“Kau yakin dengan keputusanmu, Shaw? Aku hanya mengajak, tidak memaksa.”
Seorang remaja sedang fokus mengemas barang yang akan dibawa, menyusunnya rapi ke dalam tas. Di hadapannya, Shaw yang beberapa tahun lebih muda darinya mengangguk yakin. “Hum!” “Baiklah, tapi ingat yang kukatakan! Segera pergi begitu aku naik helikopter atau setidaknya segera pergi begitu helikopter mengudara. Mengerti?” Daniel, sang remaja, menoleh. Masih terlihat guratan ragu padanya mengingat rencana ini sangat berisiko. Shaw mengangguk. “Kita akan menyusuri perbatasan distrik Aloclya dan distrik Acilav di sisi barat. Sekolah, jembatan, rumah sakit, serta beberapa rumah makan dan rumah penduduk masih dalam tahap perbaikan di dekat perbatasan itu. Jadi, orang lain yang tidak berkepentingan dilarang ke sana dan di sana akan sepi saat malam hari. Hanya beberapa pengawal yang berjaga,” kata Daniel, menjelaskan hati-hati. “Kau tahu, 'kan, resikonya? Jadi, sekali lagi aku tanya. Kau yakin ikut? Karena kalau kau ikut, kita akan pergi berdua, lalu kau akan pulang sendirian.” Shaw mengangguk lagi. Ia sudah memikirkan masak-masak. Ini adalah kesempatan langka. Tidak ada orang yang berani merencanakan dan melakukan ini selain Daniel. Setelah mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, Daniel menggendong satu ransel di punggung dan satu lagi di dada. “Ayo, kita bisa pergi sekarang!” seru Daniel. Sempat terjadi perbincangan alot antara Shaw dengan kakek dan neneknya. Butuh beberapa menit lebih lama untuk meyakinkan kakek dan nenek agar mengizinkan Shaw ikut serta. Usai mengantongi izin, Shaw bersama Daniel pergi; mulai menjalankan rencana yang sudah disusun rapi. Perbatasan distrik ditandai dengan sungai yang diapit dua hutan kecil. Hampar rumput dan sawah mengapit jalanan yang menghubungkan kedua distrik. Daniel dan Shaw berlari secepat yang mereka bisa tanpa menimbulkan suara apa pun saat melewati padang rumput; penanda mereka sudah dekat ke perbatasan. Mereka berpacu dengan waktu dan sorot lampu dari para penjaga yang terus berputar mengawasi sekitar. Pada saat ini, ingatan Daniel melanglang. “Tolong pertimbangkan lagi, Tuan.” Daniel memohon kala itu, berdiri di seberang meja. “Tidak bisa, Dan. Keputusan sudah keluar. Kau remaja cerdas, catatan prestasimu sangat cerah, tetapi kau tidak bisa gunakan itu untuk dapat izin melanjutkan pendidikan keluar Zanwan.” Petugas kantor perizinan di hadapan Daniel menumpuk lembar kertas sertifikat, menaruhnya di meja, menggesernya ke arah Daniel. “Aku tidak ingin mengatur, tetapi sebaiknya kali ini kau benar-benar berhenti.” Sudah hari kelima Daniel datang, tetapi jawaban yang didapatkannya tetap sama. Permohonannya untuk melanjutkan pendidikan di negeri luar ditolak. “Mengapa? Kalian yang sesumbar siapa pun yang bisa memenangkan sepuluh sertifikat kejuaraan di peringkat pertama bisa melanjutkan pendidikan ke luar Zanwan. Angkatanku dari distrik Aloclya juga ada yang lolos tahun ini, padahal kualifikasiku lebih tinggi darinya. Mengapa aku tidak boleh?” “Karena itu kau!” Petugas menyentak, lalu menghela napas panjang dan mengusap wajah. “Apa?” Daniel mengernyit. Ia seperti mengerti, tetapi ia seperti tidak ingin mengerti. “Jangan memancing amarah petinggi dan tetua desa, Dan.” “Setidaknya beritahu aku. Biarkan aku mengerti.” Petugas melepas kacamatanya sebentar. “Kau bukan dari distrik Aloclya dan semua yang kau gaungkan membuat orang berasumsi dalam dirimu tumbuh bibit pemberontak. Itu