Share

Bab 6

"Dasar wanita bodoh. Jika kamu tidak melarikan diri, hal ini tidak terjadi kepadamu."

Jonathan menatap wanita yang terkapar di atas paving blok. Mata birunya dapat melihat wajah Hazel yang memucat, tidak ada darah yang mengalir di wajah wanita yang terkapar itu. Tubuh Hazel seakan membeku menyatu dengan udara hutan Mansion Parker. Tidak ada yang menolong wanita itu. Sebab tidak ada juga yang berani membangkang perintah Jonathan.

Jonathan berjongkok, ia kemudian meraih tubuh Hazel dalam gendongannya. Bagi orang normal, hal pertama ketika melihat orang pingsan tentunya akan panik, lalu mengecek suhu tubuh orang tersebut. Apakah dia baik-baik saja? Atau, terjadi sesuatu? Akan tetapi, tidak dengan Jhonatan. Wajahnya datar saja. Tidak ada rasa khawatir di wajah pria tanpa ekspresi itu.

"Merepotkan!"

Jonathan membawa tubuh itu ke dalam Mansion. Di dalam, lampu-lampu kristal berpendar redup, memantulkan cahaya pada wajah-wajah patung yang terpahat tanpa emosi.

Jonathan melewati mereka tanpa pandang, langkahnya tidak pernah ragu menuju ruangan yang dia tuju. Di tangannya, Hazel terkulai tak berdaya, rambutnya yang keemasan tergerai, kontras dengan lantai marmer yang mengilap.

"Jose, perintahkan beberapa pelayan untuk mengurus wanita ini. Siapkan juga obat-obatan, makanan dan beberapa pakaian untuknya," kata Jonathan, langkahnya terhenti ketika melihat Jose datang menghampirinya.

"Baik, Tuan. Saya akan mempersiapkan segalanya."

Setelah mendengar jawaban kepala pelayan itu, Jonathan kembali melangkah ke kamar. Membawa tubuh Hazel yang masih tidak sadarkan diri itu.

'Buah persik ini begitu rapuh. Dia seperti kucing kecil yang dibuang di jalanan. Tersesat , ketakutan dan tidak berdaya.' batin Jonathan.

Sesampainya di salah satu kamar di Mansion tersebut, Jonathan membaringkan tubuh Hazel di atas pembaringan. Dia menatap Hazel yang terbaring tak berdaya.

Tangan Jonathan terulur mengelus lembut pipi Hazel yang sudah terasa hangat dari sebelumnya.

Seketika, ada gelombang kepuasan yang aneh. Baginya, Hazel adalah kanvas hidup yang siap diwarnai dengan palet emosi yang dia pilih—kesedihan, ketakutan, keputusasaan.

"Kamu sempurna. Sempurna untuk menemani permainanku setelah aku bosan dengan duniaku. Jadi jangan pernah berpikir kau bisa keluar dari sini," gumam Jonathan.

Ketika Jonathan berbicara, suaranya tidak lebih dari bisikan yang terbawa angin malam, namun kata-katanya menggema di dinding-dinding kamar yang sunyi. Dia menundukkan kepalanya, menatap Hazel dengan tatapan yang intens, seolah-olah dia sedang mencoba membaca pikiran yang tersembunyi di balik wajah yang tidak bergerak itu.

"Kau adalah teka-teki yang menarik," ujarnya, suaranya penuh dengan nada reflektif. "Dan aku selalu menyukai tantangan."

Dia berbalik, meninggalkan Hazel dalam keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara langkah kakinya yang menghilang ke kejauhan.

***

Pagi hari...

Hazel menggerakkan kelopak matanya berulang kali. Hal pertama yang ia rasakan adalah pusing yang luar biasa. Hazel mencoba mengangkat kepalanya, tapi rasa pusing itu membuatnya terpaksa menutup mata kembali.

"Uhh ... Apakah aku sudah mati? Apakah sekarang aku sudah berada di akhirat?!" pikir Hazel.

Hazel merasakan dinginnya seprai di bawahnya dan kehangatan selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, ingatannya kembali. Ingatan tentang malam yang menakutkan itu, tentang Jonathan, dan tentang bagaimana dia berakhir di tempat ini.

"Bagaimana rasanya tersesat di dalam hutan buatanku?"

Deg!

Suara itu, membuat Hazel membuka matanya lenih lebar. "Aku masih hidup?" dalam kondisi lemah tak bertenaga, Hazel mencoba untuk bangun dan mencari kacamata matanya. Beruntung, kacamata itu terletak di atas nakas, dia segera mengenakan kaca mata itu.

Deg!

"Tu-Tuan Parker..."

