Mobil meluncur mulus di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul lembut di jendela, menciptakan bayangan redup yang bergerak pelan di wajah Alana.
Ia duduk diam, pandangannya kosong ke luar, tapi pikirannya ramai. Keheningan di dalam kabin mobil tak lagi terasa seperti benteng dingin, melainkan seperti ruang kosong yang penuh gema.
Bukan amarah yang mengisi keheningan itu malam ini, melainkan pertanyaan.
“Kenapa dia membelaku? Apa yang dia cari?”
Alana mengalihkan tatapannya sejenak ke pria di sampingnya.
Brian duduk dengan postur santai, tangannya bertumpu di paha, bahunya tegap. Tapi matanya tetap menatap jalanan di depan, fokus. Tidak ada tanda-tanda ketegangan. Tidak ada getaran dari pria yang baru saja menantang ibunya sendiri di depan seluruh keluarga.
"Kenapa kau bilang kayak tadi?" tanyanya akhirnya, tanpa menoleh. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk menembus dengung mesin dan desau AC yang menggantung hening.
Brian berkedip sekali. "Bilang apa?"
Alana menghela napas, terdengar frustrasi. "Tentang aku ..." Suaranya mengeras. "Kenapa kau membelaku di depan ibumu sendiri? Dan kenapa kau berani menegur ayahmu? Untukku?"
Brian tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap ke depan. Kemudian pelan ia bertanya, "Kenapa kau ingin tahu?"
Pertanyaan itu membuat Alana tercekat. Ia tidak siap dibalikkan seperti itu. Matanya berkedip pelan, seperti mencoba memahami arah pembicaraan.
"Aku cuma..." Ia menggertakkan gigi. "Itu aneh. Kita menikah hanya karena perjanjian. Karena bisnis. Tidak ada untungnya untukmu membelaku. Jadi kenapa?"
Brian tersenyum kecil, sudut bibirnya terangkat nyaris tak terlihat. "Oh, jadi sekarang kau tertarik pada apa yang kupikirkan, Alana?"
Alana langsung memalingkan wajah, kesal. Pipi dan telinganya hangat oleh rasa malu yang tak diakuinya.
"Oke. Nevermind. Ga usah kau jawab. Aku ga tertarik sama sekali padamu."
Brian terdiam sejenak. Lalu suaranya terdengar rendah dan tenang. "Karena itu hal yang benar. Dan karena tidak ada orang lain di ruangan itu yang akan mengatakannya."
Alana mengerjap, tak yakin bagaimana harus menanggapi jawaban itu. Kalimat itu terdengar terlalu... bersih. Tulus, tanpa motif. Atau terlalu pintar untuk dilewatkan? Ia tidak tahu.
Alana menoleh cepat. Tatapannya penuh curiga. "Menentang keluargamu sendiri itu hal yang benar?"
Brian menghela napas, lalu tertawa kecil. Nada tawanya datar. "Kau tahu bedanya benar-salah, dan baik-buruk?"
Pertanyaan itu memukul pelan. Alana mengerjap. Tubuhnya kaku. Ia tahu jawabannya. Seseorang pernah menjelaskannya. Seseorang yang sekarang sudah tiada. Chandra.
Brian tidak menunggu jawabannya. "Benar-salah itu ditentukan karena ada aturan. Hukum, logika, konvensi. Tak peduli siapa yang kita ajak bicara. Tapi baik-buruk... itu tentang rasa. Tentang apakah ada orang yang merasa tersakiti karena tindakan kita."
Ia menoleh sebentar, sekilas saja. "Tadi mungkin bukan hal yang baik. Tapi aku yakin itu hal yang benar."
Alana membelalak. Tenggorokannya terasa kering. Penjelasan itu... Tidak persis sama, tapi intinya nyaris identik. Identik dengan cara Chandra menjelaskan hal itu padanya.
Ia tak menjawab. Hanya menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke jok, dan menatap keluar jendela. Jalanan terus bergerak, tapi pikirannya diam di satu tempat.
Apakah ini... kebetulan lagi?
