Abyan, kesal sekaligus muak. Tapi ia juga tahu… Abyan sedang sengaja memancing. Pria itu selalu begitu, menaikkan volume drama ketika tidak bisa menang dengan logika.
Maka Nara hanya menggigit bibir dan berbalik, memilih mengabaikan.
Tapi tentu saja, Abyan tidak berhenti.
“Hah! Lihat! Kamu bahkan nggak membela diri!” teriaknya semakin lantang. “Berarti benar! Kamu cuma seorang jalang yang—”
BUGH!
Semua orang terkesiap. Beberapa mahasiswi di bawah kanopi sampai menjerit kecil, termasuk Nara yang terkejut setengah mati.
Aland meninju Abyan, membuat mantan kekasih Nara itu terpental ke belakang dan jatuh menghantam genangan air, memercikkan lumpur ke pakaiannya.
“Aland! Stop!”
Nara langsung menarik lengan Aland, tapi pria itu seakan tidak mendengar. Rahangnya mengeras, napasnya memburu, dan tanpa memberi Abyan kesempatan bangkit, Aland kembali menghampiri dan—
BUGH!
BUGH!
Tinju kedua dan ketiga mendarat brutal di wajah Abyan, membuat pria itu terhuyung dan terbatuk, bercampur hujan dan darah yang turun dari sudut bibirnya.
“Aland, cukup! Cukup!”
Nara memeluk lengan Aland, menarik sekuat tenaga.
“Kalau kamu begini, kamu bikin aku takut!”
Pernyataan itu sontak membuat Aland menghentikan serangannya.
Dia melirik ke arah Nara sesaat, lalu menarik napas dalam sebelum menjauh dari tubuh Abyan.
Melingkarkan tangan di pinggang Nara, Aland berkata, “Jangan temui Nara lagi,” ucapnya dengan suara rendah yang mencekam. “Kalau nggak, gue akan pastiin lo menyesal.”
Namun, saat Aland berniat pergi bersama Nara, Abyan yang sebenarnya sudah dalam keadaan sangat menyedihkan, masih nekat berkata, “Lo nggak berhak ngatur gue harus gimana ke Nara! Sedekatnya lo sama dia, lo cuma orang asing dan bukan siapa-siapa!”
Mendengar kalimat Abyan, Nara mengernyitkan wajah jijik. Sungguh, dia tidak pernah tahu bahwa Abyan adalah pria yang tidak tahu malu seperti ini.
Namun, di saat itu dia merasakan aura gelap dan langsung menoleh ke samping. Seketika, Nara terkejut. Dia bisa melihat ekspresi Aland mengeras dan urat-urat di lehernya menonjol, seakan siap menelan Abyan hidup-hidup!
Namun, sebelum Nara bisa bereaksi, Aland sudah terlebih dahulu berkata, “Bukan siapa-siapa?”
Usai mengatakan itu, Aland menoleh ke arah Nara, lalu tanpa aba-aba, dia langsung meraih belakang kepala Nara dan menciumnya!
“Oh, ya ampun!”
“A-apa ini?!”
Suara terkejut semua orang terdengar, dan ditambah dengan ciuman tak terduga, Nara hanya bisa membeku di tempat tanpa suara!
Di sisi lain, Abyan yang menatap pemandangan itu hanya bisa memucat. Matanya melebar tak percaya!
Tak lama, Aland melepaskan bibir Nara, lalu kembali menoleh kepada Abyan dengan sudut bibir terangkat—sebuah provokasi.
“Sayangnya, gue bukan sembarang orang, tapi pacar baru Nara.”
Seketika, Nara terbelalak. Pria ini bilang apa?!
Deg! Nara melupakan bagian itu. Bagian dimana Aland memagut bibirnya untuk membuat Abyan yakin jika mereka berdua memiliki hubungan khusus. Tak terpikir olehnya jawaban dari ciuman itu. Aland sendiri menyebutnya trik. Ia melakukannya tanpa berpikir bagaimana perasaan Nara. Siapa yang tahu empat tahun pacaran Nara bahkan tak pernah bersentuhan bibir. Dan ciuman bersama Aland adalah kali pertama. Hal ini tidak boleh diketahui sahabatnya. Jika sampai mereka tahu first kiss itu milik teman kecilnya sendiri bisa hancur harga dirinya. “Eee... sebenarnya- itu, itu benar.” jawabnya lirih. “Apa?!” Wina histeris menanggapi.”Gila! Hebat kali ya si Aland itu, benar-benar badboy kelas kakap tahu nggak!” Nara pikir sahabatnya akan menanggapi dengan terkejut, marah, tapi malah kagum? “Kamu pasti malu banget ya Na, kamu nggak pa-pa kan?” tanya Lusi khawatir. Nara mengatur nafasnya sebaik mungkin, berusaha tenang dan lega. “Nggak pa-pa kok, Aland juga udah minta maaf atas perbuatannya. Tapi di
“Se-secepat itu Lus berita menyebar?” suara lemas Nara terdengar pasrah. Ia menengok ke arah Aland yang terlihat santai. Wajah Nara mulai memucat. Ia bisa bayangkan bagaimana orang lain menerka hubungannya dengan Aland.“Na? Katakan, itu nggak benar kan?” tanya Lusi terdengar menekan Nara untuk memberi jawaban sesuai pikirannya. Nara bingung menjawab, ia tergagap saat itu.”Na-nanti aku jelaskan Lus, aku tutup dulu telponnya. Dah!”Setelah menutup panggilan dari Lusi, ia terlihat meremas sebagian rambutnya. Pandangannya tajam menuju pada manusia disampingnya. Aland mencoba menenangkannya dengan mengelus pundaknya, namun Nara tampak makin geram dan menampilkan sentuhan Aland. “Semua ini gara-gara idemu tahu nggak?!”seru Nara.Aland melirik kanan kiri lalu menjawab,”Sudah terlanjur Na-.”“Iya terus gimana solusinya?”Pertanyaan Nara terdengar putus asa dengan kabar yang begitu cepat beredar. Yang ia khawatirkan bagaimana jika hal ini sudah terdengar oleh dosen-dosennya?Nara begitu ak
