LOGINCaelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu.
"Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah. Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat. Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya. Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap? “Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang menekan napas Caelyn. Ada sisi Neil yang lain. Sisi yang tidak kekanakan, tidak seenaknya, tidak menggoda. Wajah itu keras, penuh ketegasan bahkan ancaman. Terkadang ada saat, Neil tampak seperti seseorang yang benar-benar berbahaya. Aura pria itu mengingatkannya pada karakter mafia di film-film kriminal. Angkuh. Tak terbantahkan. Menyeramkan. Tapi tiba-tiba, ketegangan itu runtuh dengan bantahan hanya candaan. “Ya udah kalau loe ragu, kita balik lagi ke rumah sakit. Gue gak mau maksa,” kata Neil, kali ini lebih tenang. Sorot matanya melembut. Caelyn sempat terdiam. Kepalanya perlahan menggeleng. Ia mencoba menyingkirkan bayangan mengerikan di pikirannya, menelan rasa takut dan malu, lalu mengangguk pelan. Neil hanya membalas dengan senyum kecil, kemudian mendorong pintu kamar. Mereka masuk. Kamar hotel itu lebih luas, terang, dan sunyi. Bau ruangan masih segar, dengan pendingin ruangan yang bekerja sempurna dan jendela kaca besar memperlihatkan pemandangan kota yang perlahan mulai padat. Caelyn hanya sempat berdiri mematung sebelum suara ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya. Seorang pelayan hotel masuk dengan hati-hati membawa nampan perak berisi dua cangkir kopi dalam set lengkap. Seragamnya rapi, rambutnya tertata, dan sikapnya sopan nyaris seperti menghormati seseorang dengan jabatan penting. "Silakan dinikmati kopinya," ucap pelayan itu, membungkuk ringan ke arah Neil, lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi. Caelyn melirik Neil yang sedang melepas maskernya, matanya penuh curiga. "Mungkin karena kita datang pagi-pagi, mereka jadi kasih kita bonus" Neil berusaha menghapus kecurigaan Caelyn. Namun Caelyn justru semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Neil. Seseorang tak mungkin diperlakukan seistimewa itu jika hanya tamu biasa. "Di minum dulu biar gak tegang," ucap Neil sambil melirik ke arah kopi yang sudah tersaji. Caelyn duduk di sofa. Ia meraih cangkirnya dan menyeruput sedikit. Kopinya wangi dan kuat, lembut tapi penuh rasa. Jauh berbeda dengan kopi-kopi yang biasa ia beli di kafe sederhana dekat rumah sakit. Tapi rasa nikmat itu hanya bertahan beberapa detik. Setelahnya, rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya. Kopi seenak apa pun tak akan bisa menghapus kenyataan bahwa ia sedang berada di hotel bersama pria lain… sementara Ether masih bertarung dengan hidupnya. Neil lalu duduk di sebelahnya. Ia menyandarkan tubuh di sandaran sofa, menghembuskan napas panjang seolah baru saja menyelesaikan perjalanan berat. "Terus kita ngapain?" tanya Caelyn polos. Neil menoleh cepat, lalu tertawa pendek. "Loe ternyata orangnya gak sabaran banget, ya," godanya. "Sebaiknya kita cepat lakuin apa yang loe mau. Gue pengen cepat-cepat balik ke rumah sakit," jawab Caelyn datar. "Baru juga berapa menit loe keluar dari sana, udah pengen balik lagi aja. Emang gak bosen di rumah sakit? Bau obat gak bikin mual? Gue aja mual cium aromanya." "Ada seseorang yang harus gue jaga di sana," ucap Caelyn lirih. Neil menghela nafas, lalu menjulurkan tangan ke dalam kantong hoodie-nya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dan meletakkannya di meja. Caelyn menatap foto-foto itu. Seorang perempuan cantik, berpakaian elegan, berjalan di atas runway. Dia jelas seorang model. "Gue minta loe deketin dia gimanapun caranya. Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang dia, apapun itu," ujar Neil, dengan nada serius. Caelyn mengerutkan kening. "Jadi loe ngajak gue ke hotel bukan buat..." "Buat apa? Tidur sama gue?" potong Neil, lalu tertawa lepas. "Loe pasti udah salah sangka, ya? Oke, sekarang dengerin. Kemarin malam gue minta loe datang ke hotel karena gue mau jelasin apa yang harus loe lakuin buat gue. Gue tahu penjelasan gue bakal lama, dan loe gak mungkin balik ke rumah sakit di malam yang sama. Jadi otomatis loe bakal tidur di hotel yang sama, sama gue. Tapi bukan berarti kita bakal tidur satu ranjang, Caelyn. Gila aja loe mikir ke sana. Emangnya loe kira gue cowok kayak gimana?" Caelyn membisu. Jantungnya mulai tenang. Tak ada kata yang bisa menggambarkan rasa lega yang menyeruak dari dalam dadanya. Ia bisa bernapas lebih lapang sekarang. Neil lalu berdiri dan mulai melepas hoodie-nya, diikuti kaos yang menempel di tubuhnya. Terlihat jelas tubuhnya yang atletis, tapi hampir penuh dengan jaringan parut yang menandai perut dan dadanya. Di antara tato-tato bergaris tajam, sikatriks itu terlihat jauh lebih mengerikan. "Lagian, tubuh gue begini… emang loe mau tidur sama cowok dengan tubuh rusak kayak gini?" ucap Neil lirih. Caelyn menatapnya lama, kemudian menunjuk bekas luka itu. "Itu?" “Gue punya kanker pankreas, stadium terminal. Itu semua bekas operasi,” ucapnya pelan. “Gue udah nyoba kemoterapi, imunoterapi, semuanya. Tapi… kanker ini udah nyebar ke hati dan paru-paru. Kata dokter, waktu gue gak akan lama lagi.” Caelyn tak bisa berkata apa-apa. Dunianya berhenti sejenak. Pria yang ia sebut gila itu ternyata memiliki jalan hidup yang tak biasa. "Tapi loe gak perlu khawatir, gue pasti bakal pamitan kok sama loe sebelum mati. Mendingan sekarang loe dengerin gue baik-baik." Caelyn tak menjawab, hanya mengangguk kecil, lalu menegakkan duduknya, memperlihatkan bahwa dia siap mendengar apa pun yang akan keluar dari mulut Neil. "Dia itu pacar gue," kata Neil blak-blakan, menatap lembaran foto di atas meja. "Ah!" Ia menghela napas, seperti seseorang yang enggan mengakui sesuatu. “Gue juga gak tahu kenapa gue bisa jadian sama dia… padahal gue gak cinta.” “Aneh!” celetuk Caelyn tanpa sadar, alisnya naik sedikit. “Iyakan. Aneh.” Neil menanggapi dengan nada santai, seolah mengiyakan ketidakwajaran itu. “Loe aneh!” lanjut Caelyn. “Kenapa loe gak bisa cinta sama cewek secantik dia?” “Loe fikir gue bakal nerima apapun sifat dia asal punya wajah cantik?” Neil menoleh cepat, menatap Caelyn dengan tajam. “Itu sama aja gue rela mati sia-sia. Enak aja.” “Emang sifat dia kenapa?” tanya Caelyn pelan. “Gue gak mau jawab soal itu. Biar nanti loe tahu sendiri sifat dia kayak gimana.” Suara Neil berubah sedikit dingin. “Intinya loe harus bisa dekat sama dia. Kalau perlu, loe jadi sahabat atau asisten dia.” Caelyn mengernyitkan dahi, menatap Neil seperti pria di depannya telah kehilangan akal sehat. “Jadi