“Sudahlah. Mungkin aku harus mengumpulkan ekstra kesabaranku. Siapa tahu, Tuan Jonathan bisa berbaik hati jika aku menjadi pekerja yang patuh. Dan membiarkanku pulang,” ucap Hazel pelan.
Hazel memalingkan pandangannya, netra matanya yang hijau menangkap pakaian kerja yang telah disiapkan di ujung tempat tidur dimana Hazel berada, Hazel melihat ada satu blouse putih dan rok hitam berkualitas terpampang dengan rapi di sana.“Aku isi perutku terlebih dahulu. Bisa-bisa aku jatuh pingsan seperti kemarin. Ya, apalagi aku memiliki atasan yang tidak punya otak seperti Jonathan.” Hazel meraih nampan dan mulai melahap beberapa menu sarapannya.Sementara Jonathan, turun menuju ke arah meja makan. Meja makan itu terlihat seperti meja makan para bangsawan. Dominan warna emas dan ukiran-ukiran yang rumit menghiasi setiap sisinya.Di kediamannya, Jonathan bagaikan seorang Grand Duke. Sementara di perusahaan, dia adalah Presdir dengan julukan si wajah datar. Di meja makan itu, Natasya sudah menunggu.“Selamat pagi, Tuan Parker,” sapa Natasya.“Pagi Nyonya Collins.” Jonathan balik menyapa dengan nada datar, ia duduk di ujung meja. “Bagaimana tidurmu, Nyonya Collins?” tanya Jonathan.Natasya tersenyum manis. “Tidurku cukup baik. Bagaimana dengan Tuan?"Jonathan mengangguk singkat, tanpa menunjukkan ekspresi apapun. "Baik. Aku cukup puas dengan tidurku."Pelayan-pelayan dengan cekatan menyajikan makanan di meja makan. Mereka dengan hati-hati menata hidangan-hidangan lezat dengan penuh keahlian. Aroma kopi yang harum tercium di udara, menggugah selera.“Tuan Parker, bagaimana dengan acara pertunangan kita?” tanya Natasya.Hazel yang baru tiba sontak terdiam mendengar ucapan Natasya. Bukan mengapa, malam panas yang terjadi antara dirinya dan Jonathan membuat hati Hazel tersayat. Meskipun dia tahu jika dirinya memang tidak pantas untuk meminta pertanggungjawaban dari atasannya yang sudah berbagi peluh kenikmatan dengannya.“Mereka berdua sangat serasi. Jadi, Tuan Jonathan sudah mempunyai calon istri? Apakah aku sanggup berada di antara mereka setelah semua yang sudah terjadi antara aku dan Tuan Jonathan?” Hazel membatin perih.Hazel mencoba menahan perasaannya dan tetap fokus pada pekerjaannya. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan mencoba untuk menghadapi situasi ini dengan kepala tegak.Sementara Jonathan menatap Natasya dengan dingin, tanpa menunjukkan ekspresi emosi apapun. Dia mengepalkan tangannya di bawah meja, mengendalikan dirinya agar tetap tenang."Acara pertunangan kita akan tetap berlangsung sesuai rencana. Tidak ada yang berubah,” jawab Jonathan."Tapi, Tuan Parker, aku merasa ada ketegangan di antara kita belakangan ini. Apakah semuanya baik-baik saja?""Semuanya baik-baik saja, Nyonya Collins. Kita harus tetap fokus pada rencana pertunangan kita."Natasya menggenggam tangan Jonathan. “Aku ikut ke perusahaan ya. Aku ingin melihat situasi di sana.”Jonathan hanya mengangguk sambil memotong sarapannya. Sesaat kemudian, netra Natasya mendapati Hazel yang berdiri tertunduk. Alisnya pun mengernyit.“Tuan Parker, siapa dia? Kenapa dia berdiri mematung di sana?”Jonathan mengangkat wajahnya, sedikit melirik ke arah Hazel dan kembali fokus pada sarapannya. “Sekertarisku. Aku harus segera ke perusahaan. Ada agenda yang harus aku selesaikan,” jawab Jonathan.Jonathan melanjutkan sarapannya dengan tenang, mencoba mengabaikan kehadiran Hazel yang terlihat tegang di ambang tangga. Jhonatan menyadari jika Natasya tampak bingung dengan kehadiran Hazel yang masih berdiri dengan kepalanya yang tertunduk."Dia adalah sekretarisku, Hazel. Dia baru saja bergabung dengan perusahaan kita. Tidak usah khawatir tentangnya."Natasya mengernyitkan alisnya, masih merasa penasaran dengan keberadaan Hazel. Namun, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut saat ini."Baiklah, jika itu yang Tuan katakan. Aku akan menemanimu ke perusahaan."Jonathan mengangguk singkat, menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Dia merasa terburu-buru untuk pergi ke perusahaan dan menyelesaikan tugas-tugasnya.