Brian berbalik menatap Alana. Sorot matanya tetap tenang, terlalu tenang. "Ada yang mau kau tanyakan lagi, Alana?"Alana menatap balik, dalam-dalam. Ia mencoba membedah sorot mata itu, menelusuri lengkung rahang, ekspresi bibir, nada suara, bahkan gerakan kecil di alisnya. Tapi tak ada yang bisa ia pahami. Tidak ada celah yang cukup terbuka untuk dibaca. Pria ini seperti ruang tanpa dinding. Dan ia hanya bisa menduga-duga tanpa arah.
Alana membuang muka. "Enggak," katanya singkat, dingin. Seolah menutup semua pintu percakapan.
"Ok," ujar Brian, lalu tertawa kecil, ringan. "Tapi aku senang kita udah mau ngobrol walaupun singkat. Ini progress yang bagus."
Jantung Alana berdetak sedikit lebih cepat. Kalimat itu... terasa terlalu hangat. Terlalu tulus untuk pria yang seharusnya dingin.
Pikirannya kembali pada percakapan mereka di meja makan. Edgar membahas proyek konstruksi, tentang lambatnya progres akibat revisi desain. Lalu Brian menanggapi bahwa ia telah mengajukan desain alternatif agar lebih... manusiawi.
“Manusiawi.” Kata itu menancap dalam, seolah seseorang membisikkan kenangan ke telinganya. Itu adalah kata favorit Chandra. Kata yang selalu ia gunakan saat membahas filosofi desainnya. Kata yang menjembatani fungsi dan perasaan.
Alana menunduk, mencoba mengendalikan napasnya. Ia membuka ponselnya, jari-jarinya bergerak pelan ke folder tersembunyi.
"Rumah Kita."
Folder yang tidak pernah ia sentuh sejak hari itu. Jantungnya berdebar pelan saat file itu terbuka. Di layar, sebuah rumah kecil di tepi danau muncul. Rumah impian mereka.
Seketika, pikirannya melayang kembali ke hari itu.
Alana memejamkan mata sesaat, dan kenangan itu kembali seperti sinema yang diputar dari masa lalu yang jauh. Beberapa hari sebelum tragedi, Chandra mengunjunginya di butik.“Aku lihat tanah kosong di pinggiran kota, pikir ini bisa jadi tempat kita nanti,” kata Chandra pelan. “Nggak ada keramaian. Nggak ada bising mobil. Cuma suara air dan burung. Lokasinya juga persis di depan danau”“Lihat,” kata Chandra sambil menunjuk layar tablet yang kemudian menampilkan desain rumah satu lantai sederhana, tapi terlihat sejuk dengan gaya tropis.“Aku bikin ini semalam. Ini
Mobil meluncur mulus di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul lembut di jendela, menciptakan bayangan redup yang bergerak pelan di wajah Alana.Ia duduk diam, pandangannya kosong ke luar, tapi pikirannya ramai. Keheningan di dalam kabin mobil tak lagi terasa seperti benteng dingin, melainkan seperti ruang kosong yang penuh gema.Bukan amarah yang mengisi keheningan itu malam ini, melainkan pertanyaan.“Kenapa dia membelaku? Apa yang dia cari?”Alana mengalihkan tatapannya sejenak ke pria di sampingnya.Brian duduk dengan postur santai, tangannya bertumpu di paha, bahunya tegap. Tapi matanya tetap menatap jalanan di depan, fokus. Tidak ada tanda-tanda ketegangan. Tidak ada getaran
Mobil mewah itu akhirnya melambat, memasuki gerbang raksasa sebuah properti yang lebih mirip kastil modern daripada rumah. Fasadnya yang terbuat dari kaca gelap dan beton terasa mengintimidasi. Saat Brian membukakan pintu untuknya, Alana menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang dingin. Ia melangkah keluar, mengangkat dagunya tinggi-tinggi.“Oke. Ini saatnya….”Langkah Alana menggema di antara dinding-dinding tinggi rumah utama Ravenshade. Marmer hitam di bawah kakinya memantulkan bayangan dingin dari lampu gantung kristal yang tergantung jauh di atas kepala. Dinding putih bersih, lukisan-lukisan modern, dan aroma bunga segar yang terlalu wangi menciptakan suasana museum, bukan rumah. Ini bukan tempat untuk pulang. Ini tempat untuk memamerkan kekuasaan.Di ruang keluarga, Edga
