Kemarahan Ferdy semakin terpancing oleh perkataanku. Dia menampar wajahku keras dibarengi Nindy juga menjambak rambutku. Sangat sakit tapi aku hanya diam tak bereaksi. Kurasa bibirku sudah pecah oleh tamparan yang ditambah Nindy, dia memberi tamparan empat kali dan tertegun melihatku mematung.
"Kamu nggak mau minta maaf?" sentak Ferdy, bisa kulihat kemarahannya bercampur rasa iba. Tapi, tak juga dia cegah istrinya menamparku sekali lagi.
"Istri kamu memang gila, Mas. Aku nggak ngerti kenapa ada orang kayak dia. Pantas aja mandul, udah selingkuh juga nggak malu pulang ke rumah ini. Minta maaf pun nggak mau." Dia mundur setelah mengatakan itu, tapi matanya tampak takut membalas tatapanku yang tertuju padanya.
"Kamu pikir dirimu suci? Perebut suami orang!" sentakku. Amarah di dalam diri menggila sampai tak sadar aku melesat ke depan Nindy dan membalas satu tamparan di wajahnya.
Itu belum cukup. Aku akan membalas sebanyak pukulan yang dia dan Ferdy be
Aku tertegun di depan pintu apartemen milik Pak Arsen. Niatku untuk melampiaskan kemarahan, luruh begitu saja kala menatap matanya yang gelap penuh amarah. Dia seperti iblis yang siap menerkam mangsanya menatap wajah penuh luka yang hanya diam tak berkutik."Sudah berapa kali kukatakan jangan pernah pergi tanpa ijinku? Apa kau bodoh? Kau tak punya telinga? Kau senang mendapatkan semua ini?" Dia menyentak tanganku masuk ke apartemennya."Duduk di sini!" perintahnya, berlalu ke arah dapur dan kembali dengan cawan besar berisi air hangat.Tangannya sigap membersihkan wajahku yang kuyakini memerah oleh tamparan Ferdy dan Nindy. Hangat dari handuk basah itu terasa perih beradu dengan kulitku. Tak kuhiraukan, hanya membiarkan Pak Arsen melakukannya."Dia menceraikanku," bisikku, hatiku sakit saat kusadari tengah memohin iba dari lelaki ini."Lantas?" Hanya satu kata itu yang keluar dari bibirnya.Setidakberguna itu kah hidupku, sampai
Aku tak mengerti akan ucapan Pak Arsen, tapi bisa kupahami kalau dia ingin kami melakukannya di sini. Tangannya bergerak lembut menyentuh pipiku dan diraba sangat pelan. Darahku seperti mendidih, berdesir mengikuti sentuhan yang kini berhenti di dagu."Nara," panggilnya dalam. Suara itu berat dan serak membuat bulu-buluku kembali berdiri.Berbeda. Ini bukan efek dari nikmat seperti yang dia lakukan pada bagian intimku tadi. Tepatnya, aku merasa merinding yang menakutkan. Takut akan matanya yang menggelap seperti predator yang akan memangsaku."Lihat, baru saja kau menikmati cumbuanku dan sekarang kau menjadi takut padaku."Dia bangkit dari sisi ranjang untuk melepaskan sabuk yang mengikat celananya. Awalnya kupikir Pak Arsen akan segera menindihku seperti yang biasanya, tapi kali ini berbeda. Dia lebih fokus melepaskan sabuk itu dari pinggang celananya.Tanpa mempedulikan tatapanku yang ketakutan, Pak Arsen kembali duduk di sisi ranjang
"Ra, Pak Arsen manggil kamu itu."Yunita berkata setelah berbicara di dalam telepon. Aku yang sedang sibuk dengan pekerjaan, refleks mengalihkan wajah padanya."Pak Arsen?" ulangku memastikan dan Yuni mengangguk."Katanya minta kopi yang sama kayak kemarin."Lagi? Aku tahu itu cuma alasan. Kopi yang aku antar kemarin saja tidak pernah dia minum."Oh, oke."Sambil menyeduh kopi pesanan Arsen, Yuni mengamatiku dari tempatnya. Tatapannya yang terlihat aneh sungguh membuatku ingin membuang muka rasanya. Aku takut dia curiga melihatku yang belakangan ini selalu dipanggil ke ruangan itu."Nara, sebenarnya ada apa?" tanya Yuni.Mungkin dia khawatir dengan perceraianku?"A-apa? Nggak usah dipikirin, Yun. Aku baik kok, perceraian nggak bikin aku jatuh," jawabku, memberikan senyum pada Yunita. Aku tak suka membahas Ferdy yang akan membuat hariku rusak."Bukan. Aku tau kamu santai banget kayak nggak a
Tangan Arsen menjalar di pipiku sedang sorot matanya tak lekang menatap langsung dua manikku. Aku jadi malu, menurunkan pandangan ke atas pangkuan. Dia mendengus pelan dan bisa kubayangkan sudut bibirnya terangkat menertawakanku."Ada apa, Nara? Kenapa tubuhmu menegang? Tak bisa santai sedikit?" Ada nada bercanda di balik suaranya, seakan tak punya rasa takut seperti yang kupikirkan sejak tadi."Jangan di sini," bisikku parau. Namun, hanya hatiku yang tahu bahwa ada perasaan ingin disentuh olehnya."Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat aku akan memuaskanmu di ranjang?"Apa di sini ada ranjang? Apa dia tidak bisa membedakan antara ranjang dan sofa? Ingin sekali aku berteriak di telinganya berkata kalau kami sedang di kantor dan bisa dilihat orang lain."Nanti ada yang datang." Namun hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku, dan tentunya dengan suara yang hampir berbisik.Sekali lagi kudengar dia mendengus, seakan itu