“Mari kita pergi ke perusahaan sekarang. Pelayan, tolong siapkan mobil!"Pelayan dengan sigap mengangguk dan segera pergi untuk menyiapkan mobil. Jonathan dan Natasya berdiri dari meja makan, sementara Hazel masih berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan perasaan tercabik saat Natasya menggaet lengan Jonathan.“Apa kau hanya ingin berdiri seperti patung?” kata Jonathan saat melihat ke arah Hazel.Hazel membungkuk dengan cepat. “Ma-maafkan saya Tuan.” ia dengan cepat menyusul.Hazel merasa hatinya teriris saat Jonathan memperhatikannya dengan tatapan tajam. Dia segera membenarkan dirinya dan berjalan cepat mengikuti Jonathan dan Natasya yang menuju pintu keluar.“Mengapa aku harus terluka? Seharusnya aku yang tahu diri karena aku yang datang saat tuan Jonathan sedang berendam dan memberikan diriku dengan suka rela. Haa... Lupakan sakit hatimu, Hazel. Fokus pada pekerjaanmu!” ucap Hazel dalam hati. Mencoba mensugestikan dirinya agar tidak terpancing.Mereka berjalan menuju mobil yang telah siap menunggu di luar kediaman. Hazel duduk di belakang, mencoba mengendalikan perasaannya yang kian campur aduk.Perjalanan menuju perusahaan berlangsung dalam keheningan yang tegang. Hazel merasa canggung di antara Jonathan dan Natasya, merasa seperti seorang penonton yang tidak seharusnya ada di situ.Sesampainya di perusahaan, mereka berjalan menuju ruang kerja Jonathan. Hazel mencoba untuk tetap fokus dan profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai sekretaris."Hazel, pastikan untuk mengatur jadwalku hari ini dan siapkan semua dokumen yang dibutuhkan.""Tentu, Tuan Jonathan. Saya akan segera melakukannya."Hazel berusaha menjalankan tugasnya dengan efisien, meskipun hatinya masih terasa berat. Dia mencoba untuk mengabaikan perasaan pribadinya dan tetap fokus pada pekerjaannya.Natasya memperhatikan Hazel dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi di matanya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa dalam dinamika antara Hazel dan Jonathan.“Ada sesuatu yang aneh dengan sekertaris ini.” pikir Natasya.Melihat tatapan Natasya yang penuh selidik, membuat Hazel merasa khawatir dan terpojok. “Tuan, saya permisi dulu. Saya akan menyiapkan dokumen yang anda minta,” kata Hazel yang mencoba menghindari situasi yang tidak menyenangkan ini.Tanpa menatap, Jonathan hanya mengangguk. Melihat anggukan atasannya itu, Hazel bergegas keluar dari ruangan tersebut.Natasya menatap punggung Hazel dengan satu alis yang naik. Wanita itu kemudian melangkah ke arah Jonathan yang ada di meja kerjanya.“Tuan Parker,” ucap Natasya manja, dia duduk di pangkuan Jonathan sambil menarik dasi Jonathan.Jonathan menatap Natasya dengan dingin, tidak menunjukkan reaksi apapun atas tindakan wanita itu. Jonathan mengambil nafas dalam-dalam dan mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Dia tahu bahwa dia harus tetap fokus dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai presdir perusahaan."Berhentilah, Natasya. Aku harus tetap fokus pada pekerjaanku," ujar Jonathan dengan nada yang dingin.Natasya merasa sedikit terguncang oleh sikap Jonathan yang dingin. “Tuan Parker, aku calon istrimu. Tidak peduli kita berada di mana. Semua orang juga tahu jika kita ini pasangan yang sempurna, bukan?” desis Natasya, telunjuk wanita itu bermain di jakung Jonathan.Jonathan menghentikan aktivitasnya, pria pemilik mata biru itu menarik pinggul Natasya agar menempel dengan tubuhnya. “Katakan saja jika kau ingin diperhatikan, Nyonya Collins,” kata Jonathan.“Tidak perlu aku menjawab, bukan?” Natasya mendaratkan ciumannya di bibir calon suaminya itu.Sementara Hazel, meninggalkan ruangan dengan hati yang tercabik-cabik. Dia melangkah cepat menuju ke toilet untuk menenangkan dirinya.“Aahh… Perasaan apa yang aku rasakan ini? Kenapa begitu sakit? Apakah karena atasanku sudah mengambil kesucianku?”Hazel merasa hancur karena Jonathan. Sebuah perasaan kecewa yang dalam bisa menghantui siapa saja jika hal ini terjadi kepada mereka yang mengalami.Ya, meskipun kejadian itu terjadi karena kesalahannya sendiri, Hazel tetap merasakan yang namanya terluka.