Share

6

Penulis: Widia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 20:03:25

Caelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu.

"Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah.

Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat.

Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya.

Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap?

“Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang menekan napas Caelyn.

Ada sisi Neil yang lain. Sisi yang tidak kekanakan, tidak seenaknya, tidak menggoda. Wajah itu keras, penuh ketegasan bahkan ancaman. Terkadang ada saat, Neil tampak seperti seseorang yang benar-benar berbahaya. Aura pria itu mengingatkannya pada karakter mafia di film-film kriminal. Angkuh. Tak terbantahkan. Menyeramkan. Tapi tiba-tiba, ketegangan itu runtuh dengan bantahan hanya candaan.

“Ya udah kalau loe ragu, kita balik lagi ke rumah sakit. Gue gak mau maksa,” kata Neil, kali ini lebih tenang. Sorot matanya melembut.

Caelyn sempat terdiam. Kepalanya perlahan menggeleng. Ia mencoba menyingkirkan bayangan mengerikan di pikirannya, menelan rasa takut dan malu, lalu mengangguk pelan.

Neil hanya membalas dengan senyum kecil, kemudian mendorong pintu kamar. Mereka masuk.

Kamar hotel itu lebih luas, terang, dan sunyi. Bau ruangan masih segar, dengan pendingin ruangan yang bekerja sempurna dan jendela kaca besar memperlihatkan pemandangan kota yang perlahan mulai padat. Caelyn hanya sempat berdiri mematung sebelum suara ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya.

Seorang pelayan hotel masuk dengan hati-hati membawa nampan perak berisi dua cangkir kopi dalam set lengkap. Seragamnya rapi, rambutnya tertata, dan sikapnya sopan nyaris seperti menghormati seseorang dengan jabatan penting.

"Silakan dinikmati kopinya," ucap pelayan itu, membungkuk ringan ke arah Neil, lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi.

Caelyn melirik Neil yang sedang melepas maskernya, matanya penuh curiga.

"Mungkin karena kita datang pagi-pagi, mereka jadi kasih kita bonus" Neil berusaha menghapus kecurigaan Caelyn.

Namun Caelyn justru semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh Neil. Seseorang tak mungkin diperlakukan seistimewa itu jika hanya tamu biasa.

"Di minum dulu biar gak tegang," ucap Neil sambil melirik ke arah kopi yang sudah tersaji.

Caelyn duduk di sofa. Ia meraih cangkirnya dan menyeruput sedikit. Kopinya wangi dan kuat, lembut tapi penuh rasa. Jauh berbeda dengan kopi-kopi yang biasa ia beli di kafe sederhana dekat rumah sakit.

Tapi rasa nikmat itu hanya bertahan beberapa detik. Setelahnya, rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya. Kopi seenak apa pun tak akan bisa menghapus kenyataan bahwa ia sedang berada di hotel bersama pria lain… sementara Ether masih bertarung dengan hidupnya.

Neil lalu duduk di sebelahnya. Ia menyandarkan tubuh di sandaran sofa, menghembuskan napas panjang seolah baru saja menyelesaikan perjalanan berat.

"Terus kita ngapain?" tanya Caelyn polos.

Neil menoleh cepat, lalu tertawa pendek.

"Loe ternyata orangnya gak sabaran banget, ya," godanya.

"Sebaiknya kita cepat lakuin apa yang loe mau. Gue pengen cepat-cepat balik ke rumah sakit," jawab Caelyn datar.

"Baru juga berapa menit loe keluar dari sana, udah pengen balik lagi aja. Emang gak bosen di rumah sakit? Bau obat gak bikin mual? Gue aja mual cium aromanya."

"Ada seseorang yang harus gue jaga di sana," ucap Caelyn lirih.

Neil menghela nafas, lalu menjulurkan tangan ke dalam kantong hoodie-nya. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dan meletakkannya di meja.

Caelyn menatap foto-foto itu. Seorang perempuan cantik, berpakaian elegan, berjalan di atas runway. Dia jelas seorang model.

"Gue minta loe deketin dia gimanapun caranya. Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang dia, apapun itu," ujar Neil, dengan nada serius.

Caelyn mengerutkan kening. "Jadi loe ngajak gue ke hotel bukan buat..."