masalahnya.” “Tapi ….” “Sudah. Tidak ada keadilan, Dan. Kau harus terima itu. Kau terlalu vokal, padahal kau sendiri tahu para petinggi dan tetua desa tidak suka perubahan.” Begitu memasuki kawasan dalam perbaikan akibat perang dengan para perompak beberapa waktu lalu, Daniel dan Shaw berjalan mengendap-endap. Sesuai perkiraan, keadaan sunyi sepi; hanya ada beberapa pengawal yang berjaga. “Atau kau mungkin masih punya harapan.” Bayang petugas perizinan berputar lagi di kepala Daniel. Ia melirik ke pintu. Daniel turut menoleh. Seorang petinggi desa masuk, tetapi keluar lagi begitu melihat Daniel. “Tuan, tunggu!” Daniel segera mengambil sertifikatnya dan berlari. Sampai di luar kantor, prajurit petinggi desa menghalau Daniel. “Tuan!” Lantang teriakan Daniel tidak berbalas. Petinggi desa menaiki kereta, lalu pergi begitu saja diikuti prajuritnya. Petugas perizinan menghampiri, berdiri di samping Daniel. “Bahkan petinggi desa pun tidak mau lagi mengurusi. Kau memang harus berhenti, tetapi kalau kau masih ingin mencoba, temui Tuan Hunt. Itu harapan terakhirmu.” “Meminta pada petinggi desa saja sulit, apalagi pada pemimpin desa.” “Aku yakin kau punya pilihan.” Petugas menepuk pundak Daniel, lalu masuk kantor. Daniel mematung, kecewa. Ia membawa kekecewaannya seperti menambahkan kayu kering pada api yang menyala. Penolakan yang ia dapatkan mendorong tekadnya makin besar untuk keluar dari Zanwan dan ia mencoba mewujudkannya malam ini. Daniel dan Shaw melewati celah dinding tembok sekolah yang belum selesai direnovasi, kembali berlari saat melewati tanah lapang, mengendap-endap lagi melewati restoran, dan masuk ke gang kecil rumah-rumah penduduk dengan merapat pada sisi dinding yang tidak terkena cahaya lampu. Sejenak, mereka berhenti dan melihat sekitar saat sampai di ujung bangunan sisi barat yang paling dekat perbatasan hutan Zanwan, lalu berlari cepat menuju hutan saat keadaan dirasa sudah aman. “Bagaimana ini? Penjagaannya sangat ketat!” Shaw berbisik sangat pelan. Matanya jeli mengawasi gerak-gerik lima jagawana yang bertugas di bawah; mengarahkan senter ke sekeliling. Di atas menara, tiga jagawana memantau melalui sorot lampu menara yang jangkauan cahayanya lebih jauh dan lebih jelas. Shaw cemas. Agaknya rencana mereka akan lebih sulit untuk diwujudkan. Otak Shaw berpikir keras apa kiranya yang harus ia lakukan jika ketahuan dan semua tidak sesuai rencana. Untuk sampai ke hutan saja mereka sudah kesulitan, ditambah harus melewati hutan dengan banyak pos berjarak di sepanjang hutan dan bibir pantai. Memikirkan kemungkinan terburuk membuat Shaw lebih menajamkan pendengaran dan penglihatannya. Pelarian sangat dilarang di Zanwan. Hukumannya tidak main-main. “Enam menit lagi pergantian sif. Kita bisa melewati pos saat keadaan lengang. Terus perhatikan! Kudengar para jagawana yang bertugas di malam hari adalah yang terpilih, terbaik dari yang terbaik. Pendengaran mereka tajam dan mereka sudah sangat terbiasa berada di alam bebas. Suara daun kering yang diremas dari jarak 50 meter pun bisa sampai ke telinga mereka,” sahut Daniel, berbisik tidak kalah pelan, sangat pelan. Ia sama cemasnya dengan Shaw. Namun, tidak ia tunjukkan. Shaw melotot mendengar penuturan Daniel di sampingnya. Matanya sesaat beralih pada sekitar kaki mereka, memastikan tidak ada daun kering ataupun ranting di sana. “Mereka sudah kembali. Hanya butuh tujuh menit untuk jagawana berikutnya datang. Jadi, kita harus bergegas. Ikuti aku.” Daniel