Laki-laki bermata tajam dan berhidung mancung itu mengangguk. “Rumah itu memang paling cocok dihuni pasangan suami-istri muda sih, menurutku. Lingkungannya tenang, fasilitasnya lengkap, dan bangunannya sudah siap huni tanpa perlu renovasi lagi.”
“Terima kasih atas pujiannya,” seloroh Jessica berkomentar.
“Sama-sama, Cantik.”
Mereka lalu berkonsentrasi menghabiskan makanan masing-masing. Beberapa menit kemudian, keduanya berpisah di halaman depan rumah makan itu untuk kembali beraktivitas. “Bye, Cantik. Besok kita makan siang bareng lagi, ya,” ujar Moses berpamitan.
“Nggak janji. Hahaha…,” timpal Jessica cuek. Pemuda yang selalu sabar menghadapiya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya gemas. Kapan aku bisa menaklukkan hatimu, Jessica Irawan? batin Moses penasaran. Perasaannya pada gadis itu tak pernah berubah semenjak melihatnya lima tahun yang lalu ketika sama-sama mengikuti training properti. Gadis itulah yang justru berubah. Semakin cantik, pintar, dan percaya diri. Berbagai transaksi penjualan maupun penyewaan properti berhasil di-closing-kannya selama beberapa tahun terakhir. Namanya cukup terkenal diantara marketing properti Surabaya. Pendapatannya pun semakin meningkat seiring dengan banyaknya transaksi yang berhasil dijalankannya.
Tapi…, pikir Moses heran. Kenapa dia sepertinya tidak tertarik menjalin hubungan percintaan, ya? Teman-temannya pun nggak banyak. Gadis itu lebih suka menghabiskan waktu di rumah jika sedang tidak ada kegiatan. Pernah Moses mengajaknya keluar bersama agen-agen properti lainnya sekedar untuk berjalan-jalan di mal atau kumpul-kumpul di kafe. Jessica selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Mau menemani kakaknya-lah, pergi membeli buku-lah, atau sekedar beristirahat di rumah karena capek seharian memprospek klien.
Sepertinya dia sama sekali tidak tertarik dengan laki-laki. “Masa dia penyuka sesama jenis? Sayang sekali kalau begitu,” ujar laki-laki menyesalkan. Dengan penuh tanda tanya dilambaikannya tangannya pada Jessica yang mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan dirinya. Setelah bayangan mobil itu menghilang, Moses membalikkan badannya dan berjalan menuju ke mobilnya sendiri. Besok aku akan mengajaknya makan siang lagi, tekadnya dalam hati. Kangen sekali rasanya kalau tidak melihat wajah cantik Jessica sehari saja.
***
Jessica pulang hampir pukul delapan malam hari itu. Dia baru selesai menemui klien di dua tempat berbeda untuk mempresentasikan brosur komplek perumahan mewah di Surabaya Barat yang akan launching depan. Dibujuknya klien-kliennya tersebut untuk segera memberikan uang tanda jadi supaya bisa memilih unit yang diinginkan sebelum keduluan orang lain. Seperti biasa, calon-calon investor itu meminta diberikan waktu untuk mempertimbangkannya lebih dulu.
Mudah-mudahan salah satu dari mereka ada yang memberikan uang tanda jadi, ucap Jessica penuh harap dalam hati. Sudah lama rasanya aku tidak closing proyek rumah baru. Meskipun komisinya agak lama cairnya, tapi setidaknya itu buat tabungan penghasilanku. Aku mulai jenuh rasanya bekerja kelilingan seperti ini, keluh gadis itu dalam hati. Tapi pekerjaan apa lagi yang bisa kuperoleh hanya berbekal ijazah SMA?
Meskipun penghasilan dari properti tidak rutin ada setiap bulan, tapi nominalnya cukup besar. Asalkan pandai mengatur keuangan, siapapun bisa kaya dari bisnis ini. Mobil ini contohnya, berhasil kubeli cash hanya dengan rajin bekerja selama tiga setengah tahun, pikir Jessica bangga. Ya, lebih baik membeli segala sesuatu secara tunai. Aku takut sekali berhutang. Cukup sudah pengalaman kami sekeluarga dahulu melunasi hutang-hutang Papa akibat berjudi. Bahkan semua perhiasan Mama dan tanah-tanah peninggalan Eyang habis dijual tak tersisa.
Ya, ternyata selain pada perusahaan tempatnya bekerja, ayah Jessica juga berhutang pada sanak saudaranya maupun teman-teman baiknya. Orang-orang itu berbondong-bondong mencari-carinya di rumah. Namun hanya Jessica dan ibunya yang mereka temui, karena ayahnya sudah ditahan polisi akibat tuntutan pemilik perusahaan yang uangnya digelapkan.
Lamunan gadis cantik itu tiba-tiba terhenti ketika melihat sebuah mobil Honda CRV berwarna silver parkir di depan pagar rumahnya. “Tommy lagi,” gerutunya dongkol. “Mau apa sih, dia datang terus-terusan ke rumahku?”
Dengan wajah cemberut dibukanya pintu pagarnya lebar-lebar. Seketika seorang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam rumah dan berdiri di teras. Tommy dan Kak Jenny, gumam Jessica dalam hati. Apa saja yang mereka bicarakan sewaktu aku tidak ada? Bisa-bisa kakakku menceritakan semuanya pada laki-laki anak mama itu, pikir gadis itu geregetan.
Dengan acuh tak acuh dikemudikannya mobilnya perlahan memasuki halaman rumahnya. Kemudian dimatikannya mesin mobil dan gadis itu keluar untuk menutup pagar kembali. Tapi dia rupanya sudah keduluan oleh Tommy. Pemuda itu sudah menutup pagar dan mengunci gembok magnetiknya. “Ini kuncinya, Sica,” kata tamu tak diundang itu mengembalikan kunci gembok pada Jessica.
“Terima kasih,” sahut Jessica cuek. Diterimanya kunci itu lalu ia berjalan cepat meninggalkan mantan kekasihnya. Jenny yang melihat kekerasan hati adiknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Diajaknya Tommy masuk kembali ke ruang tamu.
“Tunggu sebentar ya, Tom. Kakak akan bicara dulu sama Jessi.”
Tommy mengangguk sabar. Dia baru setengah jam berada di rumah ini. Untungnya Jessica belum pulang dan dia diterima dengan baik oleh Jenny. Mereka tadi hanya berbicara basa-basi dan tidak mengungkit-ungkit masa lalunya dengan Jessica sama sekali.
“Jessi, Tommy sudah menunggumu selama setengah jam. Jangan dicuekkin gitu, dong. Kasihan,” nasihat Jenny begitu sampai di dalam kamar tidur adiknya.
“Aku capek sekali, Kak. Mau mandi, keramas,….”
“Tidur.”
“Nah, Kakak tahu sendiri, kan? Hehehe….”
“Mandilah sana. Sesudah itu temui Tommy, ya.”
“Ogah!”
“Lho, dia kan tamumu.”
“Tamu tak diundang!”
“Jangan ketus begitu, Jessi. Dia bermaksud baik.”
“Kakak sudah bicara apa saja sama dia?”
“Cuma basa-basi. Nanya dia selama bertahun-tahun ini pergi ke mana, ngapain saja.”
“Terus apa jawabannya?”
“Katanya dia kuliah di Australia. Begitu lulus lanjut kerja di sana. Terus dia diminta mamanya untuk pulang beberapa bulan yang lalu. Katanya mamanya sakit keras.”
Mata Jessica berkilat-kilat penuh dendam. Dia berkata sinis, “Wanita kejam itu terkena kanker leher rahim, Kak. Itu karma akibat perbuatannya pada Jessi. Karma!”
“Sudahlah, Jessi. Jangan ngomong begitu. Nggak baik.”
“Kenapa tidak? Dia telah merusak rahim Jessi, Kak. Harta yang paling berharga dalam diri Jessi!”
Jenny memeluk adiknya yang mulai terisak-isak. Sebagai seorang wanita ia dapat merasakan kepedihan hati adiknya ini.
Dibiarkannya Jessica menangis sepuas-puasnya. Setelah isak tangis adiknya mulai mereda, perempuan yang lebih banyak makan asam garam dibandingkan Jessica itu berkata, “Pergilah mandi. Tommy akan kupersilakan untuk pulang saja.”“Apa yang akan Kak Jenny katakan padanya?”“Kubilang saja kamu sudah kecapekan dan mau istirahat. Apakah perlu Kakak beritahu dia supaya nggak usah datang lagi kemari?”Jessica terdiam sejenak. Otaknya berpikir keras. Tiba-tiba sebuah senyuman licik tersungging di bibirnya yang tipis. Bulu kuduk Jenny sampai berdiri melihatnya. Apa gerangan yang direncanakan adikku ini ya, Tuhan? ujarnya dalam hati penuh tanda tanya. Senyumannya terlihat begitu mengerikan! 