"Buat apa? Tidur sama gue?" potong Neil, lalu tertawa lepas. "Loe pasti udah salah sangka, ya? Oke, sekarang dengerin. Kemarin malam gue minta loe datang ke hotel karena gue mau jelasin apa yang harus loe lakuin buat gue. Gue tahu penjelasan gue bakal lama, dan loe gak mungkin balik ke rumah sakit di malam yang sama. Jadi otomatis loe bakal tidur di hotel yang sama, sama gue. Tapi bukan berarti kita bakal tidur satu ranjang, Caelyn. Gila aja loe mikir ke sana. Emangnya loe kira gue cowok kayak gimana?"

Caelyn membisu. Jantungnya mulai tenang. Tak ada kata yang bisa menggambarkan rasa lega yang menyeruak dari dalam dadanya. Ia bisa bernapas lebih lapang sekarang.

Neil lalu berdiri dan mulai melepas hoodie-nya, diikuti kaos yang menempel di tubuhnya. Terlihat jelas tubuhnya yang atletis, tapi hampir penuh dengan jaringan parut yang menandai perut dan dadanya. Di antara tato-tato bergaris tajam, sikatriks itu terlihat jauh lebih mengerikan.

"Lagian, tubuh gue begini… emang loe mau tidur sama cowok dengan tubuh rusak kayak gini?" ucap Neil lirih.

Caelyn menatapnya lama, kemudian menunjuk bekas luka itu.

"Itu?"

“Gue punya kanker pankreas, stadium terminal. Itu semua bekas operasi,” ucapnya pelan. “Gue udah nyoba kemoterapi, imunoterapi, semuanya. Tapi… kanker ini udah nyebar ke hati dan paru-paru. Kata dokter, waktu gue gak akan lama lagi.”

Caelyn tak bisa berkata apa-apa. Dunianya berhenti sejenak. Pria yang ia sebut gila itu ternyata memiliki jalan hidup yang tak biasa.

"Tapi loe gak perlu khawatir, gue pasti bakal pamitan kok sama loe sebelum mati. Mendingan sekarang loe dengerin gue baik-baik."

Caelyn tak menjawab, hanya mengangguk kecil, lalu menegakkan duduknya, memperlihatkan bahwa dia siap mendengar apa pun yang akan keluar dari mulut Neil.

"Dia itu pacar gue," kata Neil blak-blakan, menatap lembaran foto di atas meja. "Ah!" Ia menghela napas, seperti seseorang yang enggan mengakui sesuatu. “Gue juga gak tahu kenapa gue bisa jadian sama dia… padahal gue gak cinta.”

“Aneh!” celetuk Caelyn tanpa sadar, alisnya naik sedikit.

“Iyakan. Aneh.” Neil menanggapi dengan nada santai, seolah mengiyakan ketidakwajaran itu.

“Loe aneh!” lanjut Caelyn. “Kenapa loe gak bisa cinta sama cewek secantik dia?”

“Loe fikir gue bakal nerima apapun sifat dia asal punya wajah cantik?” Neil menoleh cepat, menatap Caelyn dengan tajam. “Itu sama aja gue rela mati sia-sia. Enak aja.”

“Emang sifat dia kenapa?” tanya Caelyn pelan.

“Gue gak mau jawab soal itu. Biar nanti loe tahu sendiri sifat dia kayak gimana.” Suara Neil berubah sedikit dingin. “Intinya loe harus bisa dekat sama dia. Kalau perlu, loe jadi sahabat atau asisten dia.”

Caelyn mengernyitkan dahi, menatap Neil seperti pria di depannya telah kehilangan akal sehat.

“Jadi sahabat dia yang notabenenya dia itu model?” nada suara Caelyn terdengar sarkastik. “Loe gila? Mana bisa itu terjadi. Lagian, seorang model gak bakal mau sembarangan berteman sama orang asing. Tapi… tunggu.” Dia terdiam sejenak, matanya menatap Neil dengan curiga. “Loe itu sebenernya siapa sih? Kalau loe pacar dari seorang model, gue yakin loe bukan orang biasa. Apalagi dengan uang ratusan juta yang mudah banget loe kasih ke orang yang baru loe kenal gitu aja.”

Neil terkekeh kecil, mencoba menetralisir suasana. “Gue orang biasa kok. Cuma tampang gue aja yang luar biasa tampan. Makanya seorang model bisa nyantol sama gue.”

Tentu itu hanya alasan Neil. Karena sebenarnya, hubungan antara Neil dan Sea bukan tentang cinta atau ketampanan, tapi tentang bisnis. Tentang saling memanfaatkan demi keuntungan pribadi.

“Dan kenapa banyak tatto di badan loe?”

