MasukPagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.
“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas. Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih. “Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu. Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil. “Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas. Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaian dulu ya” jawabnya. "Oke" Caelyn bangkit, bersiap untuk berganti pakaian, namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok pria berdiri dibalik kaca ruangan. Pria itu mengenakan masker, tapi matanya tampak jelas menatapnya dengan senyum. Dua kalung menggantung di leher pria itu, cukup untuk membuat Caelyn mengenali siapa dia. Jantung Caelyn berdetak lebih cepat. Ia panik. Neil tidak seharusnya ada di sini sepagi ini. Terlebih lagi, Alea ada di ruangan bersamanya. Ia tidak menceritakan apapun tentang Neil kepada sahabatnya itu, tidak pertemuan mereka, tidak kesepakatan yang mereka buat, dan tentu saja tidak soal uang yang telah berpindah tangan. Caelyn buru-buru mengambil tas dan bergerak menuju pintu. “Gue berangkat dulu, Al. Tolong jagain Ether ya. Kabarin gue kalau ada perkembangan!” Alea mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Loe gak jadi ganti seragam?” “Nanti aja di tempat kerja,” jawab Caelyn cepat, lalu keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati. Neil sudah berdiri di depan pintu, wajahnya tak menunjukkan penyesalan apa pun. “Loe?” suara Caelyn tertahan. “Loe ngapain ada di sini sepagi ini sih?” bisiknya, berusaha terdengar setenang mungkin. Neil menaikkan alis. “Suka-suka gue dong mau datang jam berapa. Kesepakatan kita belum selesai, kan?” jawabnya santai. Ia segera menarik tangan Neil dan menggiringnya pergi dari pintu ruang rawat Ether. Ia tak ingin Alea keluar dan melihat mereka. “Romantis banget sih kita lari-lari kayak di film India,” goda Neil sambil tertawa kecil. Caelyn langsung berhenti, kesadarannya kembali pulih. Ia melepas genggaman tangannya dari lengan Neil dan menatapnya dingin. “Ada apa datang pagi-pagi?” tanyanya datar. Neil menyandarkan tubuh ke dinding, lalu berseru ringan, “Kita ke hotel sekarang!” “Sekarang?” Caelyn mengerutkan kening. “Gak bisa. Gue harus kerja.” “Loe bisa izin dulu.” “Gak bisa. Gue udah terlalu sering izin belakangan ini,” jawab Caelyn dengan nada sedikit keras. Mata Neil menajam. Ia maju selangkah, lalu tiba-tiba menaruh tangan di leher Caelyn dan mendorongnya ke dinding. Gerakannya cepat dan kasar. Caelyn membeku. “Jadi loe cuma mau duit gue doang?” desisnya dingin. Caelyn terdiam. Jantungnya berdetak kacau. Udara pagi yang semula lembab kini terasa seperti mendesak napasnya. Pria ini... memang gila. Dan ia sudah terlalu dalam masuk ke wilayah yang seharusnya ia hindari sejak awal. Neil menunduk sedikit, membisikkan sesuatu di telinganya. “Gue akan tambah dua ratus juta lagi... asal loe ikut gue sekarang.” Tangannya masih menekan, meski tak keras, tapi cukup membuat Caelyn merasa terpojok. Seakan ia tak punya pilihan lain. Gugup, takut, dan tidak tahu harus bagaimana, akhirnya Caelyn mengangguk kecil. “I... iya... gue ikut loe sekarang,” ucapnya pelan. *** Neil melirik ke arah Caelyn yang duduk di kursi penumpang dengan wajah tegang. Matanya menajam sejenak, lalu tawa pelan keluar dari bibirnya, memecah ketegangan yang menggantung di dalam kabin mobil. "Tadi itu, gue cuma becanda lagi, biar loe mau ikut gue," katanya sambil masih menahan tawa. "So… mukanya gak usah ketakutan gitu lah. Gue ini orang baik kok." Caelyn tidak menanggapi. Ia hanya menatap Neil dengan sorot mata tajam yang penuh amarah tertahan. Neil menurunkan volume suaranya, sedikit menyesal telah memaksanya seperti tadi, “Gue minta maaf ya… loe mau maafin gue, kan?” katanya seraya memutar kemudi, membawa mobil keluar dari parkiran rumah sakit. "Emang harus banget caranya begitu?" Caelyn memprotes, nadanya kesal. Ia tidak suka dijebak, apalagi dengan cara seolah sedang diculik. “Gue gak kepikiran cara lain, cuma begitu cara satu-satunya yang tiba-tiba terlintas di otak gue,” Neil membela diri sambil tetap fokus menyetir. “Sikap loe tadi tuh kayak anggota gengster, tau gak?!” sembur Caelyn. Neil malah tertawa keras. “Berarti cocok dong gue kalau daftar jadi gengster?” Caelyn tidak menjawab. Ia jelas malas meladeni, lagipula pikirannya sudah mulai melayang jauh. Ia