Dibiarkannya Jessica menangis sepuas-puasnya. Setelah isak tangis adiknya mulai mereda, perempuan yang lebih banyak makan asam garam dibandingkan Jessica itu berkata, “Pergilah mandi. Tommy akan kupersilakan untuk pulang saja.”
“Apa yang akan Kak Jenny katakan padanya?”
“Kubilang saja kamu sudah kecapekan dan mau istirahat. Apakah perlu Kakak beritahu dia supaya nggak usah datang lagi kemari?”
Jessica terdiam sejenak. Otaknya berpikir keras. Tiba-tiba sebuah senyuman licik tersungging di bibirnya yang tipis. Bulu kuduk Jenny sampai berdiri melihatnya. Apa gerangan yang direncanakan adikku ini ya, Tuhan? ujarnya dalam hati penuh tanda tanya. Senyumannya terlihat begitu mengerikan!
“Aku berubah pikiran, Kak. Biarkan saja Tommy menungguku selesai mandi. Akan kutemui dia.”
Lalu gadis cantik yang matanya tampak sembab itu bangkit berdiri dari atas tempat tidurnya dan melangkah ringan menuju ke kamar mandi. Kakak kandungnya hanya melihatnya dari belakang dan berdoa dalam hati semoga adiknya yang kadang suka bertindak nekat itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan.
***
“Hai, sori lama menunggu,” sapa Jessica ramah sambil duduk di sofa yang berhadap-hadapan dengan Tommy. Laki-laki berambut cepak yang sudah lama menunggu itu tersentak melihat mantan kekasihnya tiba-tiba muncul dengan wajah segar dan rambut setengah basah seperti habis mandi keramas. Kalau penampilannya seperti ini, dia seperti Sica yang dulu kukenal. Terlihat polos dan ceria. Sica yang kucintai…, batin Tommya terkenang masa-masa indah mereka dulu.
“Minumanmu habis. Kubikinkan lagi, ya.”
“Nggak usah repot-repot, Sica. Terima kasih.”
“Nggak repot, kok. Kamu udah makan malam belum? Temani aku pergi makan nasi goreng langganan kita dulu, yuk.”
Pemuda di hadapannya menjadi salah tingkah. Tak diduganya gadis ini tiba-tiba berubah menjadi ramah kepadanya. “Memang masih jual nasi gorengnya? Terakhir kita makan tujuh tahun yang lalu….”
“Masih, dong. Yang masak juga masih orang yang sama, gerobak yang sama, dan….”
“Yang beli juga orang yang sama.”
Jessica tertawa renyah mendengar celetukan mantan kekasihnya itu. Tawamu itu menggemaskan sekali, Sica. Aku begitu merindukannya, ucap Tommy dalam hati. Dia merasa senang ketegangan diantara mereka berdua sudah mencair.
“Ayo berangkat, keburu tambah gelap,” ajak Jessica seraya meraih tangan laki-laki itu. Tommy bagaikan tersengat arus listrik. Sica menggandeng tanganku, soraknya dalam hati. Akhirnya…kegigihanku membuahkan hasil. Terima kasih, Tuhan!
Sementara itu gadis yang menggandengnya menggerutu dalam hati. Kurendahkan martabatku untuk bersamamu kembali, Tommy Saputra. Ini kulakukan demi membalas dendam padamu dan ibumu yang culas itu. Karena…barangsiapa berani menyakiti Jessica Irawan akan mendapatkan pembalasan berkali-kali lipat!
***
“Gimana rasanya? Masih enak seperti dulu, nggak?” tanya Jessica pada Tommy setelah menikmati beberapa suap nasi goreng merah langganan mereka bertahun-tahun yang lalu. Pemuda itu mengangguk mengiyakan. “Masih sama persis enaknya, nggak berubah sama sekali.”
Jessica tersenyum senang. Mereka berdua sedang duduk di kursi-kursi yang berdampingan. Tidak ada meja, sehingga piring nasi goreng dipegang begitu saja dengan tangan kiri. Di depan kedua muda-mudi itu tampak mobil-mobil yang lalu-lalang. Gerobak tersebut memang terletak di pinggir jalan yang agak ramai. Fasilitasnya hanya beberapa kursi plastik tanpa sandaran bagi pembeli yang mau bersantap di tempat. Kebanyakan orang memilih untuk membungkus pesanan mereka dan dibawa pulang. Tetapi Jessia dan Tommy dulu lebih sering makan di tempat karena kalau dibawa pulang rasa nasi gorengnya terasa tidak begitu sedap lagi.
“Kamu masih suka pedas,” komentar Tommy melirik bibir mantan kekasihnya yang merah dan mendesis-desis kepedasan.
“Sudah menjadi trade mark keluargaku. Nggak bisa hidup tanpa cabe. Hahaha….”
Tommy ikut tertawa. Ia benar-benar gembira. Tak disangkanya malam ini bisa makan dan tertawa lepas dengan gadis cantik yang selalu mempunyai tempat istimewa di hatinya ini.
“I realy miss you, Sica,” gumamnya tanpa sadar. Lalu pemuda itu terkejut sendiri dengan ucapannya barusan.
