Share

Bab 8. Terjebak dalam permainan sendiri

Clarissa duduk menyilangkan kakinya sesaat setelah mengambil minuman dari atas meja. Setiap tegukan jus yang masuk ke dalam bibir Clarissa tak luput dari perhatian Mahesa Cao, membuatnya tidak sabar untuk memiliki Carissa. “Kenapa kamu tidak menjawab, Sayang?”

Mahesa berusaha membelai pipi Clarissa. Namun, tangannya ditahan oleh Clarissa. “Jika anda berminat, jangan di sini karena aku tidak suka jadi tontonan."

Kedua sudut bibir Mahesa terangkat seketika. Dia menatap Clarissa penuh dengan nafsu. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya untuk Clarissa.

Clarissa tersenyum menerima uluran tangan lelaki yang sudah masuk ke dalam perangkapnya. Dia berdiri menggandeng tangan lelaki itu, melangkah ke luar club dengan sangat anggun. Membuat siapa saja iri melihat pemandangan tersebut.

"Kita akan ke mana, Sayang?"

"Terserah, yang jelas aku tidak suka di hotel karena aku ingin berlama-lama berada di sampingmu," ucap Clarissa bergelayut manja.

"Baiklah, kalau begitu kita ke markas.” 

Clarissa sudah tidak mampu lagi menyembunyikan kebahagiaannya. Dia tidak perlu bersusah payah untuk membuat Mahesa menggiringnya ke markas.

"Apa kamu bahagia bisa bersamaku?" tanya Mahesa berusaha mencium Clarissa. Tapi, tangan Clarissa berusaha mendorong wajah Mahesa perlahan.

"Jangan di sini, Tuan. Aku malu." 

"Kamu memang gadis yang sangat menggemaskan." Mahesa mencubit dagu Clarissa yang lancip.

Clarissa hanya membalas senyuman agar Mahesa tidak curiga. Namun, sebenarnya Clarissa ingin mematahkan tangan Mahesa Cao saat ini juga. Baru kali ini ada lelaki berani menyentuh dirinya. Jika saja bukan karena untuk mencari nama di Anggota Geng Srigala Putih. Clarissa tidak akan pernah mau diperlakukan seperti itu.

Mobil Bentley Mulsanne hitam itu turun di sebuah gedung berlantai tiga. Memiliki warna kombinasi antara putih dan abu-abu.

Clarissa turun dengan sangat anggun saat pintu mobil terbuka. Dia memasuki bangunan mewah itu dengan menggandeng tangan Mahesa Cao. Semua orang yang berada di sana menundukkan kepala. 

Mata Clarissa melihat sekeliling markas tersebut. Tidak ada hal yang membuatnya tertarik bahkan di sana tidak ada barang mewah yang terpampang. Walaupun bangunan itu berlantai tiga. Apa benar berlian itu di tangan Mahesa?

Clarissa berusaha menepis kecurigaannya. Dia akan mencari berlian itu nanti. Dia melangkah menuju sebuah ruangan yang sangat besar bahkan pintunya berlapis dengan emas. Dari semua ruangan hanya ruangan itu yang terlihat mewah. Clarissa yakin jika ruangan tersebut adalah ruangan Mahesa.

Mahesa membuka jas mahal yang dia kenakan di depan Clarissa, saat mereka sudah berada di dalam ruangan tersebut. Dia perlahan mendekati Clarissa, mencium aroma tubuh Clarissa yang begitu menggoda.

“Apa anda tidak ingin bermain-main terlebih dahulu, Tuan?” tanya Clarissa melangkah menuju ke sebuah kursi goyang. Dia melemparkan pantatnya di atas kursi goyang tersebut.

“Aku tidak suka terburu-buru. Bagiku itu kurang menyenangkan,” lanjut Clarissa.

“Apanya yang kurang menyenangkan, Sayang. Bukankah kita akan menikmati surga dunia bersama?”

Sorot mata Clarissa berubah menjadi tajam. Dia merasa muak dengan lelaki seperti Mahesa Cao. Perlahan dia bangkit mendekati Mahesa dengan aura pembunuh. Membuat Mahesa sedikit tidak mengerti.

“Ada apa denganmu? Kenapa kamu menatapku seperti itu?”

Senyum menyeringai terpampang jelas di bibir Clarissa. “Aku bukan wanita murahan yang akan menyerahkan diriku kepadamu. Asal kamu tau, yang aku inginkan bukan tidur bersamamu, melainkan nyawamu.”

