Share

Bab 7 JDYT

Bab 7

"Thanks, ya!" Ucap seorang lelaki dengan dandanan macho seraya merapikan penampilannya.

"Sama-sama, balik lagi ya, Om!" Sahut wanita muda berwajah cantik alami seraya memaksakan senyumnya.

"Pasti, gue akan langganan kemari deh kalau pas mampir Surabaya. Lo beda dari yang lain. Nggak agresif, tapi bikin nagih." Lelaki itu menjawab dengan senyuman mengembang, tampak sekali kepuasan tergambar di wajahnya.

"Ah, si Om bisa aja."

"Gue serius, Ai. Ya udah ya, gue cabut dulu."

"Oke, Om!"

Lelaki berusia 35 tahun itu berjalan meninggalkan tempatnya membeli kenikmatan menuju mobil, diikuti oleh wanita yang baru saja dibayarnya untuk memuaskan hasrat semalam.

Setelah mobil yang ditumpangi kliennya melaju meninggalkan gang Dolly, wanita tersebut kembali menutup pintu ruangannya, ia segera mengunci pintu kemudian menyandarkan tubuhnya di sana.

Perlahan tubuhnya merosot seiring berjatuhannya air mata dari kedua pelupuk matanya.

Ia membuka tiga lembar uang berwarna merah yang berada di dalam genggamannya. Dibukanya tiga lembar uang tersebut sembari tersenyum miris, "tiga ratus ribu rupiah, inilah hargaku sebagai seorang wanita dalam semalam. Sungguh sangat rendah, bahkan ia tidak cukup digunakan untuk makan selama sebulan lamanya." Ia membatin seraya meremas uang di tangannya.

"Kemanakah kehormatan yang kujaga mati-matian selama 20 tahun lamanya? kehormatan yang selalu ku banggakan sebagai seorang wanita, semua itu sirna begitu saja.

Kini aku hanyalah seorang wanita kotor yang terhina, wanita tanpa mahkota kehormatannya, wanita tanpa harga dirinya. Aku hancur dan hina sehina hinanya." Wanita bernama lengkap Sukainah itu kembali meneteskan air mata. Sebuah hal yang selalu ia lakukan dan kembali terulang di setiap malamnya, tepatnya tiap saat ia baru menyelesaikan tugasnya sebagai seorang wanita panggilan.

"Tak terasa sudah 1 bulan lamanya Aku berkecimpung dengan dunia yang gelap ini, dunia yang menghilangkan cahaya dari pandanganku, dunia yang menjauhkanku dari Tuhan yang selama ini kupuja.

Aku selalu menyesal setiap kali selesai melakukannya, seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dari hidupku. Aku selalu bersimpuh di hadapanNya untuk mendapatkan ampunan, akan tetapi aku terus mengulanginya.

Aku seperti manusia yang bodoh dan kehilangan akal, Aku melakukan pembangkangan kemudian aku menyesalinya, tetapi aku terus mengulanginya.

Ya Allah ... sampai kapan aku harus berada di dalam kondisi seperti ini? Aku lelah, aku ingin kondisi yang lebih baik, tapi dengan cara apa aku bisa menghentikan semua ini?

Aku tahu ini memang keputusan dan pilihanku, bahkan aku tahu apa saja yang menjadi konsekuensi dari pilihanku. Aku sudah mencoba untuk mengeraskan hati agar tak pernah menyesali apa yang telah menjadi pilihan, akan tetapi rasa sesal itu selalu hadir, dan terus mengganggu perasaan.

Namun walau begitu, aku tak menemukan pilihan lain, aku selalu kembali terjerembab ke dalam lubang yang sama. Dan itu semakin terasa menyakitkan.

Entah apa yang harus kulakukan? Memohon ampunan-Mu selalu menjadi pilihan terakhir untuk menutupi rasa sesalku, walaupun dalam hati aku pun ragu, apakah Engkau berkenan mendengar dan menerima ampunan dari seorang hamba yang kotor dan terus mengulangi kesalahannya sepertiku." Aina mengusap air matanya cepat, menghela nafas panjang, kemudian segera bertolak menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa kotor dari permainan haramnya bersama lelaki yang tidak dikenalnya.