“Hehehe…, benarkah?” tanya gadis di sampingnya acuh tak acuh.
“Kamu nggak percaya?”
Jessica terkekeh geli. “Buktinya baru sekarang kamu menemuiku. Setelah tujuh tahun berlalu…. Kamu tahu betapa banyak hal yang berubah selama bertahun-tahun ini?”
Tommy menunduk malu. “Aku tahu. Maafkan aku, ya.”
“Apa saja yang sudah kamu ketahui?”
“Kak Jenny tadi menceritakannya padaku. Katanya ibumu meninggal akibat komplikasi diabetes selang dua tahun setelah ayahmu masuk bui. Lalu ayahmu sendiri meninggal di dalam penjara akibat serangan jantung setelah empat tahun menjalani masa hukuman….”
“Rupanya kakakku sudah bercerita banyak padamu. Lalu apa lagi yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Kak Jenny hanya bercerita sekilas tentangmu, Sica. Katanya sudah bertahun-tahun ini kamu bekerja sebagai agen properti. Itu saja.”
“Sudah cukup, kan? Terus apa lagi yang ingin kamu ketahui?”
Pemuda bersorot mata sendu itu menelan ludahnya lalu berkata, “Aku ingin minta maaf telah meninggalkanmu tanpa kabar waktu itu. Aku terpaksa. Mama mengancam akan bunuh diri di hadapanku jika aku tidak mau mengikuti kemauannya meneruskan studi di Australia.”
Gadis yang sedang asyik mengunyah nasi goreng di sampingnya tersentak. Perempuan jahat itu benar-benar menipulatif, makinya dalam hati. Bisa-bisanya dia memakai cara licik itu untuk mengancam putra tunggalnya sendiri! Dasar Tommy bodoh, mudah percaya dengan gertakan ibunya. Nggak mungkinlah orang yang begitu menikmati hidup seperti Wanda Saputra bisa bunuh diri!
“Ada seorang pengawal yang menemaniku dari Indonesia hingga sebulan di Melbourne. Aku tidak diijinkan memakai ponsel sama sekali. Selama sebulan itu aku juga nggak ngapa-ngapain, Sica. Hanya beradaptasi dengan suasana sekitar, sambil mendaftar ke lembaga kursus bahasa Inggris. Kamu tahu kan, kemampuan bahasa Inggrisku bagaimana? Hehehe….”
Jessica tersenyum pahit. Kamu tidak berbakat dalam bidang apapun di sekolah, Sayang. Nilaimu selalu pas-pasan. Tapi itu tak menjadi masalah, karena keluargamu sangat berada. Masa depanmu sudah jelas, yaitu meneruskan usaha pabrik makanan kaleng milik keluarga Saputra. Jauh berbeda dengan diriku yang harus berusaha keras meraih imipianku.
“Setelah sebulan aku di Melbourne, giliran Mama yang menemaniku selama tiga bulan di sana. Katanya kamu sempat menemuinya di rumah kami dan mencariku.”
Gadis itu terkesima. Rupanya si Wanda itu jujur juga pada anaknya ini. Tapi…tunggu dulu…apa yang dikatakannya pada Tommy mengenai kedatanganku?
“Mamamu ngomong apa?”
“Katanya kamu memutuskan hubungan kita karena mau fokus merawat ibumu yang sakit-sakitan.”
Deg! Dada gadis itu terasa sakit sekali bagaikan ditusuk benda tajam. Pintar sekali orang itu memutarbalikkan fakta! Dan begonya, Tommy percaya begitu saja. Dasar anak mama! umpatnya sebal dalam hati.
“Kamu percaya?”
Tommy menghela napas panjang. “Aku tidak punya pilihan selain mempercayainya waktu itu. Aku takut dia mengancam bunuh diri lagi.”
Guoblok! maki Jessica dalam hati.
“Aku sekarang sudah dewasa, Sica. Sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Selama tujuh tahun ini aku menuruti saja apa yang dikehendaki mamaku. Beliau menginginkanku kuliah dan bekerja di Melbourne, kuturuti. Tidak boleh menghubungimu sama sekali, kuturuti. Tidak boleh pulang ke Indonesia sama sekali juga kupatuhi. Jujur saja aku tidak tahu apa-apa tentang penyakitnya sampai beberapa bulan yang lalu Mama menyuruhku pulang. Aku kaget sekali dan memutuskan untuk pulang selamanya. Kutinggalkan semua yang sudah kuraih di Melbourne demi merawat Mama dan meneruskan perusahaan keluargaku.”“Juga untuk dijodohkan dengan Melani….”“Tentang itu aku terus-terang baru mengetahuinya setiba di sini, Sica….”“Lalu selama di
“Barangkali ini terdengar agak kejam. Tapi terpaksa kulakukan demi meraih kebahagiaan kita berdua, Sica….”“Aku tidak mengerti.”Tommy menghela napas panjang. Kemudian dia berkata dengan suara parau, “Mama sekarang kondisinya memang membaik, tapi kanker tetaplah kanker. Butuh pengobatan secara intensif dan membutuhkan dana yang besar seumur hidup.”“Lalu?”“Dia sekarang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan. Aku telah menggantikannya semenjak kembali dari Melbourne. Keuangan keluarga Saputra sekarang berada sepenuhnya di tanganku. Perusahaan, rumah, mobil, properti-properti ase
Jessica duduk di depan meja riasnya. Ditatapnya bayangan wajahnya pada cermin di hadapannya. “Aku memang sudah berubah,” ujarnya pada dirinya sendiri. “Bukan lagi Sica yang lugu dan mudah ditipu orang lain.”Ingatannya kembali pada peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika itu dia baru menerima pesan WA dari Tante Wanda setelah tiga hari menunggu-nunggu dengan hati gelisah.“Silakan duduk, Sica,” kata perempuan itu ramah begitu melihat Jessica muncul di ruang tamunya.”“Terima kasih, Tante.”“Kamu kelihatan lebih segar dibanding beberapa hari yang lalu.” 
