Share

Bab 8. Kebetulan ?

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-07-17 10:30:00

Mobil meluncur mulus di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul lembut di jendela, menciptakan bayangan redup yang bergerak pelan di wajah Alana. 

Ia duduk diam, pandangannya kosong ke luar, tapi pikirannya ramai. Keheningan di dalam kabin mobil tak lagi terasa seperti benteng dingin, melainkan seperti ruang kosong yang penuh gema. 

Bukan amarah yang mengisi keheningan itu malam ini, melainkan pertanyaan.

“Kenapa dia membelaku? Apa yang dia cari?”

Alana mengalihkan tatapannya sejenak ke pria di sampingnya. 

Brian duduk dengan postur santai, tangannya bertumpu di paha, bahunya tegap. Tapi matanya tetap menatap jalanan di depan, fokus. Tidak ada tanda-tanda ketegangan. Tidak ada getaran dari pria yang baru saja menantang ibunya sendiri di depan seluruh keluarga.

"Kenapa kau bilang kayak tadi?" tanyanya akhirnya, tanpa menoleh. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk menembus dengung mesin dan desau AC yang menggantung hening.

Brian berkedip sekali. "Bilang apa?"

Alana menghela napas, terdengar frustrasi. "Tentang aku ..." Suaranya mengeras. "Kenapa kau membelaku di depan ibumu sendiri? Dan kenapa kau berani menegur ayahmu? Untukku?"

Brian tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap ke depan. Kemudian pelan ia bertanya, "Kenapa kau ingin tahu?"

Pertanyaan itu membuat Alana tercekat. Ia tidak siap dibalikkan seperti itu. Matanya berkedip pelan, seperti mencoba memahami arah pembicaraan.

"Aku cuma..." Ia menggertakkan gigi. "Itu aneh. Kita menikah hanya karena perjanjian. Karena bisnis. Tidak ada untungnya untukmu membelaku. Jadi kenapa?"

Brian tersenyum kecil, sudut bibirnya terangkat nyaris tak terlihat. "Oh, jadi sekarang kau tertarik pada apa yang kupikirkan, Alana?"

Alana langsung memalingkan wajah, kesal. Pipi dan telinganya hangat oleh rasa malu yang tak diakuinya.

"Oke. Nevermind. Ga usah kau jawab. Aku ga tertarik sama sekali padamu."

Brian terdiam sejenak. Lalu suaranya terdengar rendah dan tenang. "Karena itu hal yang benar. Dan karena tidak ada orang lain di ruangan itu yang akan mengatakannya."

Alana mengerjap, tak yakin bagaimana harus menanggapi jawaban itu. Kalimat itu terdengar terlalu... bersih. Tulus, tanpa motif. Atau terlalu pintar untuk dilewatkan? Ia tidak tahu.

Alana menoleh cepat. Tatapannya penuh curiga. "Menentang keluargamu sendiri itu hal yang benar?"

Brian menghela napas, lalu tertawa kecil. Nada tawanya datar. "Kau tahu bedanya benar-salah, dan baik-buruk?"

Pertanyaan itu memukul pelan. Alana mengerjap. Tubuhnya kaku. Ia tahu jawabannya. Seseorang pernah menjelaskannya. Seseorang yang sekarang sudah tiada. Chandra.

Brian tidak menunggu jawabannya. "Benar-salah itu ditentukan karena ada aturan. Hukum, logika, konvensi. Tak peduli siapa yang kita ajak bicara. Tapi baik-buruk... itu tentang rasa. Tentang apakah ada orang yang merasa tersakiti karena tindakan kita."

Ia menoleh sebentar, sekilas saja. "Tadi mungkin bukan hal yang baik. Tapi aku yakin itu hal yang benar."

Alana membelalak. Tenggorokannya terasa kering. Penjelasan itu... Tidak persis sama, tapi intinya nyaris identik. Identik dengan cara Chandra menjelaskan hal itu padanya.

Ia tak menjawab. Hanya menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke jok, dan menatap keluar jendela. Jalanan terus bergerak, tapi pikirannya diam di satu tempat.

Apakah ini... kebetulan lagi?

Brian berbalik menatap Alana. Sorot matanya tetap tenang, terlalu tenang. "Ada yang mau kau tanyakan lagi, Alana?"

Alana menatap balik, dalam-dalam. Ia mencoba membedah sorot mata itu, menelusuri lengkung rahang, ekspresi bibir, nada suara, bahkan gerakan kecil di alisnya. Tapi tak ada yang bisa ia pahami. Tidak ada celah yang cukup terbuka untuk dibaca. Pria ini seperti ruang tanpa dinding. Dan ia hanya bisa menduga-duga tanpa arah.

Alana membuang muka. "Enggak," katanya singkat, dingin. Seolah menutup semua pintu percakapan.

"Ok," ujar Brian, lalu tertawa kecil, ringan. "Tapi aku senang kita udah mau ngobrol walaupun singkat. Ini progress yang bagus."

Jantung Alana berdetak sedikit lebih cepat. Kalimat itu... terasa terlalu hangat. Terlalu tulus untuk pria yang seharusnya dingin. 

Pikirannya kembali pada percakapan mereka di meja makan. Edgar membahas proyek konstruksi, tentang lambatnya progres akibat revisi desain. Lalu Brian menanggapi bahwa ia telah mengajukan desain alternatif agar lebih... manusiawi.

“Manusiawi.” Kata itu menancap dalam, seolah seseorang membisikkan kenangan ke telinganya. Itu adalah kata favorit Chandra. Kata yang selalu ia gunakan saat membahas filosofi desainnya. Kata yang menjembatani fungsi dan perasaan.

Alana menunduk, mencoba mengendalikan napasnya. Ia membuka ponselnya, jari-jarinya bergerak pelan ke folder tersembunyi. 

"Rumah Kita." 

Folder yang tidak pernah ia sentuh sejak hari itu. Jantungnya berdebar pelan saat file itu terbuka. Di layar, sebuah rumah kecil di tepi danau muncul. Rumah impian mereka. 

Seketika, pikirannya melayang kembali ke hari itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Yuli Darmono
Aduuuh, Alana malah buka kenangan! Padahal lagi perang dingin, malah jadi galau kan. Fokus, Lana, fokus sama misinya! Gregetan banget
goodnovel comment avatar
Vivi Olivia
Jawaban simpel tapi bikin pertahanan runtuh. Cowok yang punya prinsip itu emang beda. Gimana mau benci coba?!
goodnovel comment avatar
Siska Pudjiastuti
Gila, pertanyaannya dibalikin. Brian ini jago banget bikin Alana salah tingkah. Mentalnya yang diserang, bukan fisik.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 179. Epilog : Cinta Yang Tak Pernah Mati

    Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 178. Dia Telah Tiada

    Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 177. AKU MENCINTAIMU!

    Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 176. Cahaya Putih

    “Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 175. Giliranku Melindunginya

    Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 174. Semuanya Adalah Chandra

    Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status