Langit Kaliandra baru saja kehilangan warna terakhirnya. Sisa cahaya jingga tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Di dalam butik Valestra Bridal yang kini mulai sepi, Alana sedang menyelesaikan catatan untuk tim penjahit ketika ponselnya bergetar.Pesan masuk. Dari Brian.“Aku sudah di depan Valestra Bridal.”Alana mengetik cepat tanpa banyak pikir. “Aku lagi tanggung. Tunggu dulu di lobi.”Ia menyimpan ponselnya lalu berdiri, mengambil jeda sejenak sebelum meninggalkan ruang kerjanya. Langkahnya menuju ruang tamu lantai bawah pelan tapi mantap, seolah tengah bersiap menuju panggung yang enggan ia pijak.Brian berdiri di depan jendela besar, siluet tubuh atletisnya terbingkai oleh cahaya lampu jalan dari luar. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana, santai. Alana berhenti di ambang pintu, menyandarkan tubuhnya sejenak di kusen kayu putih."Aku tidak mau pergi," katanya pelan, tapi tidak ragu. Suaranya bening dan dingin.Brian menoleh. Sorot matanya tak menunjukkan keterkejutan.
Alana membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang masuk dari celah tirai jatuh lurus ke sisi bantalnya, menyilaukan tapi tak menghangatkan. Ranjang di bawah tubuhnya empuk dan bersih, namun tak membuatnya tidur nyenyak.Dari luar pintu, ia mendengar suara pelan, langkah kaki. Brian sudah bangun. Ia bangkit dan berdiri sebentar, menyentuh permukaan meja rias dengan ujung jarinya.Ia tahu apa yang ingin ia lakukan pagi ini. Sesuatu kecil. Tapi cukup untuk mengingatkan siapa yang sebenarnya punya kuasa."Permainan akan segera dimulai, Tuan Ravenshade," bisik Alana sambil melangkah ke dapur.Ia membuka lemari dapur dengan gerakan perlahan. Tangannya bergerak cepat. Dua lembar roti dimasukkan ke pemanggang, lalu ia membuka selai kacang dari toples kaca mewah yang dibeli khusus untuk isi pantry mereka. Ia tahu pasti, Brian Ravenshade memiliki riwayat alergi ringan terhadap kacang. Tidak mematikan. Tapi cukup mengganggu.“Rasakan,” gumamnya sinis.Ia menyusun roti panggang di atas piring putih d
Sebulan kemudian. Di balik tirai ruang rias, Alana berdiri diam. Gaun pengantinnya jatuh dengan sempurna. Potongan leher sabrina memperlihatkan tulang selangkanya yang jenjang, sementara renda halus menjalar dari lengan hingga pergelangan tangan. Setiap detail pada gaun itu adalah rancangannya sendiri.Dina, berdiri di sampingnya, membenarkan kerudung tipis di atas kepalanya sambil tersenyum lebar.“Kak... kamu kelihatan cantik banget. Sempurna,” bisiknya. “Kalau aku Brian, aku pasti langsung jatuh cinta saat melihatmu.”Alana hanya menoleh sebentar. Bibirnya menarik garis senyum yang datar, tanpa makna.“Bagus…,” ucapnya lirih. “Kalau dia jatuh cinta. Akan lebih mudah menghancurkannya”Bunga-bunga putih menggantung dari langit-langit, membentuk lengkung sempurna di sepanjang lorong altar. Harumnya memenuhi ruangan, menyamarkan ketegangan yang merayap di antara tamu undangan. Di sisi kanan, keluarga Ravenshade duduk tegak dan dingin. Di sisi kiri, keluarga Valestra terlihat gelisah.