LOGIN“Tidur bareng?”
Nara berbalik tanya membuat kedua sahabatnya melongo. “E...Iya sih, tidur bareng-”
“APA?” Wina dan Lusi serentak dengan nada tinggi.
“Kamu beneran tidur bareng sama Aland?! Gila kamu Na!” sentak Wina.
“Win! Mulutmu!” hardik Nara dengan isyarat tangan. Seketika Wina membungkam mulutnya sendiri. Alih-alih takut orang lain akan mendengarnya dan salah paham.
“Kalian tahu maksudnya tidur bareng nggak sih?” tanya Nara pelan. “Kita tuh sering kali, waktu kecil tidur bareng, dan semalam kita tidurnya ya tidur aja biasa aja, nggak ngapa-ngapain kok!” ungkapnya santai.
Lusi menghela napas lega. Berbeda dengan Wina seolah tak terima, istilah tidur bareng baginya adalah merujuk pada hal intim.
“Tidur biasa? Tanpa adegan dewasa maksudnya?” cecar Wina,”Mana mungkin?” logikanya nggak mungkin lelaki nganggurin gadis secantik Nara apalagi dalam kondisi mabuk.
Namun penjelasan Nara agaknya buat Wina merasa sesuatu,“Tunggu-tunggu! kau bilang waktu kecil?” Wina mencoba berpikir dan menerka.
Anggukan polos Nara jawabannya.”Kamu kenal Aland dari kecil Na?” tanya Wina memastikan. Sekali lagi Nara mengangguk, sambil membuka buku menu kantin.
“Kalian mau pesan apa?” seling Nara mengesampingkan reaksi Wina.
“Bentar Ah!” Wina menutup buku menu kantin yang Nara pegang.”Jelasin dulu, kok aku nggak ngerti sih? Eh Lusi, kau udah ngerti Nara kenal Aland dari kecil?”
Lusi mengangguk ragu sambil melirik Nara, “Wah! kalian berdua bener-bener ya!” respon Wina kecewa.
Meja di sudut kantin tiba-tiba hening. Lusi menyenggol lengan Nara agar segera menjelaskan.
“Sorry Win, sorry banget. Sebenarnya memang kita nggak pernah go public jika kita berteman dari kecil. Lusi tahu pun itu karena nggak sengaja.”
Penjelasan Nara dipersingkat. “Intinya kita memang teman dan tetangga dari kecil bahkan sampai saat ini.”
Nara mulai lesu ketika harus mengingat status sebenarnya dengan Aland.
“Trus, kenapa selama ini kalian nggak pernah berinteraksi satu sama lain? Kalian satu jurusan loh, cuma beda kelas!” Wina masih penasaran.
“Itu... ada hal yang membuat kita jauh.” Nara menunduk tak mau menjelaskan runtut, ia masih sakit jika mengingat kejadian malam itu.
Lusi mengambil alih, dia berjanji akan menceritakan pada Wina lain kali. Lusi merasa jika Nara yang bercerita mungkin akan membuka luka lama.
“Oke deh! Tapi yakin semalam kamu nggak diapa-apain?” tanya Wina lantang.
“Ihh!! Jangan keras-keras Wina!” hardik Lusi dengan suara tertahan. Kali ini Lusi ikut geram karena Wina begitu antusias.
“Nggak Wina sayang, percaya deh!” yakin Nara terlihat jengkel.
Wina masih heran, mana mungkin cowok model Aland, yang citranya adalah cowok bejat ngelewatin kesempatan emas gitu aja. Wina merasa ada yang nggak beres.
“Serius ya Na, kamu nggak ada sakit kan bagian ... itu tuh!” ucapnya sambil melirik bagian sensitif wanita.
“Hus! Wina!” tegur Lusi. Nara terlihat memegang pelipisnya berharap semoga nggak ada yang yang menyadari reaksi Wina. “Kau nggak percaya sama Nara? Tahu sendiri kan dia begitu menjaga diri dari si Abyan, pasti Aland sebagai teman kecilnya juga menjaga Nara kan.” Katanya meyakinkan Wina.
Tapi sejujurnya perasaan Wina merasa janggal. Bagaimanapun sesuai yang dia alami, mana ada cewek cowok seranjang terus birahinya nggak “ON”. Aneh banget kan.
“Iya juga ya, emang sedeket itu ya dari kecil?” tanya Wina dengan nada lebih rendah.
Anggukan polos Nara lagi-lagi menjawab. “Hebat juga ya si Aland!” pujinya.
“Tapi kenapa dia nggak bisa nahan dengan dosen itu ya?” imbuhnya penasaran, ada banyak hal ganjal yang Wina rasakan disini.
“Stop ya introgasinya, kita pesen makan!”
***
Selesai makan di kantin Nara dan dua sahabatnya berbeda tujuan. Nara harus menghadap dosen berkaitan dengan proyek kampus yang merekrutnya. Kali ini hanya menginfokan jika akan ada penambahan mahasiswa yang direkrut.
Baginya tak ada masalah, ia yakin bisa membantu partner barunya untuk menjelaskan awal perencanaan.
“Saya nurut saja kapan bisanya teman yang baru nanti pak,”ujarnya menyetujui pak dosen.”Kelihatannya dalam waktu dekat saya sidang jadi setelah itu jika tidak banyak revisi bisa bertemu lebih intens nanti pak.” paparnya memberi kepastian.
Nara sama sekali nggak penasaran siapa partner baru yang akan bergabung dalam proyek tersebut.
Setelah keluar dari kantor dosen ia bergegas kembali ke asrama karena waktu sudah sore. Tiba-tiba saja langit berubah mendung, awan hitam dengan cepat merapatkan barisan di langit dan senja tak lagi terlihat.
Cepat-cepat Nara berjalan. Sebuah mobil menyandinginya, serasa tak asing. setelah menoleh dan tahu itu Abyan, ia membuang muka tak peduli.
Din! Din!
Klakson mobil menggema. Nara tak menggubris. Langkahnya dipercepat. Bukan karena segera hujan tapi karena Abyan.
Mobil Abyan mencegatnya. Ia turun dari mobil dan mencoba menghentikan langkah Nara. Tangan itu meraihnya dan-
“Lepas!” tolak Nara. Langkahnya terhenti karena ia tak mau mencuri perhatian sekitar.
“Na- aku mau bicara!”
Nara mencoba tak peduli dan mengambil jalan dari sisi lain. Tapi Abyan terus mengikuti.
“TUNGGU!”
Panggilan Abyan membuat beberapa pejalan kaki lain sejenak memperhatikan. Nara kikuk, dan memilih berhenti untuk mendengarkan Abyan.
“Mau apa sih kak?!” kesal Nara menahan amarah.
“Na, aku nggak mau kita putus. Aku janji. Aku janji nggak akan nglakuin itu lagi.” Bujuknya penuh harap. “Kita sudah bersama lama Na, aku akuin aku salah. Please, beri aku kesempatan kedua..” mata Abyan mencoba mencari pandangan Nara untuk meyakinkan.
Sempat ragu dan mengiba. Tapi, Nara merasa keputusannya benar. Dia nggak salah.
Tiba-tiba Abyan merubah posisinya, berlutut di hadapannya. Nara mundur selangkah dan merasa orang-orang sekitar memperhatikan bahkan ada yang berhenti untuk menyaksikan.
Terdengar gemuruh dari langit, hujan tak lama lagi pasti turun. “Apa-apaan kak! Berdiri nggak?!” gertak Nara tertahan. “Semua mata melihat kita.” tekannya.
“Kak aku bilang berdiri kak-” Byan bandel, ia sengaja berlutut dan memancing reaksi orang sekitar.
“Nggak Nara! Aku nggak akan berdiri sampai kamu memaafkanku!” tegasnya.
Dan pada akhirnya hujan turun begitu lebat. Nara hendak melangkah pergi tapi tangan Abyan menahannya. Siapapun yang menyaksikan mereka pasti nggak ada yang berani ikut campur. Hubungan keduanya hanya bisa diselesaikan bersama bukan dengan orang ketiga.
Mereka yang menyaksikan sudah duluan mencari tempat teduh. Kini tinggal Abyan dan Nara di bawah hujan.