sahabat dia yang notabenenya dia itu model?” nada suara Caelyn terdengar sarkastik. “Loe gila? Mana bisa itu terjadi. Lagian, seorang model gak bakal mau sembarangan berteman sama orang asing. Tapi… tunggu.” Dia terdiam sejenak, matanya menatap Neil dengan curiga. “Loe itu sebenernya siapa sih? Kalau loe pacar dari seorang model, gue yakin loe bukan orang biasa. Apalagi dengan uang ratusan juta yang mudah banget loe kasih ke orang yang baru loe kenal gitu aja.” Neil terkekeh kecil, mencoba menetralisir suasana. “Gue orang biasa kok. Cuma tampang gue aja yang luar biasa tampan. Makanya seorang model bisa nyantol sama gue.” Tentu itu hanya alasan Neil. Karena sebenarnya, hubungan antara Neil dan Sea bukan tentang cinta atau ketampanan, tapi tentang bisnis. Tentang saling memanfaatkan demi keuntungan pribadi. “Dan kenapa banyak tatto di badan loe?” “Emang orang biasa gak boleh punya tatto?” Neil menanggapi cepat. “Tatto itu seni. Bukan kejahatan. Semua orang bebas punya kalau mereka mau.” “Tapi kenapa loe ngasih uang sebanyak itu ke gue dengan tiba-tiba? Dan loe datang di waktu yang tepat, saat gue benar-benar butuh uang itu.” Neil menatapnya lekat, lalu bicara tenang. “Gue gak ngasih uang itu cuma-cuma. Ada syarat yang harus loe penuhi. Sama aja kayak loe kerja buat gue dan gue bayar loe sebagai upah. Gue juga gak datang tiba-tiba karena emang dari awal gue niat cari orang buat selidiki pacar gue, dan kebetulan gue denger percakapan loe sama sahabat loe di ruang tunggu rumah sakit itu.” Pernyataan Neil terdengar masuk akal, tapi Caelyn tahu, selalu ada yang lebih besar di balik pernyataan-pernyataan sederhana seperti itu. “Loe bilang loe orang biasa… tapi gimana loe bisa punya uang sebanyak itu?” Caelyn masih belum puas. “Gue nabung” jawab Neil singkat. “Udah ya. Gue gak mau loe tanya-tanya lagi, karena seharusnya yang loe tanya-tanya itu Sea, bukan gue!” “Sea?” ulang Caelyn, bingung. “Pacar gue namanya Sea.” Bibir Caelyn otomatis membentuk huruf O. Entah karena terkejut atau sekadar menandakan bahwa informasi itu terlalu besar untuk diproses secepat itu. “Gali informasi apapun tentang dia. Inget! Hanya tentang dia, jangan yang lain.” Neil meraih ponselnya. “Sebutin nomor loe.” “Buat apa?” Caelyn menatapnya curiga lagi. “Ya buat laporan ke gue lah. Lagipula gue gak bisa terus-terusan nemuin loe di rumah sakit.” “Nol… delapan…” Caelyn menyebutkan nomor ponselnya perlahan. Neil menulis dan langsung menekan tombol panggil. Tak lama, ponsel Caelyn bergetar. “Simpen nomor gue baik-baik,” ujar Neil seraya melirik ke layar ponsel Caelyn. “Sekarang berapa nomor rekening loe, sebutin!” Caelyn masih ragu-ragu, tapi menyebutkan juga. Tak lama, ponselnya kembali bergetar—sebuah notifikasi masuk dari aplikasi mobile banking. Matanya melebar melihat jumlah transfer yang masuk. Tujuh digit angka… dan bukan sembarang angka. “Itu dua ratus juta yang gue janjiin di rumah sakit tadi.” Neil mengenakan kembali pakaiannya dengan gerakan sigap. “Gue harap kita bisa bekerja sama dengan baik.” Ia berdiri, mengenakan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya, lalu menatap Caelyn untuk terakhir kalinya siang itu. “Hari masih siang. Jadi loe bisa balik ke rumah sakit sendiri kan?” Caelyn tak menjawab. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, pada angka-angka yang belum pernah ia bayangkan akan masuk ke rekeningnya, apalagi dalam sekejap. “Cael?” panggil Neil lagi. “I… iya… gue bisa pulang sendiri kok,” jawab Caelyn terbata. “Untuk uangnya… makasih banyak ya. Gue janji akan lakuin yang terbaik buat loe.” Neil tak membalas ucapan itu, hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi. Pintu kamar tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Caelyn sendirian, masih terdiam, masih tak percaya. Ini seperti mimpi, empat ratus juta yang tiba-tiba datang padanya melalui pria gila yang baru dua hari ia kenal.Keesokan harinya, Neil membuka matanya perlahan. Cahaya lembut yang menembus tirai rumah sakit menusuk retinanya yang masih berat. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa lemah, dan setiap tarikan oksigen membuat dadanya perih.Saat pandangannya mulai fokus, ia mendapati sosok Caelyn duduk di kursi dekat ranjangnya. Wajah perempuan itu dipenuhi gurat khawatir, matanya sembab. Sepertinya, semalaman tidak tidur.“Neil… akhirnya kamu siuman,” ucap Caelyn dengan suara bergetar. Ia segera berdiri, lalu menggenggam tangan Neil erat-erat, seakan takut tangan itu akan terlepas lagi.Neil berusaha mengulas senyum tipis. “Eh… si bodoh ada di sini,” katanya dengan nada lemah, mencoba meledek.Namun senyum itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Tubuhnya menunduk, tangannya menekan ulu hati. “Ugh…” desahnya lirih."Kamu kenapa?" Caelyn panik. “Tunggu sebentar, aku panggil dokter!” Ia segera berlari ke pintu, suaranya pecah memanggil bantuan. “Dokter! Suster! Tolong! Cepat!”P
“Loe mau bawa mobil ini ke arah mana sih?” tanya Zephyr dengan suara bergetar. Matanya beberapa kali terpejam dan tubuhnya menegang.Neil mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Di setiap tikungan tajam, ban mobil itu sampai terangkat sebelah, membuat Zephyr hanya bisa berpegangan kuat pada handle pintu.“Ke kawasan pertokoan lama. Gue yakin Saga bawa Caelyn ke sana,” jawab Neil tenang, matanya fokus pada jalan.“Kenapa loe bisa yakin banget? Belum tentu mereka bisa sampai sejauh ini,” sahut Zephyr, masih berusaha menahan rasa panik.“Ayah Saga dulu punya toko di sana. Sekarang pertokoan itu udah terbengkalai, dan itu satu-satunya tempat yang menurut dia aman dan gak akan terjangkau sama orang yang dia kenal karena sejarah itu cuma dia dan orang tuanya yang tahu.”Zephyr hendak membalas, tapi matanya tiba-tiba menangkap dua sosok di sisi trotoar. “Itu… itu mereka bukan?” serunya sambil menunjuk.Neil spontan menoleh. Begitu mengenali Caelyn dan Saga, ia langsung menginjak rem keras
"Aku kan udah bilang, kali ini aku gak akan melepaskan kamu!" ucap Saga, suaranya rendah penuh ancaman, langkah kakinya berputar mengitari Caelyn yang terikat erat di salah satu pilar bangunan pertokoan terbengkalai itu."Apa kamu akan puas kalau semua yang kamu inginkan didapat dengan cara memaksa?" balas Caelyn lantang, sorot matanya tajam menembus gelap. "Wanita itu bahkan gak pernah mencintai kamu! Ah, iya... kamu juga harus tahu, dia bahkan jijik buat sekadar ngelihat kamu!"Rahang Saga mengeras. Dalam sekejap, ia menjambak rambut Caelyn kasar, memaksa wajah gadis itu mendongak menatapnya."Kamu yakin dengan ucapan kamu?" bisiknya dengan nada getir. Senyum miring tersungging di wajahnya. "Nyatanya, wanita itu sedang menatapku sekarang..."Cuih!Caelyn meludah tepat di wajahnya.Sejenak hening. Lalu suara tawa Saga pecah, berat, menyeramkan. Ia mengusap ludah itu perlahan, matanya berkilat dingin.Plaaakk!Tamparan keras mendarat di pipi Caelyn hingga kepalanya terhempas ke sampin