menyandarkan kepalanya ke jendela, memandangi pemandangan kota yang lewat satu per satu. Jalanan yang mereka lewati membawa memorinya pada masa lalu yang masih terasa hangat di kepalanya karena itu kali pertama ia kembali duduk di samping pengemudi sejak kecelakaan yang merenggut nyaris segalanya. Ia kembali mengingat-ingat. Saat itu, Ether jelas-jelas mengemudi dengan pelan dan hati-hati, seperti biasanya. Tapi semua kehati-hatian itu sirna dalam sekejap, saat sebuah truk besar meluncur dari arah berlawanan dan menghantam mereka tanpa peringatan. Semua seakan tumpah ruah dalam hitungan detik. Dan anehnya, tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab. Supir truk itu hanya dihukum ringan, lalu bebas begitu saja. Sementara Ether, hingga hari ini, masih terbaring dalam ketidakpastian. Seperti ada sesuatu yang melindungi supir truk itu, seseorang yang memiliki kuasa mengantur hukum dengan kehendaknya. Mungkinkah kecelakaan itu bukan sebuah ketidaksengajaan? “Cael!” Suara Neil yang sedikit meninggi membuyarkan lamunannya. Ia bahkan sempat menepuk bahunya, membuat Caelyn terlonjak kecil. “Eh…” “Loe gak dengerin gue ngomong dari tadi ya?” Neil memicingkan mata, seolah menahan kecewa. “Ah… maaf, kenapa?” Caelyn bertanya cepat, masih mencoba mengumpulkan pikirannya. Neil menghela napas panjang, “Loe mikirin gue gak usah sedalam itu lagi. Gue jadi terharu tau.” “Gak penting banget mikirin loe,” balas Caelyn datar. “Becanda Caelyn,” ujar Neil, tersenyum. “Kita udah sampai nih. Ayo turun.” Caelyn menoleh dan ternyata mereka sudah berada di depan sebuah hotel. Hotel yang sama seperti yang Neil janjikan kemarin malam. Neil turun lebih dulu, lalu berjalan santai mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Caelyn. Begitu kaki mereka menapak di lobby hotel, suasana berubah. Para pegawai yang mengenakan seragam rapi langsung menunduk hormat begitu melihat Neil. Namun dengan gestur halus, Neil memberi isyarat agar mereka bersikap biasa saja. Ia tak ingin Caelyn tahu siapa dia sebenarnya di tempat ini. “Selamat datang…” kata seorang resepsionis muda dengan suara tertahan. Neil hanya mengangguk kecil. Matanya memberi peringatan agar tidak menyebutkan panggilan khusus atau jabatan. Para staf segera memahami, dan berperan seolah Neil hanyalah tamu biasa. Mereka berjalan menyusuri lorong hotel. Neil berjalan lebih dulu dan Caelyn mengikuti di belakang tanpa berkata-kata, hanya sesekali melirik ke arah Neil yang begitu tenang memimpin jalan. Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah kamar yang terletak di ujung lorong lantai atas. Neil mengeluarkan kartu akses dari sakunya dan menempelkannya ke panel elektronik. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan luas dan jendela lebar yang menghadap ke pusat kota.Keesokan harinya, Neil membuka matanya perlahan. Cahaya lembut yang menembus tirai rumah sakit menusuk retinanya yang masih berat. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa lemah, dan setiap tarikan oksigen membuat dadanya perih.Saat pandangannya mulai fokus, ia mendapati sosok Caelyn duduk di kursi dekat ranjangnya. Wajah perempuan itu dipenuhi gurat khawatir, matanya sembab. Sepertinya, semalaman tidak tidur.“Neil… akhirnya kamu siuman,” ucap Caelyn dengan suara bergetar. Ia segera berdiri, lalu menggenggam tangan Neil erat-erat, seakan takut tangan itu akan terlepas lagi.Neil berusaha mengulas senyum tipis. “Eh… si bodoh ada di sini,” katanya dengan nada lemah, mencoba meledek.Namun senyum itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Tubuhnya menunduk, tangannya menekan ulu hati. “Ugh…” desahnya lirih."Kamu kenapa?" Caelyn panik. “Tunggu sebentar, aku panggil dokter!” Ia segera berlari ke pintu, suaranya pecah memanggil bantuan. “Dokter! Suster! Tolong! Cepat!”P
“Loe mau bawa mobil ini ke arah mana sih?” tanya Zephyr dengan suara bergetar. Matanya beberapa kali terpejam dan tubuhnya menegang.Neil mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Di setiap tikungan tajam, ban mobil itu sampai terangkat sebelah, membuat Zephyr hanya bisa berpegangan kuat pada handle pintu.“Ke kawasan pertokoan lama. Gue yakin Saga bawa Caelyn ke sana,” jawab Neil tenang, matanya fokus pada jalan.“Kenapa loe bisa yakin banget? Belum tentu mereka bisa sampai sejauh ini,” sahut Zephyr, masih berusaha menahan rasa panik.“Ayah Saga dulu punya toko di sana. Sekarang pertokoan itu udah terbengkalai, dan itu satu-satunya tempat yang menurut dia aman dan gak akan terjangkau sama orang yang dia kenal karena sejarah itu cuma dia dan orang tuanya yang tahu.”Zephyr hendak membalas, tapi matanya tiba-tiba menangkap dua sosok di sisi trotoar. “Itu… itu mereka bukan?” serunya sambil menunjuk.Neil spontan menoleh. Begitu mengenali Caelyn dan Saga, ia langsung menginjak rem keras
