Share

5

Author: Widia
last update Last Updated: 2025-10-02 13:30:14

Pagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.

“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas.

Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih.

“Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu.

Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil.

“Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas.

Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaian dulu ya” jawabnya.

"Oke"

Caelyn bangkit, bersiap untuk berganti pakaian, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok pria berdiri dibalik kaca ruangan. Pria itu mengenakan masker, tapi matanya tampak jelas menatapnya dengan senyum. Dua kalung menggantung di leher pria itu, cukup untuk membuat Caelyn mengenali siapa dia.

Jantung Caelyn berdetak lebih cepat. Ia panik. Neil tidak seharusnya ada di sini sepagi ini. Terlebih lagi, Alea ada di ruangan bersamanya. Ia tidak menceritakan apapun tentang Neil kepada sahabatnya itu, tidak pertemuan mereka, tidak kesepakatan yang mereka buat, dan tentu saja tidak soal uang yang telah berpindah tangan.

Caelyn buru-buru mengambil tas dan bergerak menuju pintu. “Gue berangkat dulu, Al. Tolong jagain Ether ya. Kabarin gue kalau ada perkembangan!”

Alea mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Loe gak jadi ganti seragam?”

“Nanti aja di tempat kerja,” jawab Caelyn cepat, lalu keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati.

Neil sudah berdiri di depan pintu, wajahnya tak menunjukkan penyesalan apa pun.

“Loe?” suara Caelyn tertahan. “Loe ngapain ada di sini sepagi ini sih?” bisiknya, berusaha terdengar setenang mungkin.

Neil menaikkan alis. “Suka-suka gue dong mau datang jam berapa. Kesepakatan kita belum selesai, kan?” jawabnya santai.

Ia segera menarik tangan Neil dan menggiringnya pergi dari pintu ruang rawat Ether. Ia tak ingin Alea keluar dan melihat mereka.

“Romantis banget sih kita lari-lari kayak di film India,” goda Neil sambil tertawa kecil.

Caelyn langsung berhenti, kesadarannya kembali pulih. Ia melepas genggaman tangannya dari lengan Neil dan menatapnya dingin. “Ada apa datang pagi-pagi?” tanyanya datar.

Neil menyandarkan tubuh ke dinding, lalu berseru ringan, “Kita ke hotel sekarang!”

“Sekarang?” Caelyn mengerutkan kening. “Gak bisa. Gue harus kerja.”

“Loe bisa izin dulu.”

“Gak bisa. Gue udah terlalu sering izin belakangan ini,” jawab Caelyn dengan nada sedikit keras.

Mata Neil menajam. Ia maju selangkah, lalu tiba-tiba menaruh tangan di leher Caelyn dan mendorongnya ke dinding. Gerakannya cepat dan kasar. Caelyn membeku.

“Jadi loe cuma mau duit gue doang?” desisnya dingin.

Caelyn terdiam. Jantungnya berdetak kacau. Udara pagi yang semula lembab kini terasa seperti mendesak napasnya. Pria ini... memang gila. Dan ia sudah terlalu dalam masuk ke wilayah yang seharusnya ia hindari sejak awal.

Neil menunduk sedikit, membisikkan sesuatu di telinganya.

“Gue akan tambah dua ratus juta lagi... asal loe ikut gue sekarang.”

Tangannya masih menekan, meski tak keras, tapi cukup membuat Caelyn merasa terpojok. Seakan ia tak punya pilihan lain.

Gugup, takut, dan tidak tahu harus bagaimana, akhirnya Caelyn mengangguk kecil.

“I... iya... gue ikut loe sekarang,” ucapnya pelan.

***

Neil melirik ke arah Caelyn yang duduk di kursi penumpang dengan wajah tegang. Matanya menajam sejenak, lalu tawa pelan keluar dari bibirnya, memecah ketegangan yang menggantung di dalam kabin mobil.

"Tadi itu, gue cuma becanda lagi, biar loe mau ikut gue," katanya sambil masih menahan tawa. "So… mukanya gak usah ketakutan gitu lah. Gue ini orang baik kok."

Caelyn tidak menanggapi. Ia hanya menatap Neil dengan sorot mata tajam yang penuh amarah tertahan.

Neil menurunkan volume suaranya, sedikit menyesal telah memaksanya seperti tadi, “Gue minta maaf ya… loe mau maafin gue, kan?” katanya seraya memutar kemudi, membawa mobil keluar dari parkiran rumah sakit.