Seorang pria paruh baya berjalan mendekat lalu duduk di samping Bu Elsya. Perempuan itu menoleh, menatap sosok asing yang memilih memandang lurus ke depan, seakan tak peduli pada kehadirannya.“Anda pasti tidak mengenal saya,” ucap Tuan Chao datar.Ia berhenti sejenak, “Apa Anda tahu bahwa Neil tertangkap polisi atas kasus penembakan seorang Kapolri?” Tanyanya tenang.Mata Bu Elsya membesar. “Apa? Neil tertangkap polisi?” suaranya gemetar. “Tidak mungkin Neil melakukan penembakan!”Tuan Chao tersenyum pahit. “Anda benar. Neil memang tidak mungkin melakukannya. Dia hanya melindungi seseorang… dan ini bukan kali pertama ia melakukan hal yang sama.”Sejenak keheningan turun, hanya menyisakan desau angin yang berhembus perlahan di udara sore itu.“Awalnya saya tidak habis pikir dengan anak nakal itu,” lanjut Tuan Chao. “Mengapa ia rela menanggung hukuman berkali-kali hanya demi melindungi anak buahnya? Namun pada akhirnya saya mengerti. Ia bukan sedang melindungi anak buahnya, melainkan i
"Lepasin!" Caelyn memberontak kasar, berusaha menarik lengannya dari cengkeraman Saga.Saga akhirnya melepaskannya, lalu mengangkat kedua tangannya sendiri seakan menantang."Kenapa kamu ngelakuin itu? Kenapa kamu biarin Neil ketangkap polisi?" bentak Caelyn frustasi, matanya berkaca-kaca."Oh iya aku tahu, karna kamu mencintai Sea? Jadi dengan membiarkan Neil masuk penjara kamu bebas pacaran sama Sea iyakan?" sambungnya dengan suara bergetar menahan amarah.Saga bergeming. Ia hanya menatap, tatapannya menusuk tanpa satu kata pun keluar, membiarkan Caelyn terbakar emosi sendirian."Kamu setega itu ya sama sahabat-sahabatmu, kenapa kamu selalu begitu, hah? Kenapa?" Caelyn menghentak dada Saga dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar penuh amarah."Setelah kamu tinggalin Ether saat terbaring koma, sekarang kamu tinggalin Neil yang tertangkap polisi karena ulah kamu." Bibirnya melengkung sinis, "Aku bahkan gak pernah bermimpi bisa kenal dengan orang picik seperti kamu.""Kamu buat Neil t
“Yakin kau tak akan menyesal nantinya? Aku takut nanti kau akan menangis darah sambil memohon padaku untuk mengubah keputusan,” ucap Charles, suaranya lirih namun penuh jebakan, seakan racun yang dibungkus dengan rayuan.Neil tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya. “Untuk apa aku menyesali? Semua sabu yang sudah anda curi saja tidak pernah aku tangisi. Anda tahu sendiri jumlahnya bernilai miliaran, bukan? Seharusnya aku bisa tidur di atas tumpukan uang, alih-alih berdiri di gudang kotor ini sekarang.”Ucapan itu baru saja jatuh ketika sebuah sosok muncul tergopoh dari lorong samping gudang. Caelyn, dengan wajah terluka dan napas terengah, mematung mendengar setiap kata yang diucapkan Neil.“Jadi benar kamu bandar narkoba, Neil?”Neil tersentak, tubuhnya kaku seketika. Pandangannya membeku melihat Caelyn, lebih terkejut pada luka di wajahnya daripada pertanyaan yang keluar. Namun sebelum ia sempat menjawab, seorang penjaga melompat dari belakang, hendak meringkus Caelyn. Refleks,






