Share

Bab 1 Kakek Warno

Namanya Bayu Adi Suwarno.

Biasanya dia dipanggil dengan nama depannya, Bayu. Dia asli suku Jawa. Hari ini adalah hari kelulusan sekolahnya. Bayu bersekolah di Kota Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Dia berasal dari suatu desa di kabupaten Magelang. Bayu tinggal bersama Kakeknya yang bernama Aji Suwarno dengan nama panggilan Kakek Warno. Dia adalah kakek dari pihak Ayah yang sudah lama meninggal. Ibunya menikah lagi dan tinggal bersama keluarga barunya di kota Jakarta. Ibu Bayu bernama Hedianti dengan panggilan Anti.

Selama hari-hari sekolah, Bayu tinggal di rumah kos kota Magelang dan hanya pulang ke rumah di desa setiap akhir pekan. Karena Bayu sudah lulus sekolah, dia harus pulang ke desa asalnya. Hari ini, Bayu bersiap hendak berkemas untuk pulang ke desa ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi.

"Halo, Bayu! Kamu sudah lulus kan? Minggu depan kamu ke Jakarta ya bantu Pamanmu ngurusi rumah kotrakannya sambil lanjut kuliah di Jakarta. Ibu sudah bilang sama kakekmu. Ya, sudah. Besok ibu telepon lagi, ya!" Ibu Bayu menyerocos di telepon.

Bayu hanya bisa terdiam mendengar kata-kata ibunya di telepon.

Dia membatin, "Seperti biasa, ibu selalu memaksakan kehendaknya tanpa aku bisa membantah." 

Setelah selesai bergulat dengan pikirannya, Bayu segera mengemasi pakaian dan buku- buku pelajaran di kamarnya. Ketika Bayu sedang berkemas, dia melirik dengan sudut matanya dan melihat bayangan gelap di sudut kamar.

“Aku pamit pulang, ya. Kamu baik-baik saja di sini! Aku tidak kembali lagi ke sini. kamu jangan menakut-nakuti penghuni kamar yang selanjutnya!”

Sejak kecil, Bayu terbiasa 'melihat' sesuatu yang lain.

Kata kakeknya, itu adalah bakat bawaan keluarganya.

Bayangan hitam ini telah menemani Bayu sejak dia datang ke rumah kos ini. Bayangan itu tidak berbahaya, hanya suka muncul bila Bayu di kamar dan hanya diam mengamati apa saja yang sedang dilakukan Bayu.

Selesai berkemas, Bayu mengikat tas koper tua yang berisi pakaian dan buku-buku pelajaranku di atas jok bagian belakang motornya, lalu dia pamit kepada pemilik rumah kos, “Budhe, saya pamit mau pulang sekarang! Mohon maaf atas segala kesalahan saya selama tinggal di sini!”

Bayu terbiasa memanggil pemilik rumah kos dengan sebutan Budhe karena mengikuti panggilan dari keponakannya yang tadinya tinggal di rumah kos ini. Keponakannya adalah kakak kelas Bayu di sekolah dan dia sudah lulus setahun lebih cepat daripada Bayu.

“Ya, Bayu! Hati-hati di jalan ya! Semoga hidupmu sukses! Budhe tidak bisa ngasih apa-apa!” Budhe menjawab dengan lambaian tangan. Matanya berkaca-kaca dengan air mata. Mungkin karena mengingat bahwa Bayu tidak akan kembali lagi ke tempat itu selamanya.

Bayu telah tinggal di rumah kos ini selama tiga tahun.  Jadi, Budhe sudah menganggap Bayu sebagai keluarganya.

Setelah berpamitan, Bayu buru-buru menjalankan kendaraannya untuk pulang.

Dia tidak sabar untuk segera pulang karena merasa rindu dengan rumahnya.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam melalui jalan yang menanjak dan berkelok-kelok, akhirnya Bayu sampai di rumah Kakeknya di desa.

Meskipun rumah Kakeknya berada di desa di yang lumayan terpencil, rumah Kakeknya adalah rumah yang terbesar di desa.

Kakek Bayu dikenal sebagai orang pintar atau dukun oleh warga desa. Bahkan, namanya dikenal di kota-kota sekitar desanya sebagai paranormal oleh beberapa orang kaya.