"Emang harus banget caranya begitu?" Caelyn memprotes, nadanya kesal. Ia tidak suka dijebak, apalagi dengan cara seolah sedang diculik.

“Gue gak kepikiran cara lain, cuma begitu cara satu-satunya yang tiba-tiba terlintas di otak gue,” Neil membela diri sambil tetap fokus menyetir.

“Sikap loe tadi tuh kayak anggota gengster, tau gak?!” sembur Caelyn.

Neil malah tertawa keras. “Berarti cocok dong gue kalau daftar jadi gengster?”

Caelyn tidak menjawab. Ia jelas malas meladeni, lagipula pikirannya sudah mulai melayang jauh. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, memandangi pemandangan kota yang lewat satu per satu. Jalanan yang mereka lewati membawa memorinya pada masa lalu yang masih terasa hangat di kepalanya karena itu kali pertama ia kembali duduk di samping pengemudi sejak kecelakaan yang merenggut nyaris segalanya.

Ia kembali mengingat-ingat. Saat itu, Ether jelas-jelas mengemudi dengan pelan dan hati-hati, seperti biasanya. Tapi semua kehati-hatian itu sirna dalam sekejap, saat sebuah truk besar meluncur dari arah berlawanan dan menghantam mereka tanpa peringatan.

Semua seakan tumpah ruah dalam hitungan detik. Dan anehnya, tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab. Supir truk itu hanya dihukum ringan, lalu bebas begitu saja. Sementara Ether, hingga hari ini, masih terbaring dalam ketidakpastian. Seperti ada sesuatu yang melindungi supir truk itu, seseorang yang memiliki kuasa mengantur hukum dengan kehendaknya. Mungkinkah kecelakaan itu bukan sebuah ketidaksengajaan?

“Cael!” Suara Neil yang sedikit meninggi membuyarkan lamunannya. Ia bahkan sempat menepuk bahunya, membuat Caelyn terlonjak kecil.

“Eh…”

“Loe gak dengerin gue ngomong dari tadi ya?” Neil memicingkan mata, seolah menahan kecewa.

“Ah… maaf, kenapa?” Caelyn bertanya cepat, masih mencoba mengumpulkan pikirannya.

Neil menghela napas panjang, “Loe mikirin gue gak usah sedalam itu lagi. Gue jadi terharu tau.”

“Gak penting banget mikirin loe,” balas Caelyn datar.

“Becanda Caelyn,” ujar Neil, tersenyum. “Kita udah sampai nih. Ayo turun.”

Caelyn menoleh dan ternyata mereka sudah berada di depan sebuah hotel. Hotel yang sama seperti yang Neil janjikan kemarin malam.

Neil turun lebih dulu, lalu berjalan santai mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Caelyn.

Begitu kaki mereka menapak di lobby hotel, suasana berubah. Para pegawai yang mengenakan seragam rapi langsung menunduk hormat begitu melihat Neil. Namun dengan gestur halus, Neil memberi isyarat agar mereka bersikap biasa saja. Ia tak ingin Caelyn tahu siapa dia sebenarnya di tempat ini.

“Selamat datang…” kata seorang resepsionis muda dengan suara tertahan.

Neil hanya mengangguk kecil. Matanya memberi peringatan agar tidak menyebutkan panggilan khusus atau jabatan. Para staf segera memahami, dan berperan seolah Neil hanyalah tamu biasa.

Mereka berjalan menyusuri lorong hotel. Neil berjalan lebih dulu dan Caelyn mengikuti di belakang tanpa berkata-kata, hanya sesekali melirik ke arah Neil yang begitu tenang memimpin jalan.

Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah kamar yang terletak di ujung lorong lantai atas. Neil mengeluarkan kartu akses dari sakunya dan menempelkannya ke panel elektronik. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan luas dan jendela lebar yang menghadap ke pusat kota.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jeratan SANG MAFIA   7

    Zephyr menjatuhkan diri ke kursi dan membuka laptop kerja. Map laporan operasi semalam masih kosong dari hasil berarti. Ia menatap layar tanpa ekspresi lalu mulai mengetikkan ulang data yang ia terima dari awal. Ia butuh melihatnya lagi—dari awal—dengan kepala yang lebih jernih.Neil White. Usia 34 tahun.Data asli menyebut Neil adalah pemilik salah satu hotel mewah dan klub malam paling prestisius di pusat kota. Hotel Winner di bilangan Menteng dan klub malam eksklusif bernama Velvet room. Tempat para pesohor dan politisi muda sering terlihat berpesta larut malam.Zephyr mengangkat alis. Aneh. Ia mengetikkan lebih dalam, menggali berkas profile tentang Neil. Tak butuh waktu lama sampai matanya berhenti di satu bagian kecil yang sebelumnya lolos dari perhatiannya, tentang hubungan personal.Nama Sea Alverdine muncul.Zephyr menajamkan pandangannya. Ia tahu nama itu. Bukan dari dunia kriminal. Tapi dari papan iklan, majalah fashion, dan berita sosialita.Sea Alverdine, seorang model ke