“Huftt…! Tenangkan dirimu, Hazel. Kenyataan itu memang pahit agar kamu bisa menjadikannya sebagai pelajaran di dalam hidupmu.”Hazel mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri di dalam toilet yang sepi. Hazel mencuci wajahnya dengan air dingin, berusaha menghilangkan rasa sakit dan kekecewaan yang masih menghantuinya.Krek!Hazel memutar tubuhnya saat mendengar suara derit pintu toilet berbunyi. “Tuan Parker, apa yang anda lakukan di toilet wanita?” kaget Hazel.Jonathan mengunci pintu itu dan mendekati Hazel dengan wajah beku. pria itu lebih mendekat lalu menempelkan tubuhnya pada tubuh Sekretarisnya itu. Hazel bergidik, dia melangkah mundur. Sayangnya, punggungnya terantuk sisi wastafel.“Kau mencoba melarikan diri dariku? Atau kau sedang cemburu, Huh?!" Jonathan dengan cepat mencengkram pipi Hazel.Hazel merasakan rasa sakit ketika Jonathan memegang pipinya dengan kasar. Matanya menatap tajam ke dalam mata biru Jonathan, mencoba menunjukkan ketegasan meskipun ia merasa ketakutan.“Tuan, tolong lepaskan saya,” pinta Hazel, mencoba untuk melepaskan diri dari cengkraman Jonathan.Jonathan hanya tersenyum sinis di hadapannya. “Kau menyebalkan, Hazel,” katanya dengan suara serak. Jonathan melepaskan kacamata wanita itu.Iris mata hijau itu terpancar ketakutan. Namun, Jonathan sangat menyukai itu. “Kau terus menggodaku dengan tatapan menyedihkanmu.” Jonathan pun menyergap bibir Hazel."Ummhh..." Hazel mencoba mengelak.Cukup singkat, Jonathan melepaskan pungutan bibirnya.“Kau boleh pulang menemui ibumu. Tapi ingat, Hazel Bennett, jika kau berani melarikan diri, aku tidak segan-segan membunuh ibumu,” kecam Jonathan sambil mengusap bibir Hazel yang bengkak dengan ibu jarinya.Pagi yang sepi di kota kecil, Carl meninggalkan penginapan dengan misi yang jelas: menemukan Victor, satu-satunya orang yang bisa memberi mereka informasi penting tentang Tuan Lucas. Jonathan, Hazel, dan Amy menunggu dengan cemas, waktu terasa semakin menipis sementara ancaman dari Tuan Lucas terus membayangi.Beberapa jam kemudian, Carl kembali dengan wajah penuh ketegangan namun membawa kabar baik.“Aku menemukannya,” kata Carl, suaranya tenang tapi bersemangat. “Victor setuju untuk bertemu kita malam ini, di sebuah gudang tua di luar kota.”Jonathan mengangguk cepat. “Bagus. Ini kesempatan kita untuk mengetahui kelemahan Tuan Lucas dan menghentikannya.”---Di Gudang TuaMalam tiba dengan suasana tegang. Gudang tua di luar kota tampak gelap dan terisolasi. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy memasuki tempat itu dengan hati-hati. Di dalam, seorang pria paruh baya dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di sudut ruangan—Victor.“Aku tahu siapa yang kalian lawan,” kata Victor, suaranya sera
Malam semakin larut. Cahaya redup dari lampu-lampu jalan di kota kecil memberikan sedikit rasa tenang bagi Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy. Mereka duduk di bawah pohon besar di tepi jalan kota, berusaha mengatur napas setelah pelarian panjang dan penuh bahaya. Meski mereka telah mencapai tempat yang terasa lebih aman, bayang-bayang ancaman masih membayangi pikiran mereka."Apakah kita benar-benar aman sekarang, Jonathan?" bisik Hazel, suaranya lelah.Jonathan menatap Hazel dengan tatapan penuh kepedulian. “Untuk sekarang, kita aman. Tapi kita harus tetap waspada. Kota kecil ini memang terpencil, tapi kemungkinan mereka menemukan kita tetap ada.”Amy, yang duduk di samping Hazel, meremas tangan putrinya dengan lembut. “Kita sudah sejauh ini, Hazel. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”Carl yang terus memeriksa keadaan sekitar, berbicara dengan nada serius, “Aku setuju dengan Anda, Tuan. Mereka mungkin akan terus mencari kita. Tapi untuk saat ini, kota ini bisa menjadi tempat persembu