“Aku sekarang sudah dewasa, Sica. Sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Selama tujuh tahun ini aku menuruti saja apa yang dikehendaki mamaku. Beliau menginginkanku kuliah dan bekerja di Melbourne, kuturuti. Tidak boleh menghubungimu sama sekali, kuturuti. Tidak boleh pulang ke Indonesia sama sekali juga kupatuhi. Jujur saja aku tidak tahu apa-apa tentang penyakitnya sampai beberapa bulan yang lalu Mama menyuruhku pulang. Aku kaget sekali dan memutuskan untuk pulang selamanya. Kutinggalkan semua yang sudah kuraih di Melbourne demi merawat Mama dan meneruskan perusahaan keluargaku.”“Juga untuk dijodohkan dengan Melani….”“Tentang itu aku terus-terang baru mengetahuinya setiba di sini, Sica….”“Lalu selama di
“Barangkali ini terdengar agak kejam. Tapi terpaksa kulakukan demi meraih kebahagiaan kita berdua, Sica….”“Aku tidak mengerti.”Tommy menghela napas panjang. Kemudian dia berkata dengan suara parau, “Mama sekarang kondisinya memang membaik, tapi kanker tetaplah kanker. Butuh pengobatan secara intensif dan membutuhkan dana yang besar seumur hidup.”“Lalu?”“Dia sekarang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan. Aku telah menggantikannya semenjak kembali dari Melbourne. Keuangan keluarga Saputra sekarang berada sepenuhnya di tanganku. Perusahaan, rumah, mobil, properti-properti ase
Jessica duduk di depan meja riasnya. Ditatapnya bayangan wajahnya pada cermin di hadapannya. “Aku memang sudah berubah,” ujarnya pada dirinya sendiri. “Bukan lagi Sica yang lugu dan mudah ditipu orang lain.”Ingatannya kembali pada peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika itu dia baru menerima pesan WA dari Tante Wanda setelah tiga hari menunggu-nunggu dengan hati gelisah.“Silakan duduk, Sica,” kata perempuan itu ramah begitu melihat Jessica muncul di ruang tamunya.”“Terima kasih, Tante.”“Kamu kelihatan lebih segar dibanding beberapa hari yang lalu.” 
Tiba-tiba sebersit perasaan bersalah dalam lubuk hatinya dan dia pun menangis tersedu-sedu. Jenny dan ibunya hanya diam saja melihatnya. Maafkan aku, Anakku! jerit Jessica dalam hati. Mama telah membunuhmu tanpa sengaja. Maafkan Mama, Nak!Hati Jessica masih teriris setiap kali mengenang kejadian menyakitkan itu. Ia keguguran, rahimnya cacat, dan bahkan tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit! Jenny-lah yang melunasi semua tagihan rumah sakit dengan uang tabungannya. Ponsel Tante Wanda tak dapat dihubungi. Rumahnya pun kosong ketika didatanginya bersama Jenny beberapa hari kemudian sekeluar dirinya dari rumah sakit.Hanya spanduk bertuliskan kata Dijual yang menyambutnya di depan pagar rumah mewah tersebut. Ketika nomor agen properti yang tertera pada spanduk itu diteleponnya, orang itu mengatakan bahw
Dada Wanda berdebar-debar mendengarnya. “Untuk apa?” tanyanya keheranan.“Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma,” ucap pemuda itu sembari menatap ibunya penuh penyesalan. “Tommy sudah lama mengetahui bahwa Mama Wanda bukanlah ibu kandung Tommy yang sebenarnya. Juga bahwa almarhum Papa membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh aset keluarga Saputra menjadi hak milikku sepenuhnya dan bebas kukelola saat diriku menginjak usia dua puluh enam tahun. Saat ini umurku dua puluh tujuh tahun. Berarti telah terjadi penggelapan sejumlah aset keluargaku selama setahun terakhir. Tentunya Mama Wanda adalah orang pertama yang bisa kumintai pertanggungjawaban, bukan?”Wanda terbelalak. Dia…dia sudah mengetahuinya! Bagaimana mungkin?“Papa yang memberitahu Tommy sendiri sebelum akhir hayatny
“Mau datang kok nggak ngasih kabar dulu, sih? Aku sebentar lagi mau pergi,” jawab sang nona rumah sebal sembari membuka gembok pagar. Dibukanya pagar itu sedikit sehingga leluasa berbicara dengan tamunya yang datang tanpa pemberitahuan ini.“Aku kebetulan habis antar klien survey rumah di dekat sini. Sekalian aja mampir kemari. Mau pergi ke mana? Kuantar, yuk.” “Ehm…, “ jawab Jessica kebingungan. “Aku nanti dijemput teman.”“Oya? Siapa?”“Yah…teman.”Moses menatapnya lekat-lekat. “Teman spesial?” tanyanya
“Lihatlah, Ma. Sica masih rendah hati sekali seperti dulu, tidak suka menonjolkan diri,” cetus Tommy membangga-banggakan gadis pujaannya di depan ibunya.Wanda manggut-manggut dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan yang mengenakan seragam perawat muncul dan berkata lirih, “Makan malamnya sudah siap, Bu Wanda.”Sang nyonya rumah mengangguk dan kemudian mengajak putra serta tamunya menikmati makan malam bersama. “Mari Sica, kita makan malam sama-sama.”“Baik, Tante. Terima kasih,” jawab tamunya sopan. Sorot matanya begitu dingin dan membuat hati Wanda agak mengerut melihatnya. Tommy yang tak menyadari ketegangan yang terjadi diant