  • Jeratan SANG MAFIA   6

    Caelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu."Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah.Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat.Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya.Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap?“Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang

  • Jeratan SANG MAFIA   5

    Pagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas.Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih.“Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu.Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil.“Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas.Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaia

  • Jeratan SANG MAFIA   4

    Pukul 19.40 – Area parkir kawasan industri lama.Zephyr berdiri di balik mobil hitam tanpa tanda. Jaket kulit gelap membungkus tubuhnya, dan earpiece di telinga kirinya terus menyala."Semua tim, posisi. Neil terdeteksi masuk lokasi pukul 19.16. Kita lakukan penyergapan saat jarum menunjuk pukul 20.00 tepat. Jangan ada tembakan kecuali gue perintahkan," ucapnya tegas lewat radio.Empat tim disebar.Tim Alfa: menyusup dari pintu utama.Tim Bravo: menunggu di pintu samping barat.Tim Charlie: berjaga di ventilasi dan jalur pembuangan.Tim Delta: cadangan, menyamar di sekitar area luar.Zephyr sendiri memilih ikut dengan Tim Alfa. Matanya menatap jam tangan. 19.59. Tangannya mengangkat isyarat tiga jari—hitung mundur.Tiga... dua... satu..."Eksekusi!"Mereka bergerak cepat. Pintu didobrak. Ruangan megah di lantai basement itu nampak kosong. Hanya suara langkah kaki berderap di seluruh penjuru.Zephyr memasuki ruangan target lebih dulu. Pandangannya menyapu cepat, suntikan bekas di lanta

  • Jeratan SANG MAFIA   3

    Caelyn berdiri terengah-engah di depan rumah sakit. Napasnya masih memburu akibat berlari mengejar pria menyebalkan itu. Ia mengedarkan pandangan, berharap bisa menangkap sosoknya, tapi hasilnya nihil. Entah memiliki jurus apa, Neil bisa bergerak secepat itu. Seperti menghilang.Caelyn berbalik, berniat kembali masuk ke rumah sakit, tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Neil di halte bus seberang jalan. Ia berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa, sambil menikmati permen gulali berwarna merah muda di tangannya.Tanpa pikir panjang, Caelyn kembali berlari ke arahnya.“Kesepakatan tadi, gue setuju!” katanya cepat, setibanya di depan pria itu.Neil menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kesepakatan yang mana? Gue udah lupa.”“Isi paperbag itu. Dan tidur sama loe,” ucap Caelyn tegas, tanpa berputar-putar.Neil tertawa kecil. “Duh, gue gak inget pernah ngomong begitu. Apa jangan-jangan lo salah orang?”Caelyn mengerang kesal. “Tolonglah, jangan bercanda. Keadaannya mendesak sek

  • Jeratan SANG MAFIA   2

    Setelah menerima penjelasan dari dokter, Caelyn keluar dari rumah sakit dengan kepala penuh beban. Pikirannya kalut. Ia mencoba menghubungi beberapa kenalan, tapi tak ada yang bisa membantu. Beberapa bahkan hanya membalas dengan permintaan maaf klise.Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan mendatangi seseorang. Sahabat lama Ether yang dulu pernah begitu dekat.Caelyn kini duduk di ruang kantor milik Saga. Ruangan itu gelap dan dingin. Lampunya tidak terlalu terang, seolah sengaja dibuat redup untuk menjaga suasana tetap tegang. Beberapa pria bertubuh besar dan berwajah dingin berdiri di sekitar ruangan, menjaga dalam diam. Mata mereka menatap tajam seperti sedang menakar bahaya.Saga duduk di seberang meja, mengenakan kemeja gelap yang digulung sampai siku, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangannya. Di depan Caelyn, ekspresinya datar. Tatapannya seperti bukan lagi sahabat Ether yang dulu ramah."Ada apa tiba-tiba menghubungiku?" tanya Saga datar, matanya menatap Caelyn taja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status