Malam semakin larut saat Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy terus melangkah menuruni gunung. Udara dingin menusuk kulit, namun mereka tidak punya pilihan selain terus bergerak. Meskipun wajah-wajah mereka sudah memancarkan kelelahan yang nyata, semangat untuk bertahan hidup tetap menyala.Jonathan menoleh ke arah Hazel yang berjalan di sampingnya, wajahnya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa bertahan?" bisiknya, mencoba memastikan bahwa Hazel tetap kuat.Hazel menatap Jonathan dengan mata yang lelah. "Aku bisa, Jonathan. Aku tidak akan menyerah sekarang," jawabnya dengan suara yang gemetar namun tegas.Jonathan tersenyum kecil, merasakan semangat Hazel yang perlahan kembali. "Kita hampir sampai, Hazel. Kota itu ada di balik gunung ini. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi."Di sampingnya, Carl berjalan dengan hati-hati. "Jalur ini aman untuk sekarang, tapi kita harus tetap waspada. Mereka pasti masih mengejar kita," katanya, pandangannya terus menyapu sekitar.Amy,
Di dasar lembah, Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy berdiri terengah-engah di tepi sungai yang deras. Napas mereka berat setelah pelarian panjang, dan di atas lembah, anak buah Tuan Lucas telah siap dengan senjata terarah, mengepung kelompok yang mencoba melarikan diri."Berhenti! Kalian tidak akan bisa pergi lebih jauh! Serahkan diri kalian sekarang!" teriak salah satu anak buah, suaranya menggema di udara malam yang dingin.Jonathan menatap Hazel di sampingnya. Wajah Jonathan dipenuhi kelelahan. Di belakang mereka, sungai menderu, sementara di depan mereka, ancaman senjata terus mendekat. Carl dan Amy berdiri di sisi lain, sama-sama menyadari bahwa mereka telah mencapai titik kritis.Jonathan berbisik kepada Hazel, suaranya lembut namun penuh tekad. "Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapmu, Hazel. Apa pun yang terjadi, kita harus terus bergerak. Dan seandainya kita mati, kita harus mati berdua!" ucap Jonathan. "Jo, apakah kamu tidak menyerah saja? Pergilah bersama Natasya. Aku...
Malam semakin larut, dan suasana semakin mencekam di dalam rumah kecil itu. Jonathan, Hazel, Carl, dan Amy bergerak cepat, berkemas untuk pelarian yang semakin mendesak. Mereka tahu waktu mereka terbatas—ancaman dari Tuan Lucas semakin mendekat.Hazel berbisik pelan, suaranya penuh ketakutan. "Jonathan, bagaimana kalau kita tidak bisa keluar tepat waktu? Bagaimana kalau mereka mengepung kita?"Jonathan menatap Hazel dengan penuh keyakinan, meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Kita akan keluar, Hazel. Carl tahu jalan rahasia, dan kita harus percaya bahwa ini akan berhasil."Carl, yang tengah memeriksa jalur di peta kecilnya, berdiri di dekat mereka. "Ada jalur di sebelah timur desa, jalur yang hampir tak pernah dilalui. Dari sana, kita bisa menuju lembah yang akan membawa kita keluar dari sini. Tapi kita harus cepat."Amy, dengan wajah pucat karena kelelahan, menatap Carl. "Apakah kita punya cukup waktu? Apa mereka sudah dekat?"Carl mengangguk pelan, nada suaranya serius. "Jika kit
Pagi yang cerah di desa kecil itu memberikan kedamaian sementara bagi Hazel, Jonathan, Carl, dan Amy. Setelah pelarian panjang dan penuh bahaya, akhirnya mereka bisa berkumpul kembali. Namun, meski mereka merasa sedikit lega, Jonathan tahu bahwa bahaya masih mengintai. Keluarga Carlos dan Lucas tidak akan berhenti sampai menemukan apa yang mereka cari.Di dalam rumah kecil, Hazel duduk di samping Amy yang masih terlihat lelah. Sementara Carl, bersandar di dinding, mengamati keadaan sekitar dengan waspada. Meski suasana tenang, ada ketegangan yang terasa semakin berat, seolah ancaman itu menggantung di atas mereka.Hazel menatap ibunya. "Ibu, bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?"Amy tersenyum kecil meski rasa sakit masih terasa di tubuhnya. "Ibu akan baik-baik saja, Hazel. Jangan khawatir tentang Ibu. Yang penting, kita semua masih bersama."Hazel menggenggam tangan ibunya erat-erat. "Aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu, Bu. Ibu sudah melakukan segalanya unt