'Nara, please. Jaga pikiranmu agar tetap waras. Kau anggap dirimu sangat berharga sampai dia melamarmu? Sadar, dia sedang mempermainkanmu,' batinku melempar aku pada kenyataan.Lantas aku berdiri dari sofa itu dan tersenyum tipis padanya. "Pak Arsen, jangan mengada-ada. Langit nggak mungkin turun menyentuh bumi. Dan bumi sendiri pun tak akan mau disentuh langit sebab itu akan membuatnya pecah, hancur. Kita saling membutuhkan, bukan menginginkan," ucapku berani. Ini kali pertamaku berbicara tegas padanya meski di tenggorokan terasa kering.Dan bisa kulihat dia mengangkat sudut bibirnya seakan meledekku. "Betul, aku setuju. Langit memang tak perlu membuang waktu untuk turun memeluk bumi."Tak bisa kupungkiri hatiku kecewa oleh jawabannya. Seperti aku berharap dia akan menahanku dan mengatakan tak ada bumi dan langit antara kami. Bodohnya."Kalau begitu saya permisi, Pak." Tak perlu kutunggu jawaban darinya lalu kuputuskan meninggalkan ruangan
"Nindy, bangun, Nindy."Kutepuk pelan wajah itu untuk membangunkan Nindy dari keadaannya. Dia tak bergeming, masih setia menutup mata. Kakiku mulai gemetar merasakan takut luar biasa yang kian mendera.Dia hanya pingsan, kan? Aku harap dia hanya merasa sedikit terkejut dan nanti akan kembali bangun. Lantas aku berlari ke arah dapur meraih segelas air untuk kubawa ke ruang tengah. Dengan tangan yang semakin gemetar, kubasuh wajah wanita yang membuatku terusir dari rumah itu, penuh dengan kekhawatiran. Jika dia kenapa-kenapa, aku yakin tak akan ada yang mau percaya padaku. Semua orang pasti menuduhku membunuhnya demi mendapatkan Ferdy lagi. Tak diragukan lagi tuduhan itu.Ya Tuhan ... tolong selamatkan dia dan bayinya. Hatiku berdoa untuk perempuan yang membuatku menjadi janda ini. Meski aku sangat membencinya, tetap saja, aku berharap dia segera pulih."Nindy, bangun. Tolong bangun, Nindy," bisikku, masih dengan menepuk pelan wajahnya. Aku se
Ponsel di tangan kugenggam erat untuk menyamarkan getaran tubuhku. Arsen belum juga berbicara di ujung sana meski sekedar mengatakan apakah dia mau datang atau tidak. Dan Ferdy, jangan tanyakan dia, sebab orang itu kini tertawa semakin lebar. Dia masih terus mengatakan kalimat yang menyakiti, tuduhan mandul dan perempuan murahan padaku.Tak lupa Nindy. Perempuan perebut suami orang itu sudah berdiri di sebelah suaminya. Pergi ke mana rasa sakit yang dia katakan tadi? Licik."Udah lah, Mas. Usir aja sih, dia. Ngapain dibiarin di depan rumah kita? Kayak kuman! Malu juga kita kalo dilihat tetangga, kan?" ucapnya, mengingatkan Ferdy agar segera mengusirku."Biarin aja, Nin. Aku mau lihat siapa yang dia telepon tadi? Memangnya ada yang benar-benar peduli padanya?"Dan tak lama setelah Ferdy berkata seperti itu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku tak mengenal mobil itu, tapi bukan milik Arsen. Meski begitu, hatiku terus berdoa dan berharap memang
"Jangan ..." mohonku. Kedua tangan kulipat di depan dada untuk melindungi kulitku dari sabetan cambuk yang dia bawa. Arsen hanya tersenyum miring dan terus melangkah mendekatiku."Jangan cambuk aku," pintaku lagi."Buka bajumu, Nara.""Nggak ..." jawabku gemetar.Arsen mendecih. Dengan tenang dia letakkan cambuk itu di atas ranjang sebelum datang lebih dekat padaku. Dalam sekali sentakan, dia merobek pakaian atasku sampai menimbulkan suara 'srek' yang panjang."Argh!" jeritku, mengiringi suara robekan itu sampai ke ujung baju kaus yang kukenakan.Refleks kedua tangan menutup bagian dadanya yang sudah terpampang hanya tertutup pakaian dalam."Jangan ... jangan seperti ini!" jeritku, berharap Arsen menjadi iba.Masih dengan tatapannya yang tak bersahabat. Arsen menarik bra pembungkus dua bukit kembarku dan berakhir robek seperti baju kaus itu. Dia pandangi kain penutup itu sejenak sebelum melemparnya