Alana mematung. Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam pertahanannya yang paling dalam. Ia mengharapkan perang dingin, sindiran, manipulasi, strategi. Tapi permintaan itu… memindahkannya ke medan yang tak dikenal. Ia tahu jika ia menolak, ia akan kehilangan dominasi yang sudah ia bangun. Tapi jika ia menerima… ia sendiri tak yakin apa yang akan ia lakukan.Brian tidak memaksakan. Ia hanya menatapnya. Lalu perlahan, ia mendekat. Tangannya terulur, meraih jemari Alana dengan hati-hati, seakan sedang menyentuh sesuatu yang sangat rapuh.“Brian…” bisik Alana, nyaris tak bersuara. Ia menutup mata. Genggamannya mengencang. Napasnya mulai dangkal, dada terasa sempit oleh ketegangan yang tak ia mengerti. Ia menunggu sesuatu terjadi. Tapi detik demi detik berlalu dalam keheningan dan kegelapan matanya. Tak ada sentuhan di bibir. Tak ada hasrat yang diledakkan.
Perjalanan pulang dibungkus keheningan yang berat. Alana duduk dengan posisi tubuh sedikit menyamping, gaun malamnya masih sempurna, namun ada kelelahan di wajahnya. Ia melirik ke sisi lain. Brian duduk dengan bahu merosot sedikit, tatapannya menembus keluar jendela. Tak ada kata, tak ada napas berat. Hanya diam.Sesampainya di penthouse, mereka masuk tanpa sapaan. Tak satu pun dari mereka berbicara. Brian berjalan lurus ke ruang kerja, sedangkan Alana melangkah ke kamar tidur.Gaun malam itu akhirnya ia lepas, dan ia duduk di depan meja rias, mulai menghapus riasan yang menempel selama berjam-jam. Kemenangan malam ini telah memberinya sorotan, reputasi, dan simpati publik. Tapi saat make-up itu luntur, ia merasa bagian dari dirinya yang paling terdalam justru ikut menghilan
Cahaya kristal dari chandelier raksasa memantulkan gemerlap gaun malam dan kilau berlian. Ruangan ballroom itu telah diubah menjadi panggung megah untuk malam amal paling bergengsi tahun ini. Musik lembut dari kuartet senar mengalun dari sudut ruangan, nyaris tertelan oleh riuh percakapan para tamu yang tertawa dan bersulang, mengenakan jas terbaik dan gaun rancangan eksklusif.Di tengah semua itu, Alana bergerak luwes seperti pusat gravitasi pesta. Gaun merah anggunnya membelah kerumunan, dan senyumnya yang menawan, menjadi magnet bagi kamera. Ia menyalami para tamu penting, mencium pipi sosialita terkenal, menanggapi pertanyaan wartawan dengan sikap dermawan yang telah ia latih dalam cermin berkali-kali. Malam itu adalah panggungnya. Dan ia memainkannya dengan sempurna."Alana, ini luar biasa," kata seorang pengurus dari yayasan Anak Matahari, menatap s
Sore itu, Alana benar-benar melakukannya.Langkah kakinya terdengar tenang saat ia memasuki ruang kerja Brian. Brian menoleh sebentar pada Brian yang duduk tegak di belakang meja besar dari kayu gelap. Tatapan pria itu singkat, sebelum kembali pura-pura fokus pada layar tablet di depannya."Aku lihat-lihat ya," kata Alana ringan, seolah hanya sedang meminjam gunting atau segelas air.Brian mengangguk sekali. "Silakan."Ia tahu Alana sedang memainkan peran lembutnya, dan ia mempersilakan, seperti seorang penjaga gerbang yang sadar akan penyusup, tapi sengaja membiarkannya lewat, demi melihat ke mana arah langkahnya.Alana mulai berjalan pelan menyusuri sisi-sisi ruangan. Tangannya menyentuh permukaan lemari dan rak buku dengan
Alana menyodorkan cangkir kopi ke tangan Brian pagi berikutnya ketika Brian terlihat membaca dengan tenang di ruang keluarga, lalu duduk dengan gestur yang sudah ia latih di depan kaca. santai, tapi penuh kepercayaan diri. Wajahnya membawa senyum yang dibuat untuk terlihat cukup hangat.“Brian … Bisa kita bicara sebentar?”"Aku tahu ini mungkin bukan waktunya bicara hal besar," katanya membuka, "tapi aku punya sesuatu yang mungkin akan kau suka."Brian mengangkat alis sambil menurunkan buku yang dibacanya. "Oh ya? Sesuatu seperti apa?""Yayasan Anak Matahari?" tanyanya pelan, suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya. "Aku udah lama nggak dengar nama itu. Ya, sejak ak
Alana masih duduk di sofa, matanya menatap kosong ke arah secangkir teh yang masih mengepul. Aroma chamomile itu menguar di udara, lembut dan menenangkan. Ia belum beranjak. Pintu ruang kerja Brian tetap tertutup, dan keheningan yang memenuhi ruangan kini terasa seperti pertanyaan yang tak kunjung dijawab.Ia menatap teh itu dengan pandangan bingung. Ia tidak mengerti. Ia bergumam sendiri mencari rasio yang mungkin bisa menenangkannya. “Mengapa Brian meminta maaf?” Itu bukan bagian dari skenario yang ia bayangkan.“Seharusnya ia marah. Seharusnya ia datang dengan emosi meledak, menuntut penjelasan, mencaci, atau paling tidak, menatap dengan kemarahan yang jelas.”