"Aku kan udah bilang, kali ini aku gak akan melepaskan kamu!" ucap Saga, suaranya rendah penuh ancaman, langkah kakinya berputar mengitari Caelyn yang terikat erat di salah satu pilar bangunan pertokoan terbengkalai itu."Apa kamu akan puas kalau semua yang kamu inginkan didapat dengan cara memaksa?" balas Caelyn lantang, sorot matanya tajam menembus gelap. "Wanita itu bahkan gak pernah mencintai kamu! Ah, iya... kamu juga harus tahu, dia bahkan jijik buat sekadar ngelihat kamu!"Rahang Saga mengeras. Dalam sekejap, ia menjambak rambut Caelyn kasar, memaksa wajah gadis itu mendongak menatapnya."Kamu yakin dengan ucapan kamu?" bisiknya dengan nada getir. Senyum miring tersungging di wajahnya. "Nyatanya, wanita itu sedang menatapku sekarang..."Cuih!Caelyn meludah tepat di wajahnya.Sejenak hening. Lalu suara tawa Saga pecah, berat, menyeramkan. Ia mengusap ludah itu perlahan, matanya berkilat dingin.Plaaakk!Tamparan keras mendarat di pipi Caelyn hingga kepalanya terhempas ke sampin
Seorang pria paruh baya berjalan mendekat lalu duduk di samping Bu Elsya. Perempuan itu menoleh, menatap sosok asing yang memilih memandang lurus ke depan, seakan tak peduli pada kehadirannya.“Anda pasti tidak mengenal saya,” ucap Tuan Chao datar.Ia berhenti sejenak, “Apa Anda tahu bahwa Neil tertangkap polisi atas kasus penembakan seorang Kapolri?” Tanyanya tenang.Mata Bu Elsya membesar. “Apa? Neil tertangkap polisi?” suaranya gemetar. “Tidak mungkin Neil melakukan penembakan!”Tuan Chao tersenyum pahit. “Anda benar. Neil memang tidak mungkin melakukannya. Dia hanya melindungi seseorang… dan ini bukan kali pertama ia melakukan hal yang sama.”Sejenak keheningan turun, hanya menyisakan desau angin yang berhembus perlahan di udara sore itu.“Awalnya saya tidak habis pikir dengan anak nakal itu,” lanjut Tuan Chao. “Mengapa ia rela menanggung hukuman berkali-kali hanya demi melindungi anak buahnya? Namun pada akhirnya saya mengerti. Ia bukan sedang melindungi anak buahnya, melainkan i
"Lepasin!" Caelyn memberontak kasar, berusaha menarik lengannya dari cengkeraman Saga.Saga akhirnya melepaskannya, lalu mengangkat kedua tangannya sendiri seakan menantang."Kenapa kamu ngelakuin itu? Kenapa kamu biarin Neil ketangkap polisi?" bentak Caelyn frustasi, matanya berkaca-kaca."Oh iya aku tahu, karna kamu mencintai Sea? Jadi dengan membiarkan Neil masuk penjara kamu bebas pacaran sama Sea iyakan?" sambungnya dengan suara bergetar menahan amarah.Saga bergeming. Ia hanya menatap, tatapannya menusuk tanpa satu kata pun keluar, membiarkan Caelyn terbakar emosi sendirian."Kamu setega itu ya sama sahabat-sahabatmu, kenapa kamu selalu begitu, hah? Kenapa?" Caelyn menghentak dada Saga dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar penuh amarah."Setelah kamu tinggalin Ether saat terbaring koma, sekarang kamu tinggalin Neil yang tertangkap polisi karena ulah kamu." Bibirnya melengkung sinis, "Aku bahkan gak pernah bermimpi bisa kenal dengan orang picik seperti kamu.""Kamu buat Neil t
“Yakin kau tak akan menyesal nantinya? Aku takut nanti kau akan menangis darah sambil memohon padaku untuk mengubah keputusan,” ucap Charles, suaranya lirih namun penuh jebakan, seakan racun yang dibungkus dengan rayuan.Neil tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya. “Untuk apa aku menyesali? Semua sabu yang sudah anda curi saja tidak pernah aku tangisi. Anda tahu sendiri jumlahnya bernilai miliaran, bukan? Seharusnya aku bisa tidur di atas tumpukan uang, alih-alih berdiri di gudang kotor ini sekarang.”Ucapan itu baru saja jatuh ketika sebuah sosok muncul tergopoh dari lorong samping gudang. Caelyn, dengan wajah terluka dan napas terengah, mematung mendengar setiap kata yang diucapkan Neil.“Jadi benar kamu bandar narkoba, Neil?”Neil tersentak, tubuhnya kaku seketika. Pandangannya membeku melihat Caelyn, lebih terkejut pada luka di wajahnya daripada pertanyaan yang keluar. Namun sebelum ia sempat menjawab, seorang penjaga melompat dari belakang, hendak meringkus Caelyn. Refleks,