“Emang orang biasa gak boleh punya tatto?” Neil menanggapi cepat. “Tatto itu seni. Bukan kejahatan. Semua orang bebas punya kalau mereka mau.”

“Tapi kenapa loe ngasih uang sebanyak itu ke gue dengan tiba-tiba? Dan loe datang di waktu yang tepat, saat gue benar-benar butuh uang itu.”

Neil menatapnya lekat, lalu bicara tenang. “Gue gak ngasih uang itu cuma-cuma. Ada syarat yang harus loe penuhi. Sama aja kayak loe kerja buat gue dan gue bayar loe sebagai upah. Gue juga gak datang tiba-tiba karena emang dari awal gue niat cari orang buat selidiki pacar gue, dan kebetulan gue denger percakapan loe sama sahabat loe di ruang tunggu rumah sakit itu.”

Pernyataan Neil terdengar masuk akal, tapi Caelyn tahu, selalu ada yang lebih besar di balik pernyataan-pernyataan sederhana seperti itu.

“Loe bilang loe orang biasa… tapi gimana loe bisa punya uang sebanyak itu?” Caelyn masih belum puas.

“Gue nabung” jawab Neil singkat. “Udah ya. Gue gak mau loe tanya-tanya lagi, karena seharusnya yang loe tanya-tanya itu Sea, bukan gue!”

“Sea?” ulang Caelyn, bingung.

“Pacar gue namanya Sea.”

Bibir Caelyn otomatis membentuk huruf O. Entah karena terkejut atau sekadar menandakan bahwa informasi itu terlalu besar untuk diproses secepat itu.

“Gali informasi apapun tentang dia. Inget! Hanya tentang dia, jangan yang lain.” Neil meraih ponselnya. “Sebutin nomor loe.”

“Buat apa?” Caelyn menatapnya curiga lagi.

“Ya buat laporan ke gue lah. Lagipula gue gak bisa terus-terusan nemuin loe di rumah sakit.”

“Nol… delapan…” Caelyn menyebutkan nomor ponselnya perlahan. Neil menulis dan langsung menekan tombol panggil. Tak lama, ponsel Caelyn bergetar.

“Simpen nomor gue baik-baik,” ujar Neil seraya melirik ke layar ponsel Caelyn. “Sekarang berapa nomor rekening loe, sebutin!”

Caelyn masih ragu-ragu, tapi menyebutkan juga. Tak lama, ponselnya kembali bergetar—sebuah notifikasi masuk dari aplikasi mobile banking.

Matanya melebar melihat jumlah transfer yang masuk. Tujuh digit angka… dan bukan sembarang angka.

“Itu dua ratus juta yang gue janjiin di rumah sakit tadi.” Neil mengenakan kembali pakaiannya dengan gerakan sigap. “Gue harap kita bisa bekerja sama dengan baik.”

Ia berdiri, mengenakan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya, lalu menatap Caelyn untuk terakhir kalinya siang itu.

“Hari masih siang. Jadi loe bisa balik ke rumah sakit sendiri kan?”

Caelyn tak menjawab. Pandangannya terpaku pada layar ponsel, pada angka-angka yang belum pernah ia bayangkan akan masuk ke rekeningnya, apalagi dalam sekejap.

“Cael?” panggil Neil lagi.

“I… iya… gue bisa pulang sendiri kok,” jawab Caelyn terbata. “Untuk uangnya… makasih banyak ya. Gue janji akan lakuin yang terbaik buat loe.”

Neil tak membalas ucapan itu, hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi. Pintu kamar tertutup pelan di belakangnya, meninggalkan Caelyn sendirian, masih terdiam, masih tak percaya. Ini seperti mimpi, empat ratus juta yang tiba-tiba datang padanya melalui pria gila yang baru dua hari ia kenal.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jeratan SANG MAFIA   7

    Zephyr menjatuhkan diri ke kursi dan membuka laptop kerja. Map laporan operasi semalam masih kosong dari hasil berarti. Ia menatap layar tanpa ekspresi lalu mulai mengetikkan ulang data yang ia terima dari awal. Ia butuh melihatnya lagi—dari awal—dengan kepala yang lebih jernih.Neil White. Usia 34 tahun.Data asli menyebut Neil adalah pemilik salah satu hotel mewah dan klub malam paling prestisius di pusat kota. Hotel Winner di bilangan Menteng dan klub malam eksklusif bernama Velvet room. Tempat para pesohor dan politisi muda sering terlihat berpesta larut malam.Zephyr mengangkat alis. Aneh. Ia mengetikkan lebih dalam, menggali berkas profile tentang Neil. Tak butuh waktu lama sampai matanya berhenti di satu bagian kecil yang sebelumnya lolos dari perhatiannya, tentang hubungan personal.Nama Sea Alverdine muncul.Zephyr menajamkan pandangannya. Ia tahu nama itu. Bukan dari dunia kriminal. Tapi dari papan iklan, majalah fashion, dan berita sosialita.Sea Alverdine, seorang model ke