Itulah yang selalu dilakukannya setiap kali selesai menjalankan pekerjaannya, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, hingga memutuskan untuk cepat-cepat mandi dan menghilangkan bekas pekerjaan haram itu dari tubuhnya.

***PZ

"Gimana kondisi Ummimu, Lin?" tanya Ustadz Sofyan pada Alina, putri sulungnya.

"Belum ada perkembangan, Bah. Kayaknya darah tingginya kumat itu, kenapa nggak dibawa ke dokter aja sih, Bah? Kasihan lho, Ummi " Alina menjelaskan kondisi umminya.

Selama sebulan ini, tepatnya sejak kepergian Aina, istri ustadz Sofyan itu memang sering terjatuh sakit. Akibat banyak memikirkan kondisi putrinya membuat penyakit darah tingginya kambuh.

Ia tidak bisa beraktivitas seperti biasa dan hanya menghabiskan waktunya untuk berbaring di kamar. Hal itu cukup membuat ustadz Sofyan semakin frustasi.

"Abah ndak ada uang, sebulan ini hampir nggak ada job sama sekali. Entahlah, mungkin orang-orang sudah merasa paling baik sampai nggak memerlukan siraman rohani dari seorang ustadz." Ustadz Sofyan malah mengeluhkan kondisi pada putrinya.

"Ya Allah, Bah ... Periksa ke dokter umum paling berapa sih? Uang seratus ribu juga masih kembalian!

Lagian seharusnya Abah tuh nyari kerjaan lain, jangan hanya mengandalkan uang dari hasil pengajian, Bah. Dakwah itu kewajiban, bukan pekerjaan. Alina dah berkali-kali kan ingetin Abah?" putri sulung Ustadz Sofyan itu mencoba memperingati abahnya.

"Halah, kamu tuh tahu apa sih, Lin? Wis toh, ndak usah sok menggurui Abahmu. Kamu kira kamu bisa sampai seperti saat ini dari mana biaya hidupnya? Ya dari hasil Abah ceramah." hati ustadz Sofyan tetap mengeras, ia enggan menerima nasihat dari siapapun.

"Nggeh pun, terserah Abah saja. Alina cuma ingetin Abah. Jadi gimana, Abah beneran ndak mau bawa Ummi ke dokter? Kalau ndak, biar nanti Alina minta mas Albi untuk antar Ummi ke dokter, kasihan Ummi, Bah, udah sebulan ini sakit-sakitan." Alina mencoba memberikan solusi.

"Ndak usah, lah. Apa kata Albi nanti kalau nganter Ummi ke dokter aja Abah harus minta sama dia? Kok sawangane melarat tenan aku ini sebagai mertuanya. Dah lah, nggak apa-apa, biarin aja Ummimu istirahat, nanti juga pasti membaik kondisinya. Kalau emang mau diobatin, kasih aja obat-obatan herbal yang bisa didapatkan gratis, Abah harus hemat.

Lagian sebenarnya Ummimu itu ndak sakit kok, dia cuma banyak pikiran aja. Abah sudah nasihatin supaya ndak usah mikir jeru-jeru (dalam-dalam), karena pastinya berujung setres dan sakit seperti ini. Kalau sudah sakit ya yang repot Abah lagi." Ustadz Sofyan mengucapkan kalimatnya dengan kesal.

Sementara Alina hanya menggeleng heran menanggapi sikap abahnya.

"Bah ... Bah ... Ibu mana sih yang ndak kepikiran saat anaknya pergi dari rumah dan ndak tahu gimana kabarnya? Abah tuh apa ya sama sekali ndak kepikiran Aina? Gitu-gitu Aina juga kan anak Abah!" kali ini nada bicara Alina sedikit lebih tiggi.

"Ndak usah dibahas lagi, Lin. Dia bukan lagi anak Abah sejak keluar dari rumah ini bersama aibnya." Ustadz Sofyan berkata sembari memandang langit-langit rumahnya. Ada sesak di dada saat mengucapkan kalimat itu, namun baginya, tidak ada lagi toleransi untuk Aina.

"Kalau Abah memang ndak mau bawa Ummi ke dokter, obat satu-satunya adalah dengan mendatangkan Aina. Biar bagaimanapun, darah tak kan bisa dipisahkan dari raganya, Bah!" Alina berkata tegas, kemudian meninggalkan Abahnya seorang diri.