melangkah cepat sambil berjongkok di balik semak belukar, diikuti Shaw. Tujuan mereka adalah pantai di barat daya, sudut yang cukup sepi dengan hutan yang sangat lebat, sempurna untuk mendukung rencana pelarian mereka. Sesampainya di bibir pantai, Shaw mengedarkan pandang menyusuri hutan sementara Daniel menyisir langit. Mata Daniel melebar berbinar kala melihat sebuah helikopter mendekat, lalu mendarat. Lampu menara akan kembali bergerak dalam sepuluh menit setelah dinyalakan, cukup untuk helikopter mendarat, menunggu penumpangnya masuk, lalu kembali mengudara. “Dasar agen. Mereka bawa heli bayang, eh?” Daniel membatin. Jelas helikopter yang dilihatnya saat ini bukanlah yang direncanakan. Helikopter yang dilihatnya sekarang sangat gelap dan senyap. “Ini, ambillah ....” Daniel menyerahkan satu tas krem berukuran sedang yang ia gendong di dada pada Shaw. Melihat Shaw mengerutkan kening tanpa menerima tasnya, Daniel meraih tangan Shaw, lalu menyerahkan tas dan berujar, “Ada beberapa benda di dalamnya. Semoga itu bisa bermanfaat untukmu.” “Dan, cepatlah!” Seorang laki-laki sebaya Daniel menghampiri mereka dengan sorot khawatir. Ia menunjuk ke arah hutan, celah pepohonan, tepatnya menara pengawas terdekat dari mereka, lalu turun ke bawah, menunjuk jagawana baru yang sudah setengah jarak dari pos. Daniel mengangguk, kembali menoleh menatap Shaw. “Aku percaya padamu, Shaw. Kau mampu, aku bisa melihat itu. Karena itu, aku membawamu ke sini. Setelah ini kau harus segera sembunyi dan pulang dengan aman.” Shaw diam, mendengarkan dengan baik. Ia tahu, mungkin saja ini akan jadi pertemuan terakhir mereka. Jadi, ia ingin mendengar semua yang Daniel katakan, mengingat suara dan wajah Daniel. Daniel memegang kedua pundak Shaw, menatap lekat anak lelaki yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri. “Kau pasti bisa membebaskan Zanwan. Suatu saat nanti, orang-orang pasti akan mendengarkanmu. Untuk itu, kau harus bisa membebaskan diri dari jeruji tanah anarki ini. Hadapi dirimu dahulu. Ketakutanmu, kekhawatiranmu, keraguanmu, kegundahanmu. Menangkan perang di dalam dirimu dahulu, kuasai dunia di dalam dirimu, maka kau bisa meruntuhkan benteng Zanwan. Kelak, tanah anarki ini pasti bisa kau taklukkan. Jaga dirimu baik-baik, Shaw ....” Dipeluknya Shaw erat untuk sesaat sebelum naik ke helikopter. Ada rasa bersalah menyelimutinya. Daniel tahu benar, mengajak Shaw terlibat dalam rencana ini bukanlah sepenuhnya keputusan bijak. Meski Shaw sangat lincah dan cerdas, Shaw tetaplah anak-anak. Melihat Shaw bergeming di tempatnya, Daniel menggunakan bahasa isyarat; menyuruh Shaw pergi. Namun, Shaw masih saja bergeming, menatap tenang dan mengulas senyum pada helikopter yang mulai mengudara. Sekejap, Shaw mengalihkan pandang, menatap tas di genggaman, lalu menyembunyikan tas tersebut di semak-semak. Setelahnya, ia kembali ke posisinya semula, tersenyum cerah menatap helikopter yang terus menjauh. Hingga akhirnya aksi mereka tertangkap oleh para jagawana yang kemudian melapor pada atasan mereka pun, Shaw tetap bertahan pada posisinya. Kedua tangan ia tautkan di belakang tubuh, mengambil sikap istirahat ketika derap langkah lari para jagawana terdengar menuju ke arahnya. “Cepat pergi dari sana, Shaw!” Sekali lagi Daniel menginstruksi dengan bahasa isyarat dan sekali lagi pula Shaw tidak mengindahkan. Ia terus saja menatap dengan tenang dan tersenyum. Pias wajah Daniel kini.Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.