Tiba-tiba sebersit perasaan bersalah dalam lubuk hatinya dan dia pun menangis tersedu-sedu. Jenny dan ibunya hanya diam saja melihatnya. Maafkan aku, Anakku! jerit Jessica dalam hati. Mama telah membunuhmu tanpa sengaja. Maafkan Mama, Nak!Hati Jessica masih teriris setiap kali mengenang kejadian menyakitkan itu. Ia keguguran, rahimnya cacat, dan bahkan tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit! Jenny-lah yang melunasi semua tagihan rumah sakit dengan uang tabungannya. Ponsel Tante Wanda tak dapat dihubungi. Rumahnya pun kosong ketika didatanginya bersama Jenny beberapa hari kemudian sekeluar dirinya dari rumah sakit.Hanya spanduk bertuliskan kata Dijual yang menyambutnya di depan pagar rumah mewah tersebut. Ketika nomor agen properti yang tertera pada spanduk itu diteleponnya, orang itu mengatakan bahw
Dada Wanda berdebar-debar mendengarnya. “Untuk apa?” tanyanya keheranan.“Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma,” ucap pemuda itu sembari menatap ibunya penuh penyesalan. “Tommy sudah lama mengetahui bahwa Mama Wanda bukanlah ibu kandung Tommy yang sebenarnya. Juga bahwa almarhum Papa membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh aset keluarga Saputra menjadi hak milikku sepenuhnya dan bebas kukelola saat diriku menginjak usia dua puluh enam tahun. Saat ini umurku dua puluh tujuh tahun. Berarti telah terjadi penggelapan sejumlah aset keluargaku selama setahun terakhir. Tentunya Mama Wanda adalah orang pertama yang bisa kumintai pertanggungjawaban, bukan?”Wanda terbelalak. Dia…dia sudah mengetahuinya! Bagaimana mungkin?“Papa yang memberitahu Tommy sendiri sebelum akhir hayatny
“Mau datang kok nggak ngasih kabar dulu, sih? Aku sebentar lagi mau pergi,” jawab sang nona rumah sebal sembari membuka gembok pagar. Dibukanya pagar itu sedikit sehingga leluasa berbicara dengan tamunya yang datang tanpa pemberitahuan ini.“Aku kebetulan habis antar klien survey rumah di dekat sini. Sekalian aja mampir kemari. Mau pergi ke mana? Kuantar, yuk.” “Ehm…, “ jawab Jessica kebingungan. “Aku nanti dijemput teman.”“Oya? Siapa?”“Yah…teman.”Moses menatapnya lekat-lekat. “Teman spesial?” tanyanya
“Lihatlah, Ma. Sica masih rendah hati sekali seperti dulu, tidak suka menonjolkan diri,” cetus Tommy membangga-banggakan gadis pujaannya di depan ibunya.Wanda manggut-manggut dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan yang mengenakan seragam perawat muncul dan berkata lirih, “Makan malamnya sudah siap, Bu Wanda.”Sang nyonya rumah mengangguk dan kemudian mengajak putra serta tamunya menikmati makan malam bersama. “Mari Sica, kita makan malam sama-sama.”“Baik, Tante. Terima kasih,” jawab tamunya sopan. Sorot matanya begitu dingin dan membuat hati Wanda agak mengerut melihatnya. Tommy yang tak menyadari ketegangan yang terjadi diant
“Suara tawamu terdengar mengerikan. Lihat, bulu kuduk Kakak sampai berdiri.”Jessica menatap kakaknya dengan wajah berseri-seri. “Tuhan sedang berpihak kepadaku, Kak. Tentu saja takkan kulewatkan kesempatan ini. Suatu saat Kakak akan mengerti apa yang kumaksud. Sekarang sudah malam. Tidur, yuk. Besok pagi aku mesti pergi ke kantor notaris untuk melakukan transaksi sewa-menyewa ruko.”Jenny mengangguk dan kemudian meninggalkan kamar tidur adiknya dengan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Semoga adikku tidak nekad melakukan hal-hal yang berisiko, batinnya was-was. Kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri.***Keesokkan paginya tanpa sengaja Jessica bertemu