Sementara Shoimah yang mendengar perdebatan antara anak dan ayahnya itu hanya bisa menitikan air mata.

"Semua menjadi hancur bersamaan dengan diusirnya Aina. Abah ... kapan kamu akan sadar?" batinnya pilu.

Merasa situasi di rumahnya semakin memanas, ustadz Sofyan memutuskan untuk melipir ke depan. Duduk di teras sembari sejenak menghitup udara segar untuk melegakan perasaannya.

"Ini adalah ujian besar dalam rumah tanggaku, semuanya menjadi runyam hanya karena satu akar permasalahan."

Ustadz Sofyan menyandarkan tubuhnya di kursi, memejamkan mata sejenak sembari memijat pelipisnya.

"Ya Allah ... Mengapa semua ini harus terjadi pada putri hamba?" Gumamnya dalam hati, ada sesal dalam hatinya, namun egonya mengalahkan segalanya.

Saat Ustadz Sofyan tengah merenung, tiba-tiba terdengar seseoang mengucap salam.

"Assalamualaikum, Ustadz!"

"Waalaikumsalam warahmatullah, Rul. Ada perlu apa?" tanya ustadz Sofyan to the point.

"Ya elah, Pak Ustadz, ada tamu bukannya dipersilakan duduk dulu," komentar lelaki dengan nama panggilan Irul tersebut.

"Iya, silakan!" Ustadz Sofyan menjawab malas, ia hanya malas saja meladeni orang yang tidak memberkkan keuntungan beginya. Irul hanyalah seorang pengangguran yang suka nongkrong di warung kopi langganannya.

Irul duduk, memposisikan dirinya senyaman mungkin sebelum membuka pembicaraan.

"Rumah sepi ya, Pak Ustadz. Lama juga nggak keliatan si cantik Aina, Bu Ustadz juga kayaknya lama ndak keluar rumah." Irul membuka percakapan dengan basa-basi.

"Wis toh, ndak usah banyak basa-basi, sebenere ada perlu apa kamu datang kemari?" ustadz Sofyan menyahut tak suka.

"Ehm .... Tujuan saya datang kemari adalah untuk memberi penawaran pada Ustadz Sofyan." Lelaki bernama Irul itu menyampaikan maksud kedatangannya.

"Penawaran apa memangnya?" Tanga Ustadz Sofyan terdengar antusias.

"Job ceramah, Ustadz," jawab Irul membuat ustadz Sofyan tersengum lega.

"Alhamdulillah ... Dalam rangka apa ini? Tasyakuran apa gimana? Aku seneng dengernya, akhirnya kamu sadar juga, Rul, bahwa siraman rohani itu perlu." Ustadz Sofyan tak dapat menutupi kebahagiannya.

"Iya, Ustadz, sebenernya ini teman saya yang nyari." Irul menanggapi.

"Owalah temenmu toh, kirain kamu,

Rul!" Ucap Ustadz Sofyan dengan tertawa mengejek,"tapi nggak papa, temenmu mau bikin acara apa?" lanjut ustadz Sofyan lagi.

"Dia mau bikin acarara untuk pekerjanya, Uatadz. Mereka tepatnya butuh motivasi hidup, karena mayoritas mereka adalah orang-orang yang ndak punya motivasi hidup, menjalankan pekerjaan tidak sepenuh hati. Sehingga butuh dimotivasi agar semangat dan jangan sampai putus asa dari rahmat Tuhan. Gimana Ustadz, bisa nggak? Jamaahnya ibu-ibu sih," tanya Irul lagi.

"Bisa, gampang itu. Kapan acaranya?" ustadz Sofyan menjawab mantap, tanpa beban sedikitpun.

"Besok siang, Ustadz," jawab Irul.

"Siang? Baru kali ini aku ngisi pengajian siang hari, biasanya kalau nggak sore ya malam," sahut Ustadz Sofyan heran.

"Iya, Ustadz, karena bisanya mereka jam segitu, kalau sore atau malam mereka dah harus mulai kerja. Jadi gimana, Ustadz?"

"Okelah, bisa bisa. Besok siang jemput aku di sini ya."

"Siap." Irul menyahut dengan senyuman penuh makna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status