Share

Bab 6 JDYT

Bab 6

Obrolan di antara Aina dan Tasya masih terus berlanjut. Tasya banyak berkisah tentang masa lalunya, sementara Aina lebih banyak mendengar dan sesekali bertanya.

"Jadi yang pertama kali membawa Mbak Tasya kemari suami, Mbak?" tanya Aina setelah mendengarkan kisah masa lalu Tasya yang tak banyak berbeda dengannya.

"Iya, sama seperti saat aku membawamu, bedanya, saat itu kami sama-sama tak memiliki tempat tinggal. Suamiku mulanya seorang pecandu, korban dari temannya yang pengedar, dia salah pergaulan, dan dia kesulitan berhenti sampai seluruh harta bendanya habis tak tersisa.

Keluarga menolak menolongnya, sedangkan dia mulai kebingungan karena sudah kehabisan dana untuk membeli obat yang biasa dikonsumsinya.

Saat bertemu denganku, dia menawarkan pekerjaan, menjelaskan dengan detail apa yang harus kukerjakan. Kebetulan dia kenal dengan salah satu Germo di sini. Dulu gang Dolly masih beroperasi bebas, beda seperti sekarang yang pemasarannya lebih banyak online, karena pemerintah setempat sudah menutupnya secara resmi.

Saat pertama kali kita masuk gang ini, kita akan tau bahwa di sini tempat praktik prostitusi. Karena wanita-wanita kayak aku akan dijual bebas layaknya sebuah barang dagangan. Dipajang di ruangan dengan serba kaca sehingga klien yang datang bebas memilih. Kita juga dibandrol beda-beda tergantung speknya.

Suamiku bawa aku ketemu sama Mami Merry, terus dia jelasin keuntungan kalau aku mau ikut kerja sama dia. Dan kebetulan saat itu spek ku termasuk bagus, jadi tarifku lumayan menjanjikan.

Aku yang memang udah nggak punya pilihan lagi dan udah terlalu lelah hidup menggelandang, akhirnya menerima tawaran itu. Aku terikat perjanjian bagi hasil dengan suamiku, dia minta 20% dari penghasilanku setiap harinya untuk nyambung hidup, selain itu dia juga kerja sampingan sebagai tukang parkir. Walaupun dia b*jingan, tapi dia gamau maling, entah apa alasannya?

Aku pun tak keberatan karena aku merasa hutang budi sama dia, sebab dia sudah kasih aku kerjaan, ya walaupin bukan pekerjaan yang baik, tapi setidaknya dari sini aku bisa menyambung hidup.

Kami sering bareng, hidup bersama tanpa menjalin hubungan, dan hubungan kami semakin dekat saat suamiku memutuskan pengen berhenti konsumsi obat-obatan terlarang, dan aku mendukungnya, aku yang selalu ngeyakinin dia bahwa dia pasti bisa melakukannya.

Proses dia berhenti bener-bener masa sulit bagi kami, aku selalu dampingin dia saat sakau. Kasih afirmasi positif, terus mensugesti bahwa dia bisa melalui masa ini, tanpa obat, tanpa panduan dokter, hanya bermodalkan niat, air putih, air panas dan ketulusan hati.

Lumayan lama prosesnya, tapi akhirnya dia berhasil berhenti. Dari situlah dia mulai menaruh hati dan menyatakan perasaannya padaku, mungkin karena ngerasa nyaman. Aku pun menyambut dengan baik, karena aku juga merasakan hal yang sama. Kami memutuskan untuk menikah dan menjalankan kehidupan seperti biasanya. Ya ... seperti yang kamu lihat saat ini." Tasya bercerita panjang tentang perjalanan cintanya yang 'berbeda'.

Sementara Aina mulai terbawa ke dalam kisah Tasya.

"Jadi terharu dengar cerita Mbak Tasya. Awalnya saya memang heran dan bertanya-tanya, kehidupan rumah tangga seperti apa yang Mbak jalani bersama suami? tapi ternyata, di balik semua itu, ada kisah yang mengawali." Aina memberikan komentarnya.

Tasya terkekeh mendengar penuturan Aina.

"Aku sudah ngira, setiap orang yang baru mengenalku dan juga duniaku, pasti akan merasa heran dan bertanya-tanya, bahkan mungkin sampai di taraf mencela saat melihat bagaimana kehidupan rumah tangga yang aku bina bersama Hendra suamiku.

Bahkan aku sendiri pun tidak memahami konsep rumah tangga seperti apa yang aku anut bersama Hendra. Orang bilang cemburu adalah tanda cinta, akan tetapi di antara kita tidak ada kecemburuan, padahal kita merasa saling mencintai, karena kita saling merasa nyaman saat bersama. Aneh, kan?" Ungkap Tasya. Sementara Aina tak banyak menanggapi, ia hanya tersenyum sebagai tanggapan.