  • Jeratan SANG MAFIA   6

    Caelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu."Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah.Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat.Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya.Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap?“Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang

  • Jeratan SANG MAFIA   5

    Pagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas.Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih.“Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu.Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil.“Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas.Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaia

  • Jeratan SANG MAFIA   4

    Pukul 19.40 – Area parkir kawasan industri lama.Zephyr berdiri di balik mobil hitam tanpa tanda. Jaket kulit gelap membungkus tubuhnya, dan earpiece di telinga kirinya terus menyala."Semua tim, posisi. Neil terdeteksi masuk lokasi pukul 19.16. Kita lakukan penyergapan saat jarum menunjuk pukul 20.00 tepat. Jangan ada tembakan kecuali gue perintahkan," ucapnya tegas lewat radio.Empat tim disebar.Tim Alfa: menyusup dari pintu utama.Tim Bravo: menunggu di pintu samping barat.Tim Charlie: berjaga di ventilasi dan jalur pembuangan.Tim Delta: cadangan, menyamar di sekitar area luar.Zephyr sendiri memilih ikut dengan Tim Alfa. Matanya menatap jam tangan. 19.59. Tangannya mengangkat isyarat tiga jari—hitung mundur.Tiga... dua... satu..."Eksekusi!"Mereka bergerak cepat. Pintu didobrak. Ruangan megah di lantai basement itu nampak kosong. Hanya suara langkah kaki berderap di seluruh penjuru.Zephyr memasuki ruangan target lebih dulu. Pandangannya menyapu cepat, suntikan bekas di lanta

  • Jeratan SANG MAFIA   3

    Caelyn berdiri terengah-engah di depan rumah sakit. Napasnya masih memburu akibat berlari mengejar pria menyebalkan itu. Ia mengedarkan pandangan, berharap bisa menangkap sosoknya, tapi hasilnya nihil. Entah memiliki jurus apa, Neil bisa bergerak secepat itu. Seperti menghilang.Caelyn berbalik, berniat kembali masuk ke rumah sakit, tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Neil di halte bus seberang jalan. Ia berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa, sambil menikmati permen gulali berwarna merah muda di tangannya.Tanpa pikir panjang, Caelyn kembali berlari ke arahnya.“Kesepakatan tadi, gue setuju!” katanya cepat, setibanya di depan pria itu.Neil menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kesepakatan yang mana? Gue udah lupa.”“Isi paperbag itu. Dan tidur sama loe,” ucap Caelyn tegas, tanpa berputar-putar.Neil tertawa kecil. “Duh, gue gak inget pernah ngomong begitu. Apa jangan-jangan lo salah orang?”Caelyn mengerang kesal. “Tolonglah, jangan bercanda. Keadaannya mendesak sek

  • Jeratan SANG MAFIA   2

    Setelah menerima penjelasan dari dokter, Caelyn keluar dari rumah sakit dengan kepala penuh beban. Pikirannya kalut. Ia mencoba menghubungi beberapa kenalan, tapi tak ada yang bisa membantu. Beberapa bahkan hanya membalas dengan permintaan maaf klise.Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan mendatangi seseorang. Sahabat lama Ether yang dulu pernah begitu dekat.Caelyn kini duduk di ruang kantor milik Saga. Ruangan itu gelap dan dingin. Lampunya tidak terlalu terang, seolah sengaja dibuat redup untuk menjaga suasana tetap tegang. Beberapa pria bertubuh besar dan berwajah dingin berdiri di sekitar ruangan, menjaga dalam diam. Mata mereka menatap tajam seperti sedang menakar bahaya.Saga duduk di seberang meja, mengenakan kemeja gelap yang digulung sampai siku, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangannya. Di depan Caelyn, ekspresinya datar. Tatapannya seperti bukan lagi sahabat Ether yang dulu ramah."Ada apa tiba-tiba menghubungiku?" tanya Saga datar, matanya menatap Caelyn taja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status