Wanita itu terkejut ketika di depan ranjang, Jonathan tengah duduk di sofa mewah, ia sudah rapi memakai setelan jas dengan rambutnya yang di sisir ke belakang. Mata biru itu selalu tajam dan dingin walaupun bening ketika Jonathan menatap Hazel.

"Kau terkejut? Apakah aku seperti hantu?" Jonathan bangkit dari kursi, ia melangkah ke arah tempat tidur di mana Hazel berada sambil memutar cincinnya yang tersemat di jari telunjuk.

"Tu-Tuan, aku ini pulang. Tolong, ibuku tentu khawatir denganku," kata Hazel saat Jonathan sudah berdiri di sisi tempat tidur.

Jonathan membungkuk dan memampangkan satu papan tablet obat di depan wajah Hazel. "Minum obat kontrasepsi ini. Aku tidak ingin kau mengandung benihku. Atau , bisa saja kau memanfaatkanku!" Jonathan melempar obat tablet itu tepat di depan wajah Hazel.

Deg!

Hazel mendelik ke arah Jonathan, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja dia lontarkan. "Saya tidak pernah berpikir seperti itu, Tuan Parker. Memanfaatkan anda? Saya bisa apa? Dan saya sungguh tahu diri dari mana saya berasal," katanya, suaranya bergetar.

Jonathan mengangkat bahu, tatapannya menantang. "Kau pikir aku mau mendengarkan alasanmu? Segera minumlah obat itu. Aku tidak mau mengambil risiko," katanya, suaranya dingin dan tanpa emosi.

Hazel menatap obat di tangannya, sebelum akhirnya menelan obat tersebut. Dia merasa jijik, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia berada di bawah kekuasaan Jonathan.

"Baiklah, Tuan Parker. Saya sudah minum obatnya. Sekarang, bolehkah saya pulang?" tanya Hazel, mencoba menyembunyikan rasa takut dalam suaranya.

Jonathan menatap Hazel sejenak, merasa takjub dengan wanita itu. Wanita itu langsung mengunyah obat tersebut. Perlahan, Jonathan tersenyum sinis. "Oh, Hazel. Kamu masih belum mengerti, ya? Kamu tidak akan pernah bisa pergi dari sini."

Hazel menatap Jonathan dengan mata terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Tapi... tapi... ibuku pasti sudah merasa khawatir... Sa-saya belum pulang dari kemarin," gumam Hazel, suaranya hampir tak terdengar.

"Kekhawatiran ibumu bukan menjadi masalahku, Hazel. Faktanya, kamu berada di sini dan kamu harus taat pada peraturanku. Bukankah kau bekerja untukku?" kata Jonathan, suaranya dingin.

Hazel mengepalkan kedua tangannya. Dia bukan budak atau tawanan. Seharusnya, dia yang dirugikan tapi kenapa dia merasa seperti dikendalikan oleh atasannya sendiri?

"Tuan, saya mau mengundurkan diri," kata Hazel memberanikan diri.

Jonathan menyunggingkan bibirnya. "Itu tidak akan pernah terjadi. Segera pakai pakaian yang sudah disiapkan. Aku menunggumu di meja makan." Setelah berkata demikian, Jonathan memutar tubuhnya, melangkah meninggalkan Hazel.

Hazel menatap punggung Jonathan yang menjauh dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa terjebak, terperangkap oleh genggaman atasannya. "Tuan Parker!" Teriak Hazel.

Jonathan memutar kepalanya. "Aku tidak tuli," ucapnya.

Syut!

Hazel melesatkan pisau buah yang tergeletak di atas meja berdekatan dengan sarapan yang telah di siapkan. Akibat lemparan itu, pipi Jonathan tergores. Hazel berharap itu akan membuat Jonathan marah, tapi pria itu hanya mengangkat alisnya dan tersenyum.

"Bagus. Kamu punya semangat," kata Jonathan, mengelap darah yang mengalir di pipinya dengan jempolnya. "Tapi aku berharap kamu mengarahkan semangat itu pada pekerjaanmu, bukan pada upaya sia-sia untuk melukai aku."

Hazel merasa jantungnya berdebar-debar. Dia tahu dia harus berhati-hati, tapi dia tidak bisa menahan diri. Dia merasa terjebak, dan dia tidak tahu bagaimana cara keluar dari situasi ini.

"Tuan, saya tidak ingin bekerja untuk Anda lagi," kata Hazel, suaranya bergetar. "Saya hanya ingin pulang."

Jonathan menghela nafas, tampak jengah. "Hazel, Hazel," katanya, suaranya lembut. "Kamu tidak mengerti. Kamu tidak bisa pergi. Kamu milikku sekarang. Segera turun. Jangan membuatku marah." kembali, Jonathan memutar tubuhnya berlalu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status