Bab 9 ‘‘Pa-pacar?’ Mendadak tubuh Nara kaku. Matanya membesar, sulit percaya dengan apa yang baru saja Aland katakan. Di sisi lain, wajah Abyan langsung memucat. Pernyataan Aland tadi menghantam harga dirinya tanpa ampun. Niat mempermalukan Nara malah berakhir berbalik mempermalukan dirinya sendiri! Seakan tidak cukup, dia juga menjadi sakit hati! Bagaimana bisa Nara tega meninggalkannya demi pria lain dengan begitu cepat seperti ini?! “Nara, kamu—” Dia ingin menuntut penjelasan, tapi setelah semua yang dia katakan, juga statusnya saat ini yang bukan lagi pacar Nara, Abyan merasa tenggorokannya tercekat. Di sisi lain, melihat Abyan terdiam, Nara gegas langsung mengambil kesempatan dengan berkata, “Jangan temui aku lagi.” Lalu, dia meraih tangan Aland dan menariknya pergi dari sana. ** BRAK! Suara tubuh yang menabrak mobil terdengar. Di saat bersamaan, tampak sosok Nara yang memojokkan sosok Aland ke mobil pria tersebut di area parkiran. “Apa itu tadi?!” Aland menaikkan al
“Siapa lo, hah?!” Abyan berdiri sambil mendongak, air hujan mengucur di wajah dan lehernya. Suaranya pecah, tapi cukup keras untuk memantul di antara gedung kampus yang mulai sepi. “Siapa lo sampai berani ikut campur? Ini urusan gue sama Nara!” lanjutnya, napas memburu. “Kami itu sepasang kekasih. Lo orang luar, nggak punya hak ikut campur apa pun!” Di sampingnya, tangan Nara masih digenggam Abyan erat, dingin dan licin oleh air hujan. Cengkeraman itu mulai terasa menyakitkan. Aland mendengus pelan. Payung di tangannya miring sedikit, cukup untuk tetap melindungi Nara, tapi membiarkan sebagian tubuhnya sendiri basah terkena hujan. “Yang lebih pantas dipanggil orang luar itu siapa, menurutmu?” tanyanya datar. “Kamu yang nggak tahu hubunganku dengan Nara sedekat apa… atau aku, yang tahu jelas kamu sama sekali tidak pantas untuk Nara?” “Kamu–!” “Cukup!” Suara Nara memotong kalimat Abyan dengan tegas. Lebih tegas dari biasanya, bahkan untuk dirinya sendiri. Abyan terhenyak, menol
“Tidur bareng?” Nara berbalik tanya membuat kedua sahabatnya melongo. “E...Iya sih, tidur bareng-” “APA?” Wina dan Lusi serentak dengan nada tinggi. “Kamu beneran tidur bareng sama Aland?! Gila kamu Na!” sentak Wina. “Win! Mulutmu!” hardik Nara dengan isyarat tangan. Seketika Wina membungkam mulutnya sendiri. Alih-alih takut orang lain akan mendengarnya dan salah paham. “Kalian tahu maksudnya tidur bareng nggak sih?” tanya Nara pelan. “Kita tuh sering kali, waktu kecil tidur bareng, dan semalam kita tidurnya ya tidur aja biasa aja, nggak ngapa-ngapain kok!” ungkapnya santai. Lusi menghela napas lega. Berbeda dengan Wina seolah tak terima, istilah tidur bareng baginya adalah merujuk pada hal intim. “Tidur biasa? Tanpa adegan dewasa maksudnya?” cecar Wina,”Mana mungkin?” logikanya nggak mungkin lelaki nganggurin gadis secantik Nara apalagi dalam kondisi mabuk. Namun penjelasan Nara agaknya buat Wina merasa sesuatu,“Tunggu-tunggu! kau bilang waktu kecil?” Wina mencoba berpikir d
Melihat Aland hanya terdiam, kepala Nara langsung dipenuhi sejuta pertanyaan. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh dan tidur dengan Aland?! Pria itu adalah sahabat kecilnya! Bagaimana kalau Aland bilang ke orang lain? Bagaimana kalau Wina dan Lusi tahu? Dan yang paling membuatnya takut setengah mati adalah… bagaimana kalau seisi kampus tahu ini terjadi dan… reputasinya sebagai murid berprestasi terancam?!Beasiswanya akan dicabut! Di saat Nara pusing memikirkan semua hal itu, tiba-tiba— “Pfft….” Nara tersentak, lalu dengan cepat dia menoleh. Terduduk di sisinya, sosok Aland tampak tersenyum menahan tawa. “Kenapa kamu tertawa?!” Aland melirik Nara, masih tersenyum. Dia tidak menjawab segera dan hanya menyibakkan selimutnya sendiri dengan gerakan malas, lalu berdiri santai. “Nggak terjadi apa-apa,” ucap Aland akhirnya. Nara membeku. “Hah?” Aland meraih handuk dari gantungan dan berkata datar, “Kita cuma tidur bersama, tanpa melakukan hal lain.” Dia melanjutkan, “Kamu