Clarissa mengeluarkan pistolnya yang baru saja dibeli dari sahabatnya. Dia mengarahkan ke kening Mahesa. Namun, raut wajah Mahesa terlihat biasa saja. Dia tidak takut sama sekali. Malah dia tersenyum dengan apa yang dilakukan oleh Clarissa. Membuat Clarissa menautkan kedua alisnya.

“Kamu adalah anak kemarin sore Clarissa. Kamu ingin membunuhku? Apa kamu yakin akan berhasil?” 

“Maksudmu?” Clarissa terlihat kebingungan dengan ucapan Mahesa. Bagaimana orang ini bisa mengatakan hal itu. Sedangkan pistol Clarissa sudah berada tepat di keningnya?

“Lakukan saja apa yang kamu inginkan, Clarissa. Namun, jika tidak berhasil, jangan salahkan aku.”

Clarissa menekan pelatuk pistol tersebut. Tapi, tidak terjadi apapun kepada Mahesa Cao. Dia mulai memeriksa pistolnya, dan ternyata tidak ada peluru di dalamnya.

“Ha-ha-ha-ha. Clarissa … Clarissa. Asal kamu tahu, sahabat yang selama ini kamu percaya adalah anak buahku.” Mahesa menarik dagu Clarissa. “Menurut kamu kenapa aku tadi mendekatimu? Karena kecantikanmu? Kau terlalu bodoh Clarissa. Aku tidak mungkin membawa seorang wanita murahan ke dalam markas.”

Clarissa mengepalkan tangannya. Dia merasa terkhianati untuk kesekian kali. Saat ini nyawanya berada di ujung tanduk. Tidak mungkin dia melawan Mahesa dengan beberapa anak buah yang dimilikinya. Apalagi saat ini dia hanya seorang diri.

“Aku beri kamu waktu untuk berpikir. Keluar dalam keadaan mati atau tinggal dalam keadaan hidup?”

“Jika aku memilih tinggal. Apa yang akan terjadi?” tanya Clarissa. Dia tidak ingin gegabah dalam mengambil tindakan.

“Menikah denganku. Hidupmu akan lebih sejahtera.”

Clarissa membuang mukanya. Dia bahkan enggan menatap wajah lelaki tua seperti Mahesa Cao. Lalu bagaimana dia bisa menjadi istrinya. Tapi, dia juga tidak mau mati konyol di tangan Mahesa. 

“Aku butuh waktu untuk itu.”

“Tidak masalah. Aku beri kamu waktu satu minggu. Dalam waktu satu minggu ke depan, kamu harus sudah menjadi istriku.”

Setidaknya dalam waktu satu minggu itu dia bisa menemukan berlian tersebut. “Baiklah.”

Clarissa duduk termenung di tepi ranjang. Memegang kepalanya yang terasa berat. Semua rencananya gagal total. Dia yakin jika berlian itu sudah tidak ada di markas ini. Saat dia merebahkan tubuhnya, terdengar suara teriakan orang-orang dari lantai dasar.

Clarissa mencoba bangkit dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata markas ini kebakaran. Dia terlihat panik melihat semua itu. Bagaimana dia keluar dari tempat itu? Sedangkan dia saat ini sedang dikunci.

Clarissa mencoba melihat barang-barang yang ada di dalam kamar tersebut. Dia mengangkat sebuah kursi untuk memecahkan jendela kamar tersebut. Namun, dia urungkan niatnya. Rasanya percuma dia memecahkan kaca itu. Dia tidak akan bisa keluar dari sana, karena dia berada di lantai tiga. Jika dia melompat, dia juga akan mati.

Clarissa mulai pasrah. Dia memejamkan matanya, menjemput ajal yang sebentar lagi akan menjemput. “Maafkan Clarissa, Ayah. Clarissa tidak bisa menyelamatkan Ayah.”

“Ayo, pergi.”

Clarissa membuka matanya. Dia melihat seseorang memakai topeng kain berwarna hitam menarik tangan Clarissa. Clarissa hanya memperhatikan lelaki tersebut. Dia tidak tahu siapa lelaki itu. Apakah dia Leonardo Shu?

Namun, dari gestur tubuhnya dia bukan Leonardo. Leonardo lebih tinggi daripada orang tersebut. “Siapa kamu?”

“Tidak penting siapa aku, yang terpenting saat ini kamu bisa pergi dari sini dengan selamat.”

Clarissa hanya mengikuti langkah lelaki itu. Dia tidak mau melanjutkan pertanyaannya. Dia simpan rapat-rapat rasa penasaran yang ada dalam hatinya.

Melihat ke sekeliling markas yang telah hampir habis terbakar dengan raut wajah kecewa. Dia menghempaskan tangan lelaki itu dengan kuat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status