Oleh karena itu, Kakeknya sering kali dimintai tolong dengan imbalan suka rela yang terkadang tidak kecil. Rumah Kakek Bayu adalah hasil jerih payahnya sebagai seorang paranormal.

Bayu memarkir sepeda motornya di teras rumah dan langsung masuk menuju ke belakang rumah. Kakeknya biasa bersantai minum kopi sembari merokok tembakau lintingan di teras belakang. Namun, sesampainya di teras belakang Bayu tidak menemukan Kakeknya.

Bayu malah bertemu bibinya yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah. Nama Bibinya adalah Widyawati, panggilannya Wati. Bayu biasa memanggilnya Bulik Wati.

Bibinya adalah anak bungsu Kakek Bayu. Dia tidak pernah menikah karena rasa rendah diri atas kecacatannya memiliki tangan yang kecil sebelah. Meskipun begitu, bibi Wati adalah orang yang baik dan peduli dengan Kakek dan Bayu.

"Bulik, Kakek di mana?" Bayu bertanya kepada Bibi Wati.

"Oh ... Bayu kamu sudah pulang, toh? Kakekmu ada di kamarnya lagi tiduran. Katanya, lagi kurang enak badan," Bibi Wati menjawab sembari menatap Bayu.

"Kamu belum makan, toh? Makan dulu. Bulik masak sayur nangka kesukaanmu!" tambah Bibi Wati sambil tersenyum.

"Iya, Bulik! Bayu mau ketemu Kakek dulu baru nanti makan," jawab Bayu.

"Iya, sana!” perintah Bibi Wati sambil tersenyum kepada Bayu.

Bayu berjalan menuju kamar kakeknya. Sebelum masuk, dia mengetuk pintu terlebih dahulu dan berkata, "Kek, ini Bayu. Bayu boleh masuk atau tidak?"

"Masuk, Yu! Pintu tidak dikunci, kok!" Kakek Warno menyahut.

"Kek, kata Bulik, Kakek sakit?" tanya Bayu kepada Kakeknya.

"Cuma tidak enak badan, Yu!" jawab Kakek Warno lalu berkata, "ke mari duduk di dekat kakek, Yu!"

"Iya, Kek!" Bayu lalu duduk di pinggir kasur dimana Kakeknya sedang tidur-tiduran.

"Bayu, kamu tahu 'kan apa pekerjaan Kakek? Kakek merasa sudah waktunya kamu mewarisi keahlian Kakek. Kemampuan kakek adalah kemampuan yang telah diwariskan turun-temurun dalam keluarga kita," kata Kakek Warno sambil menunjukkan jari telunjuknya ke dahi Bayu.

Tanpa persiapan, tiba-tiba Bayu merasa kepalanya seperti terbelah. Pandangannya menjadi gelap seketika meski hanya sesaat saja.

Ketika kesadarannya telah pulih, Bayu melihat Kakek Warno sedang menatapnya.

"Jangan kaget! Apa yang kamu alami sekarang, juga aku alami saat seusiamu. Ilmu warisan keluarga kita hanya bisa diwariskan secara langsung, tidak bisa diajarkan," kata Kakek Warno, "apa yang aku lakukan kepadamu hanya membuka mata batinmu. Kamu akan kuberikan buku catatan agar bisa mengaktifkan dan memahami cara penggunaan ilmu warisan keluarga kita. Ibumu sudah menelponku kemarin. Dia memberi tahu bahwa minggu depan kamu harus pergi ke Jakarta untuk kuliah sambil bekerja pada Pamanmu. Oleh sebab itu, kamu hanya kuberi waktu satu minggu untuk mempelajarinya. Aku mewariskan ilmu ini kepadamu agar kamu bisa menjaga dirimu di tanah perantauan, sekaligus agar ilmu ini tidak hilang ditelan zaman!" 

Setelah penjelasan panjang itu, Kakek Warno memberi Bayu sebuah buku tulis yang compang-camping. Kertasnya juga telah menguning.

Melihat Bayu mengamati buku itu, Kakeknya lalu berkata, "Baca buku ini di kamarmu! Lalu, setelah kamu mengerti isinya langsung bakar atau sembunyikan di tempat yang tidak bisa ditemukan oleh siapa pun!"

Bayu akhirnya bergegas pergi menuju ke kamar tidurnya tanpa makan terlebih dahulu karena ingin segera membaca buku yang diberikan oleh Kakeknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status