Nara muak dengan keadaan itu. “Aku sudah katakan, aku nggak mentolerir perselingkuhan! Kamu salah!” katanya tegas.
“Kalaupun aku memaafkanmu, mungkin bisa.” Air hujan menggenangi muka Nara. “Tapi-AKU NGGAK MUNGKIN BISA KEMBALI!” ucapnya terdengar lantang.
“Aku akan tetap nunggu kamu Na, sampai kamu mau memaafkan aku dan kembali padaku!” Byan ngeyel nggak ada obat.
Nara lelah. Manusia di hadapannya sama sekali tak tahu diri. Sebuah payung terbuka menggantung di atas kepalanya. Meneduhkan tubuhnya, seketika Nara menengok. Ia cukup terkejut melihatnya.
‘Aland?’
Deg! Nara melupakan bagian itu. Bagian dimana Aland memagut bibirnya untuk membuat Abyan yakin jika mereka berdua memiliki hubungan khusus. Tak terpikir olehnya jawaban dari ciuman itu. Aland sendiri menyebutnya trik. Ia melakukannya tanpa berpikir bagaimana perasaan Nara. Siapa yang tahu empat tahun pacaran Nara bahkan tak pernah bersentuhan bibir. Dan ciuman bersama Aland adalah kali pertama. Hal ini tidak boleh diketahui sahabatnya. Jika sampai mereka tahu first kiss itu milik teman kecilnya sendiri bisa hancur harga dirinya. “Eee... sebenarnya- itu, itu benar.” jawabnya lirih. “Apa?!” Wina histeris menanggapi.”Gila! Hebat kali ya si Aland itu, benar-benar badboy kelas kakap tahu nggak!” Nara pikir sahabatnya akan menanggapi dengan terkejut, marah, tapi malah kagum? “Kamu pasti malu banget ya Na, kamu nggak pa-pa kan?” tanya Lusi khawatir. Nara mengatur nafasnya sebaik mungkin, berusaha tenang dan lega. “Nggak pa-pa kok, Aland juga udah minta maaf atas perbuatannya. Tapi di
“Se-secepat itu Lus berita menyebar?” suara lemas Nara terdengar pasrah. Ia menengok ke arah Aland yang terlihat santai. Wajah Nara mulai memucat. Ia bisa bayangkan bagaimana orang lain menerka hubungannya dengan Aland.“Na? Katakan, itu nggak benar kan?” tanya Lusi terdengar menekan Nara untuk memberi jawaban sesuai pikirannya. Nara bingung menjawab, ia tergagap saat itu.”Na-nanti aku jelaskan Lus, aku tutup dulu telponnya. Dah!”Setelah menutup panggilan dari Lusi, ia terlihat meremas sebagian rambutnya. Pandangannya tajam menuju pada manusia disampingnya. Aland mencoba menenangkannya dengan mengelus pundaknya, namun Nara tampak makin geram dan menampilkan sentuhan Aland. “Semua ini gara-gara idemu tahu nggak?!”seru Nara.Aland melirik kanan kiri lalu menjawab,”Sudah terlanjur Na-.”“Iya terus gimana solusinya?”Pertanyaan Nara terdengar putus asa dengan kabar yang begitu cepat beredar. Yang ia khawatirkan bagaimana jika hal ini sudah terdengar oleh dosen-dosennya?Nara begitu ak
Bab 9 ‘‘Pa-pacar?’ Mendadak tubuh Nara kaku. Matanya membesar, sulit percaya dengan apa yang baru saja Aland katakan. Di sisi lain, wajah Abyan langsung memucat. Pernyataan Aland tadi menghantam harga dirinya tanpa ampun. Niat mempermalukan Nara malah berakhir berbalik mempermalukan dirinya sendiri! Seakan tidak cukup, dia juga menjadi sakit hati! Bagaimana bisa Nara tega meninggalkannya demi pria lain dengan begitu cepat seperti ini?! “Nara, kamu—” Dia ingin menuntut penjelasan, tapi setelah semua yang dia katakan, juga statusnya saat ini yang bukan lagi pacar Nara, Abyan merasa tenggorokannya tercekat. Di sisi lain, melihat Abyan terdiam, Nara gegas langsung mengambil kesempatan dengan berkata, “Jangan temui aku lagi.” Lalu, dia meraih tangan Aland dan menariknya pergi dari sana. ** BRAK! Suara tubuh yang menabrak mobil terdengar. Di saat bersamaan, tampak sosok Nara yang memojokkan sosok Aland ke mobil pria tersebut di area parkiran. “Apa itu tadi?!” Aland menaikkan al
“Siapa lo, hah?!” Abyan berdiri sambil mendongak, air hujan mengucur di wajah dan lehernya. Suaranya pecah, tapi cukup keras untuk memantul di antara gedung kampus yang mulai sepi. “Siapa lo sampai berani ikut campur? Ini urusan gue sama Nara!” lanjutnya, napas memburu. “Kami itu sepasang kekasih. Lo orang luar, nggak punya hak ikut campur apa pun!” Di sampingnya, tangan Nara masih digenggam Abyan erat, dingin dan licin oleh air hujan. Cengkeraman itu mulai terasa menyakitkan. Aland mendengus pelan. Payung di tangannya miring sedikit, cukup untuk tetap melindungi Nara, tapi membiarkan sebagian tubuhnya sendiri basah terkena hujan. “Yang lebih pantas dipanggil orang luar itu siapa, menurutmu?” tanyanya datar. “Kamu yang nggak tahu hubunganku dengan Nara sedekat apa… atau aku, yang tahu jelas kamu sama sekali tidak pantas untuk Nara?” “Kamu–!” “Cukup!” Suara Nara memotong kalimat Abyan dengan tegas. Lebih tegas dari biasanya, bahkan untuk dirinya sendiri. Abyan terhenyak, menol
“Tidur bareng?” Nara berbalik tanya membuat kedua sahabatnya melongo. “E...Iya sih, tidur bareng-” “APA?” Wina dan Lusi serentak dengan nada tinggi. “Kamu beneran tidur bareng sama Aland?! Gila kamu Na!” sentak Wina. “Win! Mulutmu!” hardik Nara dengan isyarat tangan. Seketika Wina membungkam mulutnya sendiri. Alih-alih takut orang lain akan mendengarnya dan salah paham. “Kalian tahu maksudnya tidur bareng nggak sih?” tanya Nara pelan. “Kita tuh sering kali, waktu kecil tidur bareng, dan semalam kita tidurnya ya tidur aja biasa aja, nggak ngapa-ngapain kok!” ungkapnya santai. Lusi menghela napas lega. Berbeda dengan Wina seolah tak terima, istilah tidur bareng baginya adalah merujuk pada hal intim. “Tidur biasa? Tanpa adegan dewasa maksudnya?” cecar Wina,”Mana mungkin?” logikanya nggak mungkin lelaki nganggurin gadis secantik Nara apalagi dalam kondisi mabuk. Namun penjelasan Nara agaknya buat Wina merasa sesuatu,“Tunggu-tunggu! kau bilang waktu kecil?” Wina mencoba berpikir d
Melihat Aland hanya terdiam, kepala Nara langsung dipenuhi sejuta pertanyaan. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh dan tidur dengan Aland?! Pria itu adalah sahabat kecilnya! Bagaimana kalau Aland bilang ke orang lain? Bagaimana kalau Wina dan Lusi tahu? Dan yang paling membuatnya takut setengah mati adalah… bagaimana kalau seisi kampus tahu ini terjadi dan… reputasinya sebagai murid berprestasi terancam?!Beasiswanya akan dicabut! Di saat Nara pusing memikirkan semua hal itu, tiba-tiba— “Pfft….” Nara tersentak, lalu dengan cepat dia menoleh. Terduduk di sisinya, sosok Aland tampak tersenyum menahan tawa. “Kenapa kamu tertawa?!” Aland melirik Nara, masih tersenyum. Dia tidak menjawab segera dan hanya menyibakkan selimutnya sendiri dengan gerakan malas, lalu berdiri santai. “Nggak terjadi apa-apa,” ucap Aland akhirnya. Nara membeku. “Hah?” Aland meraih handuk dari gantungan dan berkata datar, “Kita cuma tidur bersama, tanpa melakukan hal lain.” Dia melanjutkan, “Kamu