"Ya begitulah, terkadang aku juga merasa bosan dengan kehidupan yang seperti ini, tapi aku juga tidak tahu bagaimana caranya berhenti. Aku hidup tanpa pernah merasakan sebuah kepuasan, hati tak pernah tentram, walaupun secara kondisi terlihat lebih baik dari sebelumnya, namun hati ini tak merasa lebih baik." Tasya mengakhiri kalimatnya seraya memandang langit-langit kamar.

Aina tersenyum miris,"Terkadang luka membuat seseorang seolah mati rasa, hati yang hampa tak lagi mengenal apa itu cinta. Bahagia menjadi lebih sederhana bagi mereka yang sempat merasakan luka. Setidaknya memiliki tempat yang nyaman untuk kembali rasanya sudah cukup untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan ini.

Ah, tempat untuk kembali? Kata-kata itu mengingatkanku akan nasib yang tengah kujalani. Kemana aku harus kembali? tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk aku pulang. Setiap sudut dari dunia yang luas ini terasa seperti neraka. Andai Tuhan memanggilku lebih cepat mungkin akan lebih baik. Atau ... sebaiknya aku saja yang mempercepat pertemuan dengan Tuhan? Ah, seputus asa inikah aku?" Aina sibuk bermonolog dengan dirinya sendiri.

Tasya melirik Aina yang tiba-tiba terdiam, ia sengaja menghentikan pembicaraan, memberi Aina waktu untuk merenung. Ia paham, dalam kondisi kejiwaan yang terguncang, seseorang memang sangat mudah kehilangan konsentrasinya saat berkomunikasi.

"Kasihan kamu, Aina. Aku tahu hidupmu sebelum ini pasti sangat lah bersih, terlihat dari penampilanmu yang tertutup dan keluguan perangaimu. Berbeda denganku yang memang sejak awal memilih jalan gelap dalam kehidupan ini, setidaknya aku sudah menghafal betapa kejamnya kehidupan ini, jiwaku lebih siap saat terjun menggelandang tanpa tujuan pasti. Tapi kamu? Kamu pasti mengalami kebingungan lebih dari yang kurasakan.

Siapa seseorang yang tega membuat kehidupanmu hancur seperti ini, Aina? Siapapun dia, dia adalah manusia tanpa nurani, dia merusak hidup gadis yang suci sepertimu." Tasya membatin seolah ia benar-benar tahu apa yang tengah terjadi pada Aina.

Saat keduanya tengah terdiam, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti, tak lama kemudian terdengar suara seseorang tengah muntah-muntah. Malam yang semakin larut membuat suara itu terdengar begitu jelas dan nyaring walau dari dalam ruangan.

"Suara siapa ya, Mbak?" Tanya Aina dengan raut terkejut.

"Biasa, tetangga depan rumah." Tasya menjawab santai sembari berdiri dan mengecek ke depan rumah, sementara Aina mengekori langkah Tasya.

Dari balik jendela keduanya menyaksikan apa yang tengah terjadi di depan sana. Seorang wanita muda tengah diantar seorang lelaki paruh baya, wanita itu terus-menerus memuntahkan isi perutnya.

"Oh, masih ada lakinya toh," ucap Tasya seraya kembali menutup korden dan duduk di kursi kayu ruang tamunya.

"Dia kenapa, Mbak, hamil?"tanya Aina dengan polosnya, membuat Tasya menahan tawa.

"Kamu pikir orang yang muntah itu cuman orang hamil?" sahut Tasya membuat Aina menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia hanya mengatakan apa yang terlintas dalam pikirannya saja. Mual muntah adalah fenomena yang selalu dialaminya belakangan ini.

"Dia tuh lagi mabuk, terlalu banyak konsumsi minuman keras, jadinya gitu. Tapi aman lah karena ada lakinya. Kalau dia sendiri baru lah kita tolongin." Tasya menjelaskan fenomena apa yang baru saja dilihat oleh Aina.

Aina mengangguk-angguk, "Jadi mereka suami istri?" Tanya Aina.

"Aku nggak tahu sih mereka udah nikah apa belum, tapi yang jelas dia udah lama dekat sama om-om itu. Hidupnya terjamin sejak dia didekati oleh om-om tua itu. Dulunya dia sama kayak aku, kerja jadi wanita panggilan, tapi semenjak ketemu sama si om-om itu dan jadi simpanannya, dia berhenti." Tasya menceritakan sedikit yang ia ketahui.

Aina manggut-manggut.

"Enak juga ya, jadi simpanan om-om, gak usah mikirin gimana caranya bisa bertahan hidup, semuanya sudah ada yang menjamin," ucap Aina mengalir begitu saja.

"Memangnya kamu mau jadi kayak dia, jadi simpanan om-om gitu?" Tanya Tasya membuat